After Ending 9-19 Free

0
0
Deskripsi

Bisa baca gratis di wattpad & karyakarsa. Sudah ending. Happy reading. 


Suara ini, nada rendah ini, aroma ini. Boleh kah Ita berharap bertemu sekali lagi dengan dia? Walau ini mimpi pun tak masalah. Ita ingin minta maaf kepada orang itu. Maaf karena tidak menepati janji untuk konfoi bersama di hari kelulusan.


Ita memberanikan diri menoleh ke sumber suara. Seketika matanya membulat sempurna. Mulutnya dicekal hingga berat mengutarakan satu nama.


"Ma-mahesa?"

Bab 9 Halusinasi

Suara terakhir yang Ita dengar adalah tangisan sebelum hilang sepenuhnya oleh dengungan hebat. Lalu semakin lama dengungan itu melambat hingga berubah menjadi detak.

Ita berpikir itu suara detak jantungnya yang kian menjauh. Namun, Semakin lama ada suara lain yang tertangkap indera pendengarnya. Sejurus dengan itu indera perasanya merasakan sentuhan hangat dan lembut. Seperti sedang digenggam oleh seseorang.

Merasa kesadarannya semakin dekat. Perlahan Ita membuka mata. Hal pertama yang ia lihat adalah cahaya putih. Kemudian beralih ke seorang paruh baya yang Ita kenal.

"Pa, Ita udah sadar."

"Syukurlah."

"Cepet panggil dokter Pa."

"Oh iya. Tunggu sebentar."

Percakapan singkat itu memulihkan ingatan Ita tentang identitas dua paruh baya ini. Mereka Ria dan Haris. Orang tua kandung Ita.

Ita harus menggerakan bibirnya untuk mengetahui kondisi anak-anak. Mereka pasti sedang ketakutan.

"A...nak ku ma... na?" ucap Ita tersendat-sendat.

Ria masih tampak bingung. Terlihat bagaimana ia tidak bisa menjawab.

"Anak ku... mana?" ucap Ita sekali lagi. Tentu saja berusaha sejelas mungkin.

"Sayang—“

Pertanyaan yang belum sempat Ria jawab menggantung begitu saja berkat dokter yang tiba-tiba datang. Dokter itu mengecek detak jantung Ita sebelum memberikan statment bahwa Ita sudah melewati masa kritisnya.

"Syukurlah," sahut keduanya.

"Kalau begitu, saya pamit dulu ya Pak, Bu?" pinta dokter itu sembari mengatupkan tangan.

"Anu... bisa bicara sebentar," sahut Ria tiba-tiba.

Mereka pun melangkah keluar bersama. Haris juga ikut penasaran sebab jarang sekali istrinya inisiatif seperti ini.

"Bagaiamana Bu? Ada yang bisa dibantu?" tanya dokter itu.

"Gini dok. Tadi anak saya melantur. Itu nggak apa-apa kan dok?"

"Melantur apa Ma?" tanya Haris.

"Nggak jelas Pa. Tapi, setau Mama, Ita sebutin anak."

"Hal itu udah biasa bu. Pasien dalam pengaruh obat bius memang sering melantur. Saya aja pernah ditanyai pasien cara ternak dinosaurus. Ibu dan Bapak tidak usah khawatir. Biasanya efek obat bius akan hilang selama tiga sampai empat jam," jelas dokter.

"Oh gitu ya dok. Syukurlah. Makasih ya dok."

"Sama-sama."

Beberapa jam setelah kesadaran Ita kembali. Tidak sedetik pun Ita melewatkan bertanya tentang keadaan anak-anaknya. Namun, bukan sebuah jawaban melainkan tanggapan aneh dari kedua orangtuanya.

"Pa, Ita lagi-lagi tanya tentang anaknya. Aku harus jawab apa Pa?" ucap Ria panik.

"Kata dokter itu hal yang wajar karena Ita masih terpengaruh sama obat bius pasca operasi. Mama nggak usah khawatir ya."

"Tapi sampai kapan Pa? Kata dokter cuma tiga sampai empat jam. Ini udah delapan jam Pa dan Ita masih menanyakan hal yang sama. Operasinya berhasil kan?"

"Nanti Papa tanyakan lagi ke dokter ya. Operasinya berhasil. Mama jangan khawatir."

Indra pendengaran Ita mendengar obrolan singkat itu sebelum Haris kembali keluar untuk menyelesaikan pekerjaan. Sebenarnya apa yang terjadi pada Zera dan Zeno sampai orangtuanya sungkan mengatakan?

Jika terjadi sesuatu pada kedua anaknya. Entah harus berpondasi apalagi Ita bisa menjalani hidup.

"Maa...?" panggil Ita bergetar. "Di mana Zera sama Zeno? Aku mau ketemu mereka sekarang." Tak kuasa menahan sesak. Air mata Ita jatuh. Menatap melas pada Mamanya.

"Mereka... baik-baik aja kan? Mereka selamat kan?" ucap Ita lagi. Isaknya tak kunjung reda. Air mata tambah deras mengalir.

Bagaimana jika kejadian saat Ita berhasil melempar Zera ke trotoar hanyalah khayalan saja? Atau mungkin truk itu berusaha menghindar dan justru menabrak Zeno di pinggir jalan?

"Maa.... please! Bilang kalau mereka baik-baik aja," desak Ita lagi. Air matanya telah luruh. Menampilkan pilu menyayat hati.

Ria kebingungan. Ia hanya bisa menenangkan putrinya dengan mengusap-usap tangan tanpa bisa menjawab satu pun pertanyaan.

"Sayang, maafin Mama ya. Maaf...." peluk Ria. Ia terus menenangkan Ita hingga gadis itu tertidur pulas dengan jejak air mata terlihat jelas.

Setelah mengetahui Ita tertidur. Ria membenahi selimut dan mengecup kening Ita. Menghapus jejak air mata itu seraya memandang wajah putrinya.

"Istirahat ya Nak. Jangan sedih, Mama selalu di sini."

***

Keesokan harinya, Ita dibuat terkejut dengan beberapa orang dengan pakaian rapih datang. Mereka memenuhi ruangan. Buah tangan pun tak luput mereka cangking sebagai bentuk empati.

"Semoga Ita lekas membaik ya Bu," ucap seorang wanita berpakaian batik.

"Iya, terimakasih Bu Sifa. Padahal masih repot malah sempatin kemari."

"Hehe, nggak kok Bu." Orang dengan nama Sifa itu menoleh dan menatap Ita, "cepet sembuh ya nak. Teman-teman yang lain udah kangen lho," ucapnya hangat.

Ita hanya merespon dengan senyuman. Jujur, Ita kurang paham dengan situasi ini.

Pasalnya orang-orang yang berkunjung hari ini adalah wali kelas, kepala sekolah dan juga guru BK. Orang-orang yang melengkapi kenangan Ita selama di SMA.

Memang mereka sepeduli itu hingga meluangkan waktu untuk menjenguk alumni yang kecelakaan? Seingat Ita, mereka saja tidak hadir saat hari pernikahannya.

Ah, mungkin mereka kebetulan sedang menjenguk pasien di rumah sakit ini. Pikir Ita.

"Kalau begitu kami pamit dulu ya Bu." Pamit sang kepala sekolah, Pak Edri.

"Oh iya Pak. Sekali lagi terimakasih." Ria mengantar tamu-tamu itu sampai keluar ruangan.

"Oh iya Pak, untuk...." Ita tak dapat mendengar jelas lanjutan ucapan Mamanya karena terhalang pintu. Membuat Ita penasaran.

Sekembalinya Ria ada dokter dan perawat yang membersamai. Ita melirik jam dan menunjukan angka sepuluh lewat dua puluh lima menit.

Ita ingat obrolan yang tak sengaja ia dengar saat Mama dan Papanya tengah berdiskusi semalam. Tentang rencana scaning lanjutan untuk mendiagnosa keganjilan pasca operasi.

Menurut Ita, itu hal yang tidak perlu. Sejauh ini Ita baik-baik saja. Namun, entah kenapa bagi orangtuanya Ita mengalami halusinasi berkepanjangan.

"Hallo Ita?" sapa dokter itu.

Ita tersenyum, "hallo...."

"Saya periksa dulu ya."

"Iya dok."

Dokter itu memeriksa detak jantung dan tekanan darah Ita. Kemudian sang perawat terpantau menyuntikan sesuatu di tabung infus.

"Kita jalan-jalan dulu yuk. Bosen kan di ruangan ini terus?" tanya dokter itu ramah.

Ita tau akan dibawa kemana. Ia hanya mengangguk saja.

Bab 10 Dia

"Sayang, katanya teman-teman SMA mu besok bakal jenguk setelah ujian selesai."

Ha? Ita tidak salah dengar kan?

"Maksudnya Ma?" tanya Ita.

"Mereka mau jenguk kesini," jawab Ria seraya membuka botol air mineral.

Tunggu! Mereka? Seingat Ita hanya Tina teman sedari SMA-nya.

Ah sudahlah, pasti ada salah paham. Ita kenal betul kebiasaan Mamanya yang sering salah dalam memilih kata. Maklum udah jadi Nenek.

Mungkin saja Tina yang akan berkunjung. Biar Ita tebak! Pasti saat ini Tina panik karena mendengar berita kecelakaan Ita. Di samping itu, bukankah seharusnya dia di sini? Orang itu, Saraga Hillar, suaminya.

Apa rasa pedulinya bahkan sudah hilang bersamaan dengan deklarasi perselingkuhannya?

Ah, memikirkan manusia itu memang selalu berujung pelik! Mending Ita memikirkan hal-hal positif hingga bisa pulih dengan cepat. Karena orangtuanya berjanji jika Ita sembuh maka Ita akan bertemu anak-anaknya di rumah.

***

Ita tersedak tepat ketika seseorang masuk dari pintu dan memenuhi indra penglihatannya. Bagaimana tidak? Seorang Tina baru saja masuk dengan seragam SMA lengkap dengan tas dan sepatu hitam. Benar-benar lelucon terniat!

"Itaa...." panggilnya dengan raut khawatir. Sedangkan Ita justru menahan tawa. Apa ini aksi penghiburan versi Tina?

Bagaimana mungkin Tina yang biasanya tampil modis dengan baju-baju branded justru harus memakai seragam. Tidak! Memangnya apa motivasinya melakukan itu?

Nggak habis pikir!

"Tina, Tante titip Ita sebentar ya?" pinta Ria.

"Oh iya Tan, emh... memang Tante mau kemana?" tanya Tina.

"Mau pulang sebentar ngambil baju."

"Oke Tante."

Setelah Ria pergi Tina menatap lekat sahabatnya. Sambil berkacak pinggang dan raut sebal. "Lo tuh dibilangin nggak usah kebanyakan makan saos! Ngeyel banget ih! Sakit kan jadinya! Mana timing-nya pas banget waktu ujian. Nggak bisa dapet kunci jawaban kan lo!" oceh Tina yang jelas-jelas tidak dimengerti Ita.

"Lo ngomong apa sih Tin? Ujian apa sih?"

"Ujian nasional lah. Yang diangkat kan usus buntu lo kenapa yang ilang justru ingatan lo?" ketus Tina.

"Hahaha, serius! Lo ngapain kesini pakai seragam? Kehabisan baju branded?"

Tina mengernyit heran. "Baju branded apaan? Emang gue punya? Lagian tuh setelah Tante Ria bilang lo udah boleh dijenguk, habis UN gue langsung ke sini. Mana sempet ganti baju biasa."

Tunggu! Kenapa pembicaraan ini tidak nyambung? Dan ada yang aneh dari Tina.  Ita tau, Tina serius mengatakan semuanya. Tapi, ini tidak masuk akal! Ada banyak poin yang membuat pembicaraan ini tidak sejalan.

Pertama usus buntu? Bukankah Ita sedang menjalani perawatan sehabis kecelakaan? Lalu ujian nasional? Memangnya untuk apa Tina melakukan ujian nasional lagi?

"Ta....?"

"Ita!"

"Ha?"

"Lo liat apa sih?" tanyanya sembari menoleh ke sudut Ita menatap. "L-lo nggak liat i-itu kan?" lanjutnya kini terlihat takut.

"Apa?"

"Malaikat maut, katanya orang yang hampir mati bakal dijagain sama malaikat maut."

Gini nih rasanya punya teman durjana! Baru aja singgungan sama maut. Malah pake tanya begitu segala.

"Nggak sekalian tanya gimana rupa malaikat maut?!" ketus Ita.

"Ha? Emang lo beneran ketemu malaikat maut selama lo tidur?"

Sabar!

"Ya nggak lah. Gue belum mau mati. Kasian anak-anak gue," celetuk Ita.

"Anak? Mph... hahahaha, anak siapa yang lo maksud? Anak masa depan? Ya elah Ta lulus aja dulu baru mikirin kawin. Gini nih sering digombalin Hesa. Jadi halu kan lo," tawanya masih terpingkal.

Sedangkan Ita dibuat bingung. Bagaimana bisa Tina menyebutkan dengan enteng nama seseorang yang sudah meninggal. Tina bukan tipe teman yang mempermainkan kematian seseorang untuk lelucon.

Hesa, jika orang itu masih ada mungkin dia tidak akan membiarkan Ita menangis. Tapi sayang, waktu tidak bisa diputar dan ia harus ikhlas menerima.

"Ihh kok muka lo jadi sedih. Maaf... maaf Ta. Emh, iya deh iya. Halu lah sesuka lo. Halu yang panjang sampe lo punya anak sama Hesa nggak apa-apa. Jangan pasang muka sedih lagi ya? Gue bisa kena oceh.....bla bla bla"

Ita tersenyum, sifat cerewet Tina memang yang membuatnya jadi Tina. Tapi, kenapa dia terus menyebut orang yang sudah meninggal? Lalu detik berikutnya Ita mendapat jawaban mutlak.

"Cewek gua lo apain?"

DEG!

Suara ini, nada rendah ini, aroma ini. Boleh kah Ita berharap bertemu sekali lagi dengan dia? Walau ini mimpi pun tak masalah. Ita ingin minta maaf kepada orang itu. Maaf karena tidak menepati janji untuk konfoi bersama di hari kelulusan.

Ita memberanikan diri menoleh ke sumber suara. Seketika matanya membulat sempurna. Mulutnya dicekal hingga berat mengutarakan satu nama.

"Ma-mahesa?"

"Hm?

"Hesaa...."

"Iya?"

"Mahesa...." satu bulir air mata luruh. "Mahesaa.... huhuuhuu. Hesa.... aku nggak akan nyesel kalau ini mimpi.... makasih. Makasih udah datang...."

Tina dan Hesa saling menatap. Bingung dengan perkataan dan respon Ita yang menurutnya aneh.

"Udah, udah. Iya sayang nggak apa-apa," sahut Hesa sembari memeluk dan mengusap punggung Ita.

"Ini bukan mimpi sayang. Ini aku, coba kamu lihat baik-baik," lanjutnya setelah Ita sedikit tenang. Ia mengarahkan wajah Ita untuk menatap matanya.

Tangan Ita meraba pipi Hesa. Membuktikan dunia khayalnya.

"Iya kan?" sahut Hesa kemudian.

Jantung Ita berdetak tidak karuan. Matanya kembali membola selaras dengan genangan air mata luruh kembali.

Ini nyata!

Hesa hidup!

"B-bagaimana bisa...."

"Kamu pasti mimpi buruk waktu dibius ya?"

Pertanyaan itu menggantung tanpa jawaban. Sekilas pikirannya menuju pada praduga mustahil jika mengingat logika dunia. Mungkinkah hal ini terjadi di dunia nyata?

Bab 11 Hari Pertama

Sampai waktu kunjungan usai dan Hesa serta Tina pulang. Ita masih memikirkan kejadian fantasi ini.

"Apa mengulang waktu itu bener-bener ada?" gumamnya lirih.

"Kamu bilang apa sayang?" sahut Ria, ia sudah kembali ke bilik Ita setelah membawa keperluan dari rumah.

"Ma...." panggil Ita.

"Hm?"

Tadinya ia berniat menanyakan keadaan anak-anak di rumah. Namun, ia harus memastikan satu hal dulu.

"Sekarang tanggal berapa?"

"Tanggal 15 Maret. Kenapa memang?"

"Nggak apa-apa Ma. Kalau tahun?"

Ria menghentikan aksinya membenahi barang bawaan. Ia fokus ke anaknya. Perasaan khawatir mulai menjamah.

"Nak, coba Mama tanya, nama lengkap Mama siapa?"

Ita mengernyit tidak paham, "Ria Handayani."

"Kalau Papa?"

"Haris Admadjaya. Mama kenapa sih tiba-tiba tanya—“

"Haaah, syukurlah...." ujar Ria lega. Ia pikir anaknya mengalami amnesia pasca operasi.

"Mama belum jawab pertanyaan ku. Sekarang tahun berapa?"

"Hari ini tanggal 15 Maret 2017."

DEG!

"Kamu juga kenapa tiba-tiba tanya tahun? Bikin Mama khawatir aja," dengus Ria.

"Nggak apa-apa kok, Maaf. Aku.... mimpi banyak hal selama tidur."

Benar! Anggaplah semua itu mimpi. Tentang rasa sakitnya setelah menikah dengan Raga atau tentang kebahagiannya saat memeluk Zera dan Zeno. Setidaknya, jika benar waktu telah berputar, Zera dan Zeno tidak akan menderita lebih banyak lagi.

Ita akan mencegah masa depan yang sama terulang!

"Memang mimpi apa? Mama jadi penasaran. Soalnya kamu ngotot pingin tau kondisi anak mu. Padahal kan kamu masih sekolah sayang."

"Aku... aku ngimpi udah nikah sama punya anak kembar," ujar Ita setelah diam cukup lama.

"Wah, Mama jadi nggak sabar. Kalau jadi nyata pasti bahagia banget."

Pantaskah kalimat itu terujar jika ia tau ada banyak luka menganga di dalam alur kisahnya. Terlebih, Ita pun sudah menjadi orangtua.  Sebagai sesama Ibu apakah ia rela membiarkan anaknya menanggung beban begitu besar?

"Aku nggak berharap banyak...." gumam Ita lirih.

"Ha? Kamu ngomong apa sayang?"

"Nggak Ma, aku mau nikmati masa sekolah dulu. Nikahnya nanti aja kalau udah siap," cengir Ita kemudian tenggelam di balik selimut.

***

Sudah tiga hari sejak kepulangan Ita dari rumah sakit. Sekarang Ita ingat dengan jelas alasan yang membuatnya berdiam diri cukup lama di rumah sakit.

Ya! Itu usus buntu! Ita baru saja menjalani operasi pengangkatan usus buntu.

Ingatan Ita sempat tumpang tindih berkat memori kecelakaan pada saat itu. Antara masa depan dan masa lalu. Namun saat ini Ita sudah yakin. Dirinya terlempar ke masa lalu.

Tepatnya di kelas tiga SMA. Beberapa hari sebelum ujian nasional diadakan, Ita justru jatuh pingsan dan segera dilarikan ke rumah sakit. Siapa yang menyangkan usus buntunya pecah dan Ita terpaksa mengundur waktu ujian nasional.

"Nurut sama Papa!"

"Nggak!"

"Itaaa!"

Ayah dan anak itu terus melancarkan tatapan sengit. Bersih kokoh dengan pendapatnya masing-masing.

"Kalau jahitan mu kebuka gimana?!" tegas Haris.

"Pa! Aku baik-baik aja. Bekas jahitan ku udah mulai kering dan aku bakal hati-hati Pa. Ya kali mau salto," dengus Ita.

"Nggak! Papa nggak akan izinkan!"

"Ihh Maa...." keluh Ita seraya menoleh ke Mamanya.

"Udah sih Pa izinin aja."

Setelah banyak drama perdebatan dan alibi akhirnya Ita diizinkan sekolah. Dengan syarat, Haris sendiri yang akan mengantar jemput Ita. Tidak ada main dan alasan apapun. Ita harus pulang tepat waktu.

Yah, tidak apa lah. Toh, Ita sudah sangat rindu menghirup aroma kelas. Walaupun sedikit aneh mengingat umur aslinya. Ita juga merindukan pakai seragam putih abu-abu.

"Akhirnya bisa kesini lagi," gumam Ita seraya mengekori kepala sekolah dan dikawal Haris sampai depan kelas. Ita lupa kalau selain tegas, Papanya tipe orangtua posesif. Tentu saja sebelum peristiwa merosotnya perusahaan.

Setelah kepala sekolah menyampaikan beberapa patah kata, Ita dipersilahkan masuk. Jujur saja ia sedikit gerogi namun sebisa mungkin ia harus tenang. Pasalnya, jika mengingat usia asli bukankah mereka hanya anak-anak yang belum matang?

Harus percaya diri!

Itu pemikiran naif yang tadi sempat terlintas. Kenyataannya? Saat ini Ita hampir tidak kuat berdiri menjadi bahan sorotan setiap pasang mata teman-temannya.

Beberapa menit setelah kepala sekolah dan Haris pergi. Ita langsung dikerumuni banyak orang.

"Ta lo beneran habis operasi?"

"Ujian lo gimana Ta? Nggak lulus dong?"

"Eh ngaca! Kayak lo lulus aja. Emang ada jaminan lo lulus walau ikut ujian?"

"Ta, operasi sakit nggak sih. Besok gue juga mau operasi amandel."

"Beda kali! Dia operasi usus buntu. Ya jelas beda lah sakitnya!"

BRAK!

Perhatian tertuju pada sumber suara. Sebuah meja telah mangkir dari tempatnya.

"Heh! Nggak ada temen yang cekokin temennya yang lagi sakit dengan pertanyaan nggak guna!"

"Kepo? Mending kalian operasi aja sendiri!" ucap ketus Tina. Bersedekap tangan dengan angkuhnya.

Wah, Ita baru ingat karakter Tina yang memang sudah preman dari sananya. Lihatlah mereka yang mengerumini Ita. Mereka takut dan memilih duduk ke tempat masing-masing.

"Ta, lo beneran udah fit?" tanya Tina.

"Humm, kayak yang lo lihat."

"Tck! Nggak percaya gue!"

"Lama-lama lo kayak bokap gue aja ya! Heran!"

"Hah! Itu karena lo sering nggak jujur sih." Tina menatap serius manik Ita. Mencengkaram pundaknya lalu berkata. "Kali ini harus bilang! Ya? Gue nggak mau tiba-tiba lo pingsan lagi."

"Hehe, iya-iya," jawab Ita pasrah.

"Ita!" pekik seseorang setelah memasuki pintu kelas. Ia berlari ke bangku Ita lalu menyeret sembarang kursi untuk ia duduki.

"Ke-kenapa?" tanya Ita kikuk. Pasalnya Hesa menatapnya cukup lama tanpa berkedip.

"Kamu beneran udah sembuh?"

"Udah kok. Memang muka ku keliatan masih pucat? Nggak kan?"

Senyum Hesa mengembang, "oke deh, pasti bosen ya di rumah?" tebak Hesa tepat sasaran. Dari dulu Hesa itu peka. Entah kenapa setiap perkataannya selalu mewakili perasaan Ita.

"Humm, bangeeettt! Mana nggak bisa keluar sama sekali."

"Syukurlah...." tatapan Hesa menyendu. Manik Ita terkunci pada tatapan itu. "Ta, aku nggak pernah maksa kamu buat cerita hal privasi. Tapi, please.... kamu harus kasih tau kalau kamu lagi nggak enak badan. Ya? Kamu bisa janji?" Jari kelingking Hesa terulur. Meminta Ita mengaitkan dengan jari kelingkingnya.

Ita menatap kedua manik Hesa. Iris kecoklatan dengan bulu mata lentik itu seakan menghipnotis Ita untuk menjawab “iya.”

Hesa, bukankah Ita benar-benar beruntung memiliki pacar sepertinya? Pengertian dan peka. Andai kecelakaan itu tidak terjadi. Mungkin.... ah, sudahlah! Anggap saja masa depan itu hanyalah mimpi siang hari.

Saat ini Hesa ada di depannya. Ita akan merangkai kisahnya dari nol lagi.

"Humm, aku janji."

Ita mengaitkan kelingkingnya. Kedua sejoli itu saling melempar senyum. Tidak sadar ada satu insan yang menatap jengah sambil menopang dagu. "Udah mesra-mesraan-nya? Anggap aja gue debu berterbangan. Nggak usah peduliin gue!" dengusnya lain di mulut lain di hati. Terlihat sekali Tina kesal.

"Makanya cari laki! Lo sih sukanya yang gepeng!" sahut Hesa nyolot. Kalau dengan Tina mereka seperti tom and jerry dunia nyata.

"Gimana nggak suka gepeng. Yang asli suka nyakitin sih."

SKAK!

Hesa terdiam. Walaupun ia merasa tidak pernah menyakiti Ita tapi kenyataannya banyak omongan dari bibir betina yang berucap sama. Dari pada berlanjut, Hesa memilih diam. Ia tidak bisa menggoyahkan kata "wanita selalu benar!"

Bab 12 Memangku Nasib

"Ta. Lo di panggil Bu Dewi," ucap ketua kelas sekembalinya dari menaruh buku tugas.

"Suruh ngapa?" jawab Tina posesif. Kenapa orang-orang di sekitar Ita jadi overprotect begini? Masalahnya ada dua. Antara dulu Ita yang nggak peka atau mereka berubah semenjak Ita memutar waktu.

"Nggak tau. Mungkin mau ngomong ujian susulan," lanjut ketua kelas.

"Mau gue temenin nggak?" tawar Tina ketika melihat Ita bangkit.

"Nggak usah. Kayak gue bakal tersesat aja."

"Yah, kan siapa tau lo lupa denah sekolah karena udah lama nggak masuk."

Ita hanya berdecak kemudian melengos pergi. Sedangkan Tina terus menatap punggung Ita hingga hilang di balik pintu.

"Tumben nggak mau dianter. Biasanya ke WC aja minta anterin," gumamnya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa Tina merasa ada kejanggalan selepas operasi tempo lalu. Kalau bisa dibilang, Ita lebih bersikap dewasa dibanding dulu.

"Apa karena dia baru aja singgungan sama maut ya?" rancau Tina.

"Siapa?" sahut suara bariton.

"Anjir! Kaget bogel!" pekik Tina terkejut dengan kedatangan Hesa.

"Lo kalau dateng nggak usah kayak jelangkung sih. Nggak diundang tiba-tiba nongol. Mana ngagetin lagi!"

"Tck! Jelangkung-jelangkung. Mana ada jelangkung ganteng kayak gue?"

"Hih! Situ ngaku ganteng? Kaca di rumah lo pake kaca buram ya? Pantes!"

"Kaca buram aja ganteng. Apalagi lihat langsung. Ya nggak?" tanya Hesa narsis sambil menaikturunkan alis.

Dengan Tina, Hesa tidak pernah menyurutkan aksi tengilnya. Entahlah, mungkin kebisaan ini ada kaitannya dengan momen saat Hesa menembak Ita. Saat itu Tina bertampang masam menyuruh Ita menolak Hesa dengan alasan karakter Hesa yang terkenal playboy.

Padahal kenyataannya betina-betina itulah yang carper duluan ke Hesa. Membuatnya sering berurusan dengan gadis hingga rumor playboy menyeruak ke seantero sekolah.

"Idih! Otak lo nggak beres!" ketus Tina melengos.

"BTW, Ita mana?"

"Lagi menghindar. Biar nggak ketularan otak sengklek lo!"

"Tck! Serius!" gegas Hesa.

"Lagi dipanggil kepala sekolah."

"Ngapain?"

"Ya mana gue taulah!"

"Hemm, ya udah, titip ini ya? Kasih ke dia kalau udah balik," ucap Hesa menyerahkan susu UHT. "Awas sampai nggak dikasih," ancam Hesa melotot sebelum pergi.

"Ih minta tolong kok maksa! Kalau nggak obat nyamuk ya babu. Capek hidup sama mereka!" oceh Tina. Walaupun begitu ia tetap memberikannya nanti.

***

Hari ujian susulan sudah diputuskan. Tepatnya besok, di ruang kepala sekolah. Ita tidak terkejut sih. Pasalnya di masa lalu juga seperti itu.

Dari pada terkejut Ita justru khawatir. Sejauh ini alur hidupnya sama persis. Ita pernah bertekad akan memulai lagi dari nol. Namun, sebuah pemahaman baru saja ia dapati.

Kisahnya akan tetap sama jika Ita tidak berusaha mengubah takdir!

Meja belajar yang tadinya bersih kini terdapat buku dengan si pemilik sibuk menuliskan rentetan kalimat.

Bukan merangkai alur novel apalagi menulis diary tidak berguna. Ita fokus merangkai kembali alur hidupnya. Berbekal ingatan yang hampir pudar ia berusaha menyusunnya kembali hingga titik dimana nafasnya berhenti.

Hal yang sama tidak boleh terulang!

Di awali dengan hari kelulusan. Setelah piagam kelulusan Ita dapatkan, pada hari itu Ita mendapat telepon dari Haris yang menyuruhnya pulang.

Ita membatalkan janji untuk konfoi bersama teman satu angkatan dan memenuhi panggilan Haris. Lalu hari ketika Ita dipertemukan oleh Raga, pada saat itu Hesa meninggal.

Kening Ita mengernyit. Seolah memikul takdir banyak orang. Ia harus menyelamatkan diri sekaligus melindungi orang-orang terdekatnya.

"Hesa.... sekarang gantian aku yang menyelamatkan mu!" gumamnya lirih.

Ita bangkit dari kursi. Jika ia ingin mencegah pertemuan dengan Raga maka ia harus mencegah Papanya bekerjasama dengan H Group.

"Paa.... Papaa," panggil Ita sembari berlarian menuruni anak tangga.

"Sayang jangan lari-lari. Kamu baru sembuh kemarin!" omel Ria.

"Papa dimana Ma?"

"Di ruang tengah."

Ita segera berlari kembali tidak mengindahkan perintah Mamanya. Terdengar teguran dari Ria namun tidak sedikit pun ia gubris.

Sambil berlari Ita berharap. Semoga Papanya belum menandatangani kerjasama dengan H Group!

"Papa!" panggil Ita.

Paruh baya itu menengok. "Kenapa sayang?"

Ita mengatur nafas sejenak. Tatapannya fokus mengarah dua manik setengah layu milik Papanya yang sudah termakan usia.

"Sebutin siapa aja investor perusahaan Papa!"

"Kenapa kamu tiba-"

"Udah cepet sebutin aja!" gegas Ita.

"Perusahaan Sumber Jaya Abadi. Mirage Group. Terus Asiong Group...." Haris menjeda perkataannya. Ia heran dengan sikap Ita yang peduli dengan bisnis. Kalau ada alasan yang mendasari pasti karena itu. "Haaah! Anak siapa lagi yang mau kamu labrak? Hm?"

"Nggak ada kok. Emang aku pernah labrak anak orang?" sahut Ita tidak terima.

"Bulan lalu ada anaknya Pak Gunawan, karyawan yang kerja di perusahaan Asiong Group. Terus ada lagi anaknya Pak Rustam yang kamu jambak sampai rambutnya rontok. Terus-"

"S-stop...." Ita baru ingat, dulu ia kan sangat bar-bar. Mengaku sebagai ratunya SMA Andraguna dan melabrak banyak orang yang terlihat kecentilan di depan Hesa.

Padahal sebenarnya tidak ada rasa cemburu sedikit pun. Ita hanya ingin ditakuti seantero sekolah. Yah, pikiran labil anak remaja. Sekarang, jika diingat. Ita jadi malu sendiri.

"A-aku nggak ada niat labrak anak orang kok. Beneran! Sumpah!"

"Terus? Alasan kamu tanya investor Papa untuk apa?" tanya Haris yang tidak melepaskan begitu saja.

"B-buat rencana masa depan. Iya! Buat rencana masa depan. Kan aku bisa jalin pertemanan sama anaknya investor Papa. Biar makin akrab gitu," dusta Ita random.

"Yah kalau itu alasan mu Papa bisa terima. Tapi, setau Papa investor Papa nggak punya anak seumuran kamu. Rata-rata udah pada nikah."

Haris tampak berpikir mendalam. Terlihat kerutan di antara alisnya. Sebenarnya Ita tidak peduli sih. Ita hanya ingin tau Papanya sudah bekerjasama dengan H Group belum.

"Nggak usah dipikirin Pa. Sambil jalan aja. Yang penting Papa sebutin siapa aja invest-"

"Ah! Papa ingat!" pekik Haris sumringah.

"Ingat apa Pa?"

"Ada satu investor Papa yang belum nikah. Masih muda juga."

"Yaaaa, itu masalah gampang. Yang penting---"

"Pak Raga dari H Group."

DEG!

Pupus sudah! Ita terduduk lemas bersender bantalan sofa. Haris terlihat panik berkat respon Ita barusan.

"Sayang, kamu kenapa? Ada yang sakit?" tanya Haris panik.

"Pa.... demi aku. Apa Papa sanggup batalkan kerjasama dengan H Group?" tanya Ita. Matanya dipenuhi keputusasaan.

"Sayang, nggak semudah itu membatalkan kerjasama. Kita punya kontrak yang nggak bisa diakhiri dengan mudah."

"Andai aku dibuat jaminan atas kerjasama itu. Apa Papa rela?" tandas Ita cepat. Matanya menuntut jawaban jelas.

"Hahaha, itu nggak akan terjadi sayang. Semuanya tertulis dalam kontrak dan Papa nggak akan melibatkan kamu ke dalam pekerjaan."

"Oke, tapi jika Papa dihadapkan dengan situasi dimana perusahaan rintisan Papa akan bangkrut dan H Group menawarkan kontrak baru dengan aku sebagai jaminannya. Siapa yang bakal Papa pilih?"

Bab 13 Blangko Karir

Haris diam. Ia menatap lekat manik putrinya. Jika ini hanya bercanda Haris akan memarahi putrinya karena sudah kelewatan. Tapi, Haris tidak menemukan canda dalam tatapan Ita.

"Atas dasar apa kamu nggak setuju kerjasama dengan H Group? Kasih Papa alasan. Papa akan pertimbangan kalau alasan mu masuk akal."

DEG!

Mana mungkin Ita mengatakan kalau setelah ini perusahaan Papanya dirundung masalah. Para investor-investor itu akan melepaskan buntutnya dan meninggalkan Haris dengan utang yang sangat besar.

Hanya H Group yang bertahan. Bersamaan dengan itu kontrak kerja dengan jaminan ikatan pernikahan akan ditetapkan.

"Itu-"

"I-ita cuma nggak suka sama pimpinan mereka. Banyak gosip miring yang nyebutin dia suka main cewek terus selama menjabat sebagai Direktur dia bertindak semena-mena sama bawahannya. Ita cuma takut Papa ditipu sama dia," celetuk Ita. Percayalah ia dalam suasana bingung dimana dirinya tidak yakin atas ucapannya sendiri.

"Hahaha. Kamu baca berita dimana info ngawur kayak gitu?"

"Dimana-mana."

"Dengan kata lain, kamu benci Pak Raga kan? Bukan perusahaannya."

"I-iya."

"Kalau itu alasan mu. Papa tetap akan menjalin kerjasama dengan beliau. Karena untuk menjalankan suatu perusahaan titah pimpinan bukan suatu hal yang mutlak. Kamu perlu diskusi dulu dengan pemegang saham lain dan bawahan mu pun ikut berpartisipasi," Haris menggapai pundak Ita. "Kamu boleh benci orangnya, tapi jangan benci perusahannya. Tanamkan itu baik-baik."

Ita menggeser pelan tangan Haris yang berada di pundak Ita. "Sayangnya aku tipe orang yang benci sepenuh hati. Maaf Pa, aku tetap nggak terima Papa kerjasama dengan H Group!" tandas Ita tajam sebelum pergi.

Haris menatap kepergian Ita. Entah mengapa perkataan istrinya tempo lalu benar adanya. Kepribadian Ita berubah!

***

Hari ini Ita akan melakukan ujian nasional susulan. Hesa mengantar sampai depan ruang kepala sekolah.

"Nih...." Hesa memberikan permen mint sama seperti yang ia lakukan dulu. Saat itu Ita langsung cemberut karena Hesa tidak membawakan susu UHT seperti biasa dan Ita ngambek sampai sore.

Benar-benar kekanakan! Ita yang sekarang pun menyadari sifat manjanya itu dan tidak akan mengulanginya lagi!

"Makasih Hes. Doain aku ya?"

"Always, good luck!" ucap Hesa ceria. Ia masih di tempat sampai Ita benar-benar masuk dan pintu itu tertutup.

Senyum Hesa menghilang. Digantikan tatapan datar memandang pintu yang tertutup. Sama seperti Tina yang sempat cerita tentang perubahan sikap Ita. Hesa pun sekarang merasakannya.

Hesa sempat menebak Ita akan panik dan merengek minta kunci jawaban. Namun hingga hari H tiba, Ita masih bersikap tenang. Seolah ada orang lain yang merasuki tubuh Ita.

"Sebenernya siapa kamu?"

***

Ita menatap kosong permen mint itu. Bagaimana pun satu kenyataan telah ia kantongi. Sampai detik ini alur hidupnya masih sama.

Sampai detik ini Ita tidak merubah apapun!

Frustasi! Ita memijit kepalanya yang terasa akan pecah dengan kemungkinan terburuk semua akan berjalan sama. Ita butuh sesuatu untuk merubah alur hidupnya sebelum hari kelulusan tiba!

"Ita? Apa ada yang sakit?" tanya guru pengawas salah paham dengan gestur tubuh Ita.

"E-enggak kok Bu."

"Kalau sakit nggak usah dipaksain ya. Ibu yakin kalian pasti lulus semua."

Lulus?

Dalam sekejap ide gila muncul melalui satu kata itu. Bagaimana jika Ita tidak lulus? Bukankah selama ini yang menjadi garis start adalah hari kelulusan?

Jika Ita tidak lulus maka Raga tidak akan bisa menikahinya karena Ita harus mengulang kelas. Lalu Hesa tidak akan mengikuti konfoi kelulusan.

Senyum Ita mengembang. Ia telah bertekad! Dibanding ijazah Ita lebih memilih masa depan tanpa Raga. Maka saat ini ia harus menjawab pilihan yang salah dari lima pilihan ganda.

Sekembalinya dari ruang kepala sekolah. Ita kembali ke kelas. Dengan tampang kusut.

"Gimana ujiannya tadi? Susah banget kan?! Gila emang! Sejak kapan kita diajarin kayak gitu," oceh Tina yang berujung menghardik si pembuat soal.

Yah, dibandingkan susah mencari jawaban benar. Ita justru kesusahan mencari jawaban salah. Karena Ita tidak mau satu soal pun benar. Maka Ita harus tau terlebih dahulu jawaban benarnya supaya bisa memilih jawaban salah.

Cukup aneh untuk dilakukan. Tapi ya sudahlah! Toh, Ita bukan orang aneh yang melakukan hal gila ini tanpa sebab.

"Nggak usah nyalahain soal. Kayaknya emang otak lo yang bermasalah," tukas Hesa.

"Eh gini-gini gue pernah peringkat satu ya!"

"Kapan?"

"Pas SD."

"Elah! Gue yang loncat kelas aja biasa aja."

"Sombong lo bocah! Harusnya lo jadi adek kelas gue. Sini sungkem dulu!"

"Ogah!"

Fokus Hesa beralih ke Ita yang sedang melamun. "Ta? Ngelamunin apa?" tanya Hesa sembari mengayunkan kelima jarinya di depan wajah Ita.

"Hm?" sahut Ita linglung.

"Tuh kan nggak konsen. Kalau dipikir akhir-akhir ini kamu sering ngelamun. Ayo dong semangat lagi. Jangan khawatir nggak lulus. Liat manusia wibu satu ini. Dipikirannya selalu karakter gepeng aja santai."

"Kita semua pasti lulus," ucap Hesa semangat.

Pernyataan Hesa sukses mendapat pukulan dari Tina. Hesa pun langsung mengaduh akibat pukulan itu.

"Wiba-wibu! Gue cuma tau anime Naruto ya!"

"Ya tapi kan lo nggak punya kesukaan lain selain Naruto. Itu tandanya lo wibu!"

"Bang*at emang mulut lo!"

"....."

"....."

Mereka masih berdebat sedangkan Ita hanya memperhatikan. Sayang sekali mereka terlalu khawatir pada sesuatu yang justru sejengkal pun tidak Ita khawatirkan.

Sudah Ita ikhlaskan kelulusannya demi bertaruh pada takdir. Semuanya untuk masa depan baru.

"Ta, menurut lo gue harus masuk jurusan Hukum atau Menegemen?" tanya Tina.

Sejenak pikiran Ita teralihkan dengan pertanyaan Tina. Kenapa dia tidak jujur dengan hatinya? Di antara dua pilihan itu, tidak ada satu pun yang ia minati.

Dari mana Ita tau?

Tentu saja dari masa depan. Ita sering mendengar keluh kesah Tina yang menyesal tidak memilih jurusan Design Grafis dan menuruti keinginan Kakaknya yang meminta masuk di jurusan Menegemen.

"Dari dua pilihan itu. Lo yakin mau masuk salah satunya?"

"Iyalah," jawabnya yakin.

"Gue tanya lagi. Lo yakin?!" tanya Ita sekali lagi.

Senyum tipis terpatri di wajah Tina, "ternyata gue nggak bisa nyembunyiin apapun dari lo ya? Itu semua kemauan Kakak gue. Katanya kedua jurusan itu yang peluang kerjanya bagus. Makanya gue suruh masuk sana."

"Ini kan hidup lo. Denger kata hati lo bukan Kakak lo. Mereka berhak kasih masukan. Tapi bukan berarti lo terima mentah-mentah,"

"Coba gue tanya, jurusan yang benar-benar lo minati apa?"

"Gue sih pinginnya ke Design Grafis. Tapi-"

"Ya udah masuk aja. Di masa depan gue nggak mau denger lo ngeluh salah milih jurusan dan lain sebagainya."

"Oke deh, malam ini gue bicara sama kakak gue. Makasih ya Ta. Cuma sama lo gue dapet pencerahan."

"Oh jadi selama ini sama gue nggak? Balikin semua contekan gue!" sahut Hesa tidak terima.

"Hehe, ampun Sa. Lo sumber pencerahan gue yang lain maksudnya,"

"BTW, lo jadi daftar STAN?" tanya Tina.
Hesa berhenti memakan gorengannya. Ia memandangi Ita yang tengah menyedot es teh manis buatan primadona kantin, Mbok Munah.

"Gue ngikut Ita lah."

"Ih! Nyesel gue tanya. Dasar bucin abnormal!" sarkas Tina.

"Kenapa ngikut aku? Aku nggak pernah larang kamu buat kuliah di luar kota."

Bisa gawat kalau Hesa punya pemikiran seperti itu. Ita harap itu hanya bahan candaan.

"Soalnya aku takut selama LDR kamu direbut orang."

Bagi Ita, Hesa memang tipe cowok bucin dan karena hal itulah hubungannya langgeng dari kelas dua. Tapi, mengingat akhir perjalanan hidupnya membuat Ita sadar. Ada tragedi lain yang dekat-dekat ini harus dicegah. Untuk antisipasi saja Ita akan membuat janji dengan Hesa.

Bab 14 Mengambil Resiko

"Hesa!" panggil Ita spontan.

"Kenapa sayang? Bikin kaget aja."

"Iya, gue aja kaget anjir,” sahut Tina.

"Besok setelah kelulusan. Pokoknya kamu harus selalu sama aku ya?"

Ita melihat pergerakan aneh dari Hesa. Tidak seperti biasa. Ia menggaruk rambut belakang dan tidak berani bertatap mata. Apa Hesa sedang malu?

"Idih, idih, idih. Udahlah dari sini gue pamit balik ya guys. Nikmati waktu kalian berdua. Bye!" ucap Tina kemudian pergi.

"Hesa? Kamu mau kan?" tanya Ita lagi pasalnya dia tidak kunjung mendapat jawaban.

"M-maulah. Siapa coba yang bakal nolak ajakan yang mungkin cuma sekali seumur hidup," jawab Hesa malu-malu.

Aneh! Apa dulu Ita tidak pernah mengajaknya jalan bareng? Yah, kalau diingat-ingat memang selalu Hesa yang inisiatif. Ita harus memperbaiki hal itu juga nanti!

"Oke kalau gitu janji ya?" Ita menyodorkan jari kelingkingnya.

"Iya," sahut Hesa antusias sembari menautkan kelingkingnya.

"Mau ada badai pun kamu harus sama aku ya!"

"Iya cantik."

"Walau di ajak temen-temen kamu harus pilih aku ya!"

"Iya sayang ku," ucap Hesa. Sebagai imbalan ia mencubit lembut pipi Ita.

Plan B telah dipersiapkan. Jika pengumuman menyatakan Ita lulus walau dengan ujian yang mati-matian ia buat salah. Ita tidak perlu khawatir lagi  dengan keselamatan Hesa.

***

"Aduh!" pekik Ita setelah sadar baru menabrak sesuatu dan mengenai pinggulnya.

"Siapa sih yang naruh motor di sini?" celetuk Ita kesal. Tidak sadar kalau tempatnya berdiri adalah tempat parkir.

Lagi-lagi overthingking mengambil fokus Ita di dunia nyata. Sampai ia tidak sengaja menabrak motor tidak bersalah. Akibatnya ia mengaduh merasakan pinggulnya berdenyut.

"Itu memang tempat parkir sayang," ucap Hesa. Ita bahkan lupa kehadirannya.

"Kamu nggak apa-apa? Mana yang sakit?" lanjutnya khawatir.

"E-enggak apa-apa kok."

Malu? Jelaslah!

"BTW, kamu ngapain disini?" tanya Ita.

"Nganterin kamu pulanglah. Kayak biasanya."

Oh iya! Ita lupa kalau di masa lalu ia sering diantar Hesa pulang. Ita menyumpahi pikirannya yang tersita oleh pertemuan dengan Raga kelak.

"Mau mampir tempat biasa nggak?" tanya Hesa.

Tempat biasa? Apa itu? Jujur Ita lupa. Ia asal mengangguk saja. Ita pasrah dibawa kemana pun motor Hesa menuju. Langit senja menemani damainya kota hingga tanpa sadar tempat tujuan sudah di depan mata.

Ita memicingkan senyum. Ternyata tempat ini? Lapak para jajanan kaki lima berkumpul. Mulai dari cilor, takoyaki, somay, batagor dll. Tempat ini surganya para jajanable.

"Mau jajan apa?" tanya Hesa.

Sejenak Ita sadar, dirinya bukan lagi Ita berumur dua puluhan yang terbiasa menahan banyak hal. Hari ini ia bebas memakan apapun yang ia mau.

"Aku mau borong semuanya!" kekeuh Ita. Ia berlari menghampiri satu persatu pedagang. Hesa yang melihat tingkah Ita tersenyum lega. Ita-nya sudah kembali seperti biasa. Bukan gadis serius yang seolah memikul banyak beban hingga kerut di keningnya terlihat.

"Bagi dong. Aku juga mau," kata Hesa mengekori Ita yang sudah menggenggam beberapa jajanan dan memakannya.

"Aaa," perintah Ita sambil menyodorkan cilok tusuk.

Mereka duduk di kursi yang disediakan. Hesa malu-malu membuka mulutnya. Lalu hap, satu cilok berhasil masuk.

"Enak kan?" tanya Ita.

"Enak ko—“ mulut Hesa spontan menganga. Wajahnya memerah sambil mencari air minum. Akhirnya ia menyaut botol mineral di samping Ita.

"Kamu nggak ngomong kalau pedes," protes Hesa. Pasalnya yang ia makan tadi cilok mercon yang terkenal sangat pedas.

"Katanya tadi mau," jawab Ita tidak berdosa.

"Hais! Pedes tau," lidah Hesa terjulur sambil sesekali meneguk air.

"Hesa!" pekik Ita.

"Kenapa?" jawab Hesa masih sibuk meneguk air.

"Itu bukan punya aku."

"Apanya?"

"Minum! Itu bukan air minum ku! Kamu ngambil dimana tadi?"

"Ha? Masak sih! Aku ngambil di samping mu kok."

"Ih nggak percaya!" Ita mengeluarkan botol mineralnya di dalam tas lalu menunjukannya. Setelah melihat kenyataan itu Hesa langsung cengo. Air minum siapa yang dia pakai? Selanjutnya ia langsung pergi mencari kamar mandi.

Punggung Hesa semakin jauh. Tak habis-habis perut Ita digelitik oleh tingkah absurt Hesa. Setelah netral tatapan Ita menyendu. Menikmati suasana street food. Keramaiannya yang didominasi oleh putih abu-abu dan aroma dari banyaknya jajanan. Ah! Ini adalah kebebasan yang Ita rindukan.

***

Waktu tetap berjalan. Sekali pun  manusia meminta pada sang waktu untuk berhenti tetap dengan angkuhnya waktu tidak menghiraukan. Bagi orang yang sadar. Kita hidup bukan tentang menghabiskan waktu tapi menggunakannya sebaik-baiknya.

Yah, begitulah teorinya. Tapi prakteknya?

Jangankan menggunakan waktu dengan baik Ita justru hanya bergulingan di kamar dengan segala overthingking yang ada.

Jika Papanya belum menjalin kerjasama dengan Raga, Ita bisa bernafas lega. Kemungkinan untuk bertemu orang itu semakin kecil. Tapi sekarang? Hah! Rasanya Ita dibuat frustasi sendiri dengan banyaknya plan untuk mencegah pertemuan dengan Raga.

Sejauh ini bukannya menemukan titik terang Ita justru jatuh dalam pikiran negatif.

"Gue bakar aja kali ya perusahannya biar bangkrut?"

"Tck! Kalau gue ketahuan terus di penjara gimana? Nggak, nggak! Itu bukan masa depan tapi jalan buntu!"

"Apa gue bunuh aja ya?" gumam Ita.

"Tck! Sama aja bego! Ihh." Ita merebahkan diri di kasur dengan tangan merentang. "Hais! Ayo Ita! Pikirkan cara lain!"

"Ah! Apa gue diem-diem naruh racun di kopinya?"

"Bego! Itu sama aja bunuh orang!"

"Apa yaa selain tindak kriminal?"

Gumaman Ita tanpa sadar dipergoki oleh Mamanya. Tidak berani menegur, Ria justru berlari ke ruang tengah guna menemui suaminya.

"Paa!"

"Kenapa Ma?" jawab santai Haris sembari memindah-mindah chanel TV.

"Ita Pa!"

"Ita kenapa lagi?"

"Dia jadi aneh!"

"Aneh gimana?"

"Masak dia mau bunuh orang Pa!"

"Masak sih. Salah denger kali Mama," jawab Haris santai.

"Serius Pa. Mama nggak berani negor karena takut. Pokoknya dia bener-bener berubah pasca operasi."

"Siapa yang berubah?" sahut seseorang dari balik punggung kedua paruh baya itu. Sontak keduanya terkejut dengan kehadiran Ita.

"I-ita? Se-sejak kapan kamu di situ?" tanya Ria kikuk.

"Baru dateng kok."

"Ita duduk sini bentar," titah Haris. Sesuai interuksi. Ita singgah di sofa menghadap Haris.

"Mama bilang kamu mau bunuh orang. Beneran?"

"Ih Pa!" timpal Ria sambil memukul pundak Haris.

"Oh Mama denger ya tadi? Hehe. Maaf ya Ma. Akhir-akhir ini Ita suka nonton trailer jadi kebawa deh. Tadi cuma adegan di film kok. Mama takut ya?" dusta Ita. Entah kenapa akhir-akhir ini ia serasa menjadi aktris sinetron dadakan. Mau bagaimana lagi? Jika tidak berakting semua akan terbongkar.

"Hais! Kamu itu jangan nonton yang kayak gitu. Nggak baik buat pembelajaran," jawab Ria.

Ita hanya merenges. Selebihnya ia menyaut roti kering di depannya lalu melahapnya.

"Ngomong-ngomong bukannya besok kamu kelulusan?" tanya Haris.

"Untung Papa ingetin. Ita aja lupa."

"Kamu itu gimana. Anak-anak lain pasti ketar-ketir nunggu pengumuman. Ini malah sangking nyantainya sampai lupa."

Alasannya sih karena Ita tidak peduli. Sudah dapat dipastikan Ita tidak lulus. Selain ujian nasional yang dikerjakan asal-asalan. Absen Ita juga cukup membuat prestasi sebagai anak tukang bolos nomor satu.

"Hehe. Soalnya 99% bakal dinyatakan lulus. Kenapa harus khawatir?" sahut Ita.

"Masih ada 1% nggak lulus. Kamu yakin itu bukan kamu?" tanya Haris.

"Emh.... mungkin bukan aku. Hehe." cengir Ita.

Sangat disayangkan memang! Mereka pasti akan kecewa dengan keputusan ini. Tapi, kalau tidak berusaha mengubah takdir. Maka takdir yang sama akan terulang! Ita harus mengambil resiko!
 

Bab 15 Kamu siapa?

Beberapa menit yang lalu ruang tengah dipenuhi obrolan tentang hari kelulusan. Lalu beberapa menit ke depan ruang tengah itu masih membicarakan seputar kelulusan. Hanya saja, ada dua member baru yang hadir. Tidak lain guru BK dan wali kelas Ita.

Berita tentang kemunculan guru saat malam hari mengunjungi rumah muridnya sebelum kelulusan memiliki cerita tersendiri dari generasi ke generasi. Sayangnya itu bukan cerita bagus sih.

"Begini Pak. Perihal kedatangan kami kemari untuk membicarakan baik-baik perihal Ita. Kami tidak mengganggu waktunya kan Pak?" ucap Bu Sifa selaku wali kelas Ita.

"Oh tidak Bu. Saya sedang senggang."

Ria dan Haris serta Ita mendengarkan basa-basi dari kedua guru itu dengan seksama. Semakin mengerucut pembicaraan semakin prasangkanya terlihat jelas. Sampai kalimat itu terlontar manis dari salah satu guru.

"Mohon maaf yang sebesar-besarnya, saudari Ita tidak bisa kami loloskan dalam ujian nasional kali ini."

Yes! Berhasil!

Di tengah raut terkejut kedua orangtuanya. Ita justru terlihat santai dengan binar wajah bahagia.

"Sebenarnya apa yang buat anak saya nggak lulus Bu?" tanya Haris.

"Kalau dari segi pembelajaran. Sebenarnya Ita termasuk siswi yang cepat tanggap. Tapi...." Wali kelas Ita mengeluarkan beberapa lembar kertas. Ia menunjukan rentang kedatangan Ita selama kelas tiga.

"Kemarin Ita sempat sakit dan dirawat berhari-hari. Kami bisa memaklumi. Tapi, selain itu Ita juga sering tidak hadir selama jam pelajaran tertentu. Kebanyakan jam pelajaran sejarah dan matematika."

Spontan Haris dan Ria menatap Ita. Seolah meminta jawaban. Ita hanya cengar-cengir mengakui kesalahannya.

"Lalu.... yang buat saya tambah terkejut nilai ujian nasionalnya Pak, Bu," selembar kertas lainnya ditunjukan. "Maaf Pak sebelumnya. Saya nggak ada maksud menghina atau apapun. Saya hanya menyampaikan. Selama saya mengajar. Saya belum pernah melihat hasil ujian nasional yang nilainya sampai 0 dan nilai tertinggi Ita pun hanya mencapai 20."

"Padahal ulangan tengah semester pun tidak seburuk ini. Saya sempat curiga kalau Ita sedang nggak enak badan saat itu. Makanya saya minta Ita untuk ujian lagi. Tapi, Ita malah nolak."

Lagi-lagi Haris dan Ria menoleh ke Ita tanpa bersuara. Seolah tatapannya saja mampu mengisyaratkan pertanyaan "kenapa bisa begini?"

"A-aku bukannya nggak enak badan. Aku beneran lupa sama semua materinya. Emh.... mungkin karena obat biusnya masuk ke otak. Jadi ada beberapa ingatan yang dihapus. Hehe," jelas Ita random.

"Jadi anak saya nggak bisa diluluskan ya Bu?" tanya Haris setelah menarik nafas panjang.

"Iya Pak. Sekali lagi mohon maaf. Sebagai wali kelasnya saya merasa gagal dalam mendidik."

"Oh.... nggak perlu merasa begitu Bu Sifa. Saya yakin Ibu udah membantu yang terbaik. Kalau sudah begini. Kami nggak akan menyalahkan siapa pun. Toh, Ita sakit juga bukan keinginan semuanya," sahut Ria.

"Iya Bu.... saya cuma bisa menginfokan tentang paket C yang akan datang tiga bulan lagi. Ita bisa ikut untuk dapat ijazah. Tapi, Ijazahnya pun hanya sesuai KKM. Dan kemungkinan besar Ita tidak bisa melanjutkan kuliah tahun ini."

"Iya Bu nggak apa-apa. Yang penting masih ada jalan untuk Ita lulus. Terimakasih ya Bu infonya," ucap Ria ramah.

Terpantau Haris memijit pangkal hidungnya sejak kepulangan dua guru tadi. Ia benar-benar stress dengan keadaan tiba-tiba ini.

"Ma-maaf Pa," ujar Ita lirih. Tidak menyangka Papanya akan sepusing ini. Padahal kan hanya tidak lulus. Bukan hamil di luar nikah.

Haris menghela nafas panjang, "kamu harus ikut Paket C!" cetusnya kemudian beranjak tanpa bersuara.

Walaupun egois rencana Ita harus tetap berjalan. Untuk kali ini saja. Izinkan Ita mementingkan kepentingannya.

Ita menoleh saat merasakan lengannya disentuh. Ria dengan tatapan teduh membawa Ita duduk kembali ke sofa.

"Papa pasti kecewa sama Ita," beo Ita.

"Nggak usah terlalu dipikirin. Papa cuma syok aja," ucap Ria seraya mengelus pundak Ita.

"Mama juga pasti kecewa?"

"Mama akan kecewa saat kamu nggak bilang apapun saat sedang sakit. Kayak kemaren kamu pingsan. Kamu tau seberapa paniknya Mama? Seolah-olah Mama nggak pengertian sama kesehatan mu."

Ita sangat paham dengan apa yang dirasakan Mamanya. Ita pun seorang Ibu. Hal apapun yang menyangkut anak rasanya ingin semuanya Ita ketahui.

Sejak dulu Ria memang selalu perhatian. Berbeda dengan Haris yang tegas dan berprinsip. Ria selalu mendahulukan Ita di atas segalanya. Membuat Ita menyesal, di masa depan telah mengungkapkan kalimat yang begitu menohok sebelum meninggal.

"Maaf ya Ma.... Ita udah banyak ngerepotin."

***

Keramaian orang memenuhi halaman sekolah. Para orangtua merangkul anaknya dengan suka cita setelah keluar dari aula. Gulungan kertas itu menjadi saksi perjuangan selama tiga tahun sekolah.

Ita berdiri di balkon. Memantau mereka dari sudut sana. Padahal guru dan orangtua sudah melarangnya datang. Tapi, Ita tetap berangkat mengingat janjinya dengan Hesa.

Ita tahu, mau dipikir berulangkali pun kerjasama dengan Raga tidak bisa dibatalkan. Pertemuannya pun lambat laun pasti terjadi.

Ita tidak bisa mengubah apapun kecuali membuat alasan. Ya! Ita sudah mengantongi keterangan tidak lulus. Ujian paket C pun butuh waktu tiga bulan.

Dengan alibi ingin menuntaskan sekolah. Setidaknya Ita punya waktu untuk menunda lamaran Raga sedikitnya tiga bulan. Di rentang waktu itu, Ita bisa memikirkan bagaimana menyelamatkan perusahaan Papanya dari krisis tanpa jaminan yang diajukan Raga.

Lalu hari ini, Ita telah bersiap di garis start untuk mencegah takdir mengerikan seseorang. "Hesa.... kali ini jangan pergi terlalu jauh," gumam Ita.

"Ita!" Suara bariton menginterupsi fokus Ita. Ia menoleh dan mendapati Hesa diekori oleh Tina keluar dari pintu balkon.

"Tadi gue cari kok nggak ada di dalem?" sahut Tina.

Ita sengaja memanggil. Mereka harus tau kenyataan ini.

"Soalnya gue nggak lulus," ceplos Ita datar.

"Ha?" Mereka kompak menyaut.

"Serius lo?" tanya Tina. Ia meyakinkan sekali lagi dengan memegang kedua pundak Ita.

"Humm."

"Nggak, nggak.... coba jawab yang bener. Lo serius?" tanya ulang Tina.

"Gue serius!"

"Ta. ini bukan waktunya bercanda." Hiliran Hesa yang meminta keyakinan.

"Buktinya aku nggak dapet gulungan kertas itu kan," tunjuk Ita pada tangan mereka.

"Kok bisa? Bukannya kita selalu bolos bareng? Ujian juga sering contekan," sahut Tina lagi. Kerutan di dahinya nampak jelas.

"Panjang ceritanya."

"Pasti ada jalan. Kamu nggak usah khawatir," ucap Hesa.

Ita menatap Hesa dan Tina bergantian. Kedua orang itu tampak khawatir. Padahal Ita tidak masalah jika tidak mendapatkan Ijazah SMA sekalipun. Sebab dari sini penderitaannya akan dimulai.

"Sejauh ini aku santai aja sih. Lagian ada paket C. Kemungkinan aku ikut itu," jawab Ita santai.

Tina dan Hesa saling memandang. Pikiran mereka selaras. Ita benar-benar berubah!

"Ta?" panggil Hesa.

"Hm?"

"Sebenernya ada hal yang mau kita omongin sama kamu."

"Ngomong aja."

Tina menyaut kedua pundak Ita. Mengarahkannya hingga kedua manik mereka saling menatap.

"Sebenarnya kamu.... siapa?"

DEG!

Bab 16 Mengulur Waktu

Semilir angin menggerakan anak rambut Ita. Berayun mengikuti arah mata angin. Sepenggal awan mendung sempat menutupi terik matahari hingga beberapa detik. Bersamaan dengan perginya awan mendung itu Tina melebarkan senyumnya.

"Canda kali! Hahaha.... Anjir muka lo serius banget," tawanya masih terpingkal-pingkal. Sedangkan Hesa pun ikut tersenyum.

Jantung Ita hampir berhenti berdetak jika Tina tetap diam menunggu jawaban. Ah! Ita lupa, dua orang terdekatnya ini memang sangat peka. Pasti mereka menyadari sikap Ita yang berubah.

Untuk ke depannya Ita harus berhati-hati!

"Tck! Bikin orang bingung aja!" dengus Ita cemberut.

"Hehe, maaf sayang bukan itu yang mau kita omongin," sahut Hesa. Meliril singkat ke Tina.

"Terus?"

"Ini tentang rencana masa depan kita."

Miris sekali! Orang yang akan meninggal justru merencanakan masa depan. "Humm, gimana? Aku mau denger."

"Jadi, Aku udah fix mau lanjut di Universitas Gardamuda jurusan IT. Terus kalau Tina—“

"Itaaaa!" serobot Tina. Tanpa mengindahkan kehadiran Hesa yang memang dia anggap hama sejak awal. "Coba tebak, gue bakal kuliah jurusan apa?" sambung Tina cepat.

"Design Grafis?" tebak Ita tepat sasaran.

"Yup! Gilaaa! Gue nggak nyangka Kakak gue bakal setuju. Argh! Gue seneng banget Taa! Ini berkat lo. Gue berani speak up berkat lo! Makasiiih," peluk Tina erat. Membuat Ita sesak dan meronta.

"Congrat yaa buat kalian," ucap Ita.

Seketika suasana berubah suram. Ita tidak paham ucapan bagian mana yang membuat tatapan mereka layu seperti ini.

"T-terus lo gimana?" Tina melonggarkan pelukannya. Menatap Ita tanpa melepas tangan dari pundak Ita.

"Hemm.... yang penting gue punya ijazah dulu. Semoga aja Universitas Gardamuda belum tutup pendaftaran mandiri," ucap Ita pasrah. Ia tidak mengharap lebih.

"Aku denger Universitas Gardamuda paling belakang tutup pendaftaran. Pasti kamu bisa Ta," sahut Hesa kemudian. Si penenang suasana.

"Yup! That's right!" ucap Ita semangat.

"BTW, lo ngapain ke sekolah? Mau pamer nggak lulus?" celetuk Tina tidak punya otak!

"Ya kali! Kurang kerjaan banget! Gue ada janji sama Hesa. Emangnya ngapain lagi gue ke sekolah?"

"Oh, kirain, ya udah gue cabut dulu. Kakak gue udah nunggu di bawah."

"Oke. Hati-hati Tin. Happy family day," ejek Ita. Padahal ia tahu betapa kesalnya Tina tidak diizinkan merayakan kelulusan bersama teman.

"Sialan anda!" Setelah itu ia melengos pergi.

"Jadi pertama kita kemana dulu ya?" monolog Ita.

Dirasa tidak merespon Ita langsung menoleh ke Hesa. Tumben sekali Hesa banyak diam.

"Sa?"

"Ha?"

"Kamu sakit?"

"Nggak kok."

"Kok diem aja dari tadi?"

"I-itu, sebenernya kamu nggak perlu dateng kesini juga nggak apa-apa. Aku yang bakal ke rumah. Tapi kamu dateng kesini demi aku. Aku jadi—“ Perkataannya terjeda. Ia memilih memalingkan wajahnya.

"Cie blushing," ledek Ita sambil mencuri lihat wajah Hesa.

"Nggak!" sanggahnya tapi masih memalingkan wajah.

"Liat aku coba!"

Hesa menyerah. Kegigihan Ita memang tidak pernah gagal membuatnya luluh. Senyum cerah itu tercetak jelas di wajah mungil Ita.

"Jadi kita start dari mana dulu?" tanya Hesa kemudian.

"Emh, aku laper. Makan somay enak kayaknya. Habis itu kita ke time zone." Ita mengorek isi tas. "Lihat apa yang aku bawa. Jeng-jeng!"

Ita menunjukan kartu gaming unlimited-nya di salah satu mall. Kartu hadiah ulang tahun dari Papanya dulu.

"Gila! Unlimited nih?"

"Iya dong. Pokoknya kita main sampe puas."

Kemudian mereka mengakhiri pijakan di balkon dan menuju ke tempat tujuan. Tidak ada hal yang bisa menghalangi kedua insan itu.

Handphone Ita sengaja dimatikan. Sebab ia tahu tepat hari ini Papanya akan menelpon untuk memintanya pulang. Disitulah Ita akan bertemu mimpu buruknya, Raga.

***

Pukul tiga sore, Hesa dan Ita mengelilingi alun-alun kota sambil menikmati street food yang berada di sekitarnya.

Pukul lima sore, senyum Hesa masih mengembang sembari memperhatikan Ita yang melihat-lihat ikan di kolam taman.

Matahari mulai menyingsing. Digantikan petang yang mulai merambat. Sedangkan Ita masih sibuk bermain time zone setelah mengenyangkan perut di street food tadi.

"Ta.... udah hampir jam enam. Pulang yuk," ajak Hesa.

"Entar dulu...." sahut Ita. Ia fokus menembak para zombie di layar game.

"Nanti kamu dicariin."

"Aku udah izin pulang telat kok," dusta Ita. Padahal ia hanya ingin menuntaskan hari ini tanpa bertemu dengan orangtuanya. Terlebih Ita mengkhawatirkan keselamatan Hesa.

Hesa tidak menaruh curiga. Ia tetap membiarkan Ita kesana kemari memainkan game yang ada. Sedangkan Hesa duduk santai di kursi pijat. Kayak bapak-bapak nungguin anaknya main.

"Sa.... laper," ucap Ita berjalan sempoyongan menghampiri Hesa.

"Mau makan apa?"

"Terse—“

"Hemm, kumat!"

"Hehe, emh.... makan nasi goreng enak kayaknya."

"Ya udah, habis makan pulang ya?"

Ita tidak menggubris. Ia segera menarik tangan Hesa menuju food court.

Selama berjalan menuju food court. Barisan gerai pakaian dan aksesoris menyita ketertarikan Ita hingga lupa rasa lapar.

Beberapa kali ia memasuki gerai pakaian dan sebagainya hanya untuk melihat-lihat. Setelah menghabiskan kurang lebih dua jam barulah Ita dan Hesa sampai di food court.

"Lucu nggak Hes?" tanya Ita sembari menunjukan buku dengan motif minion.

"Humm, lucu...." jawab Hesa seadanya.

"Ihh! Kamu belum liat udah bilang lucu!" sahut Ita kesal. Tak lupa menggeplak tangan Hesa. Kebiasaannya dari dulu.

Hesa menatap Ita lekat. Jujur Ita terperanjat dengan tatapan datar Hesa. Belum pernah Ita dapati Hesa menatap seperti ini.

"Habis ini kita pulang ya?"

"Humm...." jawab Ita memalingkan wajah.

Hesa merasa ada yang janggal. Sebab dari tadi Ita melengos saat diajak pulang. Sepertinya dugaan Hesa benar. "Kamu lagi ada masalah di rumah?"

"Enggak kok."

"Ita...."

"…. hum, Papa marah karena aku nggak lulus," ujar Ita lirih. Setengah benar setengah salah. Sebenarnya ada hal lain yang membuat Ita tidak ingin pulang.

Dari sudut pandang Hesa, Ita terlihat seperti gadis kabur. Tapi, tidak ada yang tau kecemasan yang Ita sembunyikan sejak melangkahkan kaki dari sekolah.

Dari perjalanan menuju Mall. Jantung Ita tidak hentinya meledak-ledak. Bagaimana tidak? Hari ini orang di depannya akan meninggal.

Variabel apapun yang menyangkut kematian selalu dalam kewaspadaan Ita. Tidak heran Ita selalu mencubit pinggang Hesa jika speedometer-nya menunjukan angka di atas 20.

"Ta.... semarah apapun Om Haris. Aku yakin mereka bakal khawatir. Pulang ya? Bicara baik-baik sama Papa."

Ita mengangguk setuju. Yah, setidaknya Ita sudah cukup mengulur waktu sampai Raga pulang. Karena seingatnya Raga berkunjung sekitar jam empat sore hingga setengah enam.

Ita melirik jam tangannya. Pukul tujuh malam. "Ya udah yuk pulang," final Ita.

Baiklah! Di depannya Hesa masih bernafas. Lalu Raga? Jika tebakannya benar seharusnya orang itu sudah pulang sejak tadi.

Tanpa di duga. Hesa meraih tangan Ita lalu menggenggamnya. Dengan senyum tulus itu Ita menyadari satu hal. Ternyata cinta yang dimiliki Hesa bukanlah candaan.

Ita juga ikut tersenyum. Jantungnya berdegub kencang sama seperti tadi namun kali ini dengan konteks yang berbeda.
 

Bab 17 Kausalitas

Beratapkan bintang dan beralaskan aspal. Mereka memecah kendaraan malam dan melaju santai.

Jaket yang sejak tadi melindungi tubuh Hesa dari hawa dingin kini sudah berpindah memeluk Ita. Membuat Ita tersipu saat mengingat Hesa dengan gentle-nya memakaikan jaket saat di parkiran mall.

Selagi berkendara tidak lupa Ita terus mengomel untuk memperlambat laju motor. Tidak ada penolakan yang bisa Hesa lakukan. Ia seperti itik yang mengikuti induknya.

"Hesaa!" pekik Ita.

"Kenapa?"

"Pelan-pelan!"

"Iya sayang."

"Tadi speedometer-nya lewat 20!"

"Hehe. Iya-iya, maaf khilaf."

"Aku cubit kalau lebih lagi!" ancam Ita.

"Ampun ratu....." cengir Hesa.

Sampai disebuah perempatan. Lampu merah baru saja padam. Hesa melajukan motornya sesuai interuksi. Namun, dari arah kiri sebuah mobil melaju kencang dan kehilangan keseimbangan. Kecelakaan pun tak terbantahkan.

Alhasil, sang sopir membanting stir ke kiri lalu mobil sukses berbalik setelah menghantam lampu jalan.

Tidak luput Hesa dan Ita ikut terserempet hingga jatuh ke aspal. Beruntung tidak banyak yang menjadi korban. Jika diperhatikan hanya Ita dan Hesa saja karena berada paling depan.

Hesa tampak bingung sejenak lalu suara Ita berhasil mengambil kesadarannya.

"Hesa!?"

"Hesaaa!"

Ita mengguncang tubuh Hesa yang sejak tadi termenung seolah belum sadar dengan kejadian ini. "Ha?" sahut Hesa.

"Syukurlah!" ucap Ita seraya memeluk Hesa. Isaknya terdengar lirih. Hesa merasakan tubuh Ita bergetar.

Dalam sekejap Hesa dibuat terbuai dengan kepedulian Ita. Namun segera ia tepis setelah melihat banyaknya orang mengerumuni mereka.

"Dek, nggak apa-apa?"

"Ayo bantu angkat," mereka mengangkat motor Hesa ke tepi dan memapah Hesa serta Ita ke tepi jalan.

Hesa memperhatikan Ita yang masih sesenggukan. Dia pasti sedang syok!

"Hei?" sapa Hesa.

"Hallo?" lambaian tanga Hesa mengalihkan fokus Ita.

Hesa tersenyum di saat menahan perih di dua lututnya yang robek. "Mana yang sakit?"

Ita menatap Hesa. Pasti Hesa mengira ia menangis karena luka. Kenyataannya? Dibanding luka di siku dan lulut sebelah kirinya, Ita menangis bahagia karena Hesa tidak terluka parah sampai membahayakan nyawa.

Dengan kata lain Ita berhasil menyelamatkan Hesa. Takdir telah berubah!

"Dek ikut ke rumah sakit sama ambulan itu," titah paruh baya yang tadi membantu berdiri.

Hesa bangkit, ia mengulurkan tangan kepada Ita. Sebuah ambulan datang untuk membawa pemilik mobil ringsek yang menerobos lampu merah tadi.

Ita sempat mengintip si pemilik mobil yang sudah berada di dalam. Darah menutupi seluruh wajahnya. Seorang petugas sedang melakukan CPR.

Fokus Ita tertuju pada sesuatu. Jam Rolex keluaran terbatas yang hanya dimiliki dua orang di Indonesia. Satunya milik artis ternama Rafif Ahmad dan satunya milik.....

"Raga...." gumam Ita. Matanya membola setelah mencerna pemandangan yang dilihatnya.

Tiba-tiba pandangannya menghitam. Bersamaan dengan itu sentuhan lembut menjalar di area matanya.

"Jangan dilihat," ucap Hesa. Ia membalik tubuh Ita dan menggiringnya ke kursi depan.

Ambulan itu melaju cepat. Memecah kepadatan lalu lintas. Sirine bergaung di telinga Ita.

Seseorang tengah kritis di belakang sana. Jika asumsi Ita benar. Dia adalah Raga!

***

Setelah mensterilkan luka. Ita dan Hesa menunggu di depan ruang UGD.

"Udah hubungi Om dan Tante?" tanya Hesa yang hanya mendapat gelengan pelan dari Ita.

Hesa menatap gadisnya yang tampak khawatir. Terus menatap ruang UGD. Seolah tak ada objek lain yang bisa dilihat. Kejadian ini pasti membuatnya syok. Itu yang ada di pikiran Hesa.

Jujur saja, hal itu berbanding terbalik dengan apa yang dipikirkan Ita. Saat ini pikirannya penuh dengan pertanyaan.

Siapa orang di dalam sana? Ita tidak sekejam itu mengharapkan orang yang tengah diambang maut itu adalah Raga.

Brangkar orang itu keluar bersamaan dengan dua perawat mendorong di sisi kanan dan kirinya. Ita menepi untuk memberi jalan.

Doanya masih sama. Semoga praduganya salah! Karena bagaimana pun, Ita tidak mengharapkan alur seperti ini. Namun, semester berkata lain.

Hesa menyadari kecemasan yang terpatri di wajah Ita ketika brangkar melewati mereka."Kamu kenal orang itu?"

"Nggak!" dusta Ita tegas.

Mau berkali-kali mengelak pun. Matanya tidak pernah salah menilai orang yang tengah berbaring di sana. Seseorang yang menjadi alasan ia kembali dari kematian, Raga!

Di situasi genting ini. Ita menyadari satu hal ketika matanya bertatapan dengan Hesa.

Seharusnya yang berbaring di sana adalah Hesa. Namun, sekarang Raga. Jika tebakan Ita benar. Takdir tetap menginginkan seseorang mati di hari ini. Siapa pun orangnya!

Ita memegangi kepalanya. Pusing tiba-tiba menyerang.

"Ta, kamu kenapa? Ada yang sakit?" tanya Hesa khawatir. Ita hanya menggeleng. Kemudian menegakan kembali kepala ketika dokter keluar dari UGD.

"Kalian sudah menghubungi walinya?" tanya seorang dokter.

"Belum dok. Kami nggak tau," jawab Hesa. Seharusnya tadi ada satu paruh baya di sini. Tapi tiba-tiba ia pergi setelah beralasan akan mengurus sesuatu.

"Untuk sementara saya jadi walinya dok," usul Ita.

"Tidak bisa. Hal ini harus dibicarakan dengan keluarganya,” sahut perawat di samping dokter itu.

Kebingungan menyelimuti kedua insan itu sampai sebuah ide muncul. Ita mengingat nomor handphone bisnis Raga. Ia tidak pernah membawa handphone itu pulang. Ada seseorang yang membawanya. Pasti ada yang memegangnya!

Tangan Ita lihai mengetik barisan nomor. Tidak lama ia langsung men-dial nomor itu.

"Kamu telpon siapa?" tanya Hesa. Ita tidak menghiraukannya.

Siapa pun angkat teleponnya!

"Hallo?"

Syukurlah!

"Halo. Bisa tolong datang ke rumah sakit Medical Center. Pak Dirut mengalami kecelakaan."

"Ini siapa?"

"Saya.... saya Ita. Salah satu korban kecelakaan. Tolong segera datang. Pak Dirut butuh wali sekarang juga!"

"Baiklah...."

Ita mengakhiri sambungan telepon. Ia penasaran dengan satu hal. "Gimana kondisi pasien tadi dok?"

Dokter itu tampak ragu sebelum akhirnya memberikan statment. "Baiklah. Kondisi pasien cukup kritis. Sebelum di bawa kemari dia kehilangan banyak darah dan benturan dikepalanya cukup dalam. Jika dalam dua hari ia tidak bisa melewati masa kritis. Pasien akan mengalami kematian otak dalam jangka waktu panjang."

DEG!

Entah Ita harus senang atau tidak. Melihat kondisi Raga seperti ini tidak pernah terlintas sedikit pun.

Brangkar Raga dipindah ke ruang rawat inap karena ada pasien baru yang harus dokter itu tangani. Wali Raga tidak kunjung datang padahal jam sudah berdetak hingga pukul sebelas malam.

"Ta, mending kamu pulang. Biar aku yang ngurus masalah ini," ucap Hesa.

"Nggak Sa. Aku juga harus tanggung jawab," kekeuh Ita. Pasalnya ia tidak tega meninggalkan Raga begitu saja. Karena ada kemungkinan kondisi Raga yang seperti ini berkat Ita yang berusaha menyelamatkan Hesa.

"Ini udah malem banget," sahut Hesa. Jelas sekali kekhawatiran di dua manik hitam itu.

Ita tidak menanggapi perkataan Hesa. Matanya fokus memandang Raga yang terbaring dengan radar pendeteksi jantung.

Sejenak perasaan itu muncul kembali. Perasaan asing yang sayangnya Hesa benci.

"Kamu kenal orang ini?" tanya Hesa lagi dan dijawab gelengan pelan dari Ita.

"Kalau gitu.... dari mana kamu tau dia Direktur Utama? Tadi kalau nggak salah kamu nyebut dia Pak Dirut kan?"

Kini Hesa berhasil memperoleh perhatian Ita. Matanya terlihat sangat layu. "Kenal dia?" tanya Hesa lagi.

Seseorang datang. Menginterupsi mereka sehingga pertanyaan Hesa menggantung tanpa jawaban. Ia terlihat terengah-engah dengan pakaian kacau.

Setelah menetralkan nafas. Barulah laki-laki itu angkat bicara.

"Bagaimana kondisinya?" ujar Reon. Salah satu teman Raga sejak SMA sekaligus wakil direktur H Group.

"Keadaannya kurang bagus. Dokter bilang jika dia tidak melewati masa kritis selama dua hari dia akan mengalami kematian otak," jelas Hesa.

Kemudian Hesa menjelaskan tragedi yang menimpa mereka. Reon tidak menyalahkan Hesa dan Ita. Pasalnya ia tahu bosnya sedang di rundung gelisah sebab banyak hal yang ia pikirkan.

"Kalau begitu kami pamit dulu Om. Semoga Om Raga cepet siuman," pamit Hesa sepihak tanpa persetujuan Ita.

"Tu-tunggu!" cegah Ita saat Hesa menarik tangannya.

"Apa lagi? Ini udah malem Ta. Hampir jam 12! Orangtua mu pasti khawatir! Toh, walinya udah dateng."

Ita terkesiap. Hesa yang biasanya selalu menuruti permintaannya tiba-tiba tegas. Tidak ada pilihan selain menurut. Mereka pun pulang setelah berpamitan pada Reon.
 

Bab 18 Cara Yang Benar

"Aku sampe sini aja," pinta Ita.

"Ha? Nggak! Aku anter sampai rumah. Sekalian jelasin ke orangtua mu."

"Nggak Sa! Pokoknya aku mau turun disini!"

"Kasih aku alasan!" Sebagai laki-laki Ia bertanggung jawab memulangkan gadisnya sampai depan rumah.

"A-Aku nggak mau kamu kena marah. Gimana pun juga ini salah ku karena nolak pulang." Ita menunduk layu. Tangannya saling bertaut. Bukti bahwa ia sedang cemas. "Biar mereka ngira aku yang kabur. Aku udah biasa kena marah. Jadi mending kamu pulang aja."

Alih-alih menjawab Hesa memilih diam. Ia menepikan motornya yang secara ajaib masih bisa jalan setelah kecelakaan itu. Yah, kerusakannya juga tidak terlalu parah.

"Aku tetap anterin sampe rumah," kekeuh Hesa. Bagaimana mungkin ia membiarkan gadisnya dimarahi sendirian.

"Nggak! Kamu pulang aja!"

"Aku nggak takut dimarahi. Seharusnya kamu udah di rumah jam delapan tadi. Tapi karena aku nggak hati-hati kamu jadi harus nungguin wali orang itu dateng. Kayak kamu yang mau tanggung jawab atas kecelakaan tadi. Aku pun mau tanggung jawab nganterin kamu selamat sampe rumah. See? Adil kan?"

"Saa! Kamu.... Tck! Udah sih nurut aja.... aku ngelakuin ini demi kelanjutan hubungan kita. Orangtua ku pasti nggak akan bela kamu. Mereka pasti salahin kamu. Aku paham karakter mereka. Please.... aku nggak mau kamu di cap jelek cuma gara-gara hal ini."

Hesa membuang nafas. Ia menggapai pucuk kepala Ita lalu mengelusnya. Berharap tindakan itu bisa menenangkan hati gadisnya. Ita terlalu panik.

"Kalau gitu jangan larang aku untuk nganterin sampai rumah mu. Percayalah, aku nggak akan buat hubungan kita berakhir," ucap Hesa penuh keyakinan.

"Aku nggak mau kamu dibenci Papa!" Ita masih kekeuh dengan pendapatnya.

"Ta, aku laki-laki yang bertanggung jawab. Aku yang udah memperparah keadaan kamu saat ini. Izinin aku jelasin di depan orang tua mu. Ya?"

"Aku mau jalan aja!" elak Ita. Ia meninggalkan Hesa termangu.

"Rumah kamu blok tiga kan? Oke, aku kesana duluan. Silahkan kalau mau jalan," Hesa melajukan motornya.

Tindakan Hesa justru bagai bumerang buat Ita. Ia membuat Ita nekat berlari. Ia terengah-engah mengejar motor Hesa yang sudah napak kecil di penglihatannya.

Menyadari Ita yang berjongkok Hesa terpaksa kembali. "Makanya nggak usah ngeyel. Yuk, naik."

Tanpa menjawab Ita langsung menyergap kunci motor Hesa dan menaruhnya di kantung roknya. Seringai jail itu terbit tak berdosa.

"Ta! Balikin!"

"Ambil kalau bisa!" tantang Ita.

Itu perkara gampang namun moral Hesa tidak mengizinkan. Bagaimana bisa ia meraba rok Ita hanya untuk mengambil kunci motor. Ia bergelut dengan pikirannya sendiri sebelum tatapan Ita menyendu.

"Sa, aku nggak mau hubungan kita berakhir cuma masalah sepele--"

Hesa menggapai pundak Ita. "Bagi ku nggak sesepele itu Ta. Aku punya prinsip. Cewek nggak boleh pulang di atas jam delapan malam. Dan aku udah langgar prinsip itu."

"Oke. Aku tau! Sekarang aku kasih pilihan dan apapun resikonya ini keputusan mu." Ita menatap intens. Mengacungkan jarinya. "Satu, Kita ke rumah dan jelasin apa yang terjadi dengan resiko kita putus atau dua, kamu pulang dan percayakan masalah ini sama aku. Kamu pilih cara yang mana?"

"Aku pilih cara yang ke tiga. Cara yang benar!" Hesa menggapai tangan Ita. Mengusap kemudian menciumnya singkat. "Percaya sama aku," ucapnya yakin.

***

Lagi-lagi Ita mengerutkan dahi hingga kedua alis itu terlihat bersatu. Sudah ke tiga kalinya juga Ita memikirkan ulang kejadian kemarin.

How?

Itu sebuah kejutan. Apalagi seorang Ita yang sudah mencicipi udara masa depan bahkan dibuat terkejut dengan tindakan Hesa yang tak terduga.

"Mikir apaan sih?" tanya Tina sekembalinya dari mengambil pesanan dimeja saji.

"Hesa," celetuk Ita.

"Dasar bucin!"

"Tin? Menurut lo wajar nggak sih ada orang se-perfect dia?"

"Siapa? Hesa?" Ita mengangguk semangat.

"Di mata lo doang perfect. Karena lo lagi masa ke-bucin-an. Menurut gue Hesa biasa aja tuh. Malah nyebelin karena kelewat narsis. Yah.... memang sih tampangnya lumayan. Tapi kelakuannya itu lho. Ish!"

"Iya kan?! Maksud gue.... kok dia mau sama gue yang punya penampilan B aja. Akhlak juga kurang. Kekanakan dan suka ngeluh. Why? Dia milih gue."

"Orang nggak bisa nilai dirinya sendiri. Lo bilang kayak gitu belum tentu Hesa beranggapan sama. Siapa tau di matanya lo kayak bidadari turun dari kayangan," ucap Tina setelah menelan toast-nya.

Ita membuang nafas kasar sembari merebahkan diri ke kepala kursi. "Berarti gue termasuk orang beruntung ya?" tanyanya random lalu dibalas anggukan malas oleh Tina.

"BTW, kronologi kaki sama siku lo kenapa bisa korengan gitu?"

"Ish! Jangan sebut korengan sih! Luka gitu lho! Lagian udah gue ceritain lewat telepon juga," decak Ita.

"Heh! Mikir! Lo telepon jam satu malem. Gue setengah sadar dengerin cerita lo. Mana nangkep otak gue."

"Tck! Gue sama Hesa keserempet mobil waktu pulang hangout. Intinya gitu."

"Oh.... terus yang buat lo makin jatuh cinta sama Hesa apaan? Kayaknya dari tadi lo ngomongin Hesa mulu. Nggak kayak biasanya."

"Tau nggak...." ucap Ita antusias. "Gue masih nggak percaya Hesa se-nekat itu...."

"Gue balik ke rumah hampir jam 12 malam. Dan gue minta Hesa untuk pulang aja. Tapi dia kekeuh mau jelasin ke orangtua gue dan minta maaf. Udah gue ancam juga, kalau dia bakal kena marah. Tapi dia nggak gentar sama sekali."

"Nah.... terus sampai rumah....." Ita menepuk dua tangannya sampai Tina kaget. "Lo tau apa yang dilakukan Hesa?"

"Apa?"

"Dengan santainya dia masuk. Jelasin ke orangtua gue dan.... udah, orangtua gue cuma bilang terimakasih tanpa ngoceh-ngoceh."

"Dan lo tau.... waktu Hesa udah balik. Gue interogasi orangtua gue. Ternyata Hesa selalu update ngabarin ke Papa setiap jam! Gila nggak?"

"Gila sih emang. Gila posesif-nya! Terus waktu lo kecelakaan orangtua lo nggak nyusul ke rumah sakit?"

"Nggak.... itu juga berkat Hesa. Di handphone-nya yang tinggal lima persen dia sempet telpon Papa. Ngabarin kalau kita kecelakaan dan bilang nggak perlu khawatir. Baru kali ini Papa percaya sama orang lain untuk jaga gue."

"Udah dapet lampu hijau dong?" sahut Tina menaikturunkan alis.

Seketika Ita diam. Perihal tragedi Hesa memang sudah lewat. Tapi, tidak ada kepastian di waktu lain Hesa akan celaka. Lalu, sampai detik ini Raga masih koma. Ita tidak bisa mengambil kesimpulam bahwa takdir benar-benar sudah berubah.

"Nggak tau lah. Jodoh di tangan Tuhan," sahut Ita menyeruput greentea-nya.

"Eh, gue toilet dulu ya?" Ita beranjak.

Getaran handphone Ita terasa setelah ia selesai berurusan dengan toilet. "siapa sih?" gumamnya.

"Nanti Papa jemput."

Pesan singkat itu hanya dibalas kata persetujuan oleh Ita. Bukan hal yang jarang Papanya menjemput. Apalagi mengingat Ita baru mengalami kecelakaan kemarin. Logikanya orang tua mana yang tidak khawatir?

Untuk kesekian kalinya dugaan Ita salah! Sebuah gedung dominasi putih menjulang. Ita kenal tempat inI pasalnya baru beberapa hari lalu ia menapaki kakinya kemari.

"Temani Papa jenguk teman Papa bentar ya," titah Haris.

"Teman Papa yang mana?" tanya Ita curiga.

"Bukan Direktur Raga dari H group kan?" sergap Ita.

"Iya, Kok kamu tau?"

Bab 19 Serupa Tapi Berbeda

Sebuah fakta bahwa Ita maupun Hesa tidak memberi tahu identitas korban kecelakaan pada malam itu. Akan runyam jadinya. Pikir Ita.

"Nggak mau! Papa sendiri aja!" Ita langsung keluar dari mobil tanpa tau di sisi kirinya ada mobil yang akan parkir. Alhasil Ita mendapat klakson melengking dari si pemilik.

Haris buru-buru keluar dan mengatasi masalah. Permohonan maaf sudah jelas Haris ucapkan karena perilaku sembrono anaknya.

"Mau kemana kamu?" tanya Haris melihat gerak-gerik Ita yang mau kabur.

"Pa. Aku nggak mau ketemu si Raga itu. Lagian dia kan teman Papa. Kenapa aku harus ikut juga sih?! Aku mending tunggu di mobil aja."

Haris memandang datar. "Kamu yakin nggak mau minta maaf?"

"Untuk?"

Haris tampak meraup wajahnya. Sejak kapan anaknya jadi pembohong? "Bukannya kamu yang menyebabkan kecelakaan itu?"

"Apa? Kata siapa?" sulut Ita dengan nada tak terima.

"Kamera CCTV jalan dan pengakuan dari wakil direktur H Group. Kamu ada di rumah sakit ini sampai beliau datang kan?"

"Pa! Aku juga korban. Dia yang nyelonong terobos lampu merah. Kenapa jadi salah ku?"

"Intinya kamu juga terlibat. Ayo ikut Papa untuk minta maaf!" Haris meraih tangan Ita.

"Nggak! Ini bukan salah ku! Kalau ada yang harus minta maaf. Harusnya dia!" berontak Ita melepaskan genggaman tangan Haris.

"ITA!" bentak Haris.

Beginilah Papanya. Ketika sudah meyakinkan sesuatu. Tidak ada yang bisa menggoyahkannya. Bahkan anaknya sendiri pun.

"Pa! Mereka memang investor Papa. Tapi jangan tumbalin anak untuk cari muka depan mereka!"

PLAK!

Ita memegangi pipinya. Rasa nyeri menjalar bersamaan bekas kemerahan muncul.

Dengan mulut menganga dan rembasan air mata yang timbul. Ita menyadari satu hal, Papanya adalah orang sama yang sudah menjual Ita di masa depan. Bodoh sekali Ita terlena hanya karena sedikit adegan harmonis!

"Cuma minta maaf kan? Oke!"

Ita memunggungi Haris untuk pergi ke bilik Raga. Langkahnya tegas dengan jejak air mata terlihat jelas.

"Kamu...." sambut Reon yang tengah menjaga Raga.

Ita melirik sekilas ke Raga yang tengah tertidur. Kemudian fokusnya kembali ke Reon. "Maaf Kak sudah mengganggu waktunya. Saya kesini mau minta maaf."

Reon mengernyitkan alis. "Untuk?"

Bersamaan dengan pintu terbuka, Ita menoleh dan menatap tajam sosok Haris di sana. "Karena mungkin saja aku yang menyebabkan kecelakaan ini."

"Ah.... tidak perlu sampai minta maaf. Olah TKP udah keluar. Polisi menyatakan ini kecelakaan tunggal."

"Sy-syukurlah.... saya khawatir anak saya juga terlibat atas kondisi Pak Raga," saut Haris kikuk.

Mereka menghabiskan waktu untuk ngobrol sejenak sebelum Haris berpamitan pulang. Sedangkan Ita menatap sendu wajah Raga.

"Lihatlah, dia bahkan nggak mampu buka matanya sendiri," gumam Ita.

"Ita, ayo pulang," saut suara bariton.

Ita beranjak sebelum menatap kasihan wajah Raga sejenak. Ia tidak bisa melakukan apapun dengan hal ini.

^^^^^^

Ita memperhatikan Papanya yang mondar-mandir sambil memegangi handphone. Sudah Ita duga, mulai dari sini masalah perusahaan datang.

Memilih tidak menggubris, Ita berjalan melewati Papanya ke halaman belakang. Ia masih marah dengan perlakuan Papanya tempo hari.

Waktu tetap berjalan, saat ini Ita bahkan tidak tau bagaimana ending dari kisah ini. Perusahaan Papanya tetap dirundung masalah. Raga tertidur dan sebagai gantinya Hesa selamat.

Dengan kata lain, Ita bisa dijual ke keluarga mana pun. Karena Raga yang seharusnya menyelamatkan perusahaan Papanya justru koma.

"Sadar salah, tidur juga salah," gumam Ita menyalahi seseorang.

Ita memandang pantulan dirinya di kolam. Entah kenapa bayangan Zera dan Zeno menyeruak masuk ke dalam pikirannya.

Bagaimana pun Raga sempat mengisi hatinya hingga memunculkan Zera dan Zeno. "Kalau mau mati, mati aja. Kalau mau hidup, cepat bangun!"

"Aku nggak pernah berharap tidur panjang mu terjadi.... aku cuma.... hais!"

Kesal! Ita bangkit sekali lagi. Ia berniat mengunjungi Raga sendirian. Tanpa paksaan dan dengan setulus hati.

Setelah ganti pakaian dan izin ke Mamanya, Ita melaju dengan motor scopy kesayangannya. Sekali lagi pergi ke tempat mantan suaminya.

Bangunan putih itu tampak kokoh menjulang. Ingatan Ita membawa pada lokasi bilik Raga. Tepatnya di lantai tiga kamar VVIP.

"Baiklah, kali ini aku benar-benar tulus jenguk."

Niatnya telah bulat sebelum tangan seseorang berbarengan dengan tangannya menyentuh gagang besi pintu rumah sakit. Spontan Ita menoleh dan mendapati gadis berseragam SMA

Mata mereka bertemu. Ita tercengang mendapati struktur wajah gadis itu, "Zera?" gumam Ita.

"Ha? Lo kenal gue?" jawab gadis itu jutek.

Tenang Ita! Mana mungkin Zera ada di sini! Tapi lihatlah parasnya itu! Seperti Zera versi SMA. Ita memulihkan kembali fokusnya. Ia harus tenang!

"Nggak. Kamu cuma mirip sama orang yang ku kenal."

"Oh," ucap gadis itu seadanya lalu mendahului Ita.

Sebenarnya Ita cukup terganggu. Gadis tadi kelihatannya sedang dalam mood yang jelek. Ita tidak ingin mengusiknya. Tapi, kenapa mereka selalu berjalan di lantai yang sama?

"Lo ngikutin gue?!" gertak gadis itu.

Kekhawatiran Ita pun terjadi. "Nggak kok. Emang pasien tempat kenalan ku lewat sini."

"Oh," lagi-lagi hanya itu responnya.

Sudah dua lantai dilewati. Banyaknya ruang pun ikut menjadi saksi jejak langkah mereka. Namun tujuan mereka masih sama.

Spontan gadis itu menghentikan langkahnya lalu berbalik, "bilang! Lo ada masalah apa sama gue?!"

Mampus! Bukan ini yang Ita inginkan, "nggak ada apa-apa, sumpah. Tujuan ku memang ke tempat ini."

"Heh! Nggak usah banyak alesan! Di sana cuma ada satu ruang VVIP. Nggak mungkin paman kenal sama bocah kayak lo!"

Bocah? Memangnya siapa yang bocah di sini? Ita sempat naik pitam sebelum sadar ia mengucapkan kata 'paman'.

"Kamu sepupunya Raga?" tebak Ita.

"Lo bilang apa? RAGA?!" Gadis itu menyugar rambutnya ke belakang. Mampus! Ita membuka lubang kuburnya sendiri.

"Jaga bicara lo anj*ng! Lo pikir paman gue teman lo!" sarkas Gadis itu. Ia mendorong tubuh Ita penuh emosi.

"Tu-tunggu!" hadang Ita.

"Sorry. Kayaknya ada salah paham. Aku kesini mewakili Papa buat jenguk Direktur Raga." Ita mengeluarkan kartu nama Papanya yang sempat ia ambil tadi.

"Adma djaya ya," gumam gadis itu. Dari mimiknya sepertinya ia kenal dengan nama keluarga Ita.

"Seharusnya lo bilang dari tadi!"

Memangnya sempat? Dia kan kayak buldoser yang menyerang tanpa henti. Batin Ita.

"Sera?" suara baritone terdengar. Si pemilik nama langsung berbalik. Hal itu sekaligus mengikis penasaran Ita dengan nama gadis emosian ini. Ternyata bukan hanya wajahnya yang mirip namanya pun cuma beda satu huruf.

Bersambung

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
After Ending
Selanjutnya After Ending 20-28 Free
0
0
Bisa baca gratis di wattpad & karyakarsa. Sudab ending. Happy reading. Mina san.Kamu tau apa kesalahan mu? tanya Raga.  Hem, iya.  Sekarang minta maaf atas perlakuan kasar mu tadi!   Pandangan Ita beralih ke dua sejoli itu, maaf. Seolah tidak bisa mengelak. Perintah Raga seperti sihir yang sudah tertanam sangat dalam.  
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan