Dad Bomb 2: Kasih Sepanjang Galah Bab 1, 2 & 3

124
2
Deskripsi

Kelanjutan kisah Juli, Khalid, keluarga juga cinta mereka.

#romance #family #fiksidewasa

Bab  Satu
 

"Buk! Mau main-main!"

"Ya main, dong."

"Pake hape."

"Nggak."

"Mau hapeeee!"

"Nggak. Main di luar, sama Riyu sama Vanya."

"Disuruh itu kok ... bobo kok."

"Ya udah Lumi juga bobo, minta dikelonin Nenek."

"Nggak mau, nggak ngantuk."

"Merem aja nanti juga ngantuk."

"Hapeeeee, Ibuuuuuk!"

"Nggak!"

Aku membiarkan Lumi, putriku yang berusia empat tahun ini manyun-manyun, sedangkan aku kembali fokus pada laptop dalam pangkuan. Beruntung putriku ini meskipun bisa dibilang polah, rewel, dan banyak tingkah, tapi ya cuma sebatas gituan aja. Rengek-rengek, manyun-manyun, yang nggak bertahan lama, nanti juga udah ketawa-ketiwi lagi.

Lumi juarang banget tantrum.

Oh, pasti banyak yang bertanya-tanya, gimana kehidupanku sekarang, apa yang kulakukan sekarang, apa aja yang dulu kulalui.

Aku baik-baik kok, hari-hariku menyenangkan karena aku tinggal bersama Lumi dan Mama, di rumah minimalis yang baru bisa kubangun tiga tahun terakhir setelah dulunya kami mengontrak.

Tentu, aku teramat bekerja keras, sebab aku menanggung diriku sendiri, Mama, juga Lumi yang kala itu masih berada di dalam kandungan. Tanpa peduli kondisi batin juga fisik, aku harus tetap berjalan di atas kakiku sendiri.

Bermodal uang mahar, sisa-sisa nafkah, juga aset dari bapaknya Lumina yang kujual, aku berhasil mengumpulkan beberapa tetangga untuk kuajak merintis rumah industri pembuatan tortilla. Dan mungkin rejekinya Lumina, semuanya berjalan lancar bahkan bisa dibilang pesat, jangkauan pasar yang dulunya masih di sekitar Magetan, kini lewat toko online, tortilla-ku bisa terbang ke seluruh pejuru negeri.

Dari yang dulunya aku menyewa sebuah rumah kosong, kini aku bisa menyulapnya menjadi rumah industri yang lumayan luas.

"Ibuk mau ke gudang, Lumi ikut apa di rumah temenin Nenek?"

Masih aja manyun-manyun anak itu, tapi melihat dia merapikan rambutnya, aku mengartikan dia akan ikut bersamaku.

"Ikut Ibuk."

"Bilang sama Nenek, di belakang."

Sedang Lumi ke belakang, aku lebih dulu keluar menata kardus-kardus ke dalam mobil pick up untuk kubawa ke gudang packing. Aku yang mengendarainya, by the way, kurang tangguh apa coba aku ini?

Penghasilanku belum sebanyak itu untuk bisa kubuat bermewah-mewah, aku lebih mengutamakannya untuk tabunganku juga Lumi, asuransi, dan lain-lain. Sekolah bagus itu mahal, Bun. Kalau nggak gini, nggak kucicil dari kecil begini, bakal berat di masa depan.

Sebab putriku itu ... cuma punya ibuk. Nggak ada bapak untuknya bisa menggantungkan hidup.

Cuma aku yang dimilikinya.

"Mamanya Yesa itu loh, Buk, tadi marah-marah lagi."

"Kenapa?"

"Kan Lumi main-main sama Riyu sama Vanya di rumah Vanya terus Yesa itu mau ikut main terus kan kita main-main rumahan disusun itu loh, Buk..."

"He'em, terus?"

"Kan kurang satu itu baloknya terus ternyata didudukin sama Lumi, dibilang Yesa katanya Lumi ambil mau dibawa pulang, Lumi curi, kan nggak gitu kan nggak sengaja. Terus Lumi marah-marah terus dia nangis, bilang ke mamanya kalau Lumi habis pukul, Lumi dimarah-marah sama mamanya."

Helaan napas lelah datang dariku setelah mendengar penjelasan itu. Aku nggak bisa selalu memberi banyak waktu untuk Lumi, aku membiarkan dia bermain sendiri dengan teman-temannya yang mana memiliki beragam karakter. Itu bagus, tentu aja, jadi putriku bisa lebih mengenal dunia lewat matanya sendiri, mengenal isinya, dia bisa belajar bergaul dan memecahkan masalahnya sendiri.

Namun yang kusesali adalah, selain anak dengan karakternya yang beragam, begitupula para orang dewasa, para orang tua. Seumur-umur aku jadi ibu, nggak pernah aku memarahi bocah karena bertengkar dengan putriku, kecuali andai ada perundungan dan bukan murni pertengkaran khas anak-anak, tapi beruntung, Lumi berkawan baik dengan anak seumurannya. Ya selain si Yesa itu tadi.

Berkali-kali aku mendapat pengakuan Lumi soal Yesa, dituduh menyontek lah, dibilang mobilnya jelek lah, dituduh mengambil ini itu, aku membiarkan tanpa menyentuh si Yesa Yesa itu pun juga orang tuanya. Selain karena Lumi bilang jika banyak yang membela dia, kurasa putriku bisa menyelesaikannya sendiri karena dia mampu melawan. Aku cuma bisa menyarankan Lumi untuk menjauh aja dan menceritakan segala hal padaku.

Tapi kalau orang tuanya si Yesa itu dengan lancangnya memarahi putriku? Ck! Ke mana otaknya ditaruh? Oke, kedengaran kasar, iya. Tapi dia udah dewasa lho, urusan anak biarlah jadi urusan anak-anak karena toh, mereka bisa berbaikan lagi dengan mudahnya.

Kenapa bisa-bisanya orang tua yang harusnya bijak malah merundung bocah empat tahun begitu? Apalagi yang dilakukan putriku jelas sebagai pertahanan diri. Waras nggak, sih?

Kan, aku mulai kesal. Ralat, kesal banget.

"Bu Erina bilang apa sama Lumi?"

"Katanya nggak boleh lagi deket-deket sama Yesa karena Lumi nakal, terus suruh temen-temen nggak ajak Lumi temenan tapi mereka malah ejek-ejek ibunya Yesa. Nggak nakal kan Lumi, Buk? Kalau Lumi nakal kan temen-temen nggak mau temen sama Lumi."

Dengan tangan kiri, kuusap kepalanya.

"Mana ada nakal? Udah mulai sekarang Lumi nggak usah deket-deket sama anak yang rese."

"Lumi maleeees ajak dia main-main tapi dia ikut terus padahal nggak diajak."

Ah, nggak diajak tapi ikut-ikutan ya? Aku jadi teringat seseorang di masa lalu yang getol banget riwuh sendiri padahal dia nggak diajak atau bahkan dilirik sama sekali. Nyatanya, ada banyak banget orang yang begitu.

"Terus Bu Erina itu juga bilang katanya Lumi kayak nggak dididik. Dididik itu ... diajarin kan, Buk? Kan Lumi dibelajarin sama Ibuk setiap hari."

 

Bab Dua

"Orang kek gitu nggak kau sentil aja itu bola matanya, Jul."

Dengus tawa nggak bisa kutahan mendengar ucapan Kak Marina, kawan baikku sekaligus pelanggan setia pemilik bercabang-cabang gerobak kebab yang nggak sungkan mengambil barang langsung dariku ini, meski hafal banget sih tiap dia sendiri yang datang pasti minta bonusan, tapi nggak apa lah, kehadirannya sering kali mengobati rasa sepiku.

Baru tiga tahunan kami mengenal, Kak Marina bukan orang asli Jawa, melainkan Medan, baru pindah ke mari setelah di sunting orang sini. Gampang banget buat kami mengakrabkan diri, mungkin juga karena kami punya cara berpikir yang mirip, jadi klop, deh.

Usia kita cuma beda lima tahun tapi Kak Marina kelihatan jauh lebih dewasa, meski bicaranya kadang blak-blakan, kentara kalau dia itu orang yang tulus. Sepedas apa pun kalimatnya buatku, nggak pernah aku mendengar unsur penghakiman di sana. Dia menasihati tanpa menghakimi, mengingatkan tanpa menyudutkan. Beda banget sama si ... itu.

"Padahal udah biasa kan, Kak, anak-anak main ya gitu. Rebut-rebutan, sewot-sewotan, namanya juga bocah. Wong anakku juga nggak ada loh dia rese duluan gitu-gitu, kecuali kalau ada yang nyenggol, baru balik dikerayah sama dia," udah biasa kujadiin dia tempat curhat, pun juga dirinya. Jadi mumpung kami sama-sama longgar, kutahan dia buat ngerumpi di gudangku.

"Tahu nya aku anak kau, dah kelihatan anaknya nggak suka cari ribut biar banyak tingkahnya itu," Kak Marina ikut menggerutu, terdengar lucu karena mulutnya tersumpal bolen pisang yang belum sepenuhnya tertelan.

"Lagi pula Erna itu dah tua nya, badan aja itu dia besarkan, cara mikirnya masih kek bocah. Aku, Jul, sampai sebesar itu Pian anakku, nggak pernah aku ikut campur langsung kalau dia ada masalah sama kawannya, buat apa? Kita orang tua ini harusnya yang bijak, apalagi Lumi, Yesa, itu bocah seupil, kok malah makin dia pamerkan dari mana itu bakat bully anaknya turun, mamaknya pun begitu sama bayi."

"Kalau gitu lagi mau aku tegur sih dia itu, Kak. Aku udah tuuuahan-tahan dari dulu. Kupikir ya udahlah ya namanya juga anak-anak. Tapi kok makin ngelunjak Erna. Kok bisa gitu tega sama bocah, dibilang kayak nggak dididik katanya, terus pakai komporin yang lain katanya jangan temenan sama anakku. Melas banget lihat anakku digituin. Terserah lah kalau nanti dia nggak mau lagi nyapa atau gimana, ora urus."

Aku banting tulang, malik sungsang, kepala kujadiin kaki buat perbaikin ekonomi, bahkan pas perutku sebesar gentong hamil Lumina, aku udah segitu kerasnya kerja, dengan harapan nggak cuma keuangan kami yang membaik, tapi juga derajat sosial kami. Aku nggak mau mama dan anakku diijak-injak orang, direndahin orang, tapi ternyata aku keliru, sebab meski dengan keadaanku kini, kami masih sering dapat slentingan buruk. Apalagi Lumina, belum apa-apa putriku udah kena cap aneh-aneh cuma karena nggak ada sosok bapak di sampingnya.

Padahal, apa masalahnya? Aku mampu mendidiknya kok, aku selalu mengajari hal-hal baik pada putriku, kenapa orang-orang menganggap ada yang salah dalam proses tumbuhnya? Dia selayaknya anak-anak lain, Lumi enggak berbeda.

"Iya lah, bener itu. Bully itu namanya, kasihan anakmu. Rame ya biar aja lah itu, sekalian rame. Eko pun, kek manaaa lah, laki macam apa itu tengok istrinya kelakuannya kek lampir gitu nggak dinasihati dia. Andai aku, Jul, Bang Bagus tahu aku kek gitu, nggak bakal berhenti mulutnya buka tutup mengoceh. Takut kali nggak dijatah apa kek mana itu dia, lembek kali jadi laki."

Aku memasang wajah julidku yang khas. "Wong aku nggak minta makan dia, ya kan? Aku tuh takut kalau ada yang sampe bawa-bawa bapaknya Lumi di depan dia langsung gitu loh, Kak. Maksudku, sekarang aja udah berani bilang anakku nggak dididik apa lah apa lah, takutnya kalau kubiarin besok-besok malah merembet kayak, ooo pantes nggak punya bapak, gitu-gitu. Aku kasihan, aku nggak mau, apa nggak makin melas anakku nanti?" mungkin karena aku sering nonton sinetron, pikiranku ngelantur ke mana-mana.

Aku nggak mau sampai ada adegan anakku dihardik statusnya. Iya, aku tahu, udah banyak omongan terbang sana sini, tapi biarlah cuma aku yang denger, Lumi nggak usah, dia masih kecil banget, aku takut itu bisa berdampak ke mentalnya, kayak yang aku alamin dulu, sedang nggak ada satu pun yang menguatkanku.

"Ngeri kaliii, kalau macam itu. Tapi masih sering tanyain bapaknya anakmu itu?"

Kalau ditanya begini nih, baru deh aku mellow banget. Kayak ada awan kelabu yang langsung muncul gitu, langsung gloomy. Aku menghindar pandang dari Kak Marina, mengamati tumpukkan kardus baru yang belum disusun para partnerku.

"Masih, sih. Anak mana sih yang nggak kepengin ketemu bapaknya, Kak?"

"Masih sama jawabmu?"

"Ya iya, gimana lagi? Ya kujawab aja bapak masih kerja jauh, di luar negeri. Belum siap aku bawa dia ketemu bapaknya, udah aku ceritain kan ke Kak Mar, kalau orang-orang di sekitar bapaknya Lumi itu kayak setan semua, aku juga belum berani sama Mama," anggap aja aku kasar, masa bodoh. Orang kenyataannya gitu kok. Lumina mereka hinakan dan mereka ancam keberadaannya bahkan sebelum dia ada, manusia macam gimana yang tega kayak begitu? "Anakku masih kecil banget, biar Lumi agak gedean dulu. Semoga aku sama bapaknya dikasih umur panjang."

Aku nggak mau putriku mendapat trauma, aku takut. Orang-orang itu bukan manusia, tindakan mereka melewati nalarku, aku nggak mau Lumi-ku yang sekecil itu mendapat rasa sakit yang sama sepertiku.

"Amin. Kasihan pula bapaknya, berkali-kali kau bilang gimana baiknya itu bapaknya Lumi, kalau bener, iya, pasti merasa bersalah luar bisa dia, Jul. Anaknya sebesar itu tapi nggak tahu apa-apa."

Senyum kecilku terbit dengan sendirinya. "Baik banget emang dia, Kak. Aku inget dulu seriiiing banget dia nyalah-nyalahin diri gara-gara kelakuan anak sulungnya, sampai aku ngomel-ngomel, ikut nangis-nangis, nggak tega banget lihat dia kalau kayak gitu," sunggingan bibirku masih bertahan, tapi kali ini sedikit getir.

Aku sering kali memikirkan dia, gimana kabarnya? Apa orang-orang itu masih sama? Apa dia bisa hidup tenang? Nyaman, seperti impiannya yang sederhana banget itu? Tapi apa pun itu, aku selalu menyelipkan doa buatnya. Aku ingin tahu, tapi aku nggak mau cari tahu. Aku ingin dia baik-baik aja, tapi aku belum mau melihatnya, malah aku yang berantakan nanti.

"Kek gamon kali tapi kau kutengok ini, tiap bicara bapaknya Lumi pasti matamu ngawang-ngawang macam sekarang gini. Masih cinta kau? Kek mana itu nasib Rasyid?"

***
 


Aku gantung Rasyid? Hell no! Dia emang udah bilang kalau menyukaiku, bahkan setelah Lumi makin besar dari hari ke hari, dia terus berusaha meyakinkanku kalau bakal menerima kami segini adanya. Tapi aku nggak menggantungkan apa pun, dari awal aku udah bilang kalau aku belum berminat buat membangun hubungan baru, yang semakin lama, semakin bersemangatnya dia, aku jadi jujur kalau aku nggak bisa menerima perasaannya karena nggak ada rasa yang sama di hatiku.

Lantas, setelahnya kami cukup canggung. Canggung banget malah. Tapi makin ke sini Rasyid kembali mendekatkan diri sebagai teman yang kusambut dengan baik pula.

Sekarang ini, kami murni temenan. Meskipun aku nggak tahu apakah masih ada perasaan lain di hatinya. Tapi ya udahlah, wong aku cuma melakukan tugasku sebagai orang dewasa dengan baik. Aku nggak mau cuma karena aku nggak cinta dia, lantas aku menjauhinya kayak bocah baru gede.

Dibaikin ya baikin balik. Gitu aja.

Tapi kayaknya Rasyid ini kelewat baik, deh. Contohnya sore ini, dia bawain entah berapa box besar donat ke rumah produksiku, belum lagi aku dapat kabar dari gudang katanya Rasyid juga habis mampir di sana. Ck, kalau begini nih, polos banget nggak kalau aku mikir ini cuma semata-mata 'baik'? Aku sungkan kadang, tapi mau gimana lagi? Dia nggak bilang apa-apa ya kali ujug-ujug aku larang-larang dia sambil bilang kalau aku nggak suka dengan arogannya?

Nggak, bukan gitu cara mainnya orang dewasa, kan?

"Dalam rangka apa sih, Sid?"

"Dari tokonya temen, baru buka. Sekalian bantu borong."

Aku mesem nggak habis pikir. "Baru buka langsung tutup dong, kamu habisin."

Rasyid ini, diguyonin juga gitu-gitu aja mukanya, lempeng.

"Lumi nggak ikut, ya?" tanyanya, sedikit menyelinguk ke dalam.

"Tadi siang ikut, pulang dia sekarang tapi. Ngaji."

"Biasanya pas malem ngajinya?"

Aku menggeleng-geleng, menarik napasku lalu meneguk air mineral yang sedari tadi kutenteng. "Sekarang aku panggilin guru privat, nggak di masjid lagi dia."

"Kenapa? Bagus-bagus aja kok ustazahnya di masjid itu."

Ya iya bagus, aku juga kenal kok. Tapi aku nggak srek aja, apalagi setelah aku dapat aduan dari tetanggaku kalau Lumi sering digosipin sama emak-emak lain yang kurang kerjaan banget itu habis isya malah ngerumpi di masjid dengan alasan nungguin anak. Katanya, gerak-gerik Lumi diawasin mulu, dan ini nih yang bikin aku sebel.

Pasti sedikiiiiit aja kesalahan yang diperbuat anakku jadi rame. Pokoknya kalau Lumi yang berulah, ada-ada aja aku denger slentingan. Kalau yang lain berulah, diwajarin karena masih bocah. Standar ganda banget, kan? Padahal sekali lagi, nggak ada yang beda dari Lumi, ada atau enggaknya bapak, dia tetaplah anak-anak normal pada umumnya.

Capek banget loh.

Ya udah, akhirnya aku gondolin aja guru privat buat anakku, biar sekalian kejang-kejang mereka. Juleeha gitu loh, sekarang aku jadi janda kaya sekampung. Aku selalu ngajarin Lumi buat hidup sederhana dan nggak banyak gaya, tapi sesekali aku emang kudu tunjukin kekuatanku biar orang lain nggak lagi semena-mena.

Aku nggak harus jadi hitam atau putih, kan? Aku bisa berubah warna sesuai keadaan.

"Jadi sore gini?"

"He'em. Biar malemnya juga dia bisa belajar yang lain terus istirahat."

"Kamu pasti tahu yang terbaik lah buat dia."

Aku tersenyum. Iya, dong. Aku kan ibunya.

"Malem nanti sama Lumi?"

Aku mengiyakan. Harap-harap cemas dalam hati takut kalau dia bakal ngajak aku jalan, bukan gimana-gimana, sih. Aku sungkan aja gitu loh.

Aku nggak mau kasih harapan, tapi aku nggak sampai hati buat nolak.

"Oke. Jangan capek-capek."

"Mau balik?"

"Iya deh kalau gitu. Udah sore."

"Hati-hati."

Salam pisah Rasyid kujawab dengan anggukkan. Laki-laki itu baik kok, karirnya juga lumayan, dia udah jadi kepala sekolah sekarang, keluarganya juga masih baik samaku. Tapi hati nggak bisa dipaksa, kan? Aku masih mau fokus dulu ke Lumi, selain itu ... aku juga masih belum selesai dengan masa laluku.

 

Bab Tiga
 

Suasana hatiku nggak enak banget pas sampai rumah setelah tadi sebelumnya aku mampir dulu ke minimarket beliin snack buat Lumina dan ketemu Mbak Tyas.

Sejak kejadian itu, kami perang dingin. Bertahun-tahun kami nggak saling sapa, walau aku udah merendahkan diri dengan minta maaf, dia nggak menggubrisku sama sekali begitupula Budhe. Tapi aku masih berhubungan baik dengan Pakdhe kok, sampai sekarang aku juga masih memberinya jatah bulanan meski nggak banyak.

Aku tahu diri kok, aku tahu di mana aku tumbuh dan bisa sebesar ini, aku nggak lupa diri.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, Ibuuuuk!"

Pemandangan pertama yang aku jumpai adalah putriku yang lagi bersolek di depan kaca, mengepang rambutnya dengan gaya entah apa. Emang kenes banget si Lumi ini, asal kalian tahu aja, hobinya ya kayak begini nih, dandan, aku bahkan sampai membelikannya makeup—yang aman dan khusus anak tentunya—supaya dia bisa salurin kesukaannya ini.

Pokoknya kemayu banget deh anakku, yang kayaknya nggak mungkin kalau ini nurun bapaknya, jadi siapa lagi coba? Ya emaknya lah.

"Ngapain sih, kamu?" aku bertanya, menaruh belanjaanku di meja dan menatap lurus dia.

Sedangkan yang ditatap malah cengar-cengir malu. "Bagus nggak, Buk? Gini?"

Berantakan, sih, tapi karena anakku emang cakep ya aku iyain aja.

"Kalau Lumi sekolah gini gimana, Buk?"

Aku mendekat, meraih wajahnya dan memasang raut seolah menilai, lalu mengangguk-angguk. Di usianya yang keempat ini, Lumina udah kumasukin pendidikan usia dini, dan beginilah gayanya, tiap hari ada aja permintaannya, minta didandanin ini itu.

"Besok ayo potong poni, udah kepanjangan ini. Nggak gerah apa kamu?" aku merapikan poni Lumina yang menempel basah karena keringat.

"Bagus kok, mau Lumi miringin."

Kan, udah pede banget dia mau nentuin gayanya sendiri.

"Terus dijepit-jepit itu loh, Buk. Yang ini kanan terus yang ini kiri terus dikasih jepit dua-dua."

"Dua-dua?"

"Dua. Satu sini, satu sini."

Aku mengernyit, tapi lantas mengambil jepit rambutnya, mencoba mempraktekkan apa yang tadi dibilang putriku. Pelan aku membelah poninya, lalu aku jepit masing-masingnya dengan aksesoris. "Gini?"

"Nggak gini, jelek. Agak bawah."

Aku mendesah, tapi tetep aja kuturutin.

"Udah, gini?"

"He'eh. Cantik nggak Lumi, Buk?"

"Ya cantik lah, kan kayak Ibuk."

Mesem-mesem dia setelah dipuji gitu.

"Ibuk beli jajan?"

"Iya, banyak. Besok bagi ke Riyu sama Vanya kalau main ke sini. Beresin itu, ayo makan dulu."

Enak banget emang tinggal surah-suruh, tapi untung anakku lebih sering nurutnya. Aku nggak sesabar itu kok, omong-omong, nggak jarang aku pelototin Lumi, ngomel-ngomel, mengabaikan dia kalau udah rewel, ya kayaknya aku emang nggak bisa banget buat jadi wanita bak ibu peri kayak tokoh utama dongeng.

"Mama masak? Juli beli dendeng balado tadi di Bu Tinik itu."

"Pakdhemu sakit, Nduk."

Pertanyaanku dijawab oleh pernyataan lain, tapi hal itu sukses bikin rautku berubah.

"Udah Juli saranin ke rumah sakit, tapi Pakdhe nggak mau," aku menjenguknya kemarin, terhitung lima hari Pakdhe demam, udah berobat tapi belum bisa bangun juga. "Udah dibilangin juga kalau nggak usah mikir biaya, Juli ada. Tapi Pakdhe diem aja."

Sejak hari itu kondisi Pakdhe emang menurun, dia jadi lebih banyak diam, sering sakit, hal yang akhirnya membuatku semakin nggak menyesal karena memilih jalan ini. Meskipun aku tahu, aku egois di mata yang lain. Aku mengorbankan Lumi juga bapaknya. Tapi aku bisa apa?

Aku ditolak rumahnya dan rumahku menolaknya. Lebih baik begini, aku nggak yakin aku bisa bertahan di tengah-tengah para iblis itu, jadi apa nanti anakku? Seberapa pun keras aku mencoba, aku nggak bisa meluluhkannya. Hatinya bukan batu dan aku nggak bisa mengikis keraknya.

Aku nggak bermaksud buat memisahkan seorang anak dari sang bapak. aku cuma pengin melindungi putriku dan diriku sendiri. Aku janji, suatu saat aku bakal mempertemukan mereka, aku nggak akan menghalangi hak putriku juga bapaknya. Justru hari itu jadi hari yang paling kutunggu.

"Andai dulu kamu nurut, babamu nggak akan ngerusak pakdhemu dan nggak akan begini situasinya. Kita semua tahu, orang kaya punya kuasa dan gimana makin kuatnya mereka kalau udah bersatu sama sejenisnya. Harusnya kamu paham, kenapa sejak awal pakdhemu nggak merestui kalian."

Kalimat Mama memunculkan senyum mirisku. Aku capek, seberapa banyak pun aku menjelaskan, itu nggak mengubah apa pun. Sampai sekarang yang pada akhirnya aku cuma bisa pilih buat diam.

Biarkan. Biar aja semuanya. Aku nggak punya energi lagi.
 

***
 


Hari ini aku sengaja meliburkan diri dengan nggak ke rumah produksi karena kepalaku nyut-nyutan, aku juga udah mewanti-wanti Lumi buat nggak main jauh-jauh atau aneh-aneh atau rewel dan minta izin kalau mau apa-apa ke neneknya karena aku mau istirahat dulu.

Tapi sekarang kepalaku rasanya mau meledak. Aku berjingkat kaget bangun dari tidurku setelah dengar ledakan tangisnya Lumi. Ini tampak beda karena dia histeris, yang mana jarang banget, alhasil aku tergopoh bangkit lantas nggak bertahan lama tubuhku malah terhuyung hampir limbung karena belum siap.

Setelah mengumpulkan nyawa dan keseimbangan sejenak, tanpa tunggu lama aku langsung bergegas menemui Lumi, yang sekarang ini masih menangis keras sampai ngundang beberapa tetangga buat menenangkan.

"Cup, Nak ... Ya Allah anak cantik gini kok, nanti bilang ibuk, nanti dibeliin lagi sama ibuknya Lumi."

"Lagian kok nuuuakal to, itu anaknya Erna, Yesa itu."

Gumam-gumam beberapa tetangga membuatku makin mempercepat langkah, dan ketika makin dekat, aku meringis dalam hati melihat wajah merah dan mata bengkak Lumi karena tangis kerasnya.

"Ibuuuuuk!" pekiknya, berlari memeluk perutku kencang.

"Kenapa?"

"Nuangis anakmu, Jul. Berantem sama anaknya Erna itu lho."

Aku menunduk, meminta jawaban Lumi tapi dia makin membenamkan wajahnya.

"Kepalaku tadi pusing banget, Mbak, jadi aku tinggal tidur, istirahat. Udah kubilangin, nggak usah main aneh-aneh—"

"Ng-gak main an-n-neh ... Lumi ngg-ak main aneh. Main sa-ma Van-ya."

Aku mau bertanya lagi, tapi Mama buru-buru meraih tanganku, menyuruh untuk masuk. Alhasil aku berpamitan dan berterima kasih ke tetangga yang tadi udah bantu tenangin anakku.

Sampai di dalam, Lumi memisahkan diri dariku, dia buru-buru lari menuju kamarnya yang segera aku susul.

Kepalaku makin pening banget rasanya. Jelas kelihatan ini ada yang nggak beres, Lumi jarang banget nangis sampai begini.

"Kok masih nangis?" aku mendekat, campur aduk rasanya lihat anakku tersedu-sedu kayak gitu.

Lumina berbaring miring, tubuhnya meringkuk sedangkan wajahnya dia benamkan pada guling.

"Kenapa Lumi? Diapain lagi sama Yesa?"

"Pada-hal ng-gak ajak dia, Ibuuuuk."

Jemariku membelai rambutnya. "Iya, Yesa nggak diajak main, tapi ikut-ikutan, gitu? Lumi diapain sama Yesa?"

"Kalungnya Lumi diam-bil, ditar-ik sama Yesa, Bu-uk. Yang dikas-ih Bapak. Kalungnya Lu-mi yang dari Bapak ilang."

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Dad Bomb 2: Kasih Sepanjang Galah Bab 4, 5 & 6
221
37
Kelanjutan kisah Juli, Khalid, keluarga beserta cinta mereka. #romance #family #fiksidewasa
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan