
Bab 11. Kutukan
Masih pagi-pagi sekali aku terjaga. Tidur malam ini nyaman tanpa gangguan meski hanya sebentar. Kunyalakan ponsel, pukul empat lewat lima menit. Suasana remang-remang ini tidak mengganggu pengelihatanku. Orang-orang di sekitarku masih lelap. Juga Rey, sepupu yang pulang bersamaku.
Deru mesin Feri yang membelah lautan bukan gangguan untuk terlelap. Aku menyesal harus terjaga pagi-pagi. Mimpi dan suasana yang kurang bersahabat sejak kemarin menambah tingkat kewaspadaanku. Terjaga dan terkonsentrasi, itulah yang terpenting. Tetapi terjaga dalam keadaan hening seperti ini tidak jauh lebih baik.
Aku ingin membangunkan Rey namun melihat napasnya yang teratur mengurungkan niatku. Kemarin aku menyusahkannya terlalu banyak. Dari menjemput kedatanganku di bandara, menemaniku jalan-jalan di Kota Karang dan berakhir memutuskan untuk mengantarku sampai di kampung.
Lama perjalanan dengan kapal Feri kurang lebih dua belas jam. Mudah saja jika lewat udara tetapi dasar otakku yang eror, aku memilih lewat laut mencoba pengalaman baru. Rey mengkhawatirkan keputusanku dan memilih untuk mengantar.
Tidak masalah, aku akan membayar biaya kepulangannya kembali. Sekarang sudah mau masuk Desember, tingkat kesibukan di kampusnya sudah bertambah dan aku tidak mau menambah bebannya lebih banyak lagi.
Aku ingat tiga hari yang lalu ketika mengabari kepulanganku pada Bapa Besar, kakak sulung Papa, bapa besar segera memerintah anak bungsunya Rey menjemputku. Aku benar-benar tidak mengenalnya dengan baik, hanya saling menyapa lewat media sosial tetapi siapa sangka aku maupun dia langsung saling mengenali ketika bertatapan.
Senyum manis yang sering kulihat lewat foto-foto unggahannya sangat spesial. Gigi-gigi putih dengan cacat gingsul menjadi ciri khas di wajah lelaki hitam manis, adik sedarahku itu. Sedarah, iya aku selalu mengakuinya. Sebuah kerinduan dalam haru yang sulit dijelaskan. Kini di sampingku ia terlelap dengan hanya dibungkus jaket hitamnya.
Nasib baik, sejak menginjak kaki di lantai dek yang bergetar aku tidak mabuk laut, seolah sudah biasa. Aku bahkan bisa berjalan keliling di bawah pengawasannya. Rey sungguh tidak percaya melihat kenyamananku bahkan bergurau tentang darah melaut yang mengalir dalam darahku. Aku tersentil, ada perih dalam hatiku.
Demi mendamaikan hatiku aku menyibukkan diri dan pikiranku dengan aktivitas tidak bermutu. Sekarang aku menyimpulkan teori baru yang terpikirkan bahwa jika ingin terhindar dari gangguan entah dalam pikiran atau saat terlelap yakni dengan menyibukkan diri. Aku harus memberi efek lelah pada alam bawah sadarku hingga saat tidur malam hari tidak ada lagi mimpi buruk.
Rey bahkan terpaksa menemaniku bercerita bersama beberapa orang yang ada di dekat kami sebelum jatuh tertidur tengah malam tadi. Meski sanggup membeli tiket spesial tempat tidur, aku memilih tiket kelas ekonomi dan tidur di dek bawah yang seharusnya menjadi tempat penyimpanan kendaraan.
Kendaraan tidak cukup banyak, memberi peluang bagi penumpang untuk menyewa kasur dan tidur dengan santai. Terbukti dari deru napas yang teratur dan gumaman kecil. Aku pun tertidur dengan nyaman meski hanya sebentar sekitar tiga jam. Tidak mengapa, yang penting aku bisa menikmati pengalaman pertama yang menarik ini.
Pengalaman pertama? Aku menggumam setelah muncul pikiran itu. Bagaimana aku dapat mengatakan bahwa ini adalah pengalaman pertama jika tidak bisa mengingat kenangan masa kecil? Ingatanku setelah kelas dua sekolah dasar adalah masa SMP di Jakarta. Berarti setelah tamat SD mungkin saja aku kembali ke Jakarta menggunakan kapal Feri, siapa yang tahu?
Ketidakpastian itu menciptakan lubang dalam hatiku. Hampa. Sungguh mengenaskan tidak mengingat masa yang paling konyol dalam hidup. Jika dipikirkan dengan baik, semua mimpi dan kejadian yang berkaitan dengan anak kecil itu merupakan pecahan-pecahan masa kecil yang hilang.
Feli, itu nama teman SD-ku. Seorang perempuan yang lain itu pasti Sefa dan lelaki itu pasti Edmon. Mereka bertiga adalah teman lama yang masih menanyakan kabarku di media sosial.
Kadang mereka membagikan gambar-gambar konyol permainan anak desa dengan caption menarik 'kenangan masa kecil, generasi mileneal tidak paham hanya yang lahir tahun 90-an yang paham.' Lalu mereka mulai berkomentar melempar olokan yang lucu, kadang menyebut namaku di sana.
Feli sering mengolok rambut keritingku, pasangan sejatinya Ed, panggilan untuk Edmon. Lalu akan muncul komentar Sefa yang jauh lebih konyol. Mengeluhkan perbuatanku yang nakal dan seenaknya. Ketika membaca komentar-komentar mereka dulu aku hanya tertawa dan berpikir hanya akal-akalan mereka saja.
Sekarang menjadi nyata mengapa aku tidak merasa ada bersama mereka dalam komentar-komentar konyol itu. Sefa bahkan pernah membuat caption dalam foto anak kecil yang meluncur dari atas bukit menggunakan pelepah kelapa 'Sebuah hasil kenakalan Resty. Kita diusir oleh guru, bermain dan jatuh dari atas bukit. Kutukan dari wali kelas.'
Jatuh? Kutukan? Apa maksudnya? Mengapa sekarang aku malah mengingat hasil permainan jari di media sosial? Bahkan kata yang kedua itu mengingatkan aku pada malam terakhir pertengkaranku dengan papa. Ingatan itu membuat pusing kepalaku.
Rasa pusing oleh pikiran itu, aku menuju toilet, membasuh wajah dan naik ke buritan kapal. Angin laut menerbangkan rambut yang kubiarkan tergerai. Aroma garam tak mampu menenangkan pikiranku. Ombak yang cukup tenang juga tidak berdaya menghempas kata itu dari kepalaku.
Aku merunut kembali pikiranku ke belakang pada pembicaraan dengan Gaby. Sungguh suatu keputusan yang emosional. Aku harus menyandang gelar single lagi. Tetapi bukan itu yang menggangguku. Kata-kata papa saat pertengkaran hebat itu adalah momok paling mengerikan daripada tatapan dingin Gaby yang mengantar kepergianku.
***
"Baru pulang?" pertanyaan pertama papa saat aku memasuki rumah. Tidak kupedulikan. Aku berlalu begitu saja. "Tidak baik pulang malam-malam, apa lagi tanpa Gaby yang mengantar."
Hem, sok perhatian.
"Jangan pergi begitu saja, Res. Papa sedang bicara sama kamu." Aku mendadak berhenti. Suara papa penuh intimidasi.
"Memangnya papa peduli apa sama aku? Mau pulang malam kek, mau tidak pulang sekalian kek, itu urusanku!" aku siap melangkah lagi saat papa membentak dengan keras.
"Keterlaluan kamu, Res. Papa mau ngomong soal kamu dan Gaby. Februari nanti kalian nikah, kamu pikir Papa tidak peduli?"
"Baiklah, Papa mau ngomong apa?" aku terpaksa duduk di hadapannya. Malam ini saja aku sudah bertengkar dengan papa sebelum bertemu Gaby dan berakhir bertengkar lagi dengan Gaby. Aku tidak mau lagi menghabiskan sisa malam ini dengan pertengkaran-pertengkaran lainnya. Lebih baik mengalah, demi kebaikanku sendiri.
Papa mematikan televisi. Pakaiannya masih sama dan gelas cokelatnya masih di atas meja, tidak lagi mengepul. Sepertinya papa sengaja menungguku. Ini pertanda baik atau mungkin juga buruk. Ia menatapku intens. Mama masih di tempatnya sibuk dengan katalog kecantikan.
"Sudah dapat izin dari Gaby?"
"Maksud Papa?"
"Soal pulang kampung, sudah dapat izin dari Gaby?" Aneh. Suara papa melembut. Ada binar kepedulian dari tatapannya yang ikut melembut. Ada kehangatan yang mengalir dalam dadaku. Sudah lama sekali aku tidak diperlakukan demikian oleh papa.
Aku menghela napas berat. Membiarkan bahu yang tegang sedari tadi luruh di atas sofa. Duniaku makin abu-abu dan berat. Perasaan yang tertahan sejak tadi tumpah begitu saja. Air mata jatuh pertama kalinya di hadapan papa. Sesak, rumit dan sakit. Tetapi muncul rasa percaya pada lelaki yang selalu acuh tak acuh itu.
"Aku berhenti sama Gaby, Pa."
"Kenapa?"
"Dia bilang aku gila. Bukan begitu persisnya. Dia bilang apa yang kualami adalah penyakit jiwa. Toh, sama saja maknanya. Aku kecewa dan pergi begitu saja."
"Memang benar apa yang dia bilang?"
"Maksud Papa?"
Sekarang emosiku yang luruh kembali memuncak. Air mata mendadak berhenti mengalir. Kata-kata papa yang membenarkan Gaby jauh lebih menyakitkan. Aku salah menduga bahwa papa memberi perhatian dengan tulus ternyata hanya untuk memojokkan diriku.
"Apa lagi yang perlu dipertanyakan, Res. Kamu memang gila. Kamu tidak bisa membedakan kenyataan dan halusinasi. Karena perkara yang sama kamu gagal menikah sampai enam kali.
Berhenti dengan Gaby menggenapi angka keramat sebuah kutukan. Tujuh kali bertunangan, tujuh kali pula kamu gagal menikah. Apa lagi yang tidak lebih gila dari kenyataan ini, Res. Kalau kamu tidak minta maaf dan balik sama Gaby maka kamu akan jadi perawan tua."
"Papa! Tega sekali mengatakan hal itu padaku. Papa tidak pernah tahu bagaimana perasaan aku. Papa hanya tahu menghakimi, menyudutkan dan tidak pernah peduli. Papa pilih kasih. Tidak hanya lupa pulang tapi juga lupa membagi kasih dengan adil.
"Asal papa tahu, di luar sana banyak anak perempuan yang mengatakan ayah adalah cinta pertama mereka tetapi bagiku, Papa adalah petaka. Pembawa kutukan dan kesialan dalam hidupku. Aku dikutuk karena terlahir sebagai anak Papa."
Papa memukul meja dan membentak dengan keras. Papa marah, begitu juga aku.
"Kamu yang anak sialan. Hanya membawa kemalangan dalam hidup saya. Tidak tahu malu. Sudah hampir tiga puluh tahun tetapi belum menikah bahkan masih menumpang di rumahku. Harusnya kamu sadar diri!"
Memang benar kata papa. Di usiaku yang sekarang harusnya sudah punya anak atau paling kurang tidak lagi menumpang di rumahnya. Tetapi apa mau dikata. Aku pernah mencoba tinggal sendiri saat pertama kuliah tetapi hanya bisa bertahan selama musim kemarau. Masuk musik hujan aku membawa semua barang-barangku kembali ke rumah. Sejak saat itu aku tidak pernah lagi mencoba tinggal di luar.
Papa bangkit, melemparkan bantal sofa ke lantai. Menyalakan televisi dan beranjak pergi. Aku belum mau kalah beradu mulut dengannya ikut bangkit dan membuang bantal ke lantai. Ia menatapku garang. Aku balas menantang tidak kalah garangnya.
"Jangan pernah bilang aku pembawa sial, Pa. Kalau saja Papa mengintropeksi diri maka semestinya Papa sadar, semua kejadian yang terjadi dalam hidupku bermula dari Papa. Papalah sumber kutukan itu sendiri.
Bukan tanpa sebab aku mengatakan hal itu. Dalam setiap mimpi, nenek penyihir itu selalu menyebut nama papa. Theresia anak Paul. Bukankah itu jelas, karena aku anak papa hinga kutukan itu datang padaku?
Gagal menikah enam kali dan sekarang genap tujuh, angka keramat. Itu adalah kutukan yang paling mengerikan. Aib yang melekat erat dalam hidupku sejak pertama kali gagal menikah. Saat itu alasannya bukan ketakutanku melainkan hatinya yang berkhianat, tetapi itulah awal kisah cintaku yang pelik.
Tidak seorang pun mau mengalami nasib demikian. Tetapi mau bagaimana lagi, mungkin jalan hidupku ditakdirkan sedemikian rumit. Aku masih bisa menerimanya dengan tulus tetapi tidak diterima dalam rumah sendiri adalah hal yang paling menyakitkan.
Papa berlalu meninggalkan aku. Di sofa yang lain mama masih sibuk menonton gambar dalam katalog. Aku ingin memastikan sesuatu yang selama ini mengganggu pikiranku, tentang alasan.
"Sebelum papa pergi, beri aku satu alasan. Mengapa Papa tidak pernah mau pulang kampung?" papa berbalik.
"Baik. Katakan alasannya, mengapa aku harus pulang ke kampung yang udik itu? Bertemu dengan keluarga yang akan mengerus uangku atau bertemu dengan orang-orang kuno yang masih percaya adat istiadat yang tidak masuk akal?"
***
"Kak Resty!"
Teriakan Rey mengagetkan aku dari lamunan panjang. Ia datang bersama beberapa awak kapal yang menatapku marah.
"Kak Resty baik saja to?"
"Iya, aku baik."
"Kalau mau bunuh diri jangan di sini, Nona. Kami tidak mau tanggung jawab." Awak kapal itu membentakku kemudian berlalu menuju tumpukan tali.
Aku pusing. Siapa yang mau bunuh diri? Andai pun kutukan itu memang benar, aku sama sekali tidak berniat bunuh diri.
Rey bercerita kalau ia kesulitan mencariku dan beberapa orang menunjuk ke buritan melihatku berlagak seperti orang yang siap melompat ke laut. Mereka pikir aku hendak bunuh diri. Lucu sekali. Untuk apa aku ingin mati kalau mau susah-susah menjalani hidup selama ini.
Pemberitahuan akan berlabuh menyadarkan aku akan suasana di bawah sana yang ramai oleh penumpang yang berlalu lalang. Cahaya kemerahan muncul dari balik pulau. Aku sudah sampai. Rey mengajakku kembali ke tempat kami.
Selamat datang di Lembata. Semoga semuanya akan baik-baik saja.
***
Bab. 12. Jalan Lama
Duduk di atas boncengan Yamaha MX milik Rey, aku menikmati udara pagi yang mengalir melewati tubuhku. Rambut panjangku terbang bebas seolah mengizinkan angin membawa pergi beban dari kepalaku. Angin segar membawa aroma musim hujan dari balik bukit-bukit hijau. Bebas, manis dan damai. Hal yang sangat jarang kurasakan. Deru mesin-mesin motor yang berlomba menyusuri jalanan yang berlekuk tidak mampu menggantikan damai dari sajian alam.
Aku merentangkan tangan, menutup mata dan membiarkan udara yang bergerak membasuh wajahku. Rey tersenyum malu saat aku membuka mata dan melirik lewat kaca spion. Ia terus mencuri pandang sejak tadi, pasti masih mengkhawatirkan perbuatanku dalam kapal tadi. Aku balas tersenyum dan menggodanya,
"Tenang saja, Rey. Kak Resty tidak ada niat mau bunuh diri kok. Tadi itu salah paham, Kakak cuma mau menikmati angin laut." Ia tersenyum malu-malu mendengar teriakku, memamerkan gingsulnya. Benar-benar manis, semanis aroma musim hujan menambah satu nilai positif pagi ini. Sepertinya pilihanku untuk pulang adalah pilihan yang tepat. Baru menginjakkan kaki di pulau ini saja sudah mengembalikan semangatku apa lagi jika tinggal lebih lama. Aku yakin akan benar-benar sehat dan 'gila' tidak akan ada lagi dalam kamus hidupku.
Gila.
Papa, mama, Clare dan Ale sering mengataiku demikian. Belum lagi teman-teman sekolahku dulu. Keenam mantan tunanganku jangan dihitung. Gaby, yang terakhir yang perlu diingat, lelaki dingin yang terlalu sibuk mengabdi pada ilmu pengetahuan. Sangat pemilih mendekati wanita dengan alasan wanita terlalu mengandalkan kecantikan dan perasaan. Memasukan aku dalam pilihannya yang sebenarnya tidak punya nominasi wanita lain hanya karena pemikiranku yang mampu membuatnya kagum. Pikiran cerdas yang hilang saat musim hujan dan malah disebut gila, lebih tepatnya penyakit jiwa. Sama saja, ia mengataiku gila dan ia pantas dimasukkan dalam daftar hitam kehidupanku.
"Kak Res, mau minum teh dulu atau langsung ke kampung?" suara Rey mengagetkan aku. Ia telah menghentikan sepeda motornya di depan sebuah warung yang sudah dibuka. Sudah ada beberapa pengendara sepeda motor yang mengantre, mungkin pengojek yang ingin mengopi pagi setelah mengantar penumpang.
"Emang kamu mau ngopi, Rey?"
"Kalau Kak Resty mau munim teh, saya juga mau ngopi, Kak."
"Baiklah."
Aku tidak benar-benar butuh teh sekarang tetapi ini tentang Rey. Segelas kopi untuk lelaki Indonesia di pagi hari sebelum beraktifitas adalah hal yang lumrah dan menjadi keharusan, aku yakin Rey termasuk salah satu penikmat kopi yang harus diberi asupan penyemangat ini.
Warung cukup ramai. Orang-orang asyik menikmati segelas kopi panas yang harumnya menyebar dalam ruangan. Sesekali terdengar tawa disela obrolan mereka. Tentang penumpang yang pelit, keuntungan pagi atau kemalangan.
"Hem, Kak Res, bagaimana kabar Bapa Paul?" aku hampir memuntahkan teh dalam mulutku kalau tidak mengingat sopan santun, aku telan paksa teh panas.
"Mereka baik. Aku hanya ingin tahu kabar keluarga di kampung. Bapa Besar dan Tante Rina baik kan?" aku harus mengalihkan keingintahuannya tentang keluargaku bila perlu tidak usah disebut.
"Mereka juga baik. Kemarin Kak Resty sudah menanyakan itu. Bahkan sempat bicara dengan Bapa di telepon toh."
"Ah, iya benar. Aku lupa." Pengalihan pikiran yang salah sasaran. "Aku benar-benar ingin cepat tiba dan bercerita dengan mereka. Pasti seru sekali."
Pemandangan unik dengan aroma kopi yang menari dalam ruangan menjelma tawa yang mengejek niat pengalihanku. Terseret dalam nuansa obrolan manusia-manusia dalam ruang yang cukup luas. Dari sekian banyak lelaki yang menikmati hidangan pagi, aku merasa risih pada seorang lelaki yang duduk di sudut warung.
Ia mengenakan topi bertuliskan Lembata. Meski wajahnya cukup tersembunyi dari beberapa orang yang duduk di hadapannya, aku masih bisa merasakan tatapannya yang tajam. Ia memindai diriku. Entah menilai atau mungkin merasa mengenalku. Yang pasti aku sangat tidak nyaman ditatap sedemikan intens. Jaket hitam yang dikenakan menutupi bajunya, namun celana bahan hitam dan sepatu pantofel memungkinkan definisi seorang pekerja kantoran yang mungkin lupa mengopi di rumah.
Perasaan tidak nyaman itu memaksaku menegak habis teh panas dalam sekali teguk. Rey melongo menyaksikan.
"Tidak panas, Kak?" aku menggeleng.
"Rey, pulang yuk. Kebelet nih." Alasan klasik. Panggilan alam yang kusengaja demi menjauh dari lelaki di sudut. Jika lebih lama lagi tinggal di tempat ini aku bisa kehabisan napas.
Perjalanan pulang setelah mengisi perut lebih cepat. Mungkin saja Rey benar-benar percaya dengan alasan palsuku. Jalanan dalam kota sudah berubah sejak terakhir kali aku pulang. Jalanan sempit telah berubah lebar, batu aspal dan jalanan yang berlubang tidak kujumpai. Rumah-rumah hijau dipenuhi pohon-pohon buah. Banyak bangunan baru dan mewah. Toko-toko lama yang kecil dan kotor sudah berupa bangunan megah dan bersih. Kota kecil itu telah berkembang.
Di ujung kota simpang tiga antar kecamatan, jalanan menuju desa jauh dari harapan. Batu aspal bebas terhempas, jalanan berdebu dan penuh lubang. Pohon-poho reo besar yang dulu berjejeran rapi telah bersih oleh pelebaran jalan yang belum teraspal. Hutan lamatoro diubah menjadi ladang dan pemukiman. Di lain tempat telah penuh pohon jati yang tinggi dengan daun-daun baru yang bertunas.
Di simpang tiga yang lain, jalan masuk desa, suasana lama yang kukira telah hilang kembali hadir. Seperti de javu, pepohonan di pinggir jalan menutupi akses cahaya matahari. Cahaya remang-remang membatasi pandangan, aku mulai mual dan pusing. Kutolehkan kepala ke kiri. Tepat di sebuah sumur tua aku beradu pandang dengan seseorang. Aku tidak mengenali wajahnya. Bersitatap sebentar saja sudah memberikan rasa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Aku bergetar.
"Rey, kamu lihat orang yang tadi?"
"Apa, Kak?" ia setengah berteriak. Suaraku terbawa angin. Rey mengurangi laju motor.
"Kamu lihat orang yang tadi?" aku ikut berteriak.
"Yang mana, Kak?"
"Yang tadi di sumur itu?"
"Tidak lihat, Kak. Itu pasti Om Soni."
Aku tidak tahu siapa itu Om Soni yang pasti seseorang itu telah merusak suasana pagiku.
Perjalanan terasa semakin lambat dann lama. Di jalan yang jarang pepohonan dan hanya ladang yang baru ditanami, aku mendongkak menatap langit yang dalam sekejap berubah mendung. Awan hitam berlomba-lomba menutupi matahari, beradu kecepatan dengan detak jantung yang memburu. Sangat berbahaya jika samapi hujan sebelum tiba di rumah. Aku berdoa dalam hati, Rey mempercepat laju motor. Hanya sebentar. Sepeda motor mendadak berhenti.
Dari balik awan hitam muncul sekumpulan burung gagak sambil berkoak-koak dengan ganas. Mereka terbang cepat menuju kami.
Ka ... ka ... ka ...
Rey berbalik cemas menatapku. Wajah hitam manis dengan kumis tipis itu berubah pucat. Gurat ketakutan jelas terlihat dari matanya, keringat mengalir dari dahinya. Ia menyentuh tanganku, sangat dingin. Dia sama gemetarnya dengan diriku sendiri.
"Kak Res, saya tabrak burung gagak."
Suara yang ingin keluar untuk menjawab hilang tertelan. Ini bahaya. Aku tahu arti burung gagak itu. Kemunculannya selalu bertanda buruk apalagi menabraknya. Ini semua pasti berkaitan denganku. Seseorang di sumur, awan tebal dan burung gagak. Lengkap. Segalanya berubah suram dan semakin gelap.
***
"Resty, cepat lari. Ada suanggi."
"Ayo, Resty, cepat/ jangan toleh ke belakang."
Teriakan ketiga anak kecil di depanku memaksakan kakiku berlari lebih cepat/ sedikit lagi dan bayangan di belekang siap menangkapku. Meski tertatih dan jatuh bangun aku terus berlari. Aku tidak mau tertangkap dan mati. Ranting lamatoro, semak belukar, putri malu, rerumputan, batu atau pun duri, tidak masalah. Perih di telapak kaki dan luka-luka kecil lainnya, entah di wajah dan tangan bukan masalah besar. Aku harus terus berlari entah ke mana dan sampai kapan.
Kupaksakan kaki berlari hingga batas kecepatan tetapi semakin tertinggal seolah aku berlari di atas eksalator yang tidak searah. Aku jauh tertinggal dari tiga anak kecil yang kuyakini adalah sahabatku. Tiga sosok kumal dengan rambut awut-awutan dan pakaian penuh sobekan hilang dari pandangan. Bayangan itu semakin dekat, ia akan menangkapku. Teriak minta tolongku tidak berarti apa-apa.
Ia menarik kaki kecilku yang terluka. Kaki yang lain kehilangan keseimbangan. Aku terjatuh dan ditarik laksana menarik karung goni yang penuh dengan jerami. Meluncur tidak bebas di atas tanah penuh rumput dan bebatuan. Aku berusaha meraih setiap pohon mencoba menahan diri dari tarikannya.
Bayangan yang tidak berwujud itu justru tertawa. Semakin lama semakin keras dan memekakkan telinga. Suara tawanya mengalahkan tawa Mak Lampir dalam serial Televisi yang selalu ditonton Clare. Semakin lama aku semakin tenggelam dalam kegelapan kala sebuah suara memanggil namaku.
"Nona Resty?" Apakah itu dokter Faisal? Suaranya berbeda. Apa mungkin beliau sedang pilek? Mungkin saja.
"Nona Resty ... "
Aku ingin menjawab panggilannya, memintanya muncul dan membantuku keluar dari kegelapan ini. Ia pasti punya teori yang masuk akal mengenai kegelapan yang melingkupi diriku. Mungkin berkaitan dengan teori black hole atau teori kedokteran yang tidak kupahami. Atau jangan-jangan aku telah berubah menjadi sub atom dan menyatu dengan partikel-partikel Bumi seperti Paul Rudd dalam Ant-Man? Seseorang, entah dokter Faisal atau siapa pun tolong bawa aku keluar, beri aku sedkiti cahaya.
Bersambung...
Note :
Suanggi : Sebutan bagi pengguna ilmu hitam/penyihir di daerah NTT
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
