After Ending 37-42 Free

0
0
Deskripsi

Sudah ending jadi bisa marathon baca. Happy reading yah.


"Saya boleh tanya satu hal?"

Suara Ita mengalihkan fokus Raga, "Tanya apa?"

"Apa Bapak...."

Ita terpaksa menelan salivanya kasar. Ini hanya pengisi waktu luang saja. Orang di jaman ini pun pasti akan menanggapinya dengan candaan.

Hembusan nafas terdengar. "apa Bapak dari masa depan juga?"

Bab 37 Raga

"Ita udah tidur Bu?" tanya Raga. Semburat khawatir masih tercetak.

"Udah. Barusan. Makasih ya nak Raga. Berkat mu tindakan Ita bisa dicegah," ujar tulus seorang ibu.

"Iya Bu. Syukurlah."

"Selagi masih di sini. Yuk makan malam bersama. Tapi, saya nggak menyiapkan banyak karena kedatangan direktur yang tiba-tiba," pinta Haris.

"Nggak perlu repot-repot Pak Haris. Saya ke sini cuma mau jenguk Ita. Kalau diizinkan saya boleh ke kamar Ita lagi untuk cek keadaannya?"

"Boleh. Silahkan Pak."

Haris tampak ingin mengantar namun segera Ria cegah. Entah dalam maksud apa. Yang jelas ibu satu anak itu seolah mengerti dengan isi hati Raga.

Mereka berdua dalam satu kamar. Jika disamakan dengan masa itu mungkin ini bukanlah yang pertama kali.

"Cepat sembuh," tukas Raga. Tangannya bergerak mengikuti niatnya yang ingin menggapai tangan Ita namun seketika sirna berkat cuitan Ita yang meminta 'jangan pergi'. Entah apa yang sedang ia mimpikan.

Raga mengernyit, bohong jika ia mampu mengendalikan diri untuk tidak menyentuh Ita lagi. Dengan segenap gejolak batin akhirnya sehelai rambut berhasil ia genggam.

Jika di tanya kenapa ia bersikap seperti ini? Diam-diam perhatian tapi di depan sangat dingin. Jawabannya karena Raga menyukai Ita. Benar! Manusia kaku itu telah meleleh oleh seorang gadis yang sudah punya pacar terlebih lagi umur mereka yang terpaut jauh.

Itu sebabnya Raga selalu meredam perasaannya. Berpikir rasional di saat cinta mulai tumbuh adalah hal sia-sia. Itulah yang sedang menjadi dilema bagi Raga.

Mata Ita terbuka mendapati seseorang di sampingnya, "Mama?" sahut Ita. Pandangannya masih belum mendapat kenormalan.

"Hm," dehem Raga.

Tanpa diduga, Ita meraih tangan Raga lalu menggenggamnta erat, "Tina nggak benci aku kan Ma?"

"Nggak akan." Ita hanya merespon dengan senyuman. Matanya sayup seolah efek obat itu belum sepenuhnya hilang.

"Tidurlah," pinta Raga. Ia beranjak dari duduknya kemudian,

Cup!

Kecupan singkat itu berhasil menyentuh kening Ita. Raga tidak bisa berpikir jernih lagi. Kerasionalannya tiba-tiba menghilang terseret derasnya ego diri.

"Bisa gila aku!"

Lagi, laki-laki itu merutuki dirinya sendiri. Di suasana malam dengan pendar cahaya minim tidak menyurutkan ketidakrasionalan yang telah ia lakukan tadi.

How?!

Bagaimana bisa seorang Raga luluh oleh gadis labil seperti Ita? Mau dielak berapa kali pun ia tetap tidak bisa mengontrol rasa ingin memiliki gadis itu.

Sebenarnya dari mana ini bermula? Benar! Pasti karena pertemuan waktu itu, saat Raga berada di titik paling bawah hidupnya.

Kehilangan satu-satunya nenek yang merawatnya dari kecil adalah hal yang tidak pernah Raga inginkan. Setelah kepergian orangtua yang bahkan belum sempat ia ingat.

Sebagai orang yang berusaha bersikap dewasa, Raga lebarkan senyum tegarnya untuk menutupi kesedihan di depan orang-orang melayat. Siapa yang menyangka dari ratusan orang ada satu bocah SMP yang sadar rahasia kepedihannya.

Ia menarik tangan Raga dan membawanya ke tempat sepi lalu berkata, "Kata Mama, kalau mau nangis nggak boleh ditahan."

"Memang siapa yang mau nangis?" ucap Raga di sela senyum palsunya.

"Tenang aja. Aku pintar jaga rahasia kok Om. Aku nggak bakal bilang siapa-siapa."

Raga memijat keningnya. Sudah cukup dengan topeng tabahnya sekarang ia justru harus meladeni bocah tengil yang menyuruhnya menangis.

"Kamu anaknya siapa?"

"Pak Haris Adma Djaya."

"Mending kamu susul orangtua mu. Pasti mereka nyariin," ujar Raga kemudian berjalan meninggalkan Ita.

Saat itu siapa yang menyangka gadis SMP masih bau kencur itu menjegal kaki Raga sampai ia harus menanggung malu tersungkur di lantai.

"Kamu!"

PLUK!

Raga tersentak ketika tubuhnya didekap oleh Ita. Ia merasakan punggungnya dielus perlahan.

"Nenek ku juga baru meninggal tiga hari yang lalu. Rasanya kayak mimpi. Tapi  setelah keesokan harinya aku sadar nenek udah nggak duduk di kursi biasa tempat ia suka minum teh."

"Aku pingin nangis, tapi malu karena timing-nya udah lewat. Jadi aku tahan sampai dada ku sakit. Terus Mama bilang, kalau mau nangis jangan ditahan. Akhirnya aku bisa nangis. Setelah itu perasaan ku jadi lega."

"Jadi, kalau Om mau nangis sekarang waktunya. Karena aku yakin sampai malam bahkan keesokannya tamu bakal dateng terus. Hehe."

Linangan air mata turun begitu saja. Berkat ungkapan sederhana dari seorang gadis SMP. Raga meraih tubuh mungil Ita. Balas mendekapnya erat. Tak lekang Ita pun memberi usapan lembut pada punggung Raga yang menangis seperti bocah.

Saat ini, Raga yakin. Ita sudah melupakan kejadian itu. Tanpa sadar hatinya tertinggal oleh satu nama dan bertahan hingga sekarang.

Raga meraih foto di nakas. Foto nenek dan juga orangtuanya tercetak di sana. Ia tersenyum simpul. Mengawasi Ita sampai detik ini tidaklah mudah.

Ia tau Ita punya kehidupan sendiri yang tidak bisa Raga paksakan. Hal itu semakin menjadi saat Raga mengetahui hubungannya dengan Hesa.

Raga ingin menyerah, namun lagi-lagi keegoisan diri menuntunnya pada jurang keangkuhan. Ia mendatangi rumah Ita dan mencoba bekerja sama dengan orangtuanya. Setidaknya Raga masih memiliki kesempatan.

Sayangnya keputusan angkuh itu berimbas pada kecelakaan yang membuatnya koma beberapa hari. Bertepatan dengan itu pertemuan pertama setelah beberapa tahun dengan gadis SMP itu tidak sengaja terjadi.

Saat itu Raga diliputi dilema. Ingin memiliki namun ia tidak punya hak. Di saat hatinya ingin merelakan, egonya menentang lalu berakhirlah dengan keputusan egois untuk merekrut Ita menjadi asistennya.

Setidaknya, jika tidak bisa memilikinya Raga masih bisa berperan sebagai kakak yang mau membimbing gadis itu sampai ia mampu jejak berdiri di atas sandiwara bumi.

Mungkin di kehidupan ini Raga bukanlah peran utama dalam hidup Ita. Ia mencoba ikhlas.

Semakin hari, Raga seolah dibawa oleh kebenaran. Tatapan sendu dengan senyum indah itu bukanlah milik Raga. Seberapa kecil kemungkinanya pun Raga tidak berani berharap.

Sampai ketika suara lembut mengucap kata terimakasih di sebuah villa di pinggir kota membuat harapan sirna itu kembali berdetak. Sekali lagi Raga memulai keegoisannya hingga detik ini. Entah bagaimana ujungnya, Raga tidak akan menuntut keputusan akhir yang diikrarkan gadis itu.

Sebuah paket misterius tertata di meja kerja Ita. Saat ini Ita diharuskan beristirahat untuk menetralkan gejolak mental. Raga memaklumi itu dan memberikan cuti tak terhingga. Walaupun begitu, Raga ingin sekali melihat wajah masam Ita yang mendumel karena perintahnya lagi.

Kesadarannya terfokuskan berkat nama pengirim paket yang tertera di amplop coklat. Mungkin saja ini bisa jadi obat dari rasa sakit yang Ita derita.

Mobil itu melaju kencang tanpa menghiraukan pertemuan kolega yang satu jam lagi akan terlaksana. Berkat itu, Reon dan Sera menjadi tumbal menggantikan hilangnya Raga.

Kehadiran Raga secara tiba-tiba membuat pasutri Ria dan Haris terkejut. Terlebih ia membawa paket atas nama Tina untuk diserahkan kepada si penerima yang tidak lain Ita.

Raga menangkap mata sayu dengan bibir pucat Ita. Kenyataannya permohonan yang ia langitkan masih belum terkabul. Semoga dengan ini Ita menemui semangatnya lagi.

Paket itu diserahkan tanpa rusak sedikit pun segel pengirimannya. Dengan Harapan besar ada satu cara cepat untuk membuat Ita terlepas dari jerat kesedihan.

Bab 38 Surat Terakhir

Di dalam paket itu ada tiga benda, gantungan kunci minion, amplop kecil dan memori card. Mata Ita menyendu berbarengan dengan genangan air mata luruh.

Ita membuka amplop kecil terlebih dahulu. Kertas itu menyajikan barisan tulisan tangan yang sangat Ita kenali.

"Happy Birthday Ta. Wish you all the best."

"Yoo, cewek yang suka overthingking. Kaget yah dapet paket dari orang mati? Hehe. Selow aja, gue nulis pas masih hidup kok."

Mata Ita memanas. Bulir air mata tak luput memenuhi kelopak matanya hingga beberapa jatuh.

"Oh ya, ulang tahun lo kan bulan depan. Jadi gue kasih kado sekalian deh. Habis gue takut nggak sempat kasihnya. Hihi."

"Ita.... tetep hidup ya, lo harus kejar apa yang lo cita-citakan. Jangan ikuti gue. Jangan merasa bersalah. Karena sepeser pun ini bukan salah lo."

"Tetang pelecehan itu, gue nggak pernah anggap itu sesuatu yang krusial sampai gue depresi. Ada hal lain yang jadi penyebab depresi gue."

"Mau tau?"

"Gue anggap iya deh. Karena ini surat satu arah."

"Ita. Baca baik-baik! Kak Fano tersangka utamanya!"

"Ini permintaan terakhir gue. Tolong penjarakan Kak Fano!"

DEG!

Apa maksud permohonan itu? Ita sempat mencerna kembali isi surat. Mungkin dia sedang dalam halusinasi. Namun, mau dibaca berulang kali pun. Isinya tetap sama.

Kening Ita mengernyit, "kenapa Tina nulis sesuatu kayak gini?" monolognya di luar kendali.

Raga yang penasaran menyahut kartas itu. Responnya sama dengan Ita. Siapa pun yang melihat keluarga Tina, pastilah menganggap itu hanya keluarga normal yang agak over protektif.

"Sepertinya kamu akan tau jawabannya di memori card itu," ucap Raga setelah sadar ada barang lain yang Tina kirimkan.

Slide foto pertama tidak menunjukan keanehan. Hanya ada foto Tina dan keluarganya disebuah studio foto. Namun, semakin jari Ita menekan tombol next. Kenyataan demi kenyataan terungkap.

Ita tidak sanggup lagi melihat bukti demi bukti yang selama ini Tina sembunyikan dengan senyum. Tangisnya kembali pecah hingga tak mengeluarkan suara sedikit pun.

Lalu di slide terakhir, Ita menemui sebuah video. Mungkin lebih tepatnya pesan terakhir. Dengan tampilan Tina memakai hoddie dongker yang merekam dirinya sendiri di kamar.

"Hallo, nama ku Artina Syahraza Rizal. Aku anak bungsu dari dua bersaudara."

"Emh.... kalau biologisnya aku anak pertama sih. Soalnya Mama nikah lagi sama Papa ku yang sekarang dan beliau punya anak bawaan yang lebih tua tiga tahun dari ku. Namanya Kak Fano."

"Kalau di bilang keluarga cemara. Yah, memang sih. Aku akui."

"Gimana ya bilangnya. Emh.... kita akan rukun dan terlihat normal di waktu Papa sama Mama di rumah. Kalau mereka pergi semuanya berubah drastis."

"Pernah dengar teori kepribadian pavlof? Intinya kebiasaan itu akan mendarah daging jika diulang terus menerus. Sama seperti rasa takut. Dan mungkin itu akan menjadi cerita ku dengan Kak Fano."

"Dari ingatan terakhir yang ku ingat. Waktu umur ku dua belas kalau nggak tiga belas tahun, Kak Fano orang yang asik. Dia juga sering beliin aku jajan. Aku sayang banget sama Kak Fano karena dia selalu manjain aku."

"Lalu, entah kapan dimulainya Kak Fano tiba-tiba berubah."

"Ah, ada satu. Kalau nggak salah waktu aku SMP kelas tiga. Aku suka sama teman sekelas. Biasanya aku nggak pernah panjangin rambut. Tapi, karena doi bilang suka cewek rambut panjang akhirnya aku memutuskan panjangin rambut."

"Yah, ku pikir sejak saat itu Kak Vano berubah. Dia bilang suka rambut panjang ku. Dia bantu sisir tiap hari. Sebagai adik aku coba cerita sama Kak Fano kalau ada orang yang ku suka dan tanpa disangka itu jadi kesalahan fatal yang nggak bisa aku perbaiki."

"Waktu itu, Papa sama Mama harus pulang kampung karena nenek tiba-tiba sakit. Karena aku sama Kak Fano bentar lagi ujian akhirnya kita ditinggal di rumah. Dari situ semuanya bermula."

Raut wajah Tina memandang takut. Genangan air mata mulai merembas.

"Malam itu hujan deras. Aku sendirian di rumah. Kak Fano yang izin ngerayain kelulusan SMA sama temen-temennya nggak kunjung pulang."

"Pikir ku.... Ya udahlah ya namanya orang lagi seneng-seneng. Aku sengaja nggak telpon. Karena aku takut ganggu."

"Aku tidur kayak biasanya. Terus jam setengah dua belas. Aku kebangun karena kaget pipi ku kayak ada yang nyentuh. Waktu aku bangun Kak Fano udah duduk di tepi ranjang."

"Malam itu Kak Fano aneh. Dia biacara banyak hal padahal Kak Fano tipe orang pendiam. Tapi malam itu dia bilang cinta sama aku."

"Aku masih nanggapin biasa. Karena wajar aja kan seorang Kakak mencintai adiknya. Aku pikir Kak Fano bercanda. Sampai...."

Air mata Tina luruh. Bibir berat melanjutkan cerita.

"Sampai Kak Fano dorong aku. Dia melakukan tindakan yang nggak seharusnya dilakukan sebagai Kakak. Aku nggak kepikiran sampai Kak Fano tega lakuin itu. Maksud ku, kita tumbuh bersama. Aku adik yang tiga tahun lebih muda darinya. Tapi—“

"Hiks…. tapi kenapa Kak Fano merusak satu-satunya hal yang berharga untuk ku? Hiks, se-sejak itu Kak Fano yang penyayang udah ku anggap mati. Sekarang yang ada di rumah ini cuma iblis!"

"Kak Fano terus-terusan ngontrol aku. Aku dipaksa ikutin apa yang dia mau."

"Melawan?"

"Di situasi ini. Apa aku bisa melawan? lihat sayatan ini? Tiap kali aku berontak. Sayatan di punggung ku akan terus bertambah. Dia juga bilang akan melakukan hal yang sama ke Mama kalau aku ngadu."

"Ketakutan itu jadi trauma yang lama kelamaan jadi penyakit. Yah, Aku nggak bisa menentang ucapan orang itu. Bahkan lihat wajahnya aja aku bisa gemetar hebat."

"Keadaan ini berlanjut sampe sekarang. Udah nggak kehitung Kak Vano melakukan hal bejat itu. Rasa takut ku semakin besar."

"Mungkin cuma kemarin aku berani nentang. Berkat sahabat ku Ita. Sekali lagi aku punya keberanian."

"Dia terang-terangan bilang untuk jauhin Ita. Dia bilang sama Mama kalau Ita bawa pengaruh buruk. Padahal dia cuma mau aku jadi anak penurut. Lalu musibah itu datang. Aku jadi korban pelecehan kakak tingkat."

"Hahahaa.... gila! Waktu itu aku puas liat dia kayak orang gila marah-marah nggak jelas. Haha."

"Dari pada pelecehan itu, luka dari dia justru lebih dalam dan menakutkan. Setelah hari itu Kak Fano mulai mengekang ku lagi. Aku menjalani pengobatan di luar kota sebagai alibi untuk menghindar. Tapi akhirnya aku tertangkap lagi."

"Udahlah, aku benar-benar capek. Pergi sejauh apa pun orang itu akan terus mengejar lalu mengikat ku lagi. Saat berpikir kayak gitu aku langsung ingat satu hal."

"Orang itu nggak akan mengejar ku sampai akhirat kan?"

"Besok tanggal 7 Agustus 2022 aku berniat mengakhiri hidup. Di sini. Di kamar ini. Tempat bermulanya dosa yang orang itu lakukan. Ah, aku nggak sabar lihat wajahnya terkejutnya. Haha. Eh, tapi aku kan udah mati ya. Sayang banget!"

"Yah, agak berat juga sih ninggalin Ita. Aku takut dia menyalahkan dir--"

Dalam video berdurasi sepuluh menit itu Tina terlihat ketakutan saat pintu kamarnya tiba-tiba dibuka dan video itu menemui ujungnya.

Laptop itu ditutup. Selesai sudah! Ita bangkit dari duduknya. Bukan mata sendu dengan linangan air mata melainkan tatapan tajam dari mata yang menggambarkan kemarahan. Bagaimana pun caranya Ita akan mengabulkan permohonan terakhir Tina.

Bab 39 Awal Sebelum Akhir

Ruang suram yang menunjukan eksistensi hukuman dunia itu tampak gelap dan pengap. Ita berjalan menyisiri bilik jeruji dengan panduan kepala sipir di depannya.

Setelah bukti dan rekaman video itu diserahkan. Kasus itu dinilai tindak kriminal oleh hukum. Tidak ada pembelaan dari keluarga Tina. Fano mendekam di penjara sesuai keinginan Tina.

Entah sudah berapa banyak kata maaf yang Mama Tina ungkapkan. Bahkan ia membalas dengan bertekuk dihadapan Ita. Namun, siapa yang mengharapkan demikian? Bagi Ita mau permintaan maaf sebanyak apapun itu tidak akan membawa Tina kembali.

Ita menatap orang di balik kaca bening dengan lubang ventilasi dengan tatapan jijik. Jangankan membalas tatapan Ita, Fano menunduk malu sejak kedatangannya sepuluh menit lalu.

"Dengan ini semoga anda bisa merenungi perbuatan anda!" ujar Raga membuka keheningan mewakili Ita.

"Nggak ada lagi yang bisa saya ungkapkan selain rasa kecewa. Semoga Kakak hidup dalam penyesalan selamanya," ujar Hesa kemudian.

Hesa sengaja mengawal Ita yang ngotot ingin bertemu. Tak elak, Raga yang mengurus proses pengadilan pun turut hadir menemani Ita karena khawatir.

Sehelai tarikan nafas terdengar, "Kak, apa ini masa depan yang kakak inginkan? Tina... bukankah dia juga berhak bahagia? Jangankan bahagia, saat ini kakak bahkan tidak bisa melihat senyum palsunya lagi."

"Sehat selalu Kak, Jangan berpikir untuk mati sebelum Kakak merasakan penderitaan Tina! Mulai dari sini, rasakan penyesalan seumur hidup sampai untuk tersenyum pun nggak sanggup!"

Seperginya Ita terdengar jeritan kuat. Untuk menoleh pun Ita tidak sanggup. Jika ia lakukan, mungkin air matanya akan mengalir lagi sehingga merusak citra kuat yang sejak tadi ia pertahankan.

Sekarang telah usai, perkara pelik yang tidak ada dalam rencana hidupnya. Ia melangkah tegas meninggalkan gedung tahanan sebelum langkahnya berhenti karena dua tangan yang mencegahnya.

"Tck, nggak lihat kalau hujan?"

"Hujan sayang."

Kedua laki-laki itu saling memandang sebelum salah satunya mengalah. Raga menatap Ita yang memandang datar pada langit mendung.

Senyum itu perlahan mengembang, ia mengingat Tina di masa depan yang mengajaknya pergi ke salon saat di cafe anak. Selagi harapan masih ada, Ita mengajukan satu permohonan di mana Tina hidup bahagia di suatu masa.

"Tina, ayo ketemu lagi di salon langganan kita," ujarnya sendu.

Hesa tersenyum simpul melihat Ita melahap habis makanannya. Peristiwa itu sudah berlalu cukup lama. Mental Ita perlahan kembali pulih. Hanya saja ada satu kebiasaan aneh yang muncul sejak saat itu.

"Sayang, pelan-pelan makannya," sahut Hesa lalu mengelap dessert yang tertinggal di bibir Ita.

Sejak saat itu, entah kenapa nafsu makan Ita semakin bertambah. Jika itu pengalih perhatian atas rasa sedihnya. Hesa tidak keberatan sama sekali. Lebih baik mendengar keluhan yang mempermasalahkan berat badan dari pada mendengar tangis pilunya.

"Habis ini mau kemana lagi?" tanya Hesa.

"Balik ke kantor. Kamu juga balik ke kampus gih. Nanti ada kuliah kan jam satu?"

"Iya sih. Tapi—“

"Apa? Mau bolos?! Lihat aja sampe ada yang bolong di absen mu!"

"Widih, galak banget cantik ku. Iya-iya." Mereka pergi bersama, setelah memesan lagi dessert sogokan untuk Raga.

Sebenarnya dalam sebulan ini berat badan Ita seperti roket meluncur ke bulan. Ia sering mengeluh tapi tidak bisa bergenti.

Baik Hesa sebagai pacarnya pun tidak menyuruhnya berhenti. Berbeda dengan Raga, tidak ada hubungan apapun tapi rutin mengomelinya jika ketahuan bawa camilan di meja. Dan demi apapun, Ita kesal akhir-akhir ini kantor tidak menyiapkan makanan ringan malah menggantinya dengan salad atau buah-buahan di jam istirahat.

Imbasnya, ia terus memberi tatapan tajam pada Raga karena orang itulah yang mengusulkan sepihak.

"Apa mata mu bermasalah?" sahut Raga di sela keheningan.

"Enggak kok," jawab Ita jujur.

"Hm, aku takut itu bermasalah karena dari tadi melirik ke sini tanpa beralih sedikit pun."

Sesuai dugaan, Raga kembali ke sifatnya. Memang apa yang Ita harapkan dari orang ini? Pernah membantunya di pengadilan bukan berarti sifatnya itu akan berubah.

"Oh, itu karena saya mewakili penduduk kantor atas usulan sepihak Bapak. Karena saya yakin mereka hanya berani bicara di belakang. Barangkali setelah ini Bapak sadar," sindir Ita.

"Usulan apa?"

"Mengganti makanan ringan jadi salad dan buah. Memangnya apalagi?!"

Raga tidak menggubris, ia lebih memilih Ipadnya. Yah, sudah bisa ditebak sih. Manusia angkuh itu, mana mau diprotes!

"..., kesehatan mu," gumam Raga.

"Apa Pak?" sahut Ita kemudian.

"Nggak ada. Buat kopi! Sekarang!" titahnya angkuh.

Tsk! Memang sialan orang kayak Raga. Bisanya cuma nyuruh sama protes! Giliran diprotes balik nggak mau!

Ita beralih untuk membuat kopi lalu sekelebat berkas di meja Raga mengalihkan perhatiannya. Mata Ita tertuju pada profil di atas kertas putih itu. Paras cantik yang dipuja-puja seisi kantor di kehidupan lalu. Sasa!

Tanpa sadar Ita langsung mengambil kertas itu. Matanya tidak salah menangkap wajah orang yang dengan gampangnya menghancurkan rumah tangganya.

Di masa ini dan di timing ini, Ita akan berhadapan lagi. Lalu pertanyaannya, apakah hati Ita sudah siap?

"Ada masalah?"

Suara Raga mengalihkan atensi Ita. Ia menangkap raut penuh tanya Raga dan berpikir, siap tidak siap bukankah Ita sudah memutuskan untuk memilih Hesa? Tidak ada lagi harapan tertinggal untuk laki-laki ini.

"Ini berkas apa?"

"Perekrutan sekretaris baru. Aku nggak bisa mengandalkan Reon terus apalagi mengandalkan mu"

Oh, Shit! Sempat-sempatnya!

"Menurut mu, dari tiga orang itu. Mana yang paling bagus?" tanya Raga. Tumben sekali Ita dilibatkan memutuskan sesuatu.

Di sini Ita punya pilihan untuk mengagalkan pertemuan Sasa dan Raga. Tapi, Ita menyadari satu hal. Menghindari atau mengubah takdir bukanlah sesuatu yang gampang seperti membalikan telapak tangan. Akan ada konsekuensi dan Ita sudah berjanji tidak akan berurusan dengan takdir lagi semenjak Tina pergi.

"Semuanya bagus, mereka punya kelebihan sendiri-sendiri. Terlepas dari kelebihan mereka bukannya Bapak yang harus memilih teliti. Pilihlah yang menurut Bapak nyaman. Karena waktu Bapak akan banyak dihabiskan bersama orang ini," ujar Ita profesional.

Jujur saja, di sela keprofesionalannya ada sebagian kecil dari dirinya yang tidak rela. Mungkin cintanya belum sepenuhnya hilang. Jika ikhlasnya tidak selapang langit merelakan hujan mungkin diam-diam Ita akan membakar CV Sasa.

Sudahlah, pemikiran seperti itu hanya akan menyakiti dirinya lagi seperti dulu. Ita beralih untuk menyajikan kopi.

Sang pelukis senja telah menciptkan pemandangan memukau. Dari ketinggian lantai empat yang Raga tempati ia memandang jauh pada kilau orange yang menghiasi kota ini.

Secangkir kopi buatan Ita yang sempat ia dapatkan sebelum gadis itu pulang habis tak bersisa dalam genggamannya. Raga melirik berkas di meja. Matanya menyorot sendu,

"Harus yang nyaman ya?" Sudut bibir Raga tertarik hingga menciptakan senyum indah dibalik cahaya senja.

"Kalau gitu aku pilih yang ini aja," finalnya.

Sebuah profil yang menampakan seorang gadis tengah tersenyum manis dengan riwayat pengalaman kerja kosong bahkan hanya punya ijazah SMP berhasil menarik hatinya.

Bab 40 Siapa Kamu?

Kata siapa iri itu mudah dihilangkan? Kenyataannya manusia membawa sifat itu dari sebelum peradaban dimulai. Dengan kata lain, iri adalah suatu penyakit yang sudah mendarah dagaing.

Seperti Ita saat ini, bukankah kemarin ia bilang tidak ingin berurusan dengan takdir lagi? Sekarang melihat Sasa menjadi sorotan di kantor saja membuat ia ingin menghilangkan eksistensi orang itu selamanya.

Benar! Setelah seleksi berkas dan beberapa test dilakukan. Raga akhirnya memilih Sasa sebagai sekretarisnya. Sesuai dengan alur takdir.

Lihatlah, Pembawaan elegan, tubuh proporsional dan wajah itu. Bagaimana bisa Tuhan tidak adil dengan memberinya wajah mulus nan glowing seperti dilumuri minyak?!

Lama memperhatikan sampai tidak terasa tangannya tidak sengaja menyenggol cup kopi panas hingga jatuh. Pekikan mengaduh terdengar setelahnya karena kakinya melepuh akibat terkena siraman air kopi.

Selamat! Ita berhasil mendapat perhatian Raga dan Sasa.

"Kamu nggak apa-apa?" ujar Raga sembari mengulurkan tisu.

"Hm."

"Ke ruangan kesehatan sekarang."

"Hm."

Ita sengaja merespon cuek. Entahlah! Hatinya benar-benar tidak bisa diatur. Ia melenggang sendiri tanpa melihat wajah Raga sama sekali.

"Ditaruh mana ya salepnya," monolog Ita ketika sadar tidak ada orang di ruang kesehatan.

"Di laci no tiga," sahut seseorang. Berkat itu Ita langsung menengok ke sumber suara.

"Bapak ngapain kesini?"

"Aku lupa kasih tau, penjaga ruang kesehatan baru resign kemarin. Takutnya ada orang ceroboh yang nggak melihat tulisan ini," tunjuk Raga santai pada petunjuk menempel di dinding.

"Ternyata benar. Ada satu orang ceroboh tidak memperhatikan sekitar dan nyelonong masuk aja."

"Maaf," ucap Ita datar. Ia sibuk menata hati dengan perasaan aneh ini.

Raga mengambil alih salep lalu mendudukan Ita ke brangkar. Perlahan ia meraih kaki melepuh Ita. Keningnya mengernyit ketika Raga mengusap salep ke ruam merah itu.

"Aku bisa sendiri," sahut Ita.

"Maaf. Aku yang akan mengobati mu."

Apa barusan Ita salah dengar? Kata itu bukankah tabu dikeluarkan dari mulutnya?

Dengan terampil Raga membalut lepuhan kulit Ita. Ita tidak bisa mengelak. Pernyataan maafnya tadi seolah menghipnotis Ita untuk mematung beberapa saat.

Manik mereka bertemu. Ita jelas melihat tatapan sendu Raga. Dalam hatinya menjerit. Tatapan apa itu? Seorang Raga tidak pernah menampakan raut sendu bahkan pada anak-anaknya pun.

"Maaf udah membuat mu jadi kayak gini," ucap Raga lirih.

"Ini kecerobohan ku. Kenapa Bapak yang minta maaf?"

"Bukan itu. Maksud ku. Maaf untuk semuanya. Aku sadar banyak merepotkan mu."

Ita terperanjat. Makanan apa yang dikonsumsinya tadi pagi?

"N-nggak masalah kok. Sa-santai aja."

"Lebih baik kamu izin pulang," usul Raga yang langsung dapat penolakan tegas. "nggak!"

Sudah cukup! Raga harus jadi Raga yang dingin karena jika ia mencair akan aneh rasanya. Terlebih, Ita semakin tidak bisa mengontrol degub jantungnya.

Keadaan awkard ini harus diakhiri! Ita pun beranjak dari duduknya, "B-bukannya Bapak harus memantau Sekretaris Sasa? Sebaiknya kita segera kesana. Pasti dia kebingungan sekarang."

Saat kaki Ita menemukan tujuannya tiba-tiba ia harus berhenti mendadak. Mata Ita membola. Mau dielak pun, dengan jelas ia merasakan seseorang berdiri sangat dekat di belakangnya dengan kepala menempel punggung Ita.

"Maaf. Aku tau ini berat. Bertahanlah!"

Setelah mengucapkan kata itu Raga mendahului Ita dan meninggalkan banyak pertanyaan. Seolah dia tau keadaannya juga perasaannya.

"Sebenarnya.... kamu siapa?" gumam Ita yang dipenuhi kecurigaan-kecurigaan kecil.

***

Dingin angin malam menerpa kulit Raga setelah sengaja membuka jendela apartemennya. Sudah lama ia tidak menyesap rokok. Kadang kala rokok sangat dibutuhkan ketika penat menghampiri dan saat inilah waktunya.

Jika ditanya perihal apa yang bisa membuat sang raja keangkuhan itu merasakan penat? Jawabannya lagi-lagi Ita. Kejadian siang tadi, juga keputusannya merekrut Sasa adalah hal bertolak belakang dengan keinginannya.

"Paman?" panggil Sera.

"Kok bangun?" tanya Raga. Ia menyembunyikan batang rokok tadi di balik punggung.

"Paman pulang jam berapa?" tanya Sera tidak menggubris pertanyaan Raga.

"Hm. Sekitar jam sebelas."

"Padahal aku antar makan malam. Eh malah ketiduran gara-gara Paman nggak pulang-pulang. Paman udah makan?" gerutu Sera.

"Udah kok. Tidur di kamar sana." Suruh Raga.

Alih-alih menuruti, Sera justru mengikuti jejak Pamannya. Ia berjongkok meraih sesuatu di lantai, "Paman lagi banyak pikiran ya?" tanya Sera, satu puntung rokok ia pungut.

Sejenak Raga terkesiap, anak kecil di sampingnya ternyata sudah tumbuh besar. Lebih peka dari dirinya.

"Anak kecil tau apa?" timpal Raga sembari mengacak pucuk kepala Sera.

"Ih! Jangan panggil aku anak kecil Paman! Eh... kok kayak shiva sih? Gini-gini aku sering jadi pendengar yang baik lho sama ibu-ibu di kantor."

"Masak sih?" goda Raga kemudian dihadiahi jawaban ketus Sera.

"Kalau gitu, mau dengar keluhan Paman?" ujar Raga. Pandangannya jauh menembus langit malam.

Senyum Sera mengembang. "Hum, tentu."

"Kamu berteman baik dengan Ita 'kan?"

"Iya. Memangnya kenapa Paman?"

"Kalau ada situasi di mana kamu harus memilih. Siapa yang akan kamu pilih antara Paman dan Ita?"

Jujur pertanyaan itu membuat hati dan otak Sera tidak sejalan. Ia sudah bertekad untuk mengikuti Ita sejak tragedi di atas gedung. Tapi, ia juga tidak bisa mengabaikan Pamannya yang telah mengeluarkan dari neraka. Mereka berdua orang yang sangat penting untuk Sera.

"Ini berat. Tapi, kupikir aku akan pilih Paman. Karena Paman udah sama aku lebih lama." final Sera.

"Hm... baiklah. Dengar baik-baik Sera. Mulai detik ini apapun yang terjadi berpihaklah pada Ita."

"Ha? Kenapa...?"

"Nggak ada alasan khusus. Kamu hanya perlu memihaknya. Ini bukan pilihan tapi perintah. Kamu sanggup?"

Sera menatap penuh tanya. Entah apa yang tersembunyi di balik tatapan Raga yang menyorot kosong pada pendar cahaya kota. Yang jelas itu bukan tatapan yang Sera inginkan.

"Sanggup," finalnya.

"Anak pintar," timpal Raga lembut sembari mengusap pucuk kepala Sera.

Lagi, Sera merasakan jarak terbentang dengan orang ini. Sebenarnya rahasia apa yang ia sembunyikan melalui sorot mata putus asa itu? Sera ingin mengetahuinya.

"Sekarang giliran aku tanya, kalau Paman dihadapi pilihan. Lebih pilih aku atau Ita?"

Barisan gigi Raga nampak, ia terkekeh merespon pertanyaan itu. Sera memang orang yang pendendam.

"Nggak pilih keduanya."

"Ha? Kenapa? Tadi aku harus pilih salah satu."

"Haha, keputusan itu 'kan kamu yang menentukan. Mau pertanyaannya harus pilih salah satu tetap kamu yang menentukan dan Paman pilih nggak memilih keduanya."

"Alasannya?" tanya Sera bersedekap tangan.

"Karena..."

"Udahlah. Tidur sana," usir Raga. Ia tidak ingin perasaannya dibeberkan kemana-mana. Gawatnya lagi, Sera selalu menghabiskan waktu istirahat bersama Ita.

"Ih, tinggal ngomong suka aja susah banget." Reflek Raga menoleh, "ngaku!" Gegas Sera mencondongkan badan.

"Sok tau!" elak Raga. Walaupun begitu Sera bisa melihat pipinya merona saat wajah pamannya berpaling.

Malam ini diakhiri oleh senyum jahil Sera dan wajah kikuk Raga. Kepada penguasa bintang malam ada satu harapan yang sangat ingin Sera wujudkan. Semoga Pamannya bisa bersama dengan cintanya dan hidup bahagia.

Bab 41 Tuduhan

Susunan berkas tampak menggunung di meja Ita. Tak luput tangan dan punggungnya terasa pegal karena sejak tadi bergelut dengan dokumen anggaran.

Beberapa bekas cup kopi pun nampak di meja gadis itu. Padahal ia punya pantangan minum mengandung kafein.

Harus bagaimana lagi? Menyalahi atasan yang sudah memberi tugas? Walau suka ngeluh tapi Ita masih punya harga diri untuk tidak kalah saing oleh perempuan di sampingnya.

Sasa tersenyum simpul saat menyadari Ita menoleh. Terpaksa ia pun membalasnya walau canggung.

"Istirahat nanti mau nitip nggak? Aku mau keluar," ujar Sasa disela mengelompokan dokumen dari tahun ketahun.

"Memang mau kemana?"

"Emh, tadi disuruh Pak Raga ambil snack untuk rapat. Sekalian kalau kamu mau nitip boleh," tawar Sasa kembali.

Kata 'disuruh Pak Raga' entah mengapa membuat Ita merasa posisinya tergeser. Biasanya Ita yang meng-handle pekerjaan itu.

"Nggak deh makasih. Aku ada janji makan di luar bareng pacar ku," tolak Ita.

"Eh.... kamu udah punya pacar?" Raut Sasa terlihat terkejut.

"Iya."

"Hm, aku pikir masih single soalnya Pak Raga keliatan tertarik tuh sama kamu. Beliau tau kalau kamu punya pacar?"

Sebenarnya kemana alur pembicaraan ini? Kalau dugaan Ita benar mungkin saja Sasa ingin mengorek kehidupan sosial Ita. Supaya ia tidak tersaingi. Karena terlihat jelas kalau saat ini Sasa menyukai Raga.

"Taulah jelas. Hesa sama Pak Raga pernah ketemu kok. Waktu itu Pak Raga bantu proses pengadilan ku. Padahal udah ku bilang nggak usah. Tapi tetap aja maksa mau bantu."

"Oh. Gitu ya."

Ita melirik sekilas. Wajah Sasa tampak muram. Tidak salah kan kalau saat ini Ita tersenyum? Jika diperhatikan Sasa cuma ingin tahu tentang Raga. Buktinya ia tidak bertanya lebih lanjut tentang pengadilan itu.

"Mau kemana?" tanya Ita yang melihat Sasa bangkit.

"Mau nyerahin berkas ke bagian admin."

"Hem, titip kopi... boleh?" pinta Ita halus nan lembut. Padahal niat hati sengaja merepotkannya.

"Boleh," ucap Sasa sebelum pergi.

Hati Ita tampak puas. Ia bersandar di kepala kursi menikmati udara kemenangannya. Di masa itu, Ita selalu kalah dari Sasa.

Tidak lama Sasa kembali dengan membawa kopi pesanan Ita. Setelah itu, ia harus bolak-balik bagian administrasi karena beberapa berkas yang terselip.

Ita yakin para senior bagian administrasi juga menyimpan iri pada Sasa. Mengingat Ita juga dulu pernah jadi sasaran karena bisa bekerja di samping Raga.

"Anu ...,Ta?" panggil Sasa.

"Kenapa?"

"Kamu disuruh ke ruang rapat sama Pak Raga," ujar Sasa.

Pasti disuruh beli es kopi lagi. Seperti biasa. Tapi, di luar dugaan. Ita harus berdiam cukup lama di ruang rapat. Pandangan Ita tertuju pada tiga karyawan yang sedang duduk dengan kepala tertunduk.  lta pun ikut duduk di antara mereka.

"Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan. Ini menyangkut pekerjaan," ucap Raga dengan wibawa.

"Kalian tidak keberatan saya ganggu waktunya?" Mereka pun mejawab tidak keberatan. Memang siapa yang berani menentang Direktur?

Tatapan Raga tampak tegas dengan kedua maniknya menatap tanpa celah. Di sampingnye terdapat Sasa yang berdiri sembari memeluk dokumen.

Melihat situasi ini. Ita dan tiga karyawan ini seolah dalam situasi gawat di mana atasan sedang menegur bawahannya. Lalu, detik berikutnya praduga Ita terbukti nyata.

"Di sini kalian bekerja. Kalian punya job desk masing-masing yang sudah disetujui selama kalian melamar kerja. Kalian tau apa maksudnya itu?"

"Kita harus menjalankan kewajiban kami sebagai karyawan sesuai job desk yang ada," jawab salah satu karyawati.

"Good! Tapi.... akhir-akhir ini saya lihat. Ada beberapa orang yang keluar dari tanggung jawab. Melimpahkan pekerjaan kepada yang lebih muda karena merasa senior di kantor ini." Dengan sindiran tajam itu Raga melirik mereka yang tengah menunduk. Tidak terkecuali Ita.

"Dan parahnya lagi.... ada beberapa orang yang mengerjai trainer baru dengan melimpahkan tugas yang seharusnya bukan tugasnya."

Seringai Raga mengembang singkat. "Memangnya kalian yang menggaji trainer baru itu?"

Mereka tampak diam. Tidak berani beradu pandang dengan Raga. Kecuali Ita. Ia terus menatap nyalang. Maksudnya apa bilang seperti ini? Seolah Ita melakukan hal senioritas itu! Lalu detik berikutnya, Ita tahu alasan kenapa ia diposisikan dengan senior-senior di sampingnya.

"Sasa.... coba sebutkan siapa aja yang suruh kamu mondar-mandir mengurus dokumen yang harusnya jadi pekerjaannya bagian Administrasi."

"I-itu...." jawab Sasa ragu.

Lihatlah wajah sok ketakutannya itu! Benar-benar memuakan!

"Katakan saja. Walaupun kamu masih baru. Akan ku jamin posisi mu."

"Kak Shinta, Kak Maya.... emh, Kak Rosa lalu.... emh.... I-Ita...."

BRAK!

"Sejak kapan aku nyuruh-nyuruh kamu?!" Putus sudah urat kesabaran Ita!

"Oh.... kopi itu? Kalau kamu nggak mau, bilang! Aku nggak maksa kok!"

"Ita...." tegur Raga pelan.

"Bu-bukan kopi itu.... se-seharusnya dokumen yang kita kelompokan tadi bukannya kita harus mengerjakan sama-sama? Tapi menurut ku, kamu terlalu mengandalkan ku untuk pergi ke bagian Administrasi. Di sana pun aku di suruh kesana kemari sama senior. Jadi.... ini nggak adil."

"Bilang dong kalau keberatan! Aku pikir kamu sanggup sendiri karena seharusnya itu semua pekerjaan kamu! Aku tuh cuma kasian. Makanya bantu kamu. Oh... kamu belum tau posisi ku ya? Coba kamu tanya sama atasan mu!" lirik Ita pada Raga.

Semua mata menyorot ke Raga. Dengan satu tarikan nafas. Raga menjelaskan semuanya.

"Ita bukan termasuk karyawan di sini," pandangan Raga beralih ke Ita. Kakinya jejak melangkah ke tempat Ita duduk. Lalu seulas senyum tampak sejurus dengan tangannya merangkul pundak Ita. "Dia asisten pribadi ku."

Ita menengok tangan Raga yang berada di pundaknya. Lalu menatap heran pada Raga. Ini orang kesambet apa? Berani nyentuh anak orang sembarangan!

Merasa risih, Ita sengaja menggoyangkan pundaknya hingga tangan Raga tidak menepi lagi di sana.

"Ehem.... jadi tujuan saya memanggil kalian. Supaya tidak ada senioritas lagi. Ini bukan laporan dari pihak Sasa saja tapi saya lihat dengan mata kepala sendiri. Bahkan asisten pribadi saya juga pernah mengalaminya," lirik Raga pada Ita.

"Ini peringatan pertama. Jika saya melihatnya lagi. Maaf, saya tidak bisa mempertahankan kalian di sini."

"Baik Pak," jawab mereka kemudian pergi.

Sedangkan Ita, ia masih tetap di tempat. Menatap tajam pada Sasa.

"M-maaf Ta... aku nggak tau kalau kamu—“

"Tck! Basi!" ucap Ita kemudian berniat pergi.

Sasa hendak berpamitan sekaligus mengucapkan terimakasih ke Raga. Namun, detik itu juga ia sadar. Saat memandang wajah itu, ada kata memuja yang ia tujukan pada gadis yang telah pergi tadi.

Membuat Sasa kesal!

Malam harinya Ita dikabari kalau Hesa sakit. Tentu saja bukan Hesa yang mengabari langsung karena orang itu mana mungkin membahayakan Ita dengan keluar malam.

Ita mendapatkannya dari Zio. Teman kampus Hesa yang pernah beberapa kali bertemu dengan Ita.

Berkat kabar dadakan itu, Ita harus buru-buru ke apartemen Hesa. Ia mengendarai mobil seorang diri.

Bab 42 My Presious

"Gimana? Mau dibawa ke rumah sakit sekarang?" ucap Zio yang masih setia menunggu setelah kedatangan Ita.

"Dianya nggak mau. Takut disuntik katanya."

"Haha. Cupu emang. Badan doang gede."

"Emang Zio nggak takut disuntik?" selidik Ita.

"Yaa. Takut sih. Tapi kalau yang nyuntik cantik kayak Ita bisa dibicarakan baik-baik. Hehe."

"Pergi lo makhluk abstral!" Sebuah suara menginterupsi interaksi mereka bersamaan dengan itu bantal sofa melayang tepat mengenai wajah Zio.

"Njing! Lo ditolong malah ngelunjak!" gertak Zio tidak terima.

"Hes. Kok keluar sih. Udah sana tiduran lagi," seruduk Ita. Melihat ia berdiri aja mampu membangkitkan rasa khawatirnya.

"Iya! Takut bener pacarnya di apa-apain. Gue masih punya akhlak kali," gerutu Zio.

"Makanya gue keluar. Karena gue tau akhlak lo menguap kalau liat cewek cantik," balas Hesa tak mau kalah. Ia duduk di tengah-tengah. Menjadi penghalang antara Zio dan Ita.

Ita menunggingkan senyumnya. Ternyata Hesa bisa bertindak kekanakan seperti ini.

"Coba aku liat," ucap Ita sembari menempelkan telapak tangan ke kening Hesa.

"Masih panas," gumam Ita kemudian. Hesa yang disentuh keningnya sedikit terlonjak dan ketika sudah terbiasa ia menuai tatapan manja. Persis seperti Zeno saat sakit. Sebenarnya Ita menahan diri untuk tidak mengunyel-ngunyel pipi Hesa.

"Hais! Diabetes lama-lama." Hentak Zio melangkah keluar.

"Mau mana?" sahut Hesa.

"Beli cemilan Njing!" sarkas Zio. Spontan Hesa menutup kedua telinga Ita. "hais! Kalau ngomong nggak bisa dijaga!"

"Sorry ya?"

Ita tersenyum simpul. Hesa adalah laki-laki tepat yang patut ia pertahankan.Tapi, kenapa akhir-akhir ini ada perasaan aneh terhadap orang itu?

Sukar diakui tapi ini benar terjadi. Ita tidak bisa mengikis istilah 'cinta pertama memang indah tapi cinta terakhir tidak mudah dilupakan'.

"Tiduran di sofa ya?" tawar Ita yang tidak tahan melihat keringat dingin Hesa. Setelah berdehem Ita beralih ke kamar untuk mengambil bantal dan selimut.

Saat kembali, Ita melihat punggung Hesa. Itu adalah punggung yang senantiasa menyambutnya. Ita menjatuhkan bawaan kemudian melewati batasan dirinya untuk memeluk Hesa.

"Sayang?" panggil Hesa yang menyadari Ita memeluk dari belakang.

"Bentar…. bentar aja. Ada yang mau aku pastikan," saut Ita. Ia tenggelam dalam perasaan abstraknya.

"Memastikan apa?"

".... Perasaanku."

Hesa tidak bergeming. Membiarkan Ita adalah cara ia menghargai. Hesa tau, sejak dulu ia tidak benar-benar memiliki hati gadisnya.

"Ita ..., kamu tau? Aku percaya sama istilah 'usaha tidak akan mengkhianati hasil'. Kalimat itu yang membuat ku bertahan sampai sekarang. Tapi, jika kamu ingin aku melepas keyakinan itu. Aku akan melakukannya," ucap Hesa bertumpu pada kepala sofa.

Di tengah demam tinggi. Hesa tersenyum, "soalnya aku nggak suka liat cantikku kebingungan kayak gini," lanjutnya.

Dalam suasana malam. Sepasang kekasih itu dirundung kesunyian. Ungkapan Hesa barusan adalah tamparan besar untuk Ita. Ia labil menentukan arah hatinya sampai ada orang seperti Hesa yang menggantungkan harapan.

Dalam satu tarikan nafas. Ita maju, mencondongkan wajahnya tepat di atas Hesa kemudian,

Cup!

"Maaf, sebentar lagi…. Tunggu aku sebentar lagi," ujar Ita memantapkan hati. Kecupan di kening itu adalah janji yang akan mengikatnya.

"Apa pun keinginanmu. My presious."

***

"Hari ini ada pertemuan dengan Pak Gandu di hotel Horizone. Saya dapat info dari sekretarisnya, beliau akan sampai di Bandara Soekarno Hatta pukul dua siang...."

Sasa mencuri lirik ke Raga. Memastikan rupa yang dipuja-puja seisi kantor agar mendengar penjelasannya. Namun nihil, yang ia dapatkan hanya tatapan sendu yang telah diisi oleh nama lain.

"Kedatangan Pak Gandu bertepatan meeting dengan bagian riset dan pengembangan. Jadi, apa saya harus infokan mereka untuk mengundur meeting?" lanjut Sasa. Ia tidak peduli jika diabaikan.

"Handle semua. Katakan saya ada keperluan mendesak," titah Raga tanpa pikir panjang. Satu yang menjadi fokus pagi ini. Dimana Ita? Ia bahkan tidak bilang kalau izin.

Diam-diam Sasa menggenggam erat ujung bajunya. Pekerjaannya semakin bertambah hanya karena gadis itu tidak masuk. Sialan!

"Tolong urus semuanya. Saya percayakan padamu," ujar Raga kemudian beralih.

Langkah besar Raga berhenti tepat di depan parkiran. Ia melihat sosok yang dicari-cari tengah di dalam mobil. Matanya menerawang laki-laki di samping Ita. Niat ingin memastikan keamanan Ita di rumah akhirnya sirna digantikan perasaan kesal.

"Kenapa kesiangan?" cegah Raga saat Ita akan memasuki kantor.

"Ban saya bocor."

"Kenapa nggak hubungi dulu?"

"Handphone saya lowbat," tunjuk Ita pada handphone. Ia menyumpahi dirinya yang ketiduran sampai lupa mengisi batre handphone.

"Tadi itu siapa?" tanya Raga semakin ketus. Ita mengernyit. Orang ini sebenarnya kesurupan apa pagi-pagi?

"Bapak kenapa sih? Harus banget introgasi depan kantor gini?"

"Tinggal jawab aja. Itu siapa tadi?"

"Orang baik yang ngasih tumpangan gara-gara saya khawatir Bapak bakal ngoceh nggak jelas kayak gini... hah! Ternyata mau diusakan tetap hasilnya sama juga."

"Tau gitu mending nunggu motor ku jadi sekalian!" dengus Ita.

"Ikut aku," tanpa sadar Raga menarik tangan Ita. Mereka memasuki mobil bersama.

"Pak kita mau kemana?"

"Kemana aja," jawab Raga asal.

Mobil itu membelah jalanan seakan dikejar-kejar pembunuh bayaran. Awalnya Ita menganggap ia akan menemui kolega lagi seperti biasa. Di luar dugaan, Raga membawa Ita ke gerai merek ternama dunia.

Mulutnya menganga lebar melihat deretan tas Lois Vutition berjejer anggun di etalase. Ita yakin gajinya tiga bulan tidak bisa membeli tas mahal ini. Apalagi merengek dengan Papanya. Walaupun terbilang mampu, Haris tidak pernah memanjakan Ita dengan membeli barang branded.

"Pilihlah yang kamu suka," pinta Raga.

Untuk kesekian kalinya ia menganga. Serius?! Ini bukan pertanda kalau Raga akan mati besok kan?

Melihat raut kebingungan Ita, Raga menghampiri gadis itu, "nggak ada yang suka?"

"Siapa sih yang nggak suka merek ini? Papa aja nggak pernah beliin yang kayak gini."

"Bukan itu sih intinya.., gimana ya bilangnya. Emh.... Bapak nggak kayak biasa makanya saya bingung. Ini bukan salam perpisahan kan?" ceplos Ita.

"Kamu pikir aku bakal mati besok?"

Tepat! Sayangnya Ita tidak berani bilang.

"Aku cuma mau kasih hadiah buat kinerjamu selama ini," jelas Raga.

"Tapi, menurut saya ini berlebihan. Harga satu tas aja bisa melebihi gaji ku tiga bulan."

"Untuk seorang putri Adma Djaya hadiah kayak gini bukan masalah besar. Justru aku bakal malu kalau kasih hadiah yang biasa aja," jelas Raga.

Oh ya! Ita baru ingat. Raga kan menjunjing tinggi. Oh tidak! Menjunjung sangat amat tinggi harga diri. Sejauh ini kolega mana yang tidak mendapat hadiah fantastis seharga puluhan bahkan ratusan juta? Benar-benar sosok yang royal!

"Hah..., tujuan Bapak ngasih hadiah untuk apa?"

"Sebagai bentuk rasa terima kasih ku. Sejauh ini kamu udah berusaha jadi asisten sekaligus sekretaris yang baik," jawab Raga yakin. Padahal dalam hati ia ingin memberi sesuatu untuk menyenangkan Ita.

"Kalau cuma rasa terima kasih jujur saya keberatan sama barang bermerek di sini. Mending kita ke central food atau jajanan kaki lima. Saya lebih suka makan ketimbang barang mahal."

Raga menggaruk tengkuk belakangnya. Ternyata gadis ini cukup simple. Seperti sapi yang akan senang jika diberi rumput. Tapi, beberapa hari ini justru Raga memikirkan banyak hal tentang kesukaan Ita sampai tidak bisa tidur.

"Ya udah, hari ini aku ikut mau kamu."




 

Mimpi apa nih Raga tiba-tiba?

Beneran mau mati kayaknya. Ups!

Hehe..

Next ya =>

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
After Ending
Selanjutnya After Ending 43-45 Free
0
0
Sudah ending jadi bisa marathon. Happy Reading."Hari ini telah terjadi kecelakaan beruntun di tol Cipularing yang menewaskan kurang lebih enam pengendara. Untuk info selengkapnya kami terhubung dengan—“DEG!Suara berita itu masih bergaung di ruang tengah. Mengelak pun percuma! Kenyataan menuntun Raga pada kebenaran bahwa Ita sedang menuju kesana.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan