
Rasanya begitu cepat. Bapak seperti kejang. Sedikit. Sebentar. Dan hanya sesaat. Waktu terasa begitu cepat. Lebih cepat dari respon tubuh masing-masing orang di ruangan itu..
************************
When you lose someone you love..
Happy Reading Bebs!!
Terik panas siang ini begitu menyengat kulit. Nala bersama dengan Garin, Eko, dan beberapa teknisi lain sedang mengecek jembatan timbang yang ada di area parkir truk di tempat kerjanya.
Meskipun telah memakai topi dan baju panjang menutup tubuh, tapi tetap saja terik matahari siang ini tau di mana tempat yang masih bisa dia cubit dengan sinarnya yang menyilaukan.
"Naikkan beban pak!" teriak Nala pada bapak operator forklift yang membawa muatan untuk kalibrasi jembatan timbang, saat handphone Nala kemudian berdering.
"Mas Eko, tolong dong, ibu aku telpon." Nala menyerahkan bolpen kepada Eko agar menggantikannya mencatat data.
"Assalamualaikum Ibu."
“Waalaikumsalam.”
"Nduk, bapakmu minta ke rumah sakit saja katanya sakitnya semakin terasa. Ibu diantar sama adikmu ya. Kamu nanti menyusul saja sepulang kerja." Lanjut ibu.
"Nggeh bu. Bapak mboten nopo-nopo ta?" Tanya nala khawatir.
(Iya bu. Bapak tidak apa-apa kan?)
"Ndak popo, ndak usah kuatir. Kamu kerja saja." Jawab ibu menenangkan, namun tetap saja Nala tidak bisa tenang.
(Tidak apa-apa, tidak perlu khawatir.)
Nala menutup telponnya, berusaha mengatur napas dan meredakan perasaannya yang tidak tentu.
Saat berangkat kerja tadi pagi, bapak memang mengeluh sakit di dadanya. Kata bapak, mungkin asam lambungnya naik, karena banyak pikiran. Beberapa hari ini bapak memang bercerita kalau akreditasi di sekolah tempat bapak mengajar sedikit ruwet. Membuat bapak harus begadang beberapa hari untuk menyelesaikan berkas syarat akreditasi yang masih belum relevan.
"Ada apa?" Garin bertanya karena melihat ada yang berubah dari ekspresi wajah Nala.
"Bapak aku masuk rumah sakit pak."
"Mau ijin pulang? Nanti biar aku yang bilang ke pak Hendrik."
"Boleh?" Nala langsung menengadah menatap Garin yang jauh lebih tinggi darinya. Ada perasaan berharap dalam nada suaranya.
"Pulang saja. Ijin dulu ke HR ya. Bilang Pak Hendrik sudah tau." tegas Garin.
Nala mengangguk dan bergegas pergi.
Garin langsung menelpon pak Hendrik dan memintakan ijin untuk Nala. Mengambil alih semua pekerjaan Nala untuk kalibrasi. Dan memastikan semuanya sesuai target.
Nala langsung pergi menuju ke rumah sakit.
Sesampainya di sana, bapak sudah ada di kamar perawatan dan menunggu visit dokter spesialis penyakit dalam.
"Ndak usah kuatir nduk." Ucap bapak menenangkan. (Tidak perlu khawatir anakku)
Bapak tau betapa khawatirnya Nala. Nala adalah putri bapak satu-satunya, dan yang paling dekat dengan bapak. Bagi Nala, bapak adalah segalanya. Tempat Nala merasa dicintai, tempat Nala berkeluh kesah, orang yang selalu bisa Nala andalkan.
Nala merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak dan adiknya adalah laki-laki. Kakak Nala sudah berkeluarga dan menetap di Bekasi. Sedangkan adik Nala masih menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi di Surabaya.
"Kata dokter di UGD tadi, kadar gula bapak naik, dan iya asam lambung juga naik. Sekarang ini diminta untuk menunggu dokter spesialisnya, sebentar lagi datang." Bara, adik Nala, berusaha menjelaskan pada kakaknya yang terlihat sangat cemas.
“Nanti malam biar aku yang jaga. Ibu sama mbak Nala pulang saja, kan besok mbak harus kerja.” Lanjut Bara.
"Aku mau sama bapak."
"Terus besok?"
"Gak papa aku berangkat kerja dari rumah sakit aja. Tolong bawakan baju ganti mbak saja ya Bar." Pinta Nala. Bara mengangguk, tidak tega melihat kakaknya itu.
Malam ini Nala dan Ibu yang menemani bapak di rumah sakit. Tadinya Nala dan Bara meminta ibu untuk menunggu di rumah saja. Tapi memisahkan dua sejoli ini bukanlah hal yang mudah.
Peraturan rumah sakit yang hanya mengijinkan pasien ditunggu oleh satu orang saja, membuat Nala dan Bara harus bernegosiasi penuh dengan perawat dan dokter jaga.
“Ibu tunggu di rumah saja ya? Biar Nala yang jaga bapak.”
“Ndak mau, nduk. Ibu sama bapak pokok e.”
“Ndak boleh sama rumah sakit bu kalau dua orang. Bolehnya cuma satu orang saja.” Nala mencoba menjelaskan pada ibu.
“Ya Nala ae yang pulang. Ibu sama bapak di sini.” Ibu adalah wanita yang keras kepala, apalagi jika berhubungan dengan orang yang beliau cintai.
“Nanti ibu sakit kalau kecapekan..” Nala masih berusaha membujuk ibunya.
“Ndak mau, nduk. Ibu sama bapak!” Baiklah, kalau sudah seperti ini, pasti tidak mudah.
“Suster lihat sendiri kan?” Bara yang sengaja mengajak perawat agar bisa melihat sendiri bagaimana kerasnya ibu mereka yang tidak mau dipisahkan dari bapak, apalagi dengan kondisi bapak yang sedang sakit.
“Kalau cuma berdua, kami kuatir ibu nanti kecapekan, sus. Boleh ya, sus, ditunggu sama satu anaknya juga?” Bara membujuk dan memohon pengertian dari perawat rumah sakit.
“Masnya nanti sampaikan juga ke dokter jaga ya. Nanti saya bantu ngomongnya. Yang bisa memberi ijin dokter jaga soalnya. Kalau saya belum berani, mas.”
“Siap, sus. Terima kasih ya.”
Syukurlah pihak rumah sakit akhirnya mengijinkan. Nala dan Bara membuat para perawat juga tidak kuasa memisahkan sepasang suami istri itu. Serta berhasil meyakinkan dokter jaga saat itu.
Melihat tatapan sendu bapak dan ibu, saat mencoba membujuk ibu agar mau menunggu di rumah saja, membuat siapa pun pasti tau bahwa cinta sejati itu ada di dunia nyata.
Nala membagi tugas dengan Bara. Nala yang menemani bapak dan ibu saat malam hari. Dan Bara yang akan menggantikannya saat pagi kala Nala bersiap untuk berangkat bekerja. Sepulang kerja, Nala akan langsung kembali ke rumah sakit.
Dua malam dilewati Nala bermalam di rumah sakit dan dilanjut bekerja keesokan harinya, membuat Nala menyerah pada hari ketiga. Badannya demam karena kelelahan. Terpaksa Nala harus menurut untuk beristirahat di rumah.
Sore itu sepulang kerja, Garin mampir ke rumah Nala membawakan bubur ayam dan beberapa buah untuk Nala.
"Bapak gimana?" Tanya Garin.
"Masih belum membaik." Wajah Nala sungguh lesu. Garin tak tega melihat Nala sesedih itu. Ditepuknya perlahan bahu kanan Nala. Berupaya sedikit saja meredakan kecemasannya.
"Aku mau tengok bapak. Pak Garin antarkan aku ya?"
"Kamu kan masih sakit?!"
"Aku gak papa!"
Garin benar-benar tidak tega melihat Nala.
"Ya sudah ayok. Tapi nanti langsung pulang lagi ya!" Nala mengangguk setuju.
“Itu dihabiskan dulu makanan kamu!”
Setelah Nala menghabiskan semangkuk bubur ayamnya, mereka berdua bersiap untuk menuju ke rumah sakit.
Begitu sampai di kamar perawatan Edelweiss 5, ada Bara dan ibu di sebelah bapak, sedang memijit ringan kaki bapak.
“Assalamualaikum." Nala yang terlebih dahulu masuk ke dalam ruangan. Disusul Garin di belakangnya.
“Waalaikumsalam.” Nala mencium tangan ibunya dan memperkenalkan Garin pada ibu dan Bara.
“Ini pak Garin, bu. Teman kerja Nala. Tadi mampir ke rumah untuk tengok bapak. Terus Nala minta antarkan ke sini.”
“Maaf ya, nak. Jadi merepotkan. Mengantar Nala ke rumah sakit.”
“Tidak apa-apa, bu.” Garin mencium tangan ibunya Nala dan menyapa Bara.
Nala mendekat ke bapak, berusaha tersenyum di depan bapak yang semakin kurus. Empat hari di rumah sakit sudah menguras begitu banyak berat badan bapak. Sedih Nala melihatnya. Namun disembunyikannya dengan tetap tersenyum.
Dipegangnya tangan bapak yang terlihat semakin kurus dan memucat.
"Bapak, ini teman Nala di kantor. Namanya Pak Garin. Pak Garin ini baik banget sama Nala, sering bantuin Nala, ngajarin Nala, ditebengin pas pulang kerja juga hehee.." Nala memperkenalkan Garin pada bapak.
"Assalamualaikum bapak." Garin mendekat dan tersenyum. Dibalas senyuman oleh bapak.
Meski sedang sakit bapak Nala sungguh ramah. Ternyata keramahan Nala menurun dari bapaknya.
"Nitip Nala ya mas." Ucap bapak pelan.
Sepertinya hanya Garin yang mendengar, karena sedang berada persis di sebelah bapak. Nala berada di belakang Garin sedang berbicara dengan Bara, dan ibu yang masih asik memijat kaki bapak. Garin cukup tertegun. Entah kenapa Garin merasa seperti ada makna tersirat dari satu kalimat pendek itu. Garin hanya bisa tersenyum dan mengangguk, Garin bingung harus menjawab apa.
Perawat datang untuk mengganti infus dan menyuntikkan obat. Hal yang tidak pernah terduga tiba-tiba terjadi. Rasanya begitu cepat. Bapak seperti kejang. Sedikit. Sebentar. Dan hanya sesaat. Waktu terasa begitu cepat. Lebih cepat dari respon tubuh masing-masing orang di ruangan itu. Bapak sempat mengucap "Laailaahailallaah" pelan sungguh pelan. Dan semuanya terjadi begitu cepat.
Perawat yang saat itu sedang berada di ruangan, langsung memeriksa kondisi bapak.
“Maaf, bu.” Hanya itu yang diucapkan perawat perempuan berhijab itu, sambil memandang sedih ke arah ibu, Nala, dan Bara.
Ibu hanya bisa menangis. Bara hanya terdiam menggenggam erat tangan bapak. Nala entah sejak kapan terjatuh, namun sempat tertangkap oleh Garin yang berada tepat di belakangnya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
