
Bisa baca gratis di wattpad & karyakarsa. Sudab ending. Happy reading. Mina san.
"Kamu tau apa kesalahan mu?" tanya Raga.
"Hem, iya."
"Sekarang minta maaf atas perlakuan kasar mu tadi!"
Pandangan Ita beralih ke dua sejoli itu, "maaf." Seolah tidak bisa mengelak. Perintah Raga seperti sihir yang sudah tertanam sangat dalam.
Bab 20 Me Time
"Sera?" suara baritone terdengar.
Sosok tinggi dengan pakaian rapih berjalan mendekat. Perlahan namun pasti. Dasi marun berpadu jas abu-abu menunjukkan kekokohan jabatan pada suatu instansi.
Tak seperti penampilannya. Mata panda itu sepertinya cukup menyimpulkan betapa lelah laki-laki ini. Reon Arshad. Begitulah namanya. Dulu, Ita menyebutnya ekor Raga. Karena kemana pun Raga pergi. Pasti ada Reon.
"Eh, ada kamu juga," sahutnya lagi.
Ita hanya tersenyum kaku, "Kak Reon kenal dia?" tanya gadis yang di panggil Sera itu.
"Iya. Dia itu—“
Gawat!
"Ah....anuu...." sahut Ita cepat. Entahlah, insting Ita bilang, "Jangan sampai gadis ini tau kalau Ita ada kaitannya dengan kecelakaan Raga!"
"S-saya Hitagina Rakasiwi. Saya anaknya Pak Haris Admadjaya. M-mau jenguk Pak Raga.... emh.... anu.... s-soalnya Papa nyuruh anterin ini...." tunjuk Ita pada bingkisan buah segar yang sempat ia beli tadi.
"Oh, iya.... makasih ya. Ayo masuk," ajak Reon. Untung saja ia lupa pertanyaan Sera tadi.
Tidak diduga, Sera berdecak kemudian melangkah pergi tanpa suara. Gadis dengan seragam SMA berbalut hodie dongker itu menjauh. Lalu buat apa dia repot-repot kemari? Pakai acara marah-marah lagi!
Sabar! Bagaimana pun wajahnya mirip sekali dengan Zera. Alam bawah sadar Ita tidak mengizinkan ia membencinya.
Kalau dipikir-pikir Ita tidak pernah melihat Sera di kehidupan lalu. Kalau benar ia sepupu Raga. Pasti di acara-acara keluarga mereka bertemu. Aneh!
Setelah Memutuskan untuk tidak berpikir mendalam. Ita memilih masuk. Di sana Raga terbaring dengan banyaknya selang infus menempel di tubuh.
Dering handphone Reon terdengar. Ia buru-buru keluar setelah melihat nama dial di layar. Sepertinya itu panggilan mendesak.
Yah, memangku jabatan sebagai wakil direktur memang tidak mudah. Apalagi si direktur utama sedang berbaring seperti ini. Pasti Reon sangat keteteran.
Ita memandangi cukup lama wajah Raga sebelum menarik kursi dan duduk di samping Raga. "Nggak kasihan sama Reon? Dia udah kayak mayat hidup tau nggak," ucap Ita satu arah.
Tatapan Ita perlahan menyendu. Sama halnya di kehidupan itu. Ketika semuanya belum rumit. Ita selalu memandangi wajah Raga saat tidur.
"Persis banget Zera sama Zeno," gumamnya di luar kendali.
"Nggak adil. Aku yang hamil sembilan bulan. Melahirin susah. Pas keluar mirip kamu. Mana dua-dua-nya lagi," beo Ita.
Diam cukup lama. Lalu bersuara, "Maaf. Aku nggak bermaksud buat kamu jadi kayak gini."
"Aku.... berniat merubah takdir. Tapi selama ini yang aku lakukan hanya mencegah pertemuan dengan mu. Aku sadar itu tindakan pengecut."
"Pertemuan kita nggak bisa dicegah. Kali ini aku nggak akan lari. Bangunlah dan datangi aku. Dari pada orang lain, setidaknya aku udah kenal karakter mu. Dan sekali lagi aku nggak akan jatuh cinta."
Suara pintu mengalihkan fokus Ita. Reon muncul di sana.
"Lho Sera kemana?" tanyanya yang tidak sadar Sera sudah pergi dari tadi.
"Tadi diajak masuk malah pulang. Cewek tadi sepupunya Direktur Raga ya?" tanya Ita basa-basi.
"Iya."
"Hemm.... pantes mirip," gumam Ita lirih mengarah pada wajahnya yang seperti jiplakan Zera.
"Maaf. Tadi kamu bilang apa?" ucap Reon. Ternyata dia mendengar.
"Ahaha.... nggak Kak. Emh.... saya izin pulang dulu ya Kak. Semoga Direktur Raga cepet sembuh."
"Kok bentar banget. Kita belum ngobrol lho," sahutnya ramah. Setahu Ita, Reon memang sudah ramah dari sananya.
"Iya nih. Soalnya ada janji sama teman. Hehe," dusta Ita.
Reon hanya berdehem. Tidak ada alasan untuk menahan Ita di sini. Padahal ada hal yang ingin ia tanyakan mengenai nomor bisnis Raga yang harusnya hanya segelintir orang yang mengetahui.
"Apa mungkin dari Ayahnya?" monolog Reon sembari menatap kepergian Ita.
"Hum, mungkin dari Ayahnya. Mana mungkin dia punya nomor Raga," liriknya ke samping. Detik berikutnya Reon dibuat terbelalak dengan mata Raga yang telah terbuka.
Hari ini Raga mengakhiri masa tidur panjangnya. Berkat keajaiban yang datang entah dari mana. Jika tempat duka dipenuhi orang-orang dengan hati dipaksa ikhlas maka rumah sakit adalah tempat bagi orang-orang tulus berharap.
***
"Eh Ta, lihat deh. Lucu banget nggak sih?" tunjuk Tina pada barisan plaster berbagai gambar karakter lucu.
"Iyaa. Ihh! Kiyowo. Mau satu deh."
"Buat apa? Lo punya banyak di rumah."
"Tapi ini lucu banget Tin! Nggak bisa! Gue harus beli satu biar nggak kebawa mimpi," elak Ita. Satu kelemahannya terungkap. Ia tidak tahan membeli benda-benda kecil yang terlihat imut.
"Terserah lo dah! Inget ya, tujuan kita mau salon. Bukan belanja asesoris kecil-kecil kayak gini."
"Salah lo nunjukin tempat ini!"
"Agak nyesel juga sebenarnya." Tina mendengus. Ia memandangi temannya yang bingung memilih aksesoris kecil dengan mata berbinar.
"Tin! Gua beli ini ya?" tunjuk Ita entah yang keberapa kalinya.
"Buat apa? Kita nggak butuh pensil lagi Ta. Seenggaknya pilih pena kek," dengus Tina.
"Tapi ini lucu." Lagi-lagi alasan yang sama.
"Udah yuk ke kasir. Gue yakin lo bakal beli semua barang di sini kalau nggak cepet keluar," ajak Tina.
"Inget tujuan kita Ta! Udah mau siang juga. Keburu panas!"
"Tck, nggak asik!" gerutu Ita.
Dua sejoli itu beralih ke tempat selanjutnya. Mereka meninggalkan Toko aksesoris yang baru dibuka itu untuk pergi ke salon yang hanya berjarak tiga gedung.
"Menurut lo gue bagus cat rambut warna apa?" tanya Tina. Sudah sejak lama ia menantikan mewarnai rambutnya saat masuk kuliah.
"Tosca," jeplak Ita sembari mencari referensi model rambut curly.
"Oke deh. Mbak tolong ya," pinta Tina pada petugas salon.
Tunggu! Ita langsung menoleh saat Tina setuju begitu saja usulannya, "lo yakin mau warna tosca?"
"Kata lo bagus," jawabnya datar.
Ita menghela nafas. Ia lupa sahabatnya ini termasuk manusia goa yang nggak kenal fashion saat SMA. Berbeda di masa depan yang sudah terkontaminasi barang branded, "Mbak tolong ganti warna coklat tua aja ya."
"Lho kok jadi coklat tua? Nggak kelihatan dong," bantah Tina.
"Besok lo mau diospek. Mau jadi sasaran kakak tingkat perkara lo warnain rambut?"
Alis Tina terangkat sejenak, "oh iya juga ya. Tumben otak lo encer."
Mereka menikmati perawatan diri sambil mendengarkan musik. Bagi Ita, quality time seperti ini sangat sulit ia dapatkan di masa depan. Ia tidak akan menyia-nyiakan waktu lagi.
"Hais shit!" umpat Tina tiba-tiba.
"Kenapa?"
"Tck! Kakak gue nyuruh pulang," sahut Tina. "Mana nitip seblak lagi! Nggak ada otak emang!"
"Ya udah gih. Pulang duluan aja. Tempat lo udah selesai kan?"
"Udah sih. Tapi entar dulu deh. Nunggu lo."
"Ih kayak apa aja sih! Gue bisa pulang sendiri kali. Udah sana, masih untung lo dapet izin masuk jurusan Design Grafis. Dari pada Kakak lo berubah pikiran."
Tina berdecak sebelum berat hati pulang. Sangat disayangkan kalau Kakaknya berubah pikiran setelah usaha mogok makannya membuahkan hasil.
Ita membayar tagihan ke kasir. Hari ini ia meng-curly rambutnya dan sedikit khilaf karena tadi melihat promo nail art.
"Mbak!"
"Mbak tunggu!" pekik salah satu pegawai salon memekikan seseorang yang hampir menaiki taxi online.
Kalau mata Ita tidak salah lihat. Dia si cewek emosian kemarin. Sera.
"Aduh, gimana ini. Handphone Mbaknya ketinggalan," keluh si pegawai salon.
"Simpan dulu aja Mbak. Nanti kalau orangnya sadar handphone-nya ketinggalan pasti balik lagi," sahut Ita yang tidak tega melihat raut panik pegawai itu.
"Aduh Mbak, masalahnya besok salon ini tutup karena yang punya salon nikahan. Jadi kami diundang kesana semua. Ini pun kami nggak full day. Cuma buka setengah hari."
"Hemm...."
"Mbak kenal Mbak yang tadi?"
"Nggak kenal sih. Tapi aku kenal pamannya," celetuk Ita tanpa tau resiko setelahnya.
"Kalau gitu titip boleh Mbak?"
"Ha?”
Bab 21 Sera
Ita menyumpahi mulutnya yang masih tidak diajari resiko. Hah! Ita memandangi handphone ungu pastel dengan motif panda itu. Mau tidak mau ia harus mengunjungi tempat Raga lagi!
Namun, rencana tetaplah rencana. Handphone itu berdering untuk beberapa kali. Terlihat panggilan dengan nama profil Mama di layar.
Ita segera mengangkatnya dan berniat memberitahu handphone gadis itu. Mungkin Ita tak harus pergi menemui Raga. Alih-alih menjelaskan justru Ita mendapat semprotan batin dari pihak seberang.
"Dasar anak nggak berguna!"
"Kamu pikir bisa seenaknya bertindak kayak gitu? Hah?! Udah dibesarin susah payah. Mikir! Biaya buat sekolahkan anak bajingan kayak kamu itu nggak murah. Masih untung nggak ditaruh panti asuhan. Mati aja kamu! Ngerpotin orang aja bisanya!"
"Dimana kamu-"
DEG!
Sakit! Padahal bukan Ita yang jadi objek hardikan orang itu. Bukankah ini terlalu berlebihan? Apa yang dilakukan gadis itu sampai membuat orang dengan sebutan Mama itu marah besar?
Dari pada menjawab. Ita memutuskan sambungan. Ia segera menuju rumah sakit supaya panggilan lain tidak datang padanya. Pikirnya, Ita tak boleh masuk ke ranah pribadi seseorang.
***
Pemandangan kota terlihat indah dari lantai tujuh sebuah gedung di tengah kota. Mata seorang gadis menengadah menangkap perjalanan sang awan. Perlahan awan gumpalan mendung itu menutupi terik matahari. Tak terelakan Rintik hujan pun turun.
"Shit!" umpatnya.
"Padahal gue pingin lihat hari cerah."
Gadis pemilik rambut sebahu itu berdiri. Tatapannya datar memandang lantai dasar yang bertepatan langsung dengan halaman depan rumah sakit.
"Andai ada satu orang yang datang kesini-" belum sempat menyelesaikan perkataannya gadis itu tersenyum miris. "Udahlah, gue capek."
Ia memejamkan matanya. Tubuhnya condong ke bawah saat keputusan mengakhiri hidup sudah bulat.
"SERAAA!"
Pekikan itu menyadarkan Sera. Ia menoleh ke sumber suara sebelum tubuhnya benar-benar jatuh.
Siapa?
Sera menajamkan sorotnya untuk mengenali gadis yang tengah terengah-engah di sana. Ah! Sera tahu! Dia gadis kurang ajar waktu itu.
Senyumnya mengembang miris. "Dari sekian banyak orang. Kenapa harus lo sih?!" gumamnya lirih. Ia masih berdiri di tepi gedung.
"Mau apa?" tanya Sera.
"Aku.... hah.... hah.... aku mau ngembaliin.... handphone...." ucap Ita terengah. Mau bagaimana lagi! Ia berlari menaiki tangga dari lantai lima. Karena lift pengunjung sedang dalam perbaikan. Sialan!
"Tck! Lo emang paling suka ngikutin orang ya!" sarkas Sera.
"Udah ku bilang. AKU MAU BALIKIN HANDPHONE!" teriak Ita sekuat tenaga. Kesal karena Sera tidak memberi kesempatan untuknya bernafas sejenak.
"Tck! Taruh aja di situ."
Mengikuti instruksi Sera. Ita pun menaruh handphone ke lantai. Kemdian ia ikut duduk menyilangkan kaki.
"Ngapain lo masih di sana?! Pergi!"
"Suka-suka gue dong. Emang ini rumah sakit lo?!"
Sera tidak bisa berkata-kata. Niatnya untuk bunuh diri perlahan terkikis berkat kehadiran Ita yang justru membuatnya kesal.
"BTW, kamu nggak kepanasan berdiri di sana?" sahut Ita datar.
"Bukan urusan lo!"
"Situ mau bunuh diri ya?"
SNAP!
Tepat sasaran! Berkat itu Sera melirik horor. "BUKAN URUSAN LO!" tekan Sera sambil melotot.
"Yah, keliatan dari posisi mu kayaknya emang mau bunuh diri sih," celetuk Ita. "Tck! Jangan dong! Nanti aku diwawancarai banyak orang. Terus keseret jadi saksi di kepolisian. Kan ribet! Mana bentar lagi mau ujian paket C."
"Paket C? Lo nggak lulus ujian?"
"Nggak...."
"Makanya jangan goblok!"
"Heh! Aku nggak goblok ya!"
"Orang goblok cuma bisa koar-koar kayak kamu!" sulut Sera.
"Oh.... kalau gitu orang yang berniat mengakhiri hidup nggak kalah gobloknya sama orang yang koar-koar!"
Sera berjongkok, "lo nggak tau apa-apa," gumam Sera lemah.
"Aku nggak tau apa masalah mu. Percaya deh. Apapun masalahnya, bunuh diri bukan cara menyelesaikan masalah. Ada banyak orang yang pingin hidup lebih lama tapi Tuhan nggak kasih. Kamu beruntung diberi kesempatan hidup lebih lama."
"Bacot! Lo nggak usah ngomong tentang kehidupan kalau lo belum ngerasain apa yang gue rasain!"
"Pasti nggak adil kan? Kayaknya orang lain punya hidup sejahtera damai sentosa. Sedangkan kita? Tapi.... kamu tau? Tiap orang punya masa putus asa-nya sendiri. Mungkin yang kamu lihat aku keliatan nggak punya beban hidup. Tapi, di suatu masa aku pernah terpuruk sampai rasanya pingin mati," ucap Ita. Miris di akhir kalimat.
Mata Sera berkaca-kaca. Ia merasakan dari tatapan sayu mata Ita yang seolah mencerminkan beban teramat berat. Sama seperti dirinya.
"A-aku nggak punya siapa pun. Orangtua ku nggak nerima aku. Keluarga ku berantakan. Cuma satu orang yang mau terima aku apa adanya. Tapi.... tapi sekarang dia koma. Paman.... Paman kayak gini gara-gara aku.... aku nggak tau lagi harus gimana. Nggak ada yang mau terima aku selain Paman." Suara isak itu terdengar pedih.
Kini Ita paham. Apa yang membuat gadis dengan wajah anaknya ini ingin mengakhiri hidup. Ah! Dasar! Bagaimana orang itu bisa tau niat Sera? Sedangkan dirinya pun baru sadar dari koma.
Flashback on
Dua jam sebelumnya Ita memasuki lift hendak ke lantai tiga dengan lemas. Energinya seakan habis karena tidak niat mengembalikan handphone.
Buah mulutnya yang suka ceplas-ceplos tanpa memikirkan resiko terjadi juga. Ita benar-benar menyesal!
Seolah keberuntungan Ita sudah habis. Sampai rumah sakit harapannya untuk bertemu Reon justru kandas oleh pertemuan tidak sengaja.
"K-kok dia udah sadar?!" ucapnya spontan berbalik arah ketika melihat Raga tertatih mendorong kursi roda sendiri.
"Lagian kenapa orang sakit jalan-jalan tanpa pengawasan kayak gini sih!" Ita harus tenang. Bagaimana pun di masa ini mereka tidak saling kenal.
"Ha-hallo kak, maaf ganggu. Kakak lihat orang ganteng yang selalu pakai kemeja lewat sini nggak?"
"Orang ganteng?"
"Iya."
"Maksud mu saya?"
Apa-apaan ini? Orang ini otaknya geser atau gimana sih?! Ita sempat bengong beberapa detik sebelum laki-laki itu menyadarkan alam bawah sadar Ita.
"Maaf saya nggak lihat," jawabnya kemudian.
"O-oh, kalau gitu makasih kak," jawab Ita awkard.
Menyebalkan! Tidak ada jalan, Ita memutuskan pulang dan kesini lagi esok hari. Padahal tinggal kasih handphone-nya pakai drama sepanjang ini.
"Kalau yang kamu maksud Reon. Dia keluar untuk beli sesuatu," sahut Raga ketika Ita hendak pergi.
Spontan Ita menoleh. Tak lupa lengkungan bibirnya ikut terbentuk, "I-iya, aku baru ingat. Namanya Reon. dia nggak lama kan?"
"Nggak.... mungkin."
"Sebenarnya aku kesini mau ngasih ini," Ita merogoh handphone Sera lalu memberikannya. "Nggak sengaja aku kenal Sera. Bukan teman dekat. Cuma sekedar tau. Tadi aku ketemu dia di salon terus handphone-nya ketinggalan. Karena aku nggak tau Sera dimana jadi aku bawa kesini. Tolong berikan sama Sera ya," ucap Ita sekali tarikan nafas.
Sebisa mungkin ia memperpendek waktu berhadapan dengan Raga. Nggak baik buat jantung soalnya!
"Ka-kalau gitu aku pergi dulu ya kak," pamit Ita.
Syukurlah! Tantangan selesai dilalui. Ia jalan perlahan menjauhi Raga. Tiba-tiba ia teringat sesuatu.
"Oh iya, tadi Mamanya telpon-"
"Tck! Kamu angkat?" decakan itu cukup membuat Ita gemetar ditambah tatapan yang tiba-tiba berubah tajam.
"I-iyalah. Aku pikir telpon penting."
Sepertinya Ita salah bicara. Ekspresi Raga semakin menakutkan. Alisnya hampir bertaut menciptkan kerut pada jeda di tengahnya. Sejurus dengan itu kecurigaan Ita terbukti. Gadis itu memiliki hubungan yang buruk dengan keluarganya.
Terdengar helaan nafas dari orang sakit di depannya sebelum ia mengajukan permintaan, "tolong, bantu aku cari Sera."
Ita sempat terkejut, apakah sedalam itu masalah Sera hingga membuat manusia angkuh ini merendahkan diri?
"A-aku ada janji sama teman," dusta Ita. Sejujurnya ia tidak yakin dengan ucapannya sendiri.
"Aku mohon, kalau kondisi ku tidak di kursi roda seperti ini. Aku akan mencarinya sendiri."
"Me-memangnya Sera kenapa? Dia kan udah gede. Ngapain pakai dicari."
"Iya. Kamu benar. Aku cuma khawatir dia melakukan hal yang tidak diinginkan," wajah Raga tampak putus asa, "dia menerima banyak tekanan dari orangtuanya."
Itu benar! Dari panggilan terakhir yang tidak sengaja Ita dengar bukanlah sesuatu yang pantas diucapkan seorang ibu.
Jika memang benar Sera berniat mengakhiri hidup. Hal itu masuk akal kenapa di masa depan Ita tidak mengenalnya. Karena dia meninggal sebelum bertemu Ita.
"Aku harus cari dimana?" final Ita. Hati nuraninya pun akhirnya terketuk hanya karena Sera mirip sekali dengan Zera, anaknya.
"Pertama, carilah di sekitar rumah sakit ini."
Atas dasar apa Ita menyanggupi permohonan Raga? Ita pun masih bingung. Mungkin alasannya tidak lain karena untuk pertama kalinya Raga memohon.
Bab 22 Buket Bunga
Siang ini Ita dibuat terkejut dengan dua hal. Pertama, kehadiran Reon dirumahnya dan kedua, buket bunga entah dari siapa yang datang melalui paket kilat setelah Reon singgah.
Pembicaraan antara Reon dan Haris terdengar rumit di telinga. Tentang saham, obligasi, devisit dan istilah dalam dunia perekonomian lainnya.
Membuat Ita seperti bayi baru lahir yang harus mendengarkan bahasa asing dua orang di depannya. Terlebih sejak tadi Ita tidak diizinkan ke kamar. Hingga inti dari maksud kedatangan Reon pun terlilhat jelas.
"Saya kesini bermaksud menawarkan kontrak baru."
DEG!
"Dengan anak Pak Haris sebagai...."
BRAK!
Ita spontan berdiri. Menatap nyalang ke Reon.
"ITA! Kamu apa-apaan...." bentak Haris. Ia tak pernah mengajarkan hal seperti ini sebelumnya.
"Papa bilang nggak akan melibatkan aku dalam jaminan apapun. Mana?!"
"Pembohong!" Ita terisak kemudian pergi meninggalkan mereka yang tampak kebingungan.
Suara bantingan pintu terdengar. Ita telungkap di kasur menumpahkan segala kesalnya. Ita juga tidak paham kenapa ia bisa se-melow ini.
Padahal di masa depan. Sudah berulang kali ujian menerpanya dan ia tetap tegar. Mungkin karena hormon remajanya sedang berkembang. Membuat Ita sensitif.
"Huhuuuhuu. Pembohong! Papa pembohong!" Bulir air mata lolos begitu saja. Tak terbendung. Mereka mendeklarasikan sakit hati hingga jatuh tak bersisa bentuknya.
Tidak lama Haris dan Ria datang. Ita menyumpahi kelupaannya mengunci pintu.
"Nak...." usap Ria pada pucuk kepala Ita.
Suara sesenggukan masih terdengar. Ita masih menangis lirih tertahan bantal.
"Ita.... coba dengerin Papa dulu!"
Tidak ada respon. Haris meneruskan kalimatnya. "Seharusnya kamu nggak bertindak seperti itu. Papa malu sama rekan bisnis Papa. Dikira nggak mengajarkan sopan santun—“
"Salahin aja terus!" pekik Ita. Ia mengambil posisi duduk menghadap Haris. "Memang apa yang bener dari aku? Nggak ada! Aku selalu salah di mata Papa. Papa janji nggak akan melibatkan aku.... tapi mana? Mana Pa? Aku tetep jadi syarat kontrak kerjasama Papa kan?!"
"Nak—“ sahut Ria.
"Apa?! Kali ini Mama bakal belain Papa lagi? Bilang kalau ini demi masa depan keluarga ini? Ma! Aku capek ditumbalin! Aku juga mau bahagia Ma! Milih jalan yang terbaik buat ku sendiri. Nggak ditentuin terus-terusan!" keluh Ita. Ia di luar kendali. Mencurahkan segala kekesalannya yang sudah lewat.
"Ita.... Papa nggak punya pilihan lain. Ini permintaan Direktur Raga langsung. Lagi pula sampai paket C datang. Kamu punya waktu tiga bulan kan? Dari pada di rumah. Lebih baik cari pengalaman kerja sebagai asistennya Dirut Raga...."
Tunggu! Asisten?
"Beliau denger kamu nggak lulus ujian. Sebenernya Papa malu. Tapi, Dirut Raga mau berbaik hati menerima mu. Gunakanlah kesempatan ini sebaik--"
"Tunggu Pa! Asisten? Bukan istri?"
Ria dan Haris saling tatap. Kemudian tertawa. "Nak, kamu kenapa sih?" ucap Ria angkat bicara. Masih dengan menahan tawanya.
"Dirut Raga mana mau sama bocah nggak bisa masak kayak kamu," ejek Haris.
Ita roboh. Tubuhnya lemas lunglai bersandarkan dinding. Jadi sejak tadi ia meraungi hal yang tidak terjadi? Alur takdir perlahan berubah! Ita bukan dimintai jadi istri, tapi asisten.
Malam hari. Ita ditemani bintang dan bulan memandang sendu pada mawar merah yang diterimanya melalui paket kilat bersamaan dengan kedatangan Reon tadi.
"Siapa yang ngirim kamu kesini?" gumam Ita seraya memainkan kelopaknya.
Siang tadi Ita tidak sempat memikirkan bunga mawar ini sebab drama salah paham yang membuat Ita sempat naik darah.
"Kalau alur beneran berubah. Semoga.... semoga masa depan yang sama nggak akan terulang."
"Raga...."
"Aku nggak pernah ada niat bermusuhan. Aku cuma pingin hidup bebas...."
"Kalau cuma jadi asisten.... mungkin aku.... bisa...."
"Kali ini ayo buat hubungan baik. Bukan sebagai istri tapi teman."
Benar! Mencintai Raga hanya ada di masa itu. Masa ini Ita akan belajar merelakan hatinya dan berteman dengan baik. Terlebih Hesa masih hidup. Ita akan mencintai Hesa seperti dulu.
Ita beranjak, menaruh rangkaian bunga mawar itu ke vas berisi air. "Siapa pun yang ngirim kamu. Terimakasih dan maaf karena aku nggak bisa buat kamu hidup lebih lama."
***
Lelaki itu terus menatap pada gadisnya sejak pertemuan mereka dua jam yang lalu. Seolah ini pertemuan terakhir yang sangat berharga.
"He-hesa. Kamu nggak suka ya sama keputusan ku?" tanya Ita hati-hati. Ia sengaja mengkhususkan waktunya untuk Hesa sebab merasa bersalah.
Ita pernah berjanji akan menyusul Tina dan Hesa di Universitas Gardamuda. Menjadi asisten Raga memungkinkan waktu Ita tersita. Tanpa prediksi pun Hesa tahu. Suatu saat keinginan lanjut kuliah akan kandas. Sebab, ia yang paling tahu. Nikmatnya mendapat uang dari hasil jerih payah sendiri.
"Maaf ya, aku udah ngecewain kamu."
Hesa menyesap minumannya, "kalau itu keputusan mu. Aku nggak bisa berbuat apapun. Toh, ini demi keluarga mu juga."
Sebelumnya Ita sudah menceritakan semuanya. Alasan di balik keputusannya.
"Maaf Sa,” ucap Ita sekali lagi.
"Nggak perlu minta maaf. Ini udah pilihan mu. Aku menghargainya," kata Hesa. Berat tapi dia tidak bisa memaksakan kehendak.
"Jujur aku nggak enak sama kamu Sa. Aku kayak jadi orang jahat. Janjikan sesuatu tapi nggak bisa ditepati," ucap Ita menyesal. Pasalnya Ita tahu betul bagaimana Hesa ingin sekali kuliah satu kampus dengannya.
Bibir Hesa melengkung, senyum yang berusaha ikhlas itu akhirnya menunjukan diri, "kita masih satu kota. Kita bisa ketemu kan?"
"Tentu, tapi aku tetap merasa terganggu—“
"Ta, aku baik-baik aja."
Mata Ita menyendu, dimana ia bisa mendapatkan laki-laki setulus Hesa?
Ia menggapai jamari Hesa, "Makasih Sa, makasih udah mau terima aku yang kekanakan ini. Aku beruntung banget ketemu sama kamu,” ucap Ita tulus.
"Oh iya, gimana persiapan masuk kampus? Lancar?"
"Humm, lancar."
"Syukurlah, kalau kamu butuh ditemani cari sesuatu hubungi aku aja ya. Aku langsung OTW."
"Humm, oke...."
Senyum Ita mengembang. Jari mereka bertaut seolah tak ada yang bisa mengerti kecuali perasaan mereka sendiri. Tentang Ita yang merasa tidak enak dan tentang Hesa yang harus ikhlas.
***
Hari pertama menjadi asisten Raga resmi dibuka. Ita mengendarai sepeda motor dengan kecepatan maksimal. Karena ia telat bangun buah dari begadang memikirkan banyak hal semalam.
"Ah! Shit! Hampir jam sembilan!" gerutu Ita setelah melihat jam tangan. Kenapa hari pertamanya kerja justru bertepatan dengan kepergian orangtuanya untuk menghadiri acara. Ita kan jadi nggak bisa minta dibangunin!
Janji pertemuan sebenarnya sudah lewat satu jam lalu. Masa bodoh! Yang penting usaha dulu!
Ita terengah mengejar lift yang hampir tertutup. Setelah bertanya pada resepsionis Ita langsung menuju ke ruang Raga.
Sayangnya Ita justru mendapat tatapan aneh dari orang-orang di dalam lift. Terserah deh!
Sampailah Ita di depan ruang kerja Raga. Tulisan Directur Room Athority nampak jelas di atas kepala Ita. Tekadnya sudah bulat saat mendorong kenop sebelum seseorang muncul dari balik pintu. Dia Raga!
"Baru aja mau saya jemput," ujarnya datar. Katakanlah Ita sudah siap bertemu Raga. Namun, dalam konteks rencananya. Kalau ketemu dadakan kayak gini siapa yang nggak buyar?!
"Ha-halo. Eh! Bukan. Maksud ku—“
"Selamat Pagi Pak," ujar Ita kikuk.
"Hm. Selamat pagi. Silahkan masuk," balas Raga datar.
"Kamu kesini naik apa?"
"Naik motor Pak."
Jangankan menatap Raga, Ita yang sekarang gerogi setengah mati. Berbeda dengan apa yang ia niatkan dari rumah.
"Lain kali naik mobil aja. Biar nggak mempermalukan diri sendiri."
JEDAR!
"Maksudnya Pak?!"
Bab 23 Si Angkuh
"Maksudnya Pak?!" tanya Ita tersulut. Bagaimana pun juga ia tidak tau perjuangan Ita untuk sampai di tempat ini.
Sialan! Baru saja Ita kena sindirian di hari pertamanya kerja. Raga mengarahkan handphone ke arah Ita dan sedetik kemudian terdengar bunyi kamera.
"Ihh! Bapak foto saya?!"
"Coba lihat penampilan mu!" titah Raga.
Ita mendekat dan melihat potret dirinya. Sejurus kemudian ia terbelalak.
Atasan seragam SMA lalu bawahan rok hitam selutut. Rambut acak-acakan dan sendal rumah? OMG! Ita benar-benar kacau!
"Lho ta-tadi kayaknya aku pakai baju putih. Kok jadi seragam SMA sih?"
"Mungkin mata mu perlu diperiksakan!" tandas Raga tajam.
Ita melirik sinis. Apa benar Raga se-menyebalkan ini jika di kantor?!
"Maaf ya Pak. Gini-gini saya baru lulus SMA. Bagi ku berangkat pagi itu sama kayak berangkat sekolah. Jadi wajar kalau masih kebawa masa SMA."
"Kayaknya cuma kamu yang punya pemikiran seperti itu! Kami juga punya anak magang lulusan SMA. Dan mereka dengan kesadaran penuh ke kantor pakai pakaian rapih."
Sudahlah! Mengalah saja! Ia tidak ingin paginya diisi oleh perdebatan tidak berguna. "Maaf! Saya akan perbaiki untuk ke depannya. Lagian ini pengalaman pertama saya jadi karyawan disin-"
"Karyawan?" Raga nampak berpikir sejenak, "apa saya menjanjikan posisi karyawan sebelumnya?"
"Ha? Emang bukan ya?"
"Ah, saya lupa. Kamu kan belum punya Ijazah SMA apalagi pengalaman."
Jemari Raga bertaut. Tatapan dingin ia berikan pada Ita, "biar saya jelaskan. Posisi yang saya tawarkan karena belas kasihan itu sebagai asisten pribadi. Sebelumnya jabatan itu tidak pernah ada dalam struktur perusahaan. Jadi bisa dibilang ini permintaan saya pribadi. Gampangnya bilang. Saya membutuhkan pembantu dari pada karyawan."
Putus sudah urat kesabaran Ita, "Oh! Kalau gitu kenapa anda jadikan saya sebagai syarat kontrak kerja padahal anda tau saya nggak punya pengalaman. Dan lebih dari apapun kontrak kerja dengan jumlah investasi jutaan dollar itu kelihatannya lebih mahal dari harga sewa pembantu di luar sana! Dan asal anda tau. Saya nggak pernah mau dijadikan jaminan kontrak kerja kayak gini!"
"Biar saya luruskan. Saya nggak pernah paksa kamu untuk menerima tawaran ini. Saya hanya menawarkan saja."
"Oh ya? Yang namanya tawaran itu ada dua pilihan. Terima atau tolak. Seingat saya di kontrak kerja itu anda memojokan Papa supaya menyetujui semua syaratnya!"
"Itu hanya-"
"ITAAA!!" panggilan seseorang menghentikan perseteruan mereka. Keduanya kompak menoleh ke sumber suara.
"Aku nggak nyangka kita bakal ketemu lagi di sini," suara familiar yang tempo hari berusaha mengakhiri hidup itu terdengar lebih bersemangat.
Sera menghambur ke pelukan Ita, "aku seneng banget waktu Paman bilang kamu bakal kerja di sini."
Ita melirik horor ke Raga. Jadi ini sebabnya? Lalu menguap kemana ucapan penolakan tadi? Seolah di sini Ita yang mengemis pekerjaan. Padahal Raga sendiri yang membutuhkan Ita untuk menemani Sera.
***
"Ha? Kamu kerja di sini juga?" ucap Ita. Setelah perdebatan menyebalkan dengan mantan suaminya tadi ia merambah kantin untuk menenangkan suasana.
"Iya. Setelah kejadian hari itu. Paman ngambil hak asuh ku. Masih nggak nyangka sih sekarang aku jadi anak asuh orang semuda itu. Haha."
"Paman udah banyak bantu. Jadi, seenggaknya aku mau bantu dia di sini," jawab Sera lembut. Padahal Ita sempat berpikir urat nadi Sera terbuat dari kawat mengingat memori yang sudah-sudah.
"Terus sekolah mu?"
"Oh, aku belum kasih tau ya? Aku kan udah lulus SMA."
"Hemm, aku pikir kamu masih kelas dua."
"Hahaha, muka ku semuda itu tah?"
"Kenapa nggak lanjut kuliah?"
"Justru itu yang aku hindari! Aku paling tau standar kemampuan ku Ta. Otak ini nggak dirancang buat mikir. Kemarin sempat ditawari sama Paman. Tapi, aku tolak. Lebih dari apapun aku nggak mau ngerepotin dia lagi."
"Aku sadar diri kok. Aku cewek yang nggak bisa ngontrol emosi. Jadi, yah. Lebih baik aku di sini. Kerja, punya duit sendiri. Jadi, suatu saat aku nggak bakal ngerepotin Paman lagi."
"Terus. Reaksi paman mu gimana? Setelah kamu nggak mau kuliah," ucap Ita penasaran. Pasalnya Raga itu kan jika sudah berkehendak tidak bisa ditentang.
Sera menyeruput minumannya, "tentu aja Paman terima keputusan ku. Nggak pakai ribet kayak keluarga sebelah," seringai Sera tercipta sejurus mengingat keluarga kandungnya.
"Hm, Paman lo sayang banget ya," gumam Ita. Satu dari kenyataan yang belum diketahui Ita di masa depan.
"Mungkin lebih tepatnya kasihan sih. Tapi, aku bersyukur walau itu cuma rasa kasihan."
"Apaan sih! Melow banget pagi-pagi," ujar Ita menyenggol lengan Sera.
"Syukurlah, ada kamu di sini. Aku pikir bakal hadapi kulkas itu seorang diri. Dih! Amit-amit," lanjut Ita. Sejurus kemudian ia mengatupkan bibirnya. Lupa kalau Sera sensitif menyangkut Raga.
"Hahaha. Aku nggak tau gimana pertemuan pertama kalian. Kok bisa kamu nggak mau banget berurusan sama Paman? Padahal menurut ku dia tipe orang paling lembut yang pernah ku temuin."
Idih! Nggak tau aja gimana kelakuannya di masa depan! Batin Ita.
"Yah, panjang ceritanya. Btw, kamu kerja bagian apa?"
"Cuma lulusan SMA sih. Jadi aku bantu-bantu Bu Shinta kepala bagian Administrasi."
"Jauh dong sama aku?"
"Tenang aja. Yang penting masih satu gedung. Jam istirahat kita sama kok," Sera menggaruk pipinya canggung. "Mungkin..." lanjutnya.
Kata terakhirnya membuat Ita curiga dan benar saja. Di jam istirahat Ita justru berada di caffe depan kantor memesan sesuatu yang bukan pesanannya.
TRING!
Notifikasi handphone-nya berbunyi. Saat ini Ita berharap itu hanya spam sehingga ia tidak perlu menambah pesanan lagi. Berkat bos yang juga mantan suami laknatnya ia harus merevisi pesanan berkali-kali. Sialan!
Sebuah ide muncul di kepala mungil Ita. Untung saja ia masih ingat hal-hal yang tidak disukai mantan suaminya.
"Maaf Pak. Nunggu lama ya?" Raga hanya berdehem sambil memperhatikan layar Ipad.
Ita menyajikan pesanan minuman Raga di meja yang tanpa diduga sudah ada makan siang di sana, "Bapak pesan makan siang?"
"Hm, silahkan dimakan," tawarnya.
Tersentuh? Jangan harap!
"Eh. Terimakasih Pak. Tapi saya nggak bisa makan sembarangan. Apalagi makanan pesan antar yang nggak jelas kayak gini."
"Nggak usah khawatir. Saya pesan di Restoran Fedwell milik chef Refnata. Kamu bisa cek notanya di meja," ucap Raga datar sembari membuka lunch box.
Tidak mau kalah, Ita mengeceknya sendiri dan memang benar! Lagi pula makan siang apanya?! Ini sama saja perampokan! Bagaimana bisa dua lunch box menghabiskan uang tujuh ratus ribu?!
Sukar diakui tapi Ita memang kalah dari segi kekayaan. Orang di depannya ini menepati dua puluh besar versi Majalah Forbes sebagai orang terkaya di dunia.
Raga menyaut minuman yang Ita pesan tadi. Berkat itu fokus Ita beralih. Tidak ada yang tau Ita sudah menambahkan lima stik gula ke minuman Raga si pecinta pahit.
Mampus!
1 detik
2 detik
5 detik
Tidak ada reaksi! Apa di masa lalu Raga menyukai manis? Ita bahkan sampai berpikir seperti itu.
"Ada masalah?" tanya Raga setelah memergoki Ita menatap.
"Ha?"
"E-enggak kok."
Raga melemparkan ATM American Ekspress, "Belilah apa yang kamu suka," tukasnya setelah melihat Ita hanya membolak-balikan sendok di makanan.
Ita cukup terkesiap dengan tindakan Raga apalagi ATM yang ia lempar seperti tidak ada harga diri. Itu Black card lho! Black card!
Sekian detik menganga Ita kembali ke kenyataan. Senyumnya mengembang licik, "oke, bos!" Sudah bisa ditebak apa yang akan Ita lakukan dengan kartu unlimited itu.
Beberapa menit setelah kartu itu kembali. Raga menerima pemberitahuan total uang yang dihabiskan. Ia cukup terbelalak melihat deretan nol yang tertera.
Terlihat samar. Entah dengan artian apa, di bawah bayang matahari senyum itu mengembang.
Bab 24 Senioritas
Malam menjadi waktu istirahat bagi sebagian orang. Melimpahkan segala lelah aktivitas di siang hari. Bunyi suara pintu terdengar di salah satu apartement. Si pemilik berjalan gontai memasuki hunian hasil jerih payahnya.
Walau punya rumah sekalipun. Kadang orang memiliki tempat singgah kedua yang lebih dekat dengan tempat kerja. Begitupun Raga. Ia memilih apartemen ini sebagai tempat singgah sementara.
"Astaga!" pekik seorang gadis menyadari kehadiran seseorang.
"Sera? Kamu di sini?" ucap Raga. Tak menyurutkan keterkejutan akibat pekikan Sera tadi.
"Haaah! Ternyata Paman. Aku kaget tau!" Raga hanya terkekeh, ia mendudukan dirinya di sofa setelah menyampirkan jas. "Memangnya siapa lagi yang bisa masuk sini?" Raga menyingsingkan lengan kemeja. "Ngomong-ngomong ngapain kamu di sini? Nanti Paman dikira punya simpenan lagi."
"Haha. Mana orang yang bilang? Sini biar tau karakter Sera yang sebenarnya!" ancam Sera.
"Serius. Kamu ngapain kesini?" ucap Raga setelah terkekeh singkat. Sera memang diberi tahu pasword apartemen. Dia juga kerap bolak-balik untuk mengantarkan sesuatu. Tapi tidak terpikir Sera akan hadir semalam ini.
Setelah mengambil hak asuh Sera. Raga memutuskan membawa Sera ke rumah utama. Raga pun sering pulang ke sana. Tapi ada beberapa hari ketika hari penat ia akan menyendiri di apartemen ini.
"Aku pingin makan bareng. Aku habis belanja bahan makanan tadi," ucap Sera semangat.
"Memangnya bisa masak?"
"Bisa dong. Ini hasil pengalaman setelah bolak-balik kabur dari rumah. Hehe."
"Paman percaya nggak kalau sebanyak ini aku cuma habis dua ratus ribu?" Sera semangat menunjukan dua kantung plastik besar berisi bahan makanan.
"Memang belanja di mana?"
"Hehe, banyak tempat. Aku sama Ita habis berburu diskonan. Seru banget ternyata! Aku nggak nyangka lho orang kayak Ita perhitungan sama keungan. Padahal dia anak tunggal kan? Pasti dia manja. Apa keluarganya tipe yang pel—“
Raga menggapai pucuk kepala Sera. Jika tidak dihentikan, keponakannya ini akan mengoceh panjang lebar sampai melewati makan malam. Miris! Saat mengetahui orang periang ini tiba-tiba ingin mengakhiri hidup.
"Jangan ambil kesimpulan sembarangan. Mungkin dia memang tipe orang yang hemat."
Hemat ya? Setelah mengucapkannya Raga agak menyesal mengingat gadis itu sudah meraibkan uangnya tempo lalu.
"Ita keren ya Paman. Dia bisa bersikap tenang. Nggak kekanakan dan peka sama keadaan. Kayak orang dewasa. Aku yakin kalau usia mentalnya di ukur dia sebanding sama usia Paman," ucap Sera memuja.
Keheningan menyapa. Raga memilih tak berkomentar. Ia beralih ke kamarnya untuk mandi. Sedangkan Sera menyiapkan makan malam.
***
"Kepada Kak Ita?"
"Kak Ita?"
"Ada yang namanya Kak Ita?"
Seorang waiters nampak membawa nampan sambil celingak-celinguk mencari sosok Ita. Ia hampir saja kembali sebelum Ita bersuara.
"Saya kak. Saya!"
Waiters itu kelihatan kesal, "dari mana aja Kak?"
"Sorry ya. Tadi habis dari kamar mandi."
"Lain kali konfirmasi dulu kak!" ucap ketus waiters itu.
Ita melirik tajam. Pelayanan macam apa ini? Merasa kecewa, Ita tidak akan menginjakan kaki di cafe ini lagi!
Sudahlah! Tidak ada untungnya memperpanjang masalah. Ita pergi membawa pesanan yang sialnya untuk Raga. Orang yang membuatnya dendam sampai bangkit dari kematian.
"Liat aja! Gue siram es ini ke muka dia!" monolog Ita yang hanya bisa ia lakukan di imajinasi.
Terik panas membuat bulir-bulir manja terjun menuruni lembah di balik baju Ita. Yang bisa ia lakukan hanya mendumel dalam hati. Tidak di masa depan, tidak di masa ini. Raga selalu menyebalkan bagi Ita.
Ita sudah membayangkan duduk di kursinya sambil menikmati dinginnya ruangan ber-AC. Namun, baru saja beberapa langkah memasuki kantor. Dua orang menghadangnya. Mereka membawa satu rim kertas. Entah dengan maksud apa.
"Kamu mau ke tempat Pak Raga ya? Sekalian dong anterin ini ke lantai tiga. Ke divisi Administrasi," ucap wanita itu seringan kapas.
Ita melirik tumpukan kertas itu. "Maaf Kak, aku lagi bawa pesanannya Pak Raga. Nanti beliau nungguin," tolak Ita sopan mengingat mereka sudah lama bekerja di sini.
"Bentar aja. Lagian ruang administrasi nggak jauh dari ruang Pak Dirut."
"Emh.... maaf kak, maaf banget. Kata Pak Dirut aku nggak boleh mengerjakan sesuatu yang bukan tugas ku."
"Tck! Sok banget sih! Masuk jalur koneksi aja belagu!" gumam salah satu mereka.
Siapa yang bilang Ita tidak menahan diri? Perilaku mereka yang menunjukan senioritas saja membuatnya jengah.
Terlebih, apa mata mereka buta? Ita sedang membawa pesanan es kopi Raga. Masak mau bawa tumpukan kertas itu! Kecuali tangan Ita ada banyak ia tidak akan keberatan.
"Maksudnya Kak?" ucap Ita tersulut.
"Nggak. Bukan apa-apa," jawabnya meremehkan.
"Iya! Gue masuk sini lewat koneksi. Nggak kayak kalian merayap kayak lintah haus jabatan! Udah gitu nggak mau tanggung jawab sama pekerjaannya sendiri! Mau makan gaji buta?!"
Mereka ikut tersulut. Hampir saja salah satu dari mereka menampar Ita. Namun dengan sigap Ita mencekal pergelangan tangannya.
"Mau main kasar?"
PLAK!
Wanita itu terhuyung. Tumpukan kertas itu berhambur hingga menyita perhatian semua orang. Sampai seorang Meneger melihat dan menghampiri.
"Ada apa ini?" Lerai Meneger Galih. Atasan mereka.
Sesuai dugaan. Dua sejoli itu mendramatisir kejadian ini. Sampai akhirnya mereka berakhir di ruang Meneger.
Ita di ceramahi habis-habisan. Ia terlalu muak untuk melawan. Terlebih lagi, disaat semua menyalahkan. Trauma paska kehidupan silamnya terngiang kembali. Mendorong lidah Ita untuk mengalah saja. Percuma ia membela diri karena tidak ada yang percaya padanya.
"Saya mengerti Pak. Maaf jika perbuatan saya—“
"Di sini rupanya," sahut seseorang setelah terdengar suara pintu dibuka.
"Lama sekali cuma beli es kopi—“ perhatian Raga tertuju pada ketiga karyawannya, "ada apa ini?"
Menyadari sesuatu yang ganjil membuat keinginan untuk bertanya semakin tinggi. Hal itu langsung disambut oleh sang Meneger. Dia menceritakan kronologi kejadian berdasarkan apa yang disampaikan dua karyawan tadi.
Pupus sudah! Ita tau betul kebanggaan Raga terhadap karyawannya. Setelah ini, Ita harus siap-siap memberesi barang-barang.
"Kamu tau apa kesalahan mu?" tanya Raga.
"Hem, iya."
"Sekarang minta maaf atas perlakuan kasar mu tadi!"
Pandangan Ita beralih ke dua sejoli itu, "maaf." Seolah tidak bisa mengelak. Perintah Raga seperti sihir yang sudah tertanam sangat dalam.
Tidak adakah sedikit pun pembelaan yang Ita dapatkan dari laki-laki ini seumur hidupnya? Miris! Ketika menganggap pundaknya bukanlah untuknya bersandar. Melainkan tempat pengharapan tiada ujung.
"Saya juga minta maaf," tukas Raga. Ia membungkuk secara tak terduga di depan ketiga bawahannya. Sontak mereka berdiri untuk mencegah Raga.
"Maaf sudah merepotkan kalian atas perilaku Ita," lanjutnya masih membungkuk.
"Pak Raga tidak perlu minta maaf. Lagi pula ini kesalahannya," sahut Meneger itu dan dibenarkan oleh dua wanita tadi.
"Kesalahannya adalah kesalahan saya. Karena saya pribadi yang memilihnya. Tolong maafkan perilaku kekanakannya," Raga membungkuk kembali. Kini ia menghadap wanita yang ditampar Ita.
Mereka ternganga atas tindakan Raga begitupun Ita. Sadar Ita! Raga melakukan ini untuk terlihat baik di depan karyawannya!
Setelah membicarakan panjang lebar. Mereka sepakat untuk tidak memperpanjang masalah ini. Raga menggiring Ita untuk keluar ruangan. Begitupun mereka mengantar kepergian atasannya.
"Tunggu!" cegah Ita.
Bab 25 Moderator Cantik
"Tunggu!" Kejadian ini bukan sepenuhnya salah Ita. Memang benar Ita yang telah menampar salah satu dari mereka. Tapi, mereka yang menyulut apinya terlebih dahulu.
"Kalian juga harus minta maaf!" Salah satu wanita mengerutkan dahi, "maaf untuk apa?"
"Api nggak akan menyala kalau nggak ada korek yang menyulut. Bukannya kalian duluan yang nuduh saya masuk ke sini jalur koneksi? Lagian bukannya kamu yang mau nampar aku duluan? Tadi aku cuma membela diri," balas Ita.
"Tck! Apaan sih? Udahlah nggak usah memperpanjang masalah! Semua udah selesai. Oke?!"
"Kalau gitu mau coba cek CCTV? Kita lihat lagi rekamannya!"
Mereka terkesiap. Raga menyadarinya. Sebenarnya Raga ingin menyudahi masalah ini. Namun setelah melirik sekilas ke Ita. Ia menyadari satu hal. Wanita ini benar-benar marah.
"Ita, ceritakan semuanya di ruangan saya," titah Raga sejurus dengan tubuhnya bangkit.
"Jika ada kronologi yang sengaja terlewat. Kalian sudah siap menerima resikonya kan?" ucap Raga santai namun penuh penekanan.
Ita dan Raga menjauhi ketiga orang itu. Mereka tampak panik. Terutama kedua wanita tadi. Sampai pada titik dimana Raga memegang kenop pintu tiba-tiba sebuah suara menghentikannya.
"Tunggu Pak!"
Seringai Raga mengembang. Strategi yang tidak pernah gagal ia terapkan untuk mengancam dengan halus.
"Saya beri kesempatan untuk menjelaskan ulang," tukas Raga setelah berbalik ke sumber suara.
Ita mendapatkan permintaan maaf. Berkat itu kemarahannya segera pudar. Namun, karena es kopi pesanan Raga jatuh saat Ita menampar karyawan tadi, ia terpaksa membeli es kopi baru. Tentu saja bukan di tempat yang sama. Alih-alih dapat istirahat ia malah dipaksa kepanasan mencari cafe di siang bolong.
"Raga sialan! Gue kutuk lo jadi kecebong!"
***
Ita sengaja merebahkan kepalanya di meja. Setelah mengoceh panjang lebar mengenai kejadian dua senior kemarin membuatnya kembali naik pitam. Lalu sekarang darahnya dipaksa mendidih lagi akibat ulah Raga yang menyuruhnya jadi moderator di pertemuan petinggi tiga hari lagi.
"Tolong dong Ra. Tuhan aja ngasih ujian sesuai batas kemampuan hambanya. Paman mu? Masak dia nyuruh aku jadi moderator di pertemuan penting petinggi sih. Mana waktunya tiga hari lagi."
"Kalau nggak bisa tolak aja," jawab Sera.
"Aku kan udah bilang nggak mau! Malah dia pakai cara licik bilang ke orangtua! Sialan! Lagian kepala bagian HRD udah mengajukan diri tapi ditolak. Mau dia apa sih?!" hardik Ita.
"Mungkin dia mau kamu berkembang Ta. Ambil sisi positifnya aja."
"Ya tapi nggak langsung di pertemuan tingkat atas kayak gini. Kalau aku melakukan kesalahan, aku yang malu. Tolongin Ra. Please," mohon Ita.
"Emh.... Aku nggak bisa bantu kalau Paman udah ngasih keputusan. Jeleknya Paman itu dia orang yang angkuh. Jadi apapun alasan yang kamu kasih. Kalau menurut dia benar ya nggak mungkin di ubah. Mending kamu coba aja."
Bahkan keponakannya sendiri mengakui Raga orang yang angkuh. Jadi selama ini penilaian Ita tidak salah.
"Mau dicoba gimana pun kalau mental ku udah down sama aja aku mempermalukan diri sendi-"
"Eh. Tunggu! Bukannya ini kesempatan bagus?" ucap Ita sumeringah.
"Iya. Ini kesempatan bagus buat nambah pengalaman," sahut Sera yang tidak mengerti maksud dari raut ceria Ita.
Senyum Ita mengembang sempurna. Sera yang melihat dibuat lega karena Ita sudah tidak murung lagi. Tanpa tahu sebenarnya ada motivasi terselubung di dalamnya.
Di kesempatan ini Ita akan mempermalukan Raga di depan para komisaris. Apalagi dari dulu Ita ingin sekali mematahkan sifat perfeksionisnya itu!
"Ajarin dong cara jadi moderator," pinta Ita.
"Ya elah, kamu minta tolong sama orang kayak aku."
"Emh. Terus aku minta tolong siapa dong?"
Ketika Sera hendak mengucap satu nama justru Ita sudah mengucapnya duluan. Patut disesali, bagi Sera hubungan Ita dan Pamannya adalah sesuatu yang harus diperbaiki.
"Memangnya siapa Hesa itu?" tanya Sera penasaran.
"Dia pacar ku," jawab Ita datar sembari menyeruput Ice Greantea-nya.
"Ha? Kamu punya pacar?" tanya Sera menggebu.
"Iya. Emang muka ku kelihatan kayak jomblo ngenes ya?"
"E-enggak sih. Soalnya aku nggak pernah liat kamu chat atau jalan bareng."
"Oh. Itu karena dia lagi sibuk ngurusin daftar kuliah. Aku nggak mau ganggu."
"Hemm.... Satu SMA?" Ita hanya berdehem setelah itu melihat notifikasi persetujuan dari Hesa. Sebelumnya ia sudah janjian dengan Hesa akan bertemu setelah pulang kerja untuk membicarakan masalah moderator ini.
Ita sempat mendengar Sera bergumam. Namun, karena bisingnya cafe ia tidak mendengar dengan jelas. Ketika ia ingin menanyakan balik sayangnya jam istirahat mereka sudah habis. Ita memutuskan mengubur pertanyaannya dan kembali ke kantor sebelum Raga mengeluarkan mantra ajaib.
***
Seusai jam kantor, Ita bergegas ke parkiran untuk ke kampus. Sesuai janji, Ita akan bertemu Hesa di kampus hari ini untuk minta diajarkan menjadi moderator.
Ita berhenti ketika namanya dipanggil dari dua sisi, "Ita." Seru Raga dan Hesa dari sudut yang berbeda.
Jujur Ita bingung harus merespon yang mana. Pemandangan ini seperti sinetron klasik cinta segitiga yang biasa menjadi tema perfilman.
Ita membalas tatapan Raga. Sebelumnya bukankah ia sudah izin agar tidak mengganggunya setelah pulang? Tidak ada alasan lagi untuk Ita meladeni orang itu. Ia memutuskan menyaut panggilan Hesa.
"Sa? Kok kamu kesini?"
"Hemm. Jemput," Ita memperhatikan Hesa yang tatapannya tersita oleh kehadiran Raga. Sebelumnya Ita sudah pernah menjelaskan tentang keadaan ini dan Hesa memakluminya. Tapi, entah kenapa situasi ini punya hawa yang tidak enak.
"U-udah yuk...." sahut Ita menarik tangan Hesa.
Alih-alih melangkah, Ita justru dibuat berhenti sebab cekalan tangan seseorang. Dia Raga, dengan tatapan datarnya mencegah Ita melangkah.
"Kenapa Pak?"
"Ehem.... mau kemana?"
"Mau latihan jadi moderator," tekan Ita. Pada dasarnya semua ini ulah Raga.
"Hemm, sama dia?" Tatapan Raga beralih menyorot Hesa.
"Iya.... udah ya Pak, saya buru-buru."
"Tck! Dia siapa?"
Ita berbalik dan menatap heran. Ini manusia kenapa kepo banget dah! Tidak seperti biasanya.
"Perkenalkan, saya Mahesa Pradipta. Pacar Ita," sahut Hesa cepat sambil mengulurkan tangan.
Ini juga! Kenapa Hesa yang tenang tiba-tiba tersulut.
Ita memperhatikan jabatan tangan di depannya. Mereka saling melempar tatapan tajam.
"Ita cerita banyak tentang OM," tutur Hesa menekan di ujung kalimat.
"Pasti bukan hal baik yang dia bicarakan?" lirik Raga pada Ita.
Yah, memang benar sih. Hesa selalu menjadi pendengar yang baik. Tapi tentang Raga? Hell! Memang ada topik bagus yang bisa dibicarakan kecuali keburukannya?!
"Begitulah...." sahut Hesa berkata jujur. Ia ingin mengutarakan kalau Ita sangat membencinya.
Terdengar helaan nafas, "walaupun begitu. Tolong jangan buat dia sedih. Saya udah repot ngurus perusahaan. Saya nggak mau ngurus sesuatu yang lebih merepotkan lagi," ucap Raga dingin.
Ita memandang datar. Apa baru saja ia dicap sebagai orang merepotkan? Bahkan setelah perjuangan menjelajahi cafe untuk membeli es kopi di tengah terik?
Sebenarnya siapa yang merepotkan di sini?! Hell! Kalau bisa kubur saja orang ini di pegunungan!
"Ya udah Pak. Saya pamit! PERMISI!" ucap Ita. Tak lupa menekan di ujung kalimat.
Bab 26 Hukuman
Hesa memandangi gadisnya. Bibirnya melengkung sempurna berkat ulah Ita yang menyuruhnya pura-pura menjadi komisaris. Bahkan Ita sudah susah payah mencetak foto Bapak-bapak random dari google untuk dipasangkan ke jidat Hesa.
Salah satu kelas menjadi saksi pelepas rindu sepasang kekasih ini. Jam sore membuat kampus lumayan sepi sehingga banyak kelas-kelas kosong yang bisa digunakan. Ita dan Hesa memanfaatkannya untuk latihan.
"Jadi gimana?" ucap Ita.
"Perfect! Penampilan mu selalu menarik," komentar Hesa.
"Ih bukan itu! Public speaking aku gimana? Nggak berantakan kan?"
"Enggak kok. Perfect." Kedua jempol Hesa melambung sebagai reward.
"Coba kalau Tina yang di sini. Pasti kamu komentar panjang kali lebar. Iya kan?"
"Hahaha. Nggak lah sayang. Aku serius. Nggak ada yang perlu ditakuti. Intinya kamu harus percaya diri. Masalah publik speaking itu ngalir aja. Pasti kamu bisa."
Ita menyudahi aksinya. Ia mengambil tempat di samping Hesa lalu meminum mineral.
"Coba dia rubah sedikit aja sikap angkuhnya. Minimal pengertian kek. Mungkin aku sedikit betah kerja di sana."
Tatapan Ita menyendu. Manusia itu hanya bisa berandai. Itulah sebabnya ada banyak harapan yang menggantung sampai terlupakan begitu saja.
Sorot Ita beralih. Ia terkesiap ketika Hesa menautkan jemari mereka.
"Nggak perlu mengubah sesuatu. Di depan mu ada orang yang rela memberikan semua perhatiannya. Jadi-" Mata Hesa beralih ke bawah. Ke bibir manis Ita.
Perlahan keinginan menguasainya. Tubuhnya bergerak seiring ambisinya, "Tetap di sisi ku."
Ita tidak bisa membodohi dirinya kalau laki-laki di depannya ini semakin lama semakin dekat. Hesa laki-laki baik dan karena itulah Ita menghindar.
Entahlah! Di momen sepersekian detik itu tiba-tiba Ita merasa belum siap. Aneh sekali! Padahal Ita pernah melakukan hal yang lebih intim tapi dengan Hesa rasanya sedikit berbeda.
"A-aku pingin main itu," tunjuk Ita pada ring basket di halaman. Pikirannya terlalu kalut untuk memikirkan hal lazim apa yang bisa menjadi topik obrolan.
"Oke. Aku ambil bolanya dulu ya. Kamu tunggu di sana aja," suruh Hesa. Ita pun menyanggupinya.
Mereka bermain one to one. Awalnya terasa canggung tapi berkat Hesa kecanggungan itu sirna digantikan gelak tawa.
Hesa selalu berhasil merebut drible Ita lalu Ita akan mengejar Hesa sambil melakukan segala cara agar Hesa melepaskan bolanya. Salah satu cara licik yang Ita gunakan adalah menarik baju Hesa atau memasang wajah memelas.
Walaupun begitu Hesa selalu mengalah dan membiarkan Ita menguasai bola. Tapi seribu sayang. Tubuh mungil itu tidak sanggup memasukan satu pun bola ke ring.
"Hesaa! Angkat aku," ucap Ita sembari menengadah ke ring.
"Kita kan rival sayang."
"Ih! Cepetan! Sekali aja aku pingin cetak gol."
Hesa terkekeh, "bukan cetak gol sayang, tapi cetak point," sejurus kemudian Hesa mengangkat pinggul Ita dan bola itu berhasil masuk.
"Yey! Goooll!" teriak Ita mengabaikan ucapan Hesa barusan.
***
Deretan kursi memanjang di depan mata Ita. Dingin AC terasa mencubit kulitnya. Bukan itu saja, silau cahaya proyektor membuatnya merasa di atas panggung. Padahal sudah jelas lantai yang mereka pijaki datar.
Orang-orang yang terlihat berumur setengan dari hidupnya nampak santai mengobrol. Mungkin satu-satunya orang yang jantungnya berdetak gila hanya Ita saja.
Raga di kursi singgasananya memberi aba-aba untuk memulai rapat. Ita menghirup nafas dalam-dalam. Seolah seluruh oksigen di ruang ini hanya miliknya.
"Ehem.... Attention please. We will began our presentation. Please, turn off handphone and enjoy this presentation," ucap Ita profesional.
Bukan hal yang mudah menjadi moderator menggunakan bahasa asing. Jika bukan karena anggota komisaris banyak dari negeri seberang Ita mana sudi merepotkan diri.
Seseorang menginterupsi. Ia mengangkat tangan untuk mendapat izin, "any problem?" sahut Ita.
"Use indonesian language. Kami sudah biasa menggunakannya."
What?
Jadi selama ini Ita dibodohi oleh Raga?! Sejurus kemudian Ita menatap nyalang pada sosok di ujung sana dan mendapati Raga menaikan bahu dengan tatapan "mana saya tau."
Sialan!
"Baiklah, maaf karena saya masih baru dan tidak paham kebiasaan di sini," ucap Ita merendah.
Rapat pun di mulai. Ita memandu peserta dengan khitmat. Beberapa memperhatikan Ita bak memuja paras cantiknya dan pembawaannya yang elegan. Setelah bagian riset selesai menyampaikan presentasi, Ita mengambil alih kembali perhatian.
Pendapat dan kritik di jabarkan oleh jajaran komisaris. Saat perhatian mereka lengah, Ita sengaja men-dial nomor seseorang. Suara handphone pun samar terdengar. Ita mengulangi lagi dan lagi hingga deretan orang penting itu tampak bingung.
"Bukankah kita setuju untuk tidak mengaktifkan handphone ketika rapat dimulai?" ucap Raga penuh selidik.
Seisi ruangan pun dibuat bingung sebab bukan milik merekalah handphone yang berbunyi. Di kesempatan ini Ita menahan keinginannya untuk tertawa. Bagaimana bisa ia masih belum sadar kalau itu bunyi handphone pribadinya?
Ita tau kebiasaan Raga. Handphone pribadinya tidak pernah digenggam ketika di kantor. Alhasil, hanya handphone bisnisnya saja yang dimatikan. Sebelum kemari Ita sudah menyiapkan skenario ini untuk mempermalukan Raga dengan sengaja menaruh handphone pribadinya ke dalam tas laptop.
Kini saatnya Ita beraksi, "untuk kenyamanan bersama sebaiknya kita cek masing-masing. Bagaimana jika ketahuan siapa yang handphone-nya aktif maka dia akan mendapat hukuman? Setuju?" provokasi Ita.
Kegiatan presentasi dijeda sejenak. Jajaran elit komisaris itu mengeluarkan semua handphone-nya ke meja. Seseorang mengecek satu persatu. Begitupun handphone Ita.
Lalu handphone siapa yang digunakan Ita untuk menelepon handphone pribadi Raga? Tentu saja handphone Sera. Sebelum rapat, Ita sempat menyaut diam-diam handphone Sera. Pasti saat ini ia sedang panik kehilangan handphone.
Tindakan yang tidak patut dicontoh. Tapi, demi kelancaran rencananya. Ita rela melakukan hal nekat ini. Tenang saja, nanti Ita akan kembalikan dengan alibi menemukannya di kamar mandi.
Senyum Ita mengembang ketika si pengecek telah meloloskan dirinya. Lalu Ita memulai aksinya lagi. Diam-diam men-dial nomor Raga dan suara nyaring keluar dari tas laptop.
Semua mata tertuju pada sumber suara. Raga yang sadar langsung mengecek tas laptopnya dan mendapati handphone-nya berdering.
"Sepertinya kita sudah tau siapa pemilik handphone pengganggu itu!" seringai Ita mengembang ketika berjalan mendekati Raga.
"Wah, siapa yang menyangka ternyata handphone Pak Dirut yang bunyi," sulut Ita. Biarin! Ini balasan karena di masa depan ia tidak pernah menjawab teleponnya!
"Padahal Bapak sendiri lho yang pertama kali bilang. Tapi, ini handphone Bapak tuh."
Raga memasang wajah datar sembari menggenggam handphone pribadinya. Di layar ada tiga panggilan tak terjawab dari Sera.
Gemerisik terdengar menderu di ruangan. Siapa lagi kalau tidak membicarakan Raga?
"Baiklah, ini handphone saya. Saya tidak tau kalau terbawa ke tas laptop. Mungkin ada seseorang yang menaruhnya," Raga melirik Ita. "Atau mungkin handphone masa kini sangat cerdas sampai bisa jalan sendiri?"
"Jadi, apa hukumannya?"
Bab 27 Reward
"Jadi apa hukumannya?"
Menang! Ita menang telak! Suatu kebanggaan tersendiri yang patut di apresiasi.
"Bagaimana kalau bernyanyi," tutur Ita. Raga langsung terkejut, "memangnya ini pertemuan anak TK?!" tolak Raga mentah-mentah.
"Itu hukuman yang pas untuk mengurangi ketegangan. Lagi pula hanya bernyanyi. Siapa pun pasti bisa. Atau Pak Dirut nggak bisa nyanyi?"
Baru kali ini Ita mensyukuri lima tahun tinggal bersama Raga. Hal yang paling ia suka sampai dibenci pun dengan mudah mengalir di otak Ita. Orang perfeksionis itu punya kekurangan. Salah satunya bernyanyi.
Pasrah, Raga berdiri dari duduk hendak menyanyikan sebuah lagu. Seisi ruangan di bawa hening oleh aksi Raga yang tampak serius sebelum bernyanyi. Setelah itu pita suaranya pun akhirnya terdengar.
"Ba-balon ku ada lima."
"Rupa-rupa warnanya."
"Merah kuning dan...."
"Dan..."
Kening Raga tampak berkerut memikirkan lirik selanjutnya. Lagi pula, sebenarnya orang ini tidak pernah menikmati masa kecil atau gimana? Masak lagu balon ku ada lima saja tidak tahu!
"Me-merah kuning dan.... hijau...."
Seketika satu ruangan riuh melepas tawa yang sejak tadi ditahan demi menghormati Raga. Sayangnya tidak bisa lagi berkat ulah Raga yang menyebutkan warna salah.
Tidak terkecuali Ita. Ia tertawa paling kencang di antara yang lain. Sampai rasanya air matanya hampir keluar.
Membutuhkan waktu satu jam dari jeda tadi untuk mengakhiri rapat. Ita menghela nafas lega sembari membereskan kertas-kertas berserakan.
Sedangkan Raga, ia melengos setelah rapat benar-benar ditutup. Rupanya hal seperti ini bisa membuat harga dirinya terjun bebas.
Ita tidak tau apa akibat dari perbuatannya ini nanti. Mungkin saja ia tidak akan menjadi moderator lagi. Tidak menutup kemungkinan juga jajaran komisaris tidak menyukainya sebab tindakan tidak sopannya.
Entahlah! Ita terlalu senang untuk mengurusi hal-hal seperti itu sebelum pikirannya ditepis oleh panggilan seseorang.
"Kamu asisten pribadinya Direktur Raga ya?" ucap Pak Budiman. Pemegang saham terbesar ketiga di H Group.
"Iya Pak. Ada yang bisa dibantu?"
"Nggak, nggak ada. Saya cuma penasaran aja. Dapat keberanian dari mana kamu atas tindakan mu tadi?"
"Ah, itu. Mungkin karena saya asisten pribadinya jadi sudah biasa. Maaf Pak saya udah keterlaluan tadi."
"Haha. Memangnya siapa yang menyalahkan mu? Walaupun masih muda. Bagi nak Raga profesional itu tidak memandang usia. Jadi kadang kami di giring untuk mengikuti kecerdasannya. Yah, kami terlalu 3G untuk beliau yang 5G. Kalau kata anak Bapak seperti itu. Hahaha."
"Tapi, tindakan mu tadi. Saya sangat mengapresiasinya. Tolong cairkan es kutub itu sekali lagi di pertemuan yang akan datang. Saya menantikannya," ucap paruh baya itu. Setelahnya ia pergi diiringi sekretarisnya.
Dugaan Ita salah, ternyata ada orang yang membelanya. Walaupun Ita tidak yakin bisa menjadi moderator di rapat selanjutnya tapi hatinya menghangat ketika usahanya berlatih tidak sia-sia.
"Habis ini ajak ketemuan Hesa deh," beo Ita semangat sebelum kandas oleh notifikasi chat dari Raga.
"Ke ruangan! Sekarang!"
Akhirnya petakanya datang. Ita berjalan gontai menuju ruangan Raga.
Saat membuka pintu Ita sudah membuang semua rasa sesal. Ia siap menghadapi kemarahan Raga. Namun, saat hati sudah bertekad justru kenyataan membaliknya dengan mudah.
Tenggorokan Ita tercekat. Bahkan nafasnya hampir berhenti sejenak. Ia masih merasakan sebuah sentuhan di pucuk kepalanya.
Badannya tiba-tiba kaku ketika kalimat itu terucap, "Kerja bagus, makasih untuk hari ini," ucap Raga lembut.
***
Masih di ruang yang sama. Ita menatap Raga yang tengah sibuk dengan grafik naik turun di layar Ipad. Berulang kali Ita ketahuan mencuri lirik pada Raga. Situasi ini mengundang kesimpulan di otak Raga yang sayangnya berkebalikan dengan apa yang Ita pikirkan.
"Makan malamlah dengan ku!" cetus Raga di tengah keheningan.
Sontak gadis pemilik bibir ranum itu mengeluarkan kembali minuman yang baru saja ia minum, "ha? Memang tempat Bapak ada acara makan-makan?"
"Nggak...."
"Terus buat apa ngundang saya?"
Raga menatap penuh selidik, "bukannya dari tadi kamu menginginkan sesuatu seperti reward atas usaha mu hari ini? Biasanya anak SMA suka diberi hadiah."
Ngomong apa sih nih orang! Dia pikir anak SMA dengan anak SD sama?
"Ha? Dari mana Bapak menyimpulkan itu?" sahut Ita sekenanya.
"Gestur tubuh dan tatapan mengemis mu. Bukankah dari tadi kamu mencuri lirik dengan ku?"
Percayalah! Menghadapi Raga harus memiliki tingkat kesabaran setinggi gunung Everest!
Ita menarik nafas dalam-dalam, "saya tidak menginginkan apapun. Itu hanya delusi Bapak saja. Oke?!"
"Hm, ternyata salah sangka ya. Tapi, karena sudah terlanjur reservasi. Jadi mau tidak mau harus mau!"
"Kapan Bapak reservasinya?"
"Saat memutuskan akan mengajak mu makan malam. Siapa sangka kamu menolaknya."
Mungkin beginilah kepercayaan diri seorang perfeksionis yang tidak ada kata gagal di hidupnya. Dengan tampangnya itu, Ita yakin beribu betina akan menjawab panggilannya tanpa curiga.
"Maaf Pak, tapi saya nggak boleh keluar malam sama Papa," dusta Ita. Padahal Ita yakin Papanya akan sangat setuju dengan usul Raga.
"Hemm. Kalau gitu... bagaimana jika ku ajak Pak Haris dan Bu Ria sekalian?" cetus Raga.
Spontan Ita menoleh. "Jangaaann! Papa sama Mama punya jadwal padat malam ini," dusta Ita.
"Oh ya? Kalau gitu coba ku konfirmasi dulu," Raga hendak men-dial nomor Haris sebelum Ita menyaut cepat handphone Raga dengan wajah panik.
Ini memalukan tapi harus Ita lakukan!
"Ma-makan malam sama s-saya aja."
"Hemm.... ternyata diam-diam kamu pingin berdua-"
"Shut up!" sahut Ita ketus kemudian pergi dengan menghentak-hentakan kaki.
Ketika hendak membuka kenop pintu Ita teringat satu hal. "Di mana makan malamnya?!" ucap Ita penuh emosi.
"Nanti diinfokan lebih lanjut. Akan lebih mudah jika kamu tidak pulang dulu. Tetaplah di sini sampai aku selesai dengan urusan ku," tukas Raga seringan bulu.
"BAIK PAK!" tekan Ita.
"Gue sumpahin lo jadi kecebong sampai tua!" gumam Ita kesumat setelah berhasil keluar dari ruangan Raga.
Sibuk mengontrol emosinya tiba-tiba handphone Ita berbunyi. Sebuah notifikasi chat masuk. Tertera nama Tina di layar handphone.
"Ta, nanti malam temenin gue bisa?"
"Maaf Tin baru aja bos dakjal ngasih lembur. Sorry yaa. Besok aja deh gue temenin. Mau nggak?"
"Yah, oke deh. Besok yaa?"
"Oke."
Obrolan singkat itu berakhir dengan centang biru menyala. Ita menoleh ke arah jam. Dua jam lagi waktu pulang dan ia terikat di sini.
Raga sialan!
***
"Katanya udah reservasi. Mana?!" ucap Ita datar. Menaikan satu alisnya.
"Sebelumnya saya memang sudah reservasi," jawab Raga tak kalah datar. Seperti tidak pernah melakukan kesalahan.
"Ngajak berantem ya?! Reservasi itu di restoran bukan di rumah!" celetuk Ita. Maaf saja! Kontrol emosinya sudah lepas.
"Walaupun masakan rumahan. Koki rumah ku setara koki hebat di restoran."
Ita berdecak. Kesombongan laki-laki di depannya ini jika dibiarkan akan melangit seperti firaun. Memangnya koki mana yang sudi bekerja di bawah tekanannya kecuali-
"Maaf ya Mas dan Mbaknya. Udah lama nunggu ya?"
DEG!
Bab 28 Tidak Diinginkan!
"Bu Ina?" ceplos Ita.
"Iya?" Wanita pemilik nama Ina yang juga sebagai ART di kehidupan lalu Ita tampak kebingungan, "Mbaknya kenal saya?"
"Ha? Emh.... nggak kok Bu. Kebetulan mirip sama ART di rumah yang baru mengundurkan diri. Saya kira orang yang sama. Hehe." Untung saja otak Ita bisa langsung 5G. Mungkin karena akhir-ajkhir ini ia sering terdesak makanya otaknya beradaptasi.
"Oh. Hehe. Bukan Mbak. Saya baru pertama lihat wajah Mbak kok."
Ita memandang barisan lauk di depannya. Aroma masakan Bu Ina menghancurkan bad mood yang disebabkan oleh Raga. Jika Ita berada di masa depan mungkin ia akan berujar, "masakan Bu Ina memang nggak pernah gagal," celetuk Ita tanpa sadar. Lagi-lagi ia membuat kesalahan.
"Hm?" Raga berdehem.
"E-enggak apa-apa." Syukurlah Raga tidak seberapa mendengar. Hari ini Ita dibuyarkan oleh kenangan. Mungkin karena sedang berada di rumah yang mana bertumpuk suka dan duka di dalamnya.
Mereka mengakhiri makan malam setelah menghabiskan jamuan. Ita mengawasi gerak-gerik Raga yang dari tadi fokus ke handphone. Kebiasaan itu ternyata mengalir sampai masa depan.
Seingat Ita, apa pernah Raga memperhatikan anak-anaknya ketika di meja makan? Padahal hanya saat itulah mereka bisa berkumpul lengkap.
"Aku mau ke toilet," izin Ita. Ia melengos begitu saja.
"Kamu tau dimana toiletnya?" ucap Raga keheranan.
Mampus! Ita lupa dan malah menganggap ini rumahnya sendiri, "di-di mana ya?" ucap Ita kikuk sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Raga mengarahkan dan kecanggungan pun berhasil diatasi. Baru kali ini Ita mensyukuri sikap acuh Raga terhadap hal-hal tidak penting. Jadi Ita bisa lolos tanpa menimbulkan kecurigaan.
Ita berhenti, fokusnya beralih ke pintu di ujung sana sepulangnya dari kamar mandi. Di balik pintu itu, Ita dan kedua anaknya sering bermain bersama. Pintu yang menghubungkan rumah utama dengan halaman belakang.
Setelah memastikan tidak ada orang, Ita mendekati pintu itu. Tangannya hampir berhasil membuka pintu sebelum suara seseorang menginterupsi.
"Siapa?"
Ita merespon kaget, ia langsung berbalik dan menjumpai wanita dengan pakaian modis. Ita sangat ingat siapa orang ini. Salah satu orang yang ingin Ita hancurkan sampai tulangnya tidak tersisa sedikit pun!
Wanita itu berjalan mendekat. Ita harus tenang.
"Kamu mau apa di sini?" ucap Maya. Tantenya Raga.
"Maaf Bu, saya kesasar. Tadi habis dari toilet. Perkenalkan, saya Ita, asisten pribadi Direktur Raga," ucap Ita sopan.
"Hemm.... tolong jangan berkeliaran sembarangan ya! Ini rumah atasan mu bukan supermarket."
"Iya Bu maaf." Haruskah Ita mengatakan itu? Hell! Sorry aja! Kata maaf hanya berlaku di kehidupan lalu. Yang berdiri di sini adalah Ita dengan kebebasan. "Tapi.... ini kan rumah atasan saya. Kenapa Ibu yang justru mengomentari saya? Toh, Pak Raga sudah memberi izin," tantang Ita.
"Kamu--"
"Kenapa ini?" sahut Raga yang datang.
"Raga... asisten mu keterlaluan! Di mana kamu rekruit dia? Nggak punya sopan santun!"
Ita menatap datar. Pemandangan ini mungkin sudah berpuluh kali Ita melihatnya di masa depan. Bagaimana Tante Maya mengadukan Ita ke Raga. Lalu, setelah ini Ita sudah menebak respon yang Raga tujukan. Seperti biasa dia akan....
"Tante, udah malam. Lebih baik tante pulang," ucap Raga dingin.
"Tante akan pulang setelah kamu mendisiplinkan asisten gila mu ini!"
Terdengar hembusan nafas berat. Raga menatap dingin. "Orang yang tante sebut gila ini. Dia asisten pilihan ku. Aku percaya dengannya."
"A-apa? Ra-Raga.... kayaknya kamu sakit ya? Udah minum obat?" ucap Maya panik.
"Tck! Lebih baik tante pulang sekarang!" ucap tegas Raga.
Ita masih di tempat yang sama menatap kepergian Tante Maya. Sorotnya terisi pada sosok Raga.
Bagaimana bisa seperti ini?
Seorang Raga?
***
Sampai kapan Ita harus mengikuti langkah besar bak raksasa itu. Urat kesabaran Ita hampir habis karena pagi-pagi sudah dibuat repot oleh Raga.
Kurang lebih sebelas kali Ita bolak-balik masuk mobil sejak pagi buta perkara mengikuti scadule Raga. Kakinya bahkan tidak terasa lagi.
Tapi, untung saja di hotel ini pertemuan terakhir dengan kolega Raga hari ini. Ita akan sangat berterima kasih dan melupakan sejenak dendamnya jika setelah ini Ita diizinkan pulang lebih awal.
"Capek?" pertanyaan Raga membuat Ita sedikit terkejut. Pasti yang datang setelahnya bukan hal baik karena seorang Raga tidak akan pernah menunjukan perhatian sepele seperti ini.
"Iya. Bapak lupa ya kalau saya manusia?"
"Bertahanlah, tinggal satu lagi."
"Tadi katanya ini terkahir," batin Ita. Yang keluar hanyalah dengusan tanpa suara.
Mereka sampai di halaman depan hotel Horizon. Ita berulang kali menghela nafas. Ia memandang gedung melangit itu dan berharap ini benar-benar terakhir.
Saat akan melangkahkan kaki, Ita justru dibuat kebingungan dengan kehadiran Raga yang tidak dapat di tangkap penglihatan.
Dimana dia? Jalannya cepat dan langkahnya besar. Tidak sebanding dengan tubuh Ita yang mungil. Tidak jarang Ita tiba-tiba kehilangannya.
Sepertinya ini akan menjadi hari sial untuk Ita. Ia segera ke resepsionis untuk menanyakan letak lounge karena janji bertemu dengan kolega di sana. Namun, alih-alih kesana Ita justru di buat terkejut dengan dering handphone-nya.
Tertera nomor Tina di layar. Saat Ita mau mengangkatnya, Tina sudah mematikan panggilan.
Ita berpikir mungkin Tina akan mengingatkan janji yang mereka buat kemarin. Namun, Ita salah besar!
Beberapa jam setelah panggilan tak terjawab itu. Ita mendapatkan notifikasi dari Hesa.
"Ta, kamu dimana?"
"Di hotel Horizon. Kenapa Sa?"
"Aku jemput ya."
"Aku masih kerja. Hari ini padat banget."
"Tina kena musibah."
Jantung Ita berdegub tidak karuan. Ia ingin tidak mempercayai informasi itu tapi ia tidak mampu karena yang mengabarinya sendiri adalah Hesa.
Tanpa sepengetahuan Raga, Ita berlari ke rumah sakit tepat Tina di rawat. Dalam perjalanan Ita berulang kali mengecek riwayat chat dengan Hesa dan berusaha menyangkal.
Namun, berulang kali kalimat sangkalan terucap. Pemandangan di depan matanya kini membuktikan bahwa chat itu benar adanya.
Bibir Ita bergetar menahan isak yang ingin merayap keluar. Dadanya sesak melihat sahabat terdekatnya penuh dengan luka lebam di sekujur tubuh.
"Ti-Tina," panggil Ita. Air mata itu terjun begitu saja tanpa diminta.
Seseorang mencegah tangan Ita yang ingin meraih Tina, "Terimakasih atas kunjungannya. Bukannya saya ingin mengusir. Tapi-" ucapan Fano terjeda.
Orang dengan status kakak laki-lakinya Tina itu menghela nafas berat, "Tolong pergi. Jangan pernah bertemu dengan Tina lagi. Sudah cukup kamu memberi pengaruh buruk adik ku saat SMA. Bahkan sekarang kamu menyarankan sesuatu yang membawa dia jadi seperti ini."
"Kalau aja Tina nurut masuk jurusan Menegemen dia nggak akan jadi korban pelecehan Kakak Tingkatnya."
DEG!
Benar! Ini semua salah Ita! Jika saja ia tidak menyarankan Tina masuk jurusan Design Grafis. Hal seperti ini tidak akan terjadi.
Ita sudah merubah masa depan Tina. Hanya karena tindakan kecil seperti memberi masukan saja mampu merubah takdir seseorang. Ita salah karena telah mempermainkan takdir orang.
"Kak, saya turut prihatin dengan musibah ini. Tapi, ini bukan sepenuhnya salah Ita-"
Mendengar itu, Ita sigap memegang ujung baju Hesa, "Maaf atas ketidaknyamanannya Kak. Aku tau kata maaf aja nggak cukup. Tapi, aku nggak punya cara apapun untuk memperbaiki keadaan ini. Aku cuma bisa minta maaf atas semuanya. Semoga Tina lekas membaik...."
Ita menarik lengan Hesa setelah melihat sekilas sahabatnya yang tengah terbaring. Di tengah koridor jalan Ita melambat. Hesa sadar dan langsung menangkup dua pundak Ita dari belakang.
"Ta?"
Bersambung
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
