Terjerat Kontrak Dengan Pria yang Kutolak (Bab 1-3)

1
0
Deskripsi

  1. Wanita Bayaran

“Ini bayaranmu!" desis seorang pria tampan melemparkan uang ratusan ribu berlembar-lembar ke wajah seorang perempuan yang tengah berlutut di depannya. 

 

Dara terus menangis sesenggukan, benar-benar Dara merasa harga dirinya hancur karena rela memberikan sesuatu berharga demi uang.  Dara Kirana, seorang perempuan cantik nan manis dengan rambut panjang serta gigi gingsulnya. Sejak dulu Dara mempunyai prinsip untuk bekerja keras yang penting halal, tetapi malam ini semua berubah saat dia rela memberikan mahkota berharganya pada Revan. 

 

Selama ini Dara berusaha mendapatkan banyak uang dengan susah payah agar hidupnya terjamin. Mulai menjadi tukang bersih-bersih di rumah orang tua Revan, sampai dia bekerja di bar. Akan tetapi saat usianya memasuki dua puluh tiga tahun, kehidupan Dara semakin runyam hingga tiba di malam ini dia pasrah menjadi pelacur satu malam.

 

"Apa yang harus kamu katakan padaku?" tanya Revan mencengkram dagu Dara dengan kasar sampai membuat Dara meringis kesakitan. 

 

“Te— terimakasih,” ujar Dara. Revan melepaskan cengkraman dagunya kasar, sedangkan Dara segera memunguti uang yang diberikan oleh Revan. 

 

“Cepat pergi dari sini!” titah Revan kembali mengambil uang yang lain dan melemparnya tepat ke kepala Dara yang membungkuk memakai baju. Air mata Dara semakin deras, bahkan anjing saja lebih berharga dari Dara saat ini. 

 

“Semoga kita gak bertemu lagi,” ucap Dara. 

 

“Aku juga tidak sudi bertemu apalagi memasukimu lagi. Bagiku hanya cukup sekali bersama setiap wanita, tidak ada dua kali karena tidak menarik sama sekali,” jawab Revan.

Dara memunguti lagi uang yang berserakan dan bergegas pergi dari kamar mewah itu. Perempuan itu menangis di setiap langkahnya. Dara dan Revan sudah kenal lama, saat itu Dara sering ke rumah orang tua Revan karena dia berteman dengan Risya, adik Revan, hingga keluarga mereka menawarkan pekerjaan untuk Dara sebagai tukang bersih-bersih. 

Awalnya semua baik-baik saja, tetapi makin lama Revan gencar mendekati Dara hingga membuat Dara risih. Pun dengan Revan yang makin lama makin kurangajar hingga pertemuan mereka tidak pernah memberikan kesan baik. 

Di dalam kamar hotel Revan menatap darah yang berceceran di sprei. Setelahnya Revan menarik spreinya dengan kencang dan melemparkan asal. 

Revan Arjuna, pria berusia dua puluh sembilan tahun yang merupakan Dokter spesialis kanker yang memiliki perawakan tinggi tegap dengan kulit yang lumayan putih. Pria itu sudah lama mendambakan Dara untuk berada di bawah kungkungannya, tetapi Dara sangat susah didekati. Namun saat Dara sudah tunduk di bawahnya, perasaan Revan malah campur aduk tidak karuan. 

Revan tidak tau harus senang apa marah, dia senang karena mendapatkan Dara sebagai wanita yang tidak berdaya di bawahnya, tetapi juga marah karena dengan murahnya Dara mau dengannya hanya karena uang. 

Dara keluar dari hotel mewah itu dan berjalan tergesa-gesa menuju tempatnya bekerja. Selain menjadi tukang bersih-bersih di rumah orang tua Revan dan Risya, Dara bekerja di bar sebagai pelayan, meski dalam pekerjaannya tidak mudah, tetapi asal uangnya banyak Dara akan melakukannya. 

Sama halnya Risya, Dara juga lulus kuliah dengan gelar sarjana ekonomi, tetapi nasibnya tidak sebagus Risya yang bisa bekerja di perusahaan Ayahnya. Sedangkan Dara? Lebih dari dua puluh lamaran pekerjaan, satu pun tidak membuahkan hasil. Dara terus terjebak dalam lingkaran penuh maksiat.

 

Sesampainya di tempat kerja, Dara segera mengantarkan minuman untuk para pelanggan di kelas vip. Paras Dara yang cantik membuat banyak mata menyukainya, jadilah Dara berada di kelas atas untuk memanjakan para pria hidung belang berduit. 

 

“Silahkan dinikmati, Tuan,” ucap Dara meletakkan dua minuman di meja dua orang pria. 

 

“Berapa?” tanya pria itu kepada Dara. 

 

“Ayolah, dia tidak mau menjual tubuhnya. Aku sudah memintanya berkali-kali,” sahut salah satu pria asing itu. 

 

Dara menegakkan tubuhnya dan bersiap pergi, tetapi matanya terpaku kepada pria yang baru saja datang seraya menampilkan seringaiannya. 

 

“Siapa bilang dia tidak mau menjual tubuhnya?” tanya Revan seraya menaikkan sebelah alisnya. 

 

“Aku baru saja merasakannya,” tambah Revan segera duduk di samping dua temannya. 

 

“Waah, benarkah? Bagaimana rasanya?” tanya teman Revan seolah hal itu bukanlah pembicaraan yang tabu. 

 

Dara mengepalkan tangannya saat dia lagi dan lagi dilecehkan oleh pria-pria kaya itu. 

 

“Aku punya rekamannya bagaimana dia mendesah di bawahku,” ucap Revan membuat Dara membulatkan matanya. 

 

“Jangan sembarangan!” bentak Dara segera mendekati Revan. Sedangkan Revan hanya tertawa kecil. 

 

“Aku akan menyebarkan ke publik, pasti sangat menyenangkan ketika tubuhmu dinikmati banyak orang,” ucap Revan menatap Dara dari atas sampai bawah dengan pandangan mesumnya, bahkan pria itu juga menjilat bibirnya dengan sensual seolah dia akan melahap Dara hidup-hidup. 

 

“Kamu pria kejam yang pernah aku temui!” sentak Dara sambil menunjuk Revan. Dengan sigap Revan menarik tangan Dara dan mengarahkan ke tubuh bawahnya. 

 

“Tolong!” teriak Dara memanggil rekan-rekannya agar dia selamat dari manusia jahanam bernama Revan, tetapi tidak peduli bagaimana dia berteriak, satu pun temannya tidak ada yang menolongnya. 

 

“Nikmat sekali, Dara,” ucap Revan seraya mendesah pelan. 

 

Tadi Revan juga mengatakan tidak ingin bertemu Dara, tetapi nyatanya Revan tetap menyusul perempuan itu di tempatnya bekerja. Lagi dan lagi Dara merasa hina diperlakukan seperti ini oleh Revan. 

 

“Lepaskan aku!” pinta Dara. 

 

“Memohonlah dulu padaku!” pinta Revan. “Memohon seperti anjing kecil,” tambah Revan. 

 

Dara bersimpuh di lantai seraya tangannya masih dipegang oleh Revan. “Tu– Tuan, lepaskan aku!” pinta Revan. 

 

Revan tertawa terbahak-bahak melihat Dara, setelahnya pria itu melepaskan tangan Dara. “Inilah akibatnya kamu menolakku, Dara. Kemarin-kemarin kamu sok jual mahal, ternyata kamu semurah ini,” bisik Revan menendang tubuh Dara hingga Dara terjengkang. Tanpa memperdulikan sakitnya, perempuan itu bergegas pergi menjauhi Revan. 

 

**** 

 

Keesokan harinya merupakan hari pertama Revan dipindah tugaskan ke rumah sakit yang lebih besar di kotanya. Pria itu keliling kamar bersama beberapa perawat dan Dokter magang. 

 

Revan memasuki satu kamar yang diisi beberapa pasien kanker, baru juga masuk kamar, pria itu sudah disambut dengan anak kecil yang tengah kejang-kejang dengan hidung yang ada selang oksigen. Dokter jaga segera memberikan penanganan khusus untuk bocah itu. 

 

“Dokter, anak ini kenapa?” tanya Revan segera mendekat. 

 

“Anak ini menderita leukimia stadium tiga, kami sedang menunggu pihak keluarga membayar kemoterapi untuk melanjutkan prosedurnya,” jelas Dokter Arhan yang juga menangani kanker. 

 

“Kenapa harus menunggu pembayaran kalau keadaan pasien sudah seperti ini? Saya yang akan menanggung biayanya,” ujar Revan dengan tegas segera mengangkat anak itu untuk dibawa ke ruang kemoterapi. 

 

Revan berlari keluar kamar dengan tergesa-gesa, saat melewati ruang administrasi, pria itu melihat Dara di sana. Kebetulan Dara menatap ke arah Revan, mata perempuan itu membulat saat melihat adiknya dalam gendongan Revan. 

 

“Mau kau bawa kemana adikku?” tanya Dara menjerit karena takut adiknya diapa-apain oleh Revan. 

 

Revan tidak menanggapi dan membawa adik Dara ke ruang kemoterapi, pun dengan Arhan yang mengejar Revan. 

 

“Dokter Arhan, saya sudah membayar biaya kemoterapi dan rawat inap. Jangan usir adik saya!” teriak Dara yang kini mengejar dua Dokter itu. 

****

Dara menangis sesenggukan di depan ruang rawat adiknya, perempuan itu tidak sampai hati melihat keadaan adiknya pasca kemoterapi yang sejak tadi tidur dan kejang. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang, tetapi satu suap nasi pun Dara belum makan. 

 

Dari kejauhan seorang pria berjalan pelan seraya memasukkan kedua tangannya di kantong jas putihnya. Pria itu menatap Dara dengan pandangan yang sulit diartikan, selama Dara datang ke rumah orang tuanya, tidak pernah sekalipun Dara menceritakan tentang adik atau pun kehidupannya. Revan hanya mengira kalau Dara anak orang miskin, tetapi siapa sangka kalau kehidupan Dara terlalu komplek. 

 

Langkah Revan membawa pria itu untuk mendekat pada gadis cantik yang tengah menangis. “Ekhem.” Suara deheman tidak berhasil membuat Dara mendongak. 

 

“Ekhem.” Revan berdehem lagi, tetapi karena tidak mendapat respon dari Dara, Revan menepuk pundak perempuan itu. 

 

Dara tersentak, perempuan itu menatap Revan yang berdiri di depannya. “Ada apa?” tanya Dara yang raut wajahnya terlihat tidak bersahabat. 

 

“Bagaimana keadaan anakmu?” tanya Revan yang ikut sewot. “Anak dari Ayah yang mana?” tanya Revan lagi yang bibirnya mungkin hanya senang melukai hati Dara. 

 

Dara segera berdiri, perempuan itu menatap Revan dengan tatapan tajamnya. “Bukankah semalam kamu sendiri yang bilang kalau kamu yang berhasil mengambil keperawananku? Apa kamu mendadak bodoh sampai bertanya anak dari Ayah yang mana?” tanya Dara dengan tajam. 

 

Revan bersiap membuka bibirnya untuk membalas ucapan Dara, tetapi Dara nyelonong pergi begitu saja meninggalkan Revan. Saat memasuki ruang rawat, Dara melihat adiknya yang membuka mata. 

 

“Kai, kamu sudah bangun?” tanya Dara mendekati adiknya. 

 

“Mual,” rengek Kaivan manja. 

 

“Kamu mau makan apa biar Kakak belikan. Dimsum? donat? Atau mau makan jamur krispi?” tanya Dara. 

 

Kaivan menggeleng tanda dia tidak mau, bocah itu hanya berguling-guling di ranjang karena merasa perutnya sangat mual tetapi tidak bisa muntah. 

 

“Kamu masih sakit, kalau kamu tidak makan ususmu bisa dipotong,” seloroh Revan yang tidak ada lembut-lembutnya sama sekali. Kaivan yang baru menyadari kalau ada orang lain pun segera menatap ke sumber suara. Seketika Kaivan menutup wajahnya dengan dua telapak tangannya karena takut. Revan membulatkan matanya saat melihat respon Kaivan.

 

“Kai, makan dulu ya!” pinta Dara. 

 

“Gak mau … gak mau … pokok gak mau,” jawab Kaivan terus menolak. 

 

“Siapa yang tidak mau makan?” tanya seorang pria membuat Dara dan Revan menatap ke arah pintu. Dokter Arhan masuk seraya mengusung senyumnya. 

 

Mengenali suara Arhan, Kai langsung menurunkan dua tangannya dari wajah, “Dokter Arhan datang,” ucap Kai terlihat senang. 

 

“Ini, Om bawain kamu dimsum daging,” ujar Arhan dengan senang. 


“Aku mau makan … mau makan … mau makan!” pekik Kai senang. Dara mmbantu adiknya untuk duduk agar bisa makan. 

 

“Tadi kamu bilang gak mau makan,” seloroh Revan, Arhan menatap Revan dengan pandangan bingung, sedangkan Kai tidak menanggapi sama sekali. 

 

“Ada apa Dokter Revan masih di sini?” tanya Arhan. 

 

“Saya memastikan kalau anak itu dalam keadaan baik-baik saja. Sekarang Dokter yang menanganinya adalah saya,” jawab Revan. 

 

“Sekarang Kai sudah tidak apa-apa, silahkan Dokter Revan kembali memeriksa pasien selanjutnya!” pinta Arhan seraya tersenyum. Setelahnya cowok itu kembali fokus pada Kai untuk menyuapi anak itu makan. 

 

Sedangkan Revan mengepalkan tangannya dan segera pergi dari sana. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar ucapan Dara. 

 

“Dokter, terimakasih ya sudah membawakan makanan untuk Kai. Saya tidak tau harus bagaimana kalau tidak ada Dokter di sini, Dokter selalu membantuku,” ujar Dara tulus. 

 

“Tidak apa-apa, sudah semestinya saya membantu,” jawab Arhan. “Kalau kamu butuh bantuan, kamu bisa memanggil saya kapan saja,” tambah Arhan. 

 

Dara mengangguk senang karena bersyukur dipertemukan dengan Dokter sebaik Arhan, sedangkan Revan berdecih mendengar ucapan Dara. Dara bilang kalau tidak ada Arhan tidak tau nasibnya bagaimana, padahal Dara harusnya berterima kasih padanya, karena uang dari Revan bisa digunakan untuk kemoterapi. 

 

Revan melanjutkan keliling kamar untuk memeriksa pasiennya yang lain. Sedangkan Arhan dan Dara masih di ruang rawat Kaivan. 

 

“Om Dokter, bagaimana cara jadi Dokter?” tanya Kai dengan suara lucu nan menggemaskan. 

 

“Sekolah yang pintar, terus belajar yang rajin. Nanti kalau sudah besar, kamu pasti juga jadi Dokter,” jawab Revan. 

 

“Iya, nanti kalau sudah besar, aku akan jadi Dokter biar gak sakit lagi. Aku akan ke rumah sakit untuk menyembuhkan orang, bukan untuk jadi pasien,” ujar Kai dengan senang. Dara menghapus air matanya yang mendesak turun, perempuan itu mengusap puncak kepala adiknya dengan lembut. 

 

Dara merasa gagal menjadi seorang kakak yang tidak bisa menyenangkan adiknya. Dara masih punya Ayah, tetapi Ayahnya pun sakit-sakitan tidak mampu bekerja. Sedangkan Dara hanya bekerja yang uangnya sangat pas-pasan, padahal Dara sendiri ingin mengobatkan adiknya ke luar negeri agar adiknya cepat sehat seperti sebelumnya, tetapi semua terkendala dengan biaya. 

 

*****

 

Pukul lima sore Dara menghadapi adiknya yang rewel minta sekolah, Dara ingin berangkat kerja, tetapi tangannya ditahan oleh adiknya. 

 

“Kai, kamu di sini dulu. Nanti Kak Risya datang menjenguk kamu, sekarang Kakak harus bekerja,” ujar Dara menenangkan adiknya yang menangis. 

 

“Gak mau … pokok gak mau ditinggal,” jawab Kai kukuh. 

 

“Kalau Kakak gak bekerja, Kakak gak bisa beliin kamu makanan. Sekarang lepasin baju Kakak!” titah Dara. 

 

“Kakak bekerja terus tapi uangnya gak ngumpul-ngumpul. Kakak bilang akan menyekolahkanku, tapi aku gak sekolah-sekolah. Aku sudah lima tahun, Kakak. Aku pengen sekolah,” rengek Kai yang membuat air mata Dara kembali menggenang di pelupuk matanya. 

 

“Iya, nanti Kakak sekolahkan kamu. Sekarang biarkan Kakak bekerja dulu,” ucap Dara. 

 

“Bohong, Kakak pembohong!” pekik Kai yang kini bertambah menangis kencang. Dara melirik jam dinding yang mepet dengan jam kerjanya karena kebagian shift dua. 

 

“Kakak janji kali ini gak bohong. Besok Kakak bawa kamu ke sekolah,” ujar Dara membujuk. 

 

Bertepatan dengan itu Risya datang membawa banyak coklat dan mainan untuk Kaivan. “Dara, cepat pergi!” titah Risya. 

 

“Titip adikku dulu!” pinta Dara. Setelahnya perempuan itu segera melenggang pergi. Saat keluar ruang rawat, lagi dan lagi Dara harus berhadapan dengan orang yang sangat dia benci, siapa lagi kalau bukan Revan. 

 

Karena tidak mau meladeni Revan, Dara menghindari pria itu. Namun, tiba-tiba Dara merasa kakinya sangat lemah, perempuan itu hampir limbung. Untung dengan sigap Dara berhasil berpegangan pada tembok. 

 

“Dara, ayo ikut aku!” ajak Revan menarik tangan Dara. Dara menahan diri pertanda menolak. 

 

“Menurutlah, Dara!” desis Revan. 

 

“Setelah kemarin, kita tidak ada urusan lagi,” ujar Dara. 

 

“Ingatlah kalau foto-fotomu masih ada di hpku,” ucap Revan seraya menaikkan sebelah alisnya. 

 

“Apa maumu?” tanya Dara mendesis. 

 

“Ke mobilku sekarang!” titah Revan menarik paksa tangan Dara hingga Dara terseok-seok mengikuti langkah pria itu. Hingga sampai di parkiran, Revan memasukkan Dara ke mobilnya. 

 

“Duduk di situ sampai aku kembali! Kalau kamu berani keluar, tau sendiri akibatnya!” titah Revan sekaligus mengancam. 

 

Setelahnya Revan bergegas pergi, sedangkan Dara hanya mengepalkan tangannya dengan kuat karena dia tidak bisa melawan Revan. Dara takut kalau dia macam-macam Revan bisa menyebarkan aibnya. Tidak berapa lama Revan datang membawa satu kotak makanan. 

 

“Makan ini!” titah Revan. Dara menggeleng tanda dia tidak mau. “Aku takut isinya racun,” elak Dara. 

 

“Kalau aku mau membunuhmu, sudah kulakukan sejak kamu menolakku,” jawab Revan. 

 

Suara perut keroncongan berbunyi sampai di telinga Revan, pun dengan Dara yang sangat lapar. Dara menerima kotak makan itu dan memakannya dengan lahap. Tadi Dara seolah tidak mau, tetapi sekarang cewek itu makan seperti orang tidak makan tujuh hari. Revan menjalankan mobilnya sesekali melirik Dara yang masih makan. Hingga lambat laun makanan di kotak itu sudah habis, pun dengan Dara menerima air yang diberikan oleh Revan. 

 

Jam kerja Dara hampir masuk, kalau dalam lima menit Dara tidak sampai di tempatnya kerja, mungkin perempuan itu akan dipecat. Namun, bukannya meminta Revan cepat menjalankan mobil ke tempatnya kerja, Dara malah terlelap dalam tidurnya. 

 

Revan sampai di rumah pribadinya, pria itu turun dari mobil dan bergegas ke samping kemudi. Dengan mudah Revan membopong tubuh Dara dan membawanya masuk ke rumahnya. Revan lah yang membuat Dara tidur dengan mencampurkan obat tidur di air mineral yang diminum Dara. Pria tampan itu tidak berniat buruk pada Dara, hanya saja Revan ingin Dara istirahat malam ini. Karena yang Revan lihat sejak siang Dara hanya duduk menjaga adiknya, padahal semalam baru bekerja keras. 

 

****

 

Baru kali ini Dara merasa tidurnya sangat nyenyak. Kasur yang dia tiduri pun sangat empuk seperti bukan kasur miliknya, pun dengan harum yang sangat menenangkan menusuk hidung Dara. Kalau seperti ini rasa nyenyaknya tidur, Dara tidak ingin bangun. 

 

“Eum … nyenyaknya,” gumam Dara memeluk guling dengan erat. 

 

Revan yang tengah menggulung lengan kemejanya pun menatap Dara yang wajahnya berkali lipat lebih cantik saat tidur. Wajah perempuan itu terlihat sangat polos nan teduh, siapa yang tidak jatuh cinta dengan perempuan secantik itu?

 

Lambat laun Dara membuka matanya, pertama yang Dara lihat adalah ranjang putih bersih serta guling berwarna putih juga. 

 

“Aku dimana?” tanya Dara segera mendudukkan dirinya karena merasa ini bukan tempatnya, pun dia harusnya bekerja, tetapi malah terdampar di ranjang. 

 

“Syukurlah kamu sudah bangun, aku pikir kamu simulasi di alam barzah,” ujar Revan membuat Dara menoleh. Dara tercekat melihat Revan yang berdiri tidak jauh darinya tengah memakai kemeja dan rambut basah yang disisir rapi. Tiba-tiba pikiran Dara mengarah ke yang ‘iya-iya, buru-buru perempuan itu menatap seluruh tubuhnya. 

 

“Jangan harap aku memperkosamu, aku tidak akan melakukannya,” seloroh Revan. 

 

“Kenapa aku bisa di sini?” tanya Dara segera bangun dari ranjang. 

 

“Apa kamu yang membawaku kesini?” tanya Dara lagi. Hingga perempuan itu ingat kemarin dia naik mobil Revan, dengan cepat Dara mendekati pria yang terlihat tidak bersalah sama sekali itu. 

 

“Sebenarnya apa maumu?” tanya Dara berteriak. “Aku ingat kemarin aku berada di mobilmu dan makan dari makanan yang kamu bawa. Kamu pasti menjebakku di sini. Semalam aku harus bekerja, tapi gara-gara kamu, aku malah terdampar di sini. Bagaimana kalau aku dipecat!” Dara berteriak menggebu-gebu seraya mendorong tubuh Revan. 

 

“Aku merasa tidak pernah bersalah padamu, tapi kenapa kamu menargetkanku? Kenapa kamu membawaku dalam kesulitan?” 

 

“Mencari pekerjaan sekarang susah, aku sudah senang mendapatkan pekerjaan itu meski harus kau remehkan. Tapi sekarang kau hmphhh—” 

 

Ucapan Dara terhenti saat tiba-tiba Revan mencium bibirnya. Dara membulatkan matanya, apalagi saat merasakan tangan Revan merengkuh pinggangnya dengan erat. Seketika Dara merasa tubuhnya meremang. Dara mendorong tubuh Revan sekuat tenaga, tetapi rengkuhan tangan Revan sangat kuat. Dara tidak menyerah, perempuan itu terus mendorong tubuh Revan hingga ciuman mereka terlepas. 

 

Suara tamparan terdengar kencang di kamar yang luas itu sampai pipi Revan berpaling. “Laki-laki tidak bermoral!” bentak Dara. 

 

“Aku bukan kekasihmu, aku juga bukan perempuan sewaanmu lagi, jangan pernah menciumku sembarangan!” tambah Dara. 

 

“Maka itu jadilah istriku!” pinta Revan membuat Dara tercekat. 

 

Dara merasa semakin hari Revan semakin gila. Setelah menjadikannya perempuan sewaan, menciumnya dengan tiba-tiba, dan kini pria itu ingin menjadikannya istri. 

 

“Gila kamu,” maki Dara ingin pergi, tetapi tangannya ditahan oleh Revan. 

 

“Aku serius, Dara,” ujar Revan. 

 

“Aku menikah dengan laki-laki sepertimu? Cuih!” Dara meludahi tepat wajah Revan. 

 

Revan menatap Dara dengan pandangan tajam seolah akan melahap perempuan itu hidup-hidup. “Beraninya, kau!” desis Revan. 

 

“Kita hanya mengenal karena aku bersih-bersih di rumah orang tuamu, tetapi kamu sudah membawaku dalam banyak masalah. Kamu menyimpan video-video kita seolah aku yang memalukan di situ, kamu merendahkanku di hadapan teman-temanmu, dan sekarang kamu membuatku dipecat dari pekerjaan. Lalu aku harus menikah dengan laki-laki sepertimu? Jangan harap!” sentak Dara. 

 

Revan mencekik leher Dara membuat Dara merasa lehernya sakit seketika, perempuan itu berusaha melepaskan tangan Revan, tetapi Revan lebih kuat darinya. 

 

“Jangan percaya diri, Nona. Aku menikahimu bukan karena aku menyukaimu, tetapi hubungan timbal balik. Aku beruntung memiliki budak yang bisa telanjang setiap hari di hadapanku, dan kamu beruntung mendapatkan uang untuk transplantasi sumsung tulang belakang. Adikmu bisa sembuh kalau melakukan transplantasi, dan kamu membutuhkan setidaknya satu milyar untuk melakukannya,” bisik Revan. Setelahnya cowok itu melepas cekikan pada leher Dara. 

 

Dara terbatuk-batuk, perempuan itu menghindari pandangannya pada Revan. Kemarin Dara juga sudah diberitahu oleh Dokter Arhan kalau kemungkinan Kaivan sembuh sangat besar kalau melakukan transplantasi sumsum tulang belakang, tetapi biayanya sangat mahal membuat Dara tidak berani menyanggupi. Sekarang Revan menawarkan pernikahan padanya, bukan pernikahan, lebih tepatnya perbudakan. 

 

“Pikirkan itu, Nona!” titah Revan dengan senyum yang tersungging di bibirnya. Pria itu merasa puas karena satu langkah lagi dia akan mendapatkan Dara seutuhnya. 

 

“Oh iya, kalau kamu menikah denganku, kamu tidak perlu bekerja di tempat seperti itu lagi. Biarkan kamu murahan hanya di depanku,” tambah Revan seraya tertawa dengan suara yang terdengar sangat mengejek. 

 

Dara mengepalkan tangannya dengan kuat, hanya itu yang bisa Dara lakukan karena dia tidak punya kuasa untuk menghajar balik Revan. 

 

 ****

2. Menerima Tawaran

Dara menyambar tasnya dan bergegas keluar dari kamar Revan, sedangkan laki-laki itu keluar kamar lebih dahulu. Saat akan menuju pintu utama rumahnya, hp Dara berdering nyaring. Tergesa-gesa Dara mengambil benda pipih di tasnya, panggilan dari tetangganya. Dara mengangkat panggilan itu. 

 

“Ada apa, Mbak?” tanya Dara. 

 

“Mbak, Bapaknya dibawa ke rumah sakit karena pingsan di jalanan,” ujar seorang perempuan di seberang sana. 


Wajah Dara pucat pasi mendengar ucapan tetangganya, perempuan itu berlari menuju pintu utama, sayangnya saat membuka pintu, pintu itu tidak bisa terbuka. Dara berusaha membukanya berkali-kali, tetapi tetap saja tidak terbuka. 

 

“Buka pintunya, Revan!” teriak Dara dengan kencang membuat Revan yang tadinya di dapur langsung menghampiri Dara. 

 

“Kenapa tergesa-gesa?” tanya Revan seraya tersenyum. 

 

“Cepat buka pintunya, aku harus ke rumah sakit sekarang,” ujar Dara memaksa. 

 

“Adikmu baik-baik saja,” jawab Revan. 

 

“Bukan adikku, tapi Ayahku!” teriak Dara yang terus berusaha membuka pintu. Dara menangis seraya memohon belas kasih Revan agar Revan mau membukakan pintu. Melihat air mata Dara membuat Revan iba, pria itu segera memasukkan kunci ke pintu hingga pintu itu terbuka. 

 

“Ayo kuantar!” ajak Revan menarik tangan Dara dan mengajaknya ke mobilnya. Tadinya Revan ingin membuatkan sarapan untuk Dara meski hanya sekadar nasi dan telur, tetapi Dara malah teriak-teriak meminta dibukakan pintu. 

 

“Revan, cepetan!” pinta Dara. 

 

“Ini sudah cepat,” jawab Revan. 

 

“Lebih cepat lagi. Ayahku masuk rumah sakit hiks … hiks … hiks.” Dara berucap seraya menangis. Gadis itu merasa hidupnya sangat menyebalkan, adiknya beum sembuh dari sakit, bahkan baru melakukan kemoterapi, dan sekarang Ayahnya masuk rumah sakit juga. 

 

Sesampainya di rumah sakit, Dara berlari dengan kencang melewati lorong, sedangkan Revan ikut menyusul. Sesampainya di UGD, kaki Dara lemas seketika saat yang menangani Ayahnya adalah Dokter Arhan. Jantung Dara rasanya bertalu-talu karena memikirkan banyak hal tentang penyakit Ayahnya. 

 

Dara berpegangan pada pintu karena tidak bisa menyangga keseimbangan tubuhnya. Untung saja Revan datang tepat waktu, pria tampan itu menyangga tubuh gadis yang disukainya. 

 

“Dara, mana Ayah kamu?” tanya Revan. 

 

“Dokter Revan, saya sudah menanti Anda,” ucap Arhan menatap Revan yang baru datang. 

 

“Ada apa, Dokter?” tanya Revan mendekat sambil menuntun Dara. 

 

“Pasien ini mengalami muntah darah dan kerontokan rambut. Dua puluh tahun lalu pasien pernah masuk ke rumah sakit ini sebagai pasien Kanker tukak lambung, saat itu keberhasilan kemoterapi mencapai delapan puluh persen, dan sekarang sepertinya kanker itu muncul lagi,” jelas Arhan sambil memegang berkas dua puluh tahun lalu yang baru dicetak ulang. 

 

“Sudah dicek keseluruhan?” tanya Revan. 

 

“Baru masuk laboratorium, prosedur ct-scan dan lain-lain menunggu keluarganya,” jawab Arhan. 

 

Air mata Dara semakin tumpah ruah mendengar ucapan Dokter Arhan. Dia pernah mendengar cerita kalau Ayahnya juga mantan penderita kanker hingga menurunkan penyakit itu pada adiknya. Dara pikir penyakit Ayahnya tidak akan kambuh lagi, tetapi sekarang kanker itu kembali menggerogoti tubuh Ayahnya. 

 

“Dokter, apa yang harus saya lakukan sekarang?” tanya Dara yang sudah frustasi dengan kehidupannya. Cobaan datang bertubi-tubi, kalau dikata lelah, Dara sangat lelah, tetapi kalau bukan dia yang berjuang demi Ayah dan adiknya, lalu siapa lagi? 

 

“Dara, kamu ke ruangan adikmu dulu. Ayahmu sudah ditangani dan menunggu hasil pemeriksaan,” ujar Revan. 

 

“Kapan Ayahku bangun?” tanya Dara sesenggukan. 

 

Arhan cukup kaget saat mendengar bahwa pasien yang baru dia tangani adalah Ayah Dara. Dokter Arhan mendekat pada Dara membuat mata Revan menatap tajam rekan Dokternya itu. 

 

“Dara, percayakan semuanya pada Dokter!” pinta Arhan ingin menepuk pundak Dara untuk menguatkan Dara. Namun, dengan sigap Revan menarik tangan Dara dan mengajaknya keluar dari sana. Tangan Arhan yang sudah terangkat kini hanya menggantung karena Revan. 

 

“Dara, Ayahmu akan baik-baik saja. Soal pembayaran—” 

 

“Aku terima penawaranmu,” ujar Dara dengan cepat menyela ucapan Revan. Revan menghentikan langkahnya sejenak, pria itu menatap Dara dengan lekat. 

 

“Aku menerima tawaranmu menjadi istrimu, Revan. Aku janji aku tidak banyak tingkah, aku akan melakukan apapun yang kamu inginkan. Mau kamu memperlakukanku bagaimana aku tidak akan protes, tapi tolong aku! Aku mohon tolong adik dan Ayahku!” pinta Dara bertubi-tubi. 

 

“Aku hanya punya mereka yang aku sayangi. Dengan keadaanku yang seperti ini aku sudah tidak bisa apa-apa lagi selain meminta bantuanmu. Aku— aku hiks hiks hiks.” Ucapan Dara terhenti saat tangisan tidak dapat dia bendung. Dara benci dengan dirinya sendiri yang terlihat murahan di hadapan pria yang sering merendahkannya, tetapi Dara tidak ada pilihan lain. 

 

Selain menjadi Dokter, Revan seorang pengusaha tambang yang diam saja uangnya banyak. Dara yakin dengan dia merendahkan diri pada Revan, Revan akan membantunya. 

 

“Aku mohon, Revan. Bantu aku hiks hiks hiks. Aku janji akan—” 

 

Ucapan Dara terhenti saat Revan memeluknya dengan erat. Revan mendekap tubuh Dara seraya mengelus punggung perempuan itu untuk menenangkan. 

 

Sudah lama Revan mendambakan hal ini, sudah sangat lama dia ingin dirinya dekat dengan Dara. Namun, Dara selalu jual mahal kepadanya sampai Revan membenci perempuan itu. Rasa suka Revan sulit diutarakan hingga hanya kata-kata jahat dan tindakan kejam yang bisa dilakukan pria itu. 

 

Tubuh Dara terasa membeku saat Revan memeluk tubuhnya, apalagi tubuhnya seolah tenggelam dalam besarnya tubuh Revan. 

 

Dara sudah tau semua bentuk tubuh Revan saat pria itu telanjang, tetapi baru kali ini Dara merasakan jantungnya bertalu-talu saat dalam dekap hangat pria itu. 

 

“Kakak, Dara,” panggil Risya membuat Revan dan Dara menoleh. Buru-buru keduanya melepas pelukan masing-masing dan sedikit menjauhkan diri. 

 

“Risya,” panggil Dara balik yang kini sangat takut Risya mendengar ucapannya dengan Revan. Meski dia kenal dekat dengan Risya, tetapi Dara takut kalau Risya menganggapnya murahan. 

 

“Dara, kenapa kamu menangis? Apa yang dilakukan Kakakku padamu?” tanya Risya memegang pundak Dara. 

 

“Risya, jaga Kakak iparmu, Kakak mau kerja dulu!” titah Revan pada Risya membuat Risya terbengong. Gadis itu menatap Dara dan Revan bergantian. 

“Apa maksudnya ini?” tanya Risya bingung. Revan tidak menjawab apa-apa, pria itu nyelonong pergi begitu saja untuk melakukan pekerjaannya, sedangkan Dara hanya bisa menundukkan kepalanya. 

****

 

“Dara, katakan apa maksudnya tadi!” titah Risya seraya mondar-mandir di ruang rawat Kaivan yang kini sudah berpindah di ruang Vip. 

 

“Tadi Kakaku bilang aku harus menjaga Kakak ipar, dan di sana hanya ada kamu. Kalau bukan kamu, siapa lagi Kakak iparku?” tanya Risya lagi. Kaivan yang memegang mobil mainan pun bingung melihat Kak Risya dan Kakaknya. 

 

“Dara, kenapa kamu diam saja?” tanya Risya membuat Dara tersentak. 


Dara menatap Risya, “Risya, maafkan aku yang sudah lancang jadi Kakak iparmu. Aku tau kalau aku hanya perempuan biasa yang tidak ada apa-apanya daripada keluarga kamu. Aku juga tau kalau aku tidak cocok jadi istri Kakakmu, tapi aku … aku ….” 


“Kamu mau jadi istri Kakakku beneran?” tanya Risya berbinar senang. Tanpa aba-aba Risya memeluk tubuh Dara dengan erat membuat Dara kaget. Pelukan Risya yang kencang membuat Dara sesak. 


“Kenapa kamu tidak mengatakan apa-apa padaku saat dekat dengan Kakakku? Dari dulu aku senang sekali saat melihat Kakakku kelihatan menyukaimu. Aku pikir Kakakku cupu tidak berani menyatakan rasa sukanya padamu, Kakakku yang kupikir cupu nyatanya suhu. Jadi kapan kamu mulai pacaran sama dia? Lalu apa rencana masa depan kalian? Dan kapan kalian akan menikah?” tanya Risya bertubi-tubi dengan semangat. Dara mengerjapkan matanya mendengar ucapan Risya. Dara pikir dia tidak akan mendapatkan restu dari Risya, tetapi dugaan Dara salah besar. 

 

“Dara, aku sangat ingin kalian berdua bersama sejak dulu. Aku senang sekali kamu jadi Kakakku, bagiku tidak ada yang cocok dengan Kakakku kecuali kamu,” ujar Risya yang kini kembali memeluk tubuh Dara. 

 

“Aku juga mau dipeluk,” rengek Kaivan cemberut saat dua perempuan itu tidak ada yang menganggapnya. 

 

Risya segera melepas pelukannya dengan Dara dan menghampiri adik Dara yang sudah dia anggap adiknya sendiri. “Sini Kakak peluk,” ujar Risya. Kaivan merentangkan tangannya dan membalas pelukan Risya. 

 

“Karena kamu anak baik, kamu dapat bonus ciuman dari Kakak,” kata Risya mencium pipi Kaivan bertubi-tubi membuat Kaivan terkikik geli. 

 

“Kalau sama cewek cantik saja mau peluk,” ejek Dara menghampiri adiknya. 

 

“Kak Risya memang Kakak tercantik,” puji Kaivan membuat Dara mendengus, sedangkan Kaivan menjulurkan lidahnya pada sang Kakak. 

 

Dara mengelus puncak kepala Kaivan, kini Dara bisa sedikit bernapas lega karena dia yakin adiknya akan sembuh kalau Revan membantunya. Tidak peduli kalau dia harus kehilangan harga diri dan seluruh tubuhnya, Dara hanya ingin adik dan Ayahnya sembuh. Dari awal dia memang sudah tidak punya masa depan, jadi tidak ada gunanya kalau Dara masih naif tidak mau dengan bantuan Kaivan. 


Dara semakin mengelus kepala Kaivan, elusan tangan Dara sangat lembut sampai membuat Kaivan mengeluh ngantuk. Namun, saat tangan Dara menjauh dari kepala bocah itu, tangan Dara penuh dengan rontokan rambut sang adik. 

 

“Kakak jangan elus lagi, aku tuh jadi ngantuk,” keluh Kaivan. 

 

Buru-buru Dara menyembunyikan rontokan rambut adiknya di saku celananya. “Iya, Kakak gak ngelus lagi. Sekarang kamu mau makan apa?” tanya Dara. 

 

“Makan ayam goreng pedas, susu manis, mau mochi, mau roti gulung,” oceh Kaivan bertubi-tubi. 

 

“Kai, gak boleh makan itu semua,” tegur Dara. 

 

“Terus makan apa dong?” tanya Kaivan bersungut-sungut. 

 

“Makan sayur yang banyak, minum air putih yang banyak, susu kedelai,” jawab Dara. 

 

“Aku sudah bosan, Kak. Aku mau yang enak-enak,” rengek Kaivan yang mulai rewel. 

 

“Mau makan ayam pedas, mau makan mochi,” rengek Kaivan lagi yang kini mulai guling-guling di ranjang. bagaimana pun juga Kaivan masih bocah berusia lima tahun yang kemauannya ingin selalu dituruti. 

 

“Kakak, aku mau mamam itu pokoknya itu!” pinta Kaivan marah. 

 

“Kalau kamu masih mau makan itu, nanti disamperin Dokter Revan,” ujar Dara membuat Kaivan menarik selimut dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut karena takut. 

 

Risya tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Dara yang sukses membuat Kaivan takut. 

 

“Kakak, jangan panggil Dokter itu!” pinta Kaivan. 

 

“Ya makanya jangan minta aneh-aneh, kamu harus makan banyak sayur biar cepat sembuh,” jelas Dara. Dari balik selimutnya Kaivan mengangguk. 

 

“Dokter Revan tidak ada di sini kan?” tanya Kaivan memastikan. Bocah itu takut kalau membuka selimut tiba-tiba ada Revan di sini. 

 

“Gak ada,” jawab Risya. Kaivan menurunkan selimutnya pelan-pelan untuk meyakinkan bahwa Revan memang tidak ada di sana. Setelah tidak melihat Dokter berwajah ganteng itu, Kaivan langsung bernapas lega. 

 

Dara menggeleng pelan melihat tingkah adiknya. Jangankan Kaivan, Dara saja takut pada Revan saat Revan mode menyeramkan. 

 

*****

 

Malam ini Dara berdandan cantik memakai dres yang dibelikan oleh Revan. Revan memaksanya memakai dres itu dan kini mereka dalam perjalanan menuju ke rumah orang tua Revan atau tempat yang biasa Dara kunjungi untuk dibersihkan. 

 

Ayah Dara sudah dipindahkan ke ruang perawatan dan besok melakukan kemoterapi. Hasil pemeriksaan menyatakan kalau Ayah Dara mengalami kanker stadium dua. 

 

“Dara, kita akan menemui orang tuaku untuk meminta izin menikah,” ucap Revan. Dara mengangguk, perempuan itu meremas tangannya sendiri karena gugup. Meski Dara sudah sering bertemu dengan orang tua Revan, tetapi dia datang hanya sebagai teman Risya sekaligus tukang bersih-bersih, sedangkan sekarang menjadi calon menantu. 

 

Tidak beberapa lama mereka sampai di rumah yang lumayan besar. “Ayo turun!” ajak Revan yang diangguki oleh Dara. 

 

Kini Revan dan Dara berjalan beriringan menuju ke rumah mewah yang pintunya terbuka lebar. 

 

“Revan, masih ingat rumah Ibu ternyata,” ujar Selin setengah menyindir saat melihat anaknya. Selin mengerutkan dahinya saat melihat Dara di samping Revan. 

 

“Bu, aku mau ngomong,” ucap Revan. 

 

“Ngomong saja!” titah Selin. 

 

“Ayo duduk dulu, Bu!” pinta Revan yang mempersilahkan Ibunya duduk di sofa, pun dengan Revan yang ikut duduk bersama Dara. 

 

Perasaan Dara sangat gelisah karena takut kehadirannya ditolak oleh Ibu Revan. 

 

“Ayah dimana, Bu?” tanya Revan. 

 

“Ayahmu belum pulang. Kalau kamu mau bicara, cepat bicara saja!” titah Selin. 

 

“Aku mau menikah sama Dara,” ucap Revan membuat Selin tercekat. Selin menatap Dara dari atas sampai bawah membuat Dara kikuk. 

 

“Revan, ini gak lucu,” ucap Selin. 

 

“Aku serius, Bu. Aku mau menikah sama Dara dalam waktu cepat,” ujar Revan yakin. 

 

“Revan, Ibu sangat menyukai Dara. Dia gadis yang baik, setiap kali dia kesini Ibu selalu terhibur dengan pribadinya yang ceria. Tapi kamu jangan melempar kotoran di wajah Ibu, setiap Ibu menginginkan yang terbaik untuk anaknya, termasuk Ibu. Ibu ingin masa depan kamu cerah, memilih istri yang gap profesinya tidak jauh karena kesetaraan itu penting,” jelas Selin membuat Dara menarik napasnya dalam-dalam. 

 

Peribahasa yang digunakan Selin sukses membuat hati Dara bagai diremas-remas. Menikah dengannya sama saja Revan melempar kotoran di wajah Ibunya, dalam artian Dara sangat menjijikkan. 

 

“Revan, Ayahmu seorang pengusaha, Ibumu Dokter. Kamu juga seorang Dokter, masih banyak perempuan lain yang seprofesi. Kalau Ibu, maunya satu profesi atau tidak sama sekali,” tambah Selin. 

 

****

Dara merasa hidupnya sungguh mengenaskan, adiknya belum sembuh dari kanker, kini kanker Ayahnya kambuh lagi, pun dengan orang yang sangat dia hormati kini menghinanya. Mungkin bahasa Selin masih halus mengatakan kalau Revan harus menikah dengan sesama Dokter, tetapi itu sukses membuat Dara merasa rendah diri. 

 

“Hei, kamu belum menceritakan tentang hubunganmu dan Kakakku. Bagaimana awal mulanya kamu jadi suka sama dia? Bukankah kamu sering sinis sama dia? Apa yang membuatmu menyukainya?” tanya Risya bertubi-tubi sudah seperti wartawan saja. 


Saat ini Dara dan Risya berada di mall, Risya lah yang memaksa Dara ikut karena gadis itu ingin menghibur calon kakak iparnya yang kelihatan sedih. 

 

“Aku dengar kalian ke rumah orang tuaku. Bagaimana? Ibuku setuju kan?” tanya Risya. 


Dara hanya diam mendengar ucapan teman baiknya. Gadis itu di ambang kebingungan antara mengatakan yang sebenarnya atau tidak. 

 

“Haiyah, pasti Ibuku setuju,” ucap Risya merangkul lebih erat pundak Dara sampai Dara mengaduh. 

 

“Kamu jangan kasar-kasar kayak Kakakmu dong!” keluh Dara yang badannya sakit semua karena dirangkul erat oleh Risya.


Risya yang awalnya semangat mengajak jalan teman baiknya langsung menghentikan langkahnya. “Kakakku kasar sama kamu?” tanya Risya membulatkan matanya. Dara yang menyadari salah bicara pun langsung menggeleng.

 

“Enggak, maksudku kalau dia lagi marah baru kasar,” bisik Dara.

 

“Bilang saja padaku kalau dia kasar, aku akan menghajarnya sampai babak belur,” ucap Risya. “Tapi kayaknya dia gak akan kasar sama kamu. Dia itu suka sama kamu, bahkan aku pernah lihat di kamarnya ada fotomu. Aaah … aku ingin ada laki-laki yang terobsesi padaku,” oceh Risya bertubi-tubi.

 

Dara hanya tersenyum tipis, sekarang Dara tidak percaya dengan ucapan Risya yang mengatakan kalau Revan menyukainya. Karena bagi Dara, Revan hanya ingin balas dendam dengannya karena Revan pernah dia tolak.

 

“Aku jamin hidupmu akan bahagia Dara. Punya suami kayak Kakaku yang suka sama kamu, mertua yang baik dan adik ipar sebaik aku,” ucap Risya penuh percaya diri.

 

“Mungkin di kehidupan sebelumnya aku pernah menyelamatkan galaksi, makanya sekarang sangat beruntung,” jawab Dara seraya tertawa geli.

Di sisi lain Revan tengah menentang dua kantong belanjaan yang berisi banyak makanan ringan. Pria itu masuk ke ruang rawat Kaivan. Baru juga masuk, dia sudah disuguhi oleh rekan Dokternya yang super caper.

“Lihat ini, robotnya jalan sendiri,” ucap Arhan menunjuk robot yang dia belikan untuk Kaivan.

“Wah, bagus banget. Dokter Arhan terhebat!” pekik Kaivan bertepuk tangan dengan senang.

“Ekhem.” Revan berdehem pelan membuat Arhan dan Kai menatap ke arahnya. Buru-buru Kai mengambil bantal dan menutupkan ke wajahnya seolah ketakutan.

Revan tidak terima melihat Kai yang selalu berlagak ketakutan melihatnya.

“Kai, jangan takut, itu Dokter Revan,” bisik Arhan.

“Takut,” rengek Kaivan.

“Kai, Kakak bawain kamu makanan enak,” ucap Revan mencoba mencuri hati Kaivan.

“Gak mau … gak mau … gak mau,” jawab Kai yang kini menghentak-hentakkan kakinya di ranjang.

“Kai, Kakak gak jahat sama kamu. Sini!” pinta Revan menarik bantal Kaivan.


”Aaaa … gak mau! Kak Dara, tolong!” pekik Kaivan seketika tantrum.

“Dokter, tolong jangan paksa Kaivan!” pinta Arhan.

“Saya yang lebih tau apa yang harus saya lakukan,” jawab Revan.

“Saya Dokter yang menanganinya,” ucap Arhan.

“Tapi sekarang saya yang menanganinya!” desis Revan.

“Saya tau kondisi psikisnya,” ujar Arhan tidak mau mengalah.
”Sekarang seluruh hidupnya tanggung jawab saya!” bentak Revan yang keras kepala. Kini dua dokter muda itu saling menatap tajam satu sama lain.

Dari mata Revan terlihat sorot permusuhan untuk Arhan, sedangkan Kaivan yang melihat dua orang bertengkar semakin menutup matanya.

“Keluar dari sini!” titah Revan dengan tajam.

“Aku gak mau Om Dokter keluar. Aku mau Om di sini … hiks hiks hiks.” Kaivan menarik tangan Arhan agar tidak pergi.

Revan yang kesal pun membanting dua kantung belanjaannya ke lantai hingga menimbulkan suara keras. Perasaan Revan sangat panas melihat calon adik iparnya lebih suka pada Arhan daripada dirinya.

“Ihhh ngerinya,” keluh Kaivan membuat Revan bertambah kesal. Tanpa sepatah kata Revan pergi meninggalkan Kaivan dan Arhan.

Revan keluar dari ruangan adik iparnya, sesampainya di luar pria itu menghubungi Dara. Sayangnya Dara susah dihubungi membuat Revan bertambah kesal.

Kesabaran Revan sangatlah sedikit, tetapi orang-orang seolah senang membuatnya kesal. Sejak kemarin tekanan darah Revan sudah tinggi karena Ibunya tidak merestui hubungannya dengan Dara, caper sama Kaivan malah dia ditakuti seolah setan, sekarang menghubungi Dara juga tidak bisa.

Hingga setelah beberapa saat panggilan pun terhubung.

“Ha---”

“Kenapa baru mengangkat sekarang?” tanya Revan membentak tatkala Dara masih membuka sepatah kata.

“Aku tidak mendengar panggilanmu, ini lagi di mall sama Risya,” jawab Dara dengan suara bergetar.

“Dalam lima belas menit tidak sampai rumahku, kamu akan tau akibatnya!” desis Revan mengancam.
”Tapi aku masih---”

“Nyawa adikmu taruhannya,” tambah Revan. Setelahnya laki-laki itu segera mematikan sambungan teleponnya.

Revan bergegas pergi dari rumah sakit karena jam kerjanya sudah habis. Di sisi lain Dara meninggalkan Risya seorang diri karena takut ancaman Revan benar-benar dilakukan oleh laki-laki itu.

“Dara, tunggu aku!” teriak Risya.

“Risya, maafkan aku. Aku ada kepentingan hidup dan mati!” teriak Dara berlari sangat cepat. Dara merasa sial karena Revan menelfonnya secara mendadak, untung saja ada tukang ojek yang bisa mengantar ke rumah Revan. 

Sepanjang jalan Dara sangat was-was, beberapa kali juga perempuan itu menatap ke jam tangannya untuk memastikan dia tidak terlambat. 

“Pak, bisa agak cepat, Pak?” tanya Dara memaksa. 

“Ini motor, bukan pesawat tempur,” jawab tukang ojek. 

“Saya tambahin deh, Pak, tarifnya. Yang penting cepat sampai,” ujar Dara panik. 

“Siap kalau begitu,” jawab tukang ojek yang kini menarik gasnya lebih cepat agar cepat sampai tujuan. Dara menatap ke jam tangannya, tinggal lima menit lagi dan perjalanan masih jauh. 

Hingga setelah beberapa saat akhirnya Dara sampai di depan rumah pribadi Revan, pun dengan Dara yang memberikan tambahan pada tukang ojek. 

Pintu rumah Revan tidak terkunci membuat Dara langsung nyelonong masuk. “Revan,” panggil Dara dengan napas tersengal-sengal. Dara tersentak saat melihat Revan berada di sofa tidak jauh darinya seraya bertelanjang dada. Tubuh Revan yang bagus sebenarnya tipe idaman Dara, tetapi karena sifat cowok itu yang jahat, Dara jadi biasa saja dengan laki-laki itu. 

“Buka semua bajumu dan merangkak kemari!” titah Revan dengan senyum menawan di bibirnya. 

Dara menggeleng tanda tidak mau, sedangkan Revan menaikkan alisnya tanda tidak suka dengan penolakan Dara. 

“Cepat kemari, anjing kecil! Telanjang dan merangkak!” titah Revan lagi. 

“Tolong jangan seperti ini!” pinta Dara. 

Revan yang tidak sabar pun segera berdiri, pria itu mendorong tubuh Dara hingga terjerembab di sofa. Belum juga bangun, leher belakang Dara sudah ditahan oleh Revan. 

“Akhh!” Dara mengaduh kesakitan karena cengkraman tangan Revan yang begitu kuat. 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Pelan Aja, Mas! (Bab 37,38, 39, 40)
0
0
Pak, udah gandengannya, malu dilihatin orang, bisik Eci berusaha melepas gandengan tangan Kukuh. Bilang saja kalau gandenganku nyaman, gak usah sok bilang malu, jawab Kukuh. Semua orang yang kebetulan berpapasan hanya terkikik geli mendengar pembicaraan dua anak manusia yang tengah dirundung kasmaran.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan