
Sudah ending jadi bisa marathon. Happy Reading.
"Hari ini telah terjadi kecelakaan beruntun di tol Cipularing yang menewaskan kurang lebih enam pengendara. Untuk info selengkapnya kami terhubung dengan—“
DEG!
Suara berita itu masih bergaung di ruang tengah. Mengelak pun percuma! Kenyataan menuntun Raga pada kebenaran bahwa Ita sedang menuju kesana.
Bab 43 Satu Pertanyaan
Raga memandu jalan seperti biasa sedangkan Ita mengekor di belakang. Perjalanan lumayan jauh ke gerai ternama ini tidak menghasilkan apapun, Mereka berjalan keluar tanpa membawa satu pun paper bag.
Saat melewati beberapa gerai Ita mendapati sepasang cincin terpampang di etalase. Memorinya terbuka lagi di masa itu. Cincin dengan design sama yang pernah melingkar di jari manis Ita sebagai bukti ikatan suci pernikahan mereka.
"Kenapa?" tanya Raga yang heran dengan berhentinya Ita.
"Nggak apa-apa," saut Ita kemudian melangkah lagi.
Mereka melajukan mobil kembali. Menuju tempat dimana Ita bisa tersenyum bahagia melihat jajanan-jananan ringan pinggir jalan.
"Nah, di sini tempatnya. Bapak nggak pernah kesini kan?" tanya Ita sumringah. Ia tidak sabar mencoba satu per satu jajanan yang ada.
"Iya," jawab Raga sekenanya. Ia terlalu takjub oleh senyum langka itu.
Ita hilang kendali. Ia menclok kesana kemari membeli jajanan sampai tangannya penuh.
"Bapak nggak beli?" tanya Ita setelah sadar Raga tidak membawa apapun.
"Bingung mana yang enak."
"Ih makanya jangan ngurusin bisnis terus. Sekali-kali ke tempat kayak gini dong. Biar nggak prik banget," ejek Ita. Walaupun begitu Ita tetap menawari cilor gulung.
"Mau coba nggak? Menurut ku ini sih yang paling enak."
Raga menyaut tusuk cilor dan melahapnya, "gimana? Enak kan?". Raga terkesiap beberapa detik kemudian mengambil kembali tusuk cilor lainnya.
Melihat respon itu, Ita menyimpulkan Raga menyukainya. Memang dari dulu nikmat cilor gulung tidak bisa ditolak.
"Yang itu apa?" tanya Raga menunjuk cilok mercon yang hampir masuk ke mulut Ita.
"Oh yang ini jangan karena... eh!"
Hap!
Tangan Ita dibawa ke depan mulut Raga dan satu cilok berhasil masuk tanpa hambatan. Ita menganga sejurus kemudian Raga kalap seperti orang gila menghentak-hentakkan kaki sambil berjalan melingkar.
"Makanya jangan asal comot!" hardik Ita sembari menyerahkan botol minum yang habis dibeli.
"Nggak ngomong kalau itu pedes!"
"Bukannya nggak ngomong tapi nggak sempet ngomong bapak udah main telen aja."
Ita memantau Raga yang masih kepedasan. Sudut bibirnya terangkat saat mengingat sudah dua orang yang menjadi korban cilok mercon.
"Ngapa senyum-senyum? Seneng liat orang kepedesan?! Beliin minum lagi yang dingin!" titah Raga seringan bulu.
"Tsk! Dasar kepedesan makin nyebelin aja tuh orang!" dengus Ita.
Setelah beberapa menit hilang sudah rasa panas di mulut Raga. Masih seputaran jajanan, Raga memperhatikan hilir berganti orang-orang lewat.
Mata itu mengawasi sosok gadis yang tengah mengantre bakso tusuk sambil berebutan dengan anak sekolah. Jika itu Ita, Raga tidak heran. Padahal ia tidak perlu mengantre pun Raga bisa membeli bakso segerobaknya.
Jika Raga yang dulu mungkin akan berfikir seperti itu. Tapi sekarang..., ia ingin berubah demi gadis pemilik senyum manis itu.
Tring!
Sebuah notifikasi terdengar. Ita memang ceroboh menaruh handphone sembarangan. Berkat itu Raga hanya bisa geleng-geleng kepala.
Ah! Sepertinya Raga punya ide bagus. Ia ingin memberi sesuatu ke Ita. Tapi selalu ditolak. Dengan landasan itu ia nekat mengutak-atik handphone Ita. Membuka akun shopee-nya dan checkout semua barang di keranjang. Pembayaran akan masuk ke rekening Raga.
Tidak terasa langit senja telah menampakan orange-nya yang memukau. Berbagai tempat telah mereka kunjungi. Bagi Raga, seumur hidup baru kali ini hari penat disulap menjadi lebih berwarna. Semua berkat Ita.
Andai saja, bukan Hesa. Melainkan dirinya-
Raga tersenyum miring. Memangnya kebaikan apa yang sudah Raga perbuat sampai bermimpi bisa bersanding 'lagi' dengan Ita?
"Aku boleh tanya satu hal?"
Suara Ita mengalihkan fokus Raga, "Tanya apa?"
"Apa Bapak...."
Ita terpaksa menelan salivanya kasar. Ini hanya pengisi waktu luang saja. Orang di jaman ini pun pasti akan menanggapinya dengan candaan.
Hembusan nafas terdengar. "apa Bapak dari masa depan?"
.....
Setelah dipaksa makan malam oleh Ria akhirnya Ita boleh ke kamar. Jujur saja isi perut mulai memberontak keluar berkat banyak jajanan yang masuk tadi siang.
Segala bentuk alibi untuk menolak makan malam tidak mempan lagi pada Ria. Padahal tadi ia tidak bohong. Kesal! Tapi, itu termasuk hasil perbuatan nggak berakhlaknya karena sering cari-cari alasan.
Dengan bersandarkan dinding. Ita menekuk kedua lutut dan memeluknya. Manik itu tertuju pada kilau cincin berhiaskan mata berlian yang ditempatkan apik pada kotak kokoh berwarna hitam dan dikelilingi garis emas.
Ingatan menyita fokusnya untuk kembali beberapa jam yang lalu. Saat di taman kota tepat sang senja menampakan kilau memukau.
"Bapak dari masa depan juga?"
Seulas senyum tanpa arti terlihat, "kenapa kamu bisa mikir kayak gitu?"
"Soalnya Bapak tiba-tiba baik sama saya. Kayak bukan Bapak biasanya."
"Hemm... memang bertingkah baik menandakan orang itu berasal dari masa depan?"
Mampus! Kalau seperti ini, namanya senjata makan tuan dong.
"E-enggak sih...."
Ita tersudut, niat hati ingin mendapat kepastian justru ia sendiri kena batunya.
Terdengar kekehan, Ita melirik dan mendapati Raga tersenyum. Sangat manis dan nyaman. Entahlah!
"Aku malah jadi penasaran. Kalau masa depan seperti yang kamu bayangkan ada. Memang di masa itu kita punya hubungan apa? Kayaknya kamu kenal baik sama aku."
"N-nggak ada. Udahlah nggak usah dibahas lagi. Tadi aku ngigau."
"Hemm. Malah semakin pingin tau. Dilihat dari responmu kayaknya lebih dari teman tuh. Apa kita menjalin ikatan yang lebih dalam? Kalau gitu, apa jangan-jangan di masa depan kita sepasang suami istri?" ceplos Raga.
DEG!
Bungkam! Dengan alasan apapun Ita tidak bisa menjawab. Ia mengulum suara dan juga bibirnya.
"Hahaha. Baiklah, ayo bermain kata andai. Jika masa depan seperti itu ada. Izinkan aku mengatakan satu hal," Raga mendekat lalu berbisik, "terimakasih sudah menerima manusia menyedihkan seperti ku."
Mata Ita spontan menyorot penuh tanya pada tatapan sendu Raga. Apa maksudnya? Jika ia berterimakasih. Seharusnya dia tidak mengabaikan Ita dan kedua anaknya!
"Kamu tau.... aku ini nggak dibesarkan di keluarga yang utuh. Jujur aja, aku nggak tau cara memperlakukan orang dengan baik. Jangankan membentuk keluarga. Teman terdekat yang mau bertahan dengan ku cuma Reon. Selebihnya hanya memanfaatkan ku untuk kepuasan mereka."
"Hidup ku cuma tentang bagaimana mendatangkan keuntungan. Mungkin karena dari kecil nenek membesarkan ku untuk bertahan di dunia bisnis. Sisi manusiawi ku pun perlahan tumpul."
Raga menaiki pagar besi yang berdiri di tepi sungai, "karena itulah, si angkuh ini.... mengacaukan semuanya."
Hembusan angin menerpa surai rambut halus itu hingga tersibak ke belakang. Menatap penuh heran pada sepasang manik yang menyorot jauh entah kemana. Sebenarnya apa saja yang sudah dilalui hingga menggadaikan kemanusiaannya?
"Oh iya, ini...." Raga merogoh saku jas. Sebuah kotak hitam kecil dilempar dan berhasil Ita tangkap. Tanpa menunggu instruksi. Ita membukanya.
"Buat kamu. Seharusnya itu edisi couple. Tapi, kita kan bukan pasangan. Jadi aku sengaja beli satu yang versi cewek."
"I-ini kenapa...."
"Aku liat kamu sampe berhenti mendadak gara-gara liat cincin itu. Makanya aku beli dengan harapan semoga kamu nggak melupakan orang menyebalkan yang selalu suruh beli es kopi di jam istirahat," cengir Raga sampai dua matanya menyipit.
"Jaga baik-baik, ya?"
Seulas senyum terbit, disaksikan langit malam dan jajaran para bintang. Satu kali lagi, Cincin berlian itu kembali ke jari tuannya. Tanpa sebuah ikatan dan tanpa paksaan. Ia melingkar indah pada jari manis lentik milik Ita.
Bab 44 Hantu Checkout
Ita mengernyit. Ini sudah ke tiga kali dalam sehari paket mengalir deras ke meja kerja. Belum lagi hari-hari yang lalu. Sampai detik ini terpantau 29 paket yang Ita terima. Bahkan Ita tidak ingat kapan ia menekan checkout shopee.
Di bilang penipuan pun Ita tidak dirugikan karena semua barang sudah dibayar lunas. Saat cek M-Banking saldonya masih aman. Pasti ada yang sengaja diam-diam mengutak-atik handphone-nya. Tebaknya saat ini, tapi siapa?
Hesa kah? Sepertinya bukan. Ita kenal Hesa. Ia pasti akan bilang. Kalau begitu, Raga? Hais! Mana mungkin!
"Sepertinya bakal repot," ucap Raga yang tidak sengaja lewat dan mendapati paket menggunung dengan barang-barang besar di meja Ita.
"Iya. Lebih repot lagi. Aku nggak tau dalang dibalik hantu chekout shopea. Dia pikir hebat gitu bisa bayarin semua barang ini tanpa diketahui? Cih! Pikir aku orang miskin apa?" dengus Ita. Entah kenapa harga dirinya justru dijatuhkan dengan aksi diam-diam ini.
"Seenggaknya hargailah! Orang itu tulus bayarin semua barang nggak berguna ini. Lagian kenapa keranjang bisa sampe penuh kayak gitu sih. Kalo emang punya duit harusnya langsung checkout dong!" gertak Raga. Tanpa sengaja mengungkapkan identitas si pelaku.
"Oh. Sekarang aku tau dalangnya!" ucap Ita penuh penekanan, "Bapak kan?!"
Raga tersentak ke belakang sedangkan Ita maju langkah demi langkah sengaja menyudutkan Raga, "iya kan?!" tekan Ita sekali lagi.
"I-iya. Puas? Lagian cuma habis dikit kok. Cuma segitu perusahaan ku nggak mungkin bangkrut," ucap Raga membusungkan dada.
"Bagi sebagian orang uang 1.345.000 rupiah itu nggak kecil Pak. Dan yang lebih penting.... bisa-bisanya sih Bapak kepikiran checkout shoppe ku? Motivasinya apa?”
"Sudah ku bilang kan. Aku ingin memberi mu hadiah untuk berterima kasih. Salah siapa nggak mau terima waktu itu. Malah minta cilok mercon lima ribuan."
"Kan Bapak udah kasih cincin itu. Emang itu bukan termasuk hadiah ya?"
"Bukan. Anggap aja itu bonus kerja bukan hadiah."
Ita tidak bodoh. Yakinlah satu cincin saja bisa menghabiskan kocek seharga mobil.
"Nanti aku bayar barang-barang shopee-ku. Mana rekening Bapak?" pinta Ita memaksa.
"Tsk! Udah ku bilang uang segitu nggak ada apa-apanya. Bayar listrik rumah aja kurang. Udahlah nggak usah dibayar. Kayak aku orang susah aja," ucap Raga lagi-lagi menyombongkan diri di luar kesadaran.
"Hah! Susah ngomong sama maniak harga diri!" gumam Ita.
"Apa?"
"E-enggak. Ya udah, ini bakal aku terima tapi besok-besok jangan utak-atik handphone orang seenaknya...."
"Tenang aja! Waktu itu aku lagi unrasional berkat kepedesan cilok mercon. Jadi nggak akan ada dua kali," tegas Raga.
"Baguslah," balas Ita. Diam-diam sudut bibir itu tertarik hingga menciptakan senyum pada punggung arogan yang sudah menjauh.
^^^^^^
Minggu pagi, Raga sengaja joging mengelilingi komplek perumahan untuk menghilangkan pikiran negatif yang dua hari ini menyerang. Kebiasaan menyugar rambut itu tidak pernah gagal menarik fokus para betina dari segala umur yang berpijak di tanah yang sama.
Pikirannya kalut. Bukan lagi tentang bisnis. Tapi tentang gadis pemilik senyum paling indah, Hitagina Rakasiwi atau sering dipanggil Ita.
"Eh, Pak Dirut," sapa suara wanita.
Fokus Raga teralihkan dan mendapati Sasa yang memakai leging ketat dengan rambut di kucir kuda, "Pak Dirut sering joging di sini ya?" ucapnya ingin tahu.
"Hm," dehem Raga kemudian matanya menyorot ke segala arah.
"Wah, sama dong. Saya juga sering kesini kalau waktu luang."
Tidak ada respon. Raga justru bangkit dari duduk dan berniat lari satu putaran lagi.
"Anu..., Pak?" cegah Sasa. Ia sengaja menarik lengan Raga.
"Kenapa?"
"Itu..., habis ini Pak Dirut ada acara?"
"Ada," dusta Raga.
"O-oh, padahal saya mau ngajakin ke resort yang lagi viral itu sekalian cari referensi untuk program bisnis wisata yang akan Bapak buka. Ya udah deh...."
"Resort mana?" ucap Raga tertarik. Pasalnya Ita pun sedang menuju resort bersama Hesa.
Tidak bisa dibohongi kalau wajah Sasa tampak sumringah, "Resort Kalafan Pak. Di sana tempatnya masih asri lho."
"Oke, bersiap-siaplah. Aku akan jemput di depan kantor," ucap Raga kemudian beralih meninggalkan Sasa yang tampak loncat kegirangan.
Tidak butuh waktu lama bagi Raga untuk bersiap-siap. Ia memilih outfit hodie hitam dan lepis hitam. Di tambah topi yang juga hitam membuat kesan laki-laki matang itu terlihat seperti penculik ketimbang orang normal.
Kalau ditanya kenapa berpakaian yang bukan style-nya. Alasannya pasti karena Raga tidak ingin ketahuan membuntuti Ita.
"Hari ini telah terjadi kecelakaan beruntun di tol Cipularing yang menewaskan kurang lebih enam pengendara. Untuk info selengkapnya kami terhubung dengan—“
DEG!
Suara berita itu masih bergaung di ruang tengah. Mengelak pun percuma! Kenyataan menuntun Raga pada kebenaran bahwa Ita sedang menuju kesana.
Di tengah jantung yang tak henti-henti berdetak hebat. Ingatan bagaimana tubuh Ita terkulai di aspal dengan darah bersimbah tepat di depannya. Suara tangis anak kecil dan juga jerit histeris. Semua itu berhasil membuat Raga jatuh berlutut.
Izinkan Raga melangitkan doa paling mustahil. Raga tidak ingin kehilangan Ita lagi. Tidak! Sampai ia menebus semua kesalahannya!
^^^^^
Manik hazel terang itu menyorot tajam. Entah sudah berapa kali kesabaran menguji tangan untuk tidak menyerang lelaki yang tengah memeluk erat yang bukan miliknya.
Jika mereka tidak di tempat umum mungkin Hesa akan melaksanakan apa yang otaknya perintahkan. Dan yang lebih penting Hesa juga tak berkutik berkat telapak tangan Ita yang mengisyaratkan untuk tidak maju selangkah pun saat Raga tiba-tiba datang dengan berlari lalu memeluk Ita.
Melihat situasi ini. Laki-laki mana yang tidak tersulut? Namun, Hesa tetaplah Hesa. Laki-laki bucin yang akan melaksanakan semua titah Ita.
Bodoh? Memang! Banyak gadis di luar sana. Namun dari ribuan gadis Hesa tetap akan memilih Ita yang jelas-jelas cintanya masih semu. Bahkan jika kehidupan lain ada. Hesa akan tetap mencari Ita. Seperti ngengat yang terobsesi cahaya hingga matanya dibutakan oleh kilau memukau.
Ada yang bilang cinta itu tidak butuh alasan. Tapi bagi Hesa. Sosok Italah alasannya.
Gadis keras kepala yang tidak akan sungkan minta maaf. Terlihat kuat namun rapuh seperti kaca dan lebih dari apapun uluran tangan Ita lah yang membawa Hesa keluar dari keterpurukan keluarga yang membuangnya.
Iya! Hesa ditinggalkan di Indonesia sedang orangtua dan kakaknya tinggal di Amerika. Penyakit Sang kakakah yang menjadi alasan konyol meninggalkan anak tengah dari tiga bersaudara itu. Bahkan Hesa ingat mereka tidak menawari pilihan justru berkata Hesa harus tinggal di Indonesia tanpa alasan jelas.
Yang butuh kasih sayang bukan hanya yang sakit. Kenyataannya orangtua Hesa takut kehilangan Sang Kakak tanpa disadari mereka sudah kehilangan anak keduanya.
"Pak, aku baik-baik aja," ucap Ita yang masih terkurung dalam pelukan Raga.
"Kecelakaan itu..., aku pikir...." ucap Raga tersendat.
Ita tidak tau harus merespon apa. Namun, ia menyadari sesuatu sejak kepalan tangan Hesa yang berusaha ia sembunyikan di balik badan.
Dia marah!
Bab 45 Menipisnya Benang Takdir
"Pak...." Ita mendorong pelan tubuh Raga sehingga wajah khawatir itu tampak jelas, "aku baik-baik aja. Gara-gara kecelakaan itu tol jadi macet makanya kita memutuskan untuk balik lagi," jelas Ita.
"Lihat kan? Aku sama Hesa baik-baik aja," ucap Ita ceria sembari beralih merangkul tangan Hesa.
Melihat itu Raga perlahan mundur. Jujur saja, ketika turun dari mobil pandangannya terkunci pada sosok Ita saja hingga lupa posisi Hesa.
"O-oh iya..., syukurlah," ucap Raga canggung. Baru saja ia memeluk pacar orang tanpa izin.
"Kalau begitu nikmati waktu kalian," lanjutnya kemudian beralih pergi. Tapi sebelum itu Raga sempat menepuk pundak Hesa dan berbisik, "jaga Ita baik-baik!" tekan Raga.
Menyadari perubahan mimik wajah Hesa. Ita pun langsung mengajak Hesa pergi. Mereka adalah dua orang yang tidak boleh disatukan. Sisi masa lalu dan masa depan Ita.
"Hesa?" panggil Ita saat mereka memilih taman kampus untuk menepi.
"Hm?”
"Makasih ya."
"Untuk apa?"
Ita meraih tangan Hesa, "makasih untuk tangan ini. Tadi udah berjuang untuk nggak buat keributan macam drama SMA yang rebutan pacar."
Pipi Hesa terpantau memerah. Matanya berpaling dari manik Ita. Ciri khas orang itu jika sedang malu."Susah tau!" Celotehnya setelah sekian lama mengatur kegugupan.
"Apanya?"
"Ngatur emosi biar nggak nonjok orang itu. Bisa-bisanya langsung peluk pacar orang!" sungut Hesa.
"Hahaha. Hesa, Hesa...," Ita diam sejenak. Jika Hesa tau kebenaran tentang masa depan itu. Apa yang akan dipikirkan Hesa? Ita jadi penasaran.
"Hesa kamu percaya nggak sama orang yang memutar waktu?"
"Kayak di drama korea itu?"
"Iya. Percaya nggak kalau di dunia nyata ada kejadian kayak gitu?"
"Hm. Entahlah…. menurut ku itu mustahil sih. Bahkan aku pernah baca artikel tentang pesawat yang lepas landas tahun seribu delapan ratus berapa gitu terus baru tiba di bandara sepuluh tahun setelah keberangkatan. Artikel itu aja di bilang hoax..., yah, masih jadi misteri sampe sekarang."
"Memangnya kenapa tiba-tiba bahas itu?"
"Yah, nggak apa-apa. Tapi, kalau misal aku yang sekarang adalah aku di masa depan yang memutar waktu kembali. Gimana?" tanya Ita ragu-ragu.
"Ya nggak gimana-gimana. Bagi ku Ita tetap Ita. Bahkan di kehidupan lain. Walau sosok mu beda dari sekarang. Aku bakal tetap jadi Hesa mu sekarang."
"Masak? Kalau di kehidupan lain aku jadi kodok gimana?"
"Hemm. Mungkin bakal kupelihara..., waktu kecil aku suka main kecebong lho, hehe."
"Aku percaya Tuhan menghadirkan seseorang dalam hidup kita bukan tanpa arti. Kalau benang takdir bisa dilihat mungkin kita nggak bisa lihat pemandangan taman ini. Yang ada cuma benang merah terhubung satu sama lain."
"Lalu di sini...." Hesa mengarahkan telunjuk yang bergerak dari kelingkingnya ke jari kelingking Ita, "ada benang merah kita."
"Entah suatu saat akan putus atau semakin kokoh. Tapi akan ku pastikan benang itu hanya akan menipis dan tidak akan putus."
"Kalau seandainya aku mati? Apa benang itu masih tetap ada?" spontan Hesa menoleh mendapati tatapan sendu Ita. Kenapa tiba-tiba gadisnya bilang seperti itu?
"Jangan bilang kayak gitu! Aku bahkan nggak bisa bayangin bakal jadi gimana. Justru lebih baik aku mati duluan ketimbang kamu."
DEG!
Terjawab sudah kenapa Tuhan mengambil Hesa dulu saat hari kelulusan. Ternyata memang harapan Hesa benar seperti itu. Lalu Tuhan mengabulkannya tepat di hari kelulusan. Karena di masa depan nanti Ita akan mati mengenaskan di aspal jalan.
Ita menepuk pundak Hesa, "jangan dong! Nanti aku jadi jomblo. Males banget!" sungut Ita.
Satu-satunya hal yang bisa Ita persembahkan pada laki-laki baik ini hanya masa depan tanpa dirinya. Entahlah, sejauh ini Ita merasa hidupnya tidak berubah. Tidak ada yang bisa memprediksi masa depan. Sama halnya manusia biasa, Ita pun saat ini bukan lagi manusia yang berasal dari masa depan. Karena dia sendiri pun sudah mengubah terlalu banyak garis takdir.
^^^^^^
Sepulang dari kampus. Di tengah kota, ketika terik matahari menyengat. Tepat di perempatan jalan. Lampu merah sedang menyala.
"Kenapa? Dingin?" tanya Hesa yang melihat Ita bersedekap tangan.
"Iya. Lumayan."
"Hari terik padahal," Hesa menyempatkan diri mengecek suhu kening Ita. "Kayaknya kamu demam deh. Mampir rumah sakit dulu ya?"
"Nggak usah. Langsung balik aja. Aku mau rebahan."
"Ya udah mampir apotek bentar ya," usul Hesa. Dia memang tipe orang yang tidak bisa diam jika melihat Ita sedang tidak baik-baik saja.
Pasrah, Ita kenal baik sifat Hesa yang itu. Mau ditolak pun ia akan diam-diam menaruh obat ke depan rumah.
"Iya deh. Terserah."
Tiba-tiba suara gemuruh datang dari belakang bersamaan dengan hantaman kuat. Mobil yang ditumpangi Hesa dan Ita terdorong ke depan hingga terhimpit oleh mobil truk pengangkut besi.
Percikan darah menetes dari mobil merah ringsek tak berbentuk. Entah darah siapa itu. Yang jelas darah itu mengalir dari posisi penumpang.
Mungkin di sini Tuhan akan menjawab permohonan Ita. Bagi wanita menjadi seorang ibu adalah tujuan akhir. Menua bersama adalah bonus. Ita sudah merasakannya dan itu sudah cukup. Jika Tuhan meminta untuk kembali sekarang. Ita tidak akan keberatan.
Tentang Raga? Biarlah! Toh, sejak awal Ita tidak berniat balas dendam. Justru semakin kesini Ita semakin sadar dengan alasan perilaku dinginnya. Lalu perlahan hatinya memaklumi.
Ita bukan bosan hidup. Ia hanya sudah merasa cukup. Biarkan istirahat panjang menjadi pilihannya.
^^^^^^
Suara langkah mendekati pintu apartemen. Dingin! Apartemen yang biasa terlihat hangat ternyata bisa menampakan aura menyedihkan seperti ini.
Ini sudah ke tiga kali dalam sehari Sera menghampiri apartemen Raga tanpa berani memasukinya. Jangankan memasuki, mengetuk pun Sera takut. Di dalam sana. Ada sosok Paman yang tidak pernah ingin Sera lihat. Sosok hancur tanpa tujuan hidup.
Tiga hari lalu. Tepat sehari setelah Ita di kabarkan koma. Raga seperti mayat hidup menatap kosong kedatangan Sera.
"Hiks.... kenapa jadi kayak gini," isak Sera. Memeluk tumit dengan bersandarkan dinding. Selayaknya anak kecil yang terombang-ambing ketika patokan hidupnya tak ada. Itulah yang dirasakan Sera.
"Sera?" panggil seseorang saat lift di ujung sana menutup.
"Kak Reon..., Paman Kak..., tolong Paman..., hiks."
"Dia di mana?"
"Di dalem. Aku nggak berani masuk. Aku takut Paman melakukan hal-hal yang—“
"Ssst..., udah kamu di belakang Kakak aja."
Reon membuka kenop pintu. Pemandangan yang di dapat sungguh mencengangkan.
Botol alkohol di mana-mana. Putung rokok. Obat tidur. Bahkan Reon menemukan bubuk mencurigakan. Ia buru-buru mengantongi sebelum Sera lihat. Ia tidak ingin menambah beban pikiran gadis itu.
"Paman!" pekik Sera.
Apa yg terjadi pada Raga?
Penasaran gak sih?
Warning! Bab selanjutnya berbayar.
Next =>
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
