1-9 CUCU YANG DIBEDAKAN

1
0
Deskripsi

Moral inspiratif.

Selamat membaca ygy 💅

Cucu yang Dibedakan
Part 1
*
“Kamu persis ibu ayahmu! Keras kepala!”


“Jangan tanya aku, kamu bukan cucuku.”


“Pergi, dan jangan memaksaku menjadi wali ketika ayahmu sendiri sudah lama tercoret dari KK ibu.”


Hinaan, kebenaran yang tak diakui, dan pengucilan dari keluargaku terus membayangi. Saat aku kembali melihat kampung ini, semua itu terasa begitu nyata. Kenangan buruk itu berputar slide demi slide meski tak ingin diingat.


Aku pernah mencoba untuk lupa atau melupakan, tapi kealamian memori tetap memaksa kenangan untuk keluar, terlebih saat melihat suasana dan orang-orang yang memberikan luka di kenangan itu.


Aku membuka kaca mobil saat memasuki perkampungan yang dulu pernah kutinggali. Menghirup udara segar yang begitu kurindukan, sangat berbeda dengan udara di kota Jakarta yang sesak dan penuh polusi bercampur dengan napas-napas para pembohong. Sesak sekali.
Mobil memasuki akses jalan rumah yang akan kutuju. Sekarang jalan perkampungan itu sudah diaspal, berbeda dengan dulu saat aku melewatinya setiap hari, jalannya masih berbatu.

Sejak menikah beberapa tahun lalu, aku telah meninggalkan kampung halaman dan pindah ke Jakarta ikut suami. Banyak hal yang aku tinggalkan di kampung ini. Kenangan manis bersama ibu dan ayah. Kenangan pahit bersama saudara, juga nyinyiran untuk seorang gadis berusia lanjut yang saat itu belum menikah. Aku. Sekar.


Aku melirik ke kiri dan kanan, suasana kampung kelahiran masih terlihat sama. Hanya beberapa perbedaan yang tidak terlalu kentara. Persawahan yang sedang menghijau begitu indah, mungkin memberi perasaan was-was bagi semua petani. Tentang rintangan-rintangan sebelum panen, hama atau bahkan banjir seperti yang pernah terjadi. Mereka berlomba dengan hama dan tikus yang akan memenangkan hasil panen. Ah, mungkin saja saat ini berbeda. Kulihat di pinggir persawahan sudah ada parit perairan yang semakin mudah untuk petani mengaliri air. Pun, ini bukan sedang musim hujan.


Aku membelokkan mobil ke kanan, memasuki jalan kecil yang terlihat sudah dibeton. Setidaknya itu lebih baik daripada dulu. Jika semalam hujan, aku dan semua anak-anak harus melewati lumpur becek di jalan ini untuk sampai di sekolah. 
Sedikit banyak ada perubahan di kampungku.
Mobil memasuki pekarangan rumah. Rumah nenek yang kutuju saat ini, salah satu hal dan kenangan berharga yang kutinggali beberapa waktu lalu. Aku memarkirkan mobil mewah warna putih milikku, mengunci pintu setelah keluar dari sana. 


Beberapa orang tetangga melihatku dengan tatapan entah. Mungkin pangling karena sudah lama tidak bertemu. Aku tersenyum ramah pada beberapa ibu yang terlihat sedang mengangkat pakaian. Mereka bahkan memicingkan mata dari jarak agak jauh untuk memastikan yang barusan keluar dari mobil adalah aku, Sekar.


“Iya, ini Sekar, Bu.” Aku langsung meyakinkan mereka, agar tak terus menerus terlihat bingung. 
Kulihat raut wajah mereka tampak terkejut. Aku hanya tersenyum ramah pada mereka. Mungkin di mata mereka, aku telah jauh berbeda dengan Sekar yang dulu.


“Wah, Sekar udah beda sekarang. Cantik. Cucu Nek Jumi memang sukses semua.” Ibu yang tinggal di sebelah kiri rumah nenek berkata. Disambut anggukan dan senyuman dari beberapa ibu lain yang melihatku.


“Alhamdulillah. Mari, Bu. Sekar masuk dulu.” Aku pamit dari hadapan mereka. Bukan tak ingin berbasa-basi, tapi hatiku saat ini benar-benar sedang tertuju pada nenek.
Mereka mengangguk, membalas senyum ramah seperti yang kulakukan. Aku terus berjalan melewati rumput liar yang tampak memanjang. Sampah dedaunan juga terlihat banyak seperti tak pernah disapu. Tentu tak ada lagi yang bisa melakukan pekerjaan itu di rumah ini, mengingat halaman rumah pun cukup luas untuk dibersihkan.
Sejenak aku berdiri menghadap rumah yang sudah terlihat rapuh itu. Mengumpulkan setiap kenangan yang kusimpan dalam benak. Tanpa sadar raut wajahku kadang tersenyum, lalu perlahan bibirku kembali tertutup rapat digantikan dengan nelangsa atas ukiran kenangan pahit yang pernah kulalui.
Aku menatap pohon jambu di depan rumah nenek. Ada kenangan tersendiri tentangnya. Kenangan yang membuatku tersenyum miris.
“Assalamu’ailaikum.” Aku memberi salam. Dari dalam tak terdengar jawaban, lalu sayup aku mendengar ada seseorang menyahut dalam suara yang begitu lirih.
Itu suara nenek. Aku memberi salam untuk memberi tanda bahwa aku datang menjenguknya. Aku datang setelah sekian lama meredam amarah dalam hatiku.
Hari telah beranjak senja, aku membuka pintu yang tak dikunci itu. Suara berderit terdengar dari setiap engsel yang telah berkarat itu. Wajar, karena rumah kayu itu usianya sudah separuh hidup nenek.
Kembali aku mematung di depan pintu. Kulihat tubuh ringkih itu begitu menyedihkan. Tertidur meringkuk menghadapku. Meringkuk seperti bayi yang meminta kehangatan. Perlahan air mataku menetes membasahi pipi. Jika dulu aku bertanya satu pertanyaan yang bagiku amat menyakitkan, kini aku bertanya tentang keadilan untuk seseorang yang terbaring lemah di sana.
'Di mana anak-anaknya?’
Aku membuang perasaan sedih itu jauh-jauh. Khawatir jika Nenek melihat aku menangis, ia akan ikut menangis dan menambah rasa sakit di tubuhnya. Ah, atau mungkin ia masih sama angkuh seperti dulu. Kuharap tidak.
Nenek mencoba mengangkat tangannya, melambai padaku seolah isyarat untuk segera masuk. Aku menurutinya, membaca aba-aba yang diberikan olehnya. 
Aku benar-benar masuk ke dalam rumah. Kulihat suasana yang sangat berbeda di dalamnya. Dulu, saat aku bermain selalu akan disalahkan akan mengotori rumah, dan membuatnya berantakan. Katanya ia lelah membereskan mainan kami padahal saat itu, aku hanya melihat sepupuku bermain. Hanya menonton mereka, karena aku tak pernah mendapat jatah bermain.
Entah itu main boneka, bongkar pasang, main masak-masak, aku tak pernah mendapat giliran bermain. Hanya saja aku selalu mendapat kemarahan dan suara tinggi dari nenek yang mengomeli. Ya, karena setelah sepupu puas bermain, mereka akan meninggalkan mainan itu, dan menjadi giliranku. Namun, belum pun aku menyentuhnya, aku harus mendengar makian nenek yang mengeluh lelah.
“Sekar ...,”
Kudengar nenek memanggilku, lalu suaranya tenggelam oleh suara batuk yang sedikit lama baru reda. Aku mendekat, karena melihat nenek memegang dadanya. Suasana yang benar-benar berbeda. Dari setiap sudut terlihat banyak debu yang menempel, belum lagi sarang laba-laba yang menggantung di sudut rumah juga genteng. Piring plastik berserakan di samping ranjang sang nenek. Yang paling membuatku mual saat ini adalah bau apek khas keringat orangtua. Tak hanya itu, kulihat di lantai semen itu dahak bercampur darah yang telah mengering. Tak hanya di satu tempat, tapi hampir di sekeliling ranjang tua itu.
Aku menahan semua gejolak dalam perutku. Bagaimana pun, aku datang ke sini untuk merawat Nenek. Bukan ikut meninggalkannya seperti yang pamanku lakukan.
“Sekar ...,” panggilnya lagi setelah batuknya mereda.
Aku meletakkan semua kresek yang kubawa di atas meja yang penuh debu. Aku tak tahu sejak kapan rumah ini tidak dibersihkan. Sejak kapan nenek terbaring lemah seperti ini. Ah, cucu macam apa aku ini. Perasaan menyesal tiba-tiba menyusup dalam hatiku, tak terkira.
Aku terlalu mengikuti ego dan amarahku. Jika ibu dan ayah masih ada dan melihatku, mereka pasti kecewa padaku. Bahkan aku sendiri sedang kecewa pada diri sendiri.
‘Ibu harap tak akan ada rasa benci sedikit pun untuk nenekmu. Ibu enggak ridho kamu hidup dalam membenci.’
Ke mana telingaku saat ibu berpesan hari itu. Ke mana otakku hingga aku tak bisa berpikir akan kalimat itu.
“Iya, Nek. Sekar di sini.” Dalam linangan air mata, aku menggosok bagian dadanya. Sejenak berpaling demi melihat minyak apa yang mungkin biasa ia gunakan untuk menggosok. Tak ada minyak kayu putih atau apa pun yang kutemukan. Semakin yakin bahwa selama ini nenek hanya berjuang sendirian dengan penyakitnya.
“Nek, maaf. Sekar terlambat. Maafkan Sekar, Nek.” Aku menggenggam tangan keriput itu. Tangan yang pernah mencubitku karena Kalila jatuh dari sepeda dan ia menangis. Padahal jatuh dengan sendirinya, tak ada sebabnya denganku.
Aku mengucap istighfar dalam hati, berharap agar setan dan pikiran buruk itu benar-benar terhalau pergi. Aku ingin pikiranku damai. Berdamai dengan masa laluku.
“Maaf.” Nenek seperti kualahan mengatur napas untuk bicara. Aku mendengar ia berusaha untuk mengutarakan kalimat itu. Mungkin sebuah penyesalan yang ia balut dalam kata maaf.
Mendengar itu, hatiku benar-benar terenyuh. Segala rasa negatif yang sempat bersarang di dalam hati, hilang rasanya. Berganti dengan rasa sayang dan simpati untuk seorang perempuan lemah dan renta.
Nenek kembali terbatuk. Aku mengurut dadanya. Reda sesaat. Kulihat ia memejamkan mata, kupikir nenek tertidur, nyatanya tidak.
“Kamu masih sama, Sekar.” Nenek mencoba meraih kepalaku. Aku menunduk, tiba-tiba mataku basah. Untuk pertama kali ia membelai kepalaku begitu lembut.

 

Cucu yang Dibedakan
Part 2
*
Aku membelai tangan keriputnya yang begitu lemah. Ia kembali ingin meraih wajahku, menghapus air mata yang mengalir di sana. Kulihat ia juga menangis. Aku mencoba meredam rasa haru dalam hati. Tangisan yang ditahan itu semakin sesak, aku tak mampu mencegahnya. Aku menangisi dengan tersedu-sedu, seolah luka masa lalu sudah menemukan obatnya hari ini.
Beberapa menit kami tenggelam dalam rasa haru masing-masing. Lalu, aku menghapus sisa basah di wajah nenek.
Aku bangkit dari ranjang tua itu. Melangkah ke meja di mana aku letakkan beberapa makanan, obat dan popok dewasa yang ia butuhkan. Menurut yang dikatakan Farah, Nenek sering pipis di tempat tidur. Kalau siang ingin buang air besar, jika merasa sedikit bertenaga, ia akan keluar, karena kamar mandi di rumah nenek ada di belakang rumah. Lumayan jauh jika dibandingkan dengan tenaganya sekarang.
“Nenek sanggup mandi sekarang? Merasa sejuk? Atau Sekar lap aja pakai kain basah?” Aku menawarkan nenek untuk mandi. Melihat tubuhnya sudah terlalu kumal dan bau.
Nenek menggeleng, “nenek malahan gerah sekali, Nak.” 
Aku tersenyum. Keinginan untuk memandikan sang nenek disambut baik olehnya. Tak menunggu waktu yang lama, aku terus memapah nenek untuk menuju sumur di belakang. Nenek sudah begitu kurus sejak sakit-sakitan. Syukurnya, nenek masih bisa dipapah tidak sepenuhnya harus menggunakan tenagaku, hanya saja keadaan cukup lemah. Maklum saja usianya sudah tujuh puluh lima tahun dengan sakit layaknya yang dialami orang dalam usia senja. Batuk, sakit lutut, sakit pinggang, pendengaran dan penglihatan yang menurun.
Sampai di sumur yang dindingnya terbuat dari tirai yang sudah agak mengelupas itu, aku mendudukkan nenek di sebuah kursi rendah. Lalu, aku menimba air untuk dimasukkan ke dalam baskom untuk mempermudah.
Aku mulai membasahi tubuh sang nenek yang dibalut kain sarung untuk basahan. Sambil memandikan, sesekali aku bercerita tentang kehidupannya di kota. Juga kehidupan dan pengalaman pernah memandikan ibu dulu.
Nenek tampak menanggapi, tapi bukan dengan jawaban panjang lebar. Hanya anggukan dan senyuman tulus yang terlihat dari wajah keriputnya.
“Dulu, kan, Nek, ibu tuh tiap hari minta dimandiin. Gerah katanya di kasur terus.” Aku menggosok dengan lembut tubuh sang nenek, untuk mempermudah air meresap ke tubuh itu.
Nenek tampak diam, ia terlihat menunduk. Lalu menatapku dengan sorot yang tak bisa diartikan.
“Ibumu orang baik.” Mendengar kalimat itu, aku menjadi salah karena sebenarnya kami sedang sama-sama mengingatkan tentang luka.
Aku mengganti topik. Aku tak ingin nenek memikirkan banyak hal tentang masa lalu. Biarlah semua menjadi kenangan dan pelajaran.
Aku melihat sebuah kotak yang terbuat dari kayu. Kotak yang dipaku pada batang pohon, gunanya untuk menaruh sabun, odol dan sikat gigi.
“Eh, Sekar lupa. Nenek kan udah nggak pernah ke pasar ya. Bentar ya, Sekar ambilin sabun. Udah disiapin sama Simbok tadi di rumah.” Aku menjelaskan pada nenek. Sebelum berangkat, aku sudah memikirkan apa yang kiranya perlu dibawa dan dibutuhkan oleh nenek.
“Nenek jangan bangun. Licin, bahaya. Tetap di kursi ya.” Aku khawatir.
Nenek hanya mengangguk, sekilas kulihat ia menatap kepergianku, lalu kembali menunduk tanpa bicara lagi. Aku datang kembali dengan sabun di tangan. Segera saja kutuangkan sabun itu ke dalam telapak tanganku, lalu menggosok pada tubuh nenek dengan lembut. Sengaja tidak memakai sabut karena sentuhan tangan tentu lebih lembut untuk kulit tua itu. 
Aroma bunga tercium di hidungku. Setelah ini nenek pasti lebih segar dan bisa tidur nyenyak. Aku segara membilas tubuh itu, karena wajahnya sudah terlihat kedinginan.
*
Hari telah senja saat aku membersihkan rumah nenek. Rasa lelah menyetir dari Jakarta ke Bandung seolah lenyap begitu saja, melihat rumah yang terlalu berantakan membuatku tak bisa tenang. Nenek sudah tertidur setelah aku menggantikan baju, memakai popok dan mengganti sprei di kasurnya. Kubiarkan wanita itu istirahat.
Ruang terlihat begitu berdebu, berbeda dengan saat terakhir kali kami berkumpul di sini ketika lebaran. Ruang tengah, dapur semua dipenuhi debu dan menjadi sarang laba-laba. 
Aku juga membersihkan lantai yang penuh dengan kotoran kiri mengering itu. Aku menyediakan satu baskom kecil yang berisi pasir, agar saat nenek ingin meludah, ia bisa meludah ke sana.
Nenek terlihat nyaman beristirahat di kamar yang telah kubersihkan. Katanya nenek ingin tidur di kamar panggung, jadi aku memapahnya untuk menaiki lima anak tangga. Kamar yang tak lagi seperti dulu, karena beberapa bagian dinding telah mengelupas. Rumah ini bentuknya semi permanen dengan dua kamar, ruang tamu, ruang tengah dan dapur. Sementara kamar mandi, ada di belakang rumah seperti kebanyakan rumah di desa.
Setelah memastikan semua bersih, aku mengecek ke kamar, ingin mengajak nenek makan. Tadi sudah kutawari katanya nenek akan makan sebentar lagi, setelah dimandikan ia merasa lelah. Ya, tenaga orangtua dipakai sedikit saja sudah terasa lelahnya.
Saat aku datang, nenek sudah bangun ternyata. Ia masih terlihat cantik dan wangi, karena setelah mandi tadi, aku pakai bedak di wajahnya. Tak lupa juga menyisir rambutnya yang telah memutih. Ia kembali meminta untuk tidur di ranjang di ruang tengah. Sebuah ranjang kecil yang selama ia sakit lebih sering tidur di sana. 
Aku kembali memapahnya turun dari kamar panggung. Nenek berbaring di ranjang.
“Sekar siapin ya, Nek.” Aku membuka satu bungkus nasi yang kubeli di jalan. Nasi rendang yang sering kubeli saat masih tinggal di desa. Rendang favorit, kubeli saat punya uang lebih.
Dalam baringnya nenek mengangguk. Membiarkan aku untuk menyuapinya. Namun, saat ia melihat ke arah tanganku, tiba-tiba sorot matanya menjadi redup.
“Rendang?” tanya nenek.
“Iya.” Aku menjawab agak ragu. Bagaimana bisa aku tidak berpikir bahwa nenek mungkin sudah tak bisa memakan daging, atau sesuatu yang pedas. Itu pasti tidak baik untuk kesehatannya.
“Nenek enggak bisa makan ya?” tanyaku menyesal.
Nenek hanya diam tak menjawab. Matanya sibuk memperhatikan daging rendang yang aromanya begitu menggoda. Lalu, kulihat ia menangis entah sebab apa. Tiba-tiba rasa sesal dalam hatiku makin meninggi. Orang bilang, pikiran orang yang sudah tua lebih sensitif, lebih cepat sedih dan baper. Mungkin nenek sedih karena dulu ia amat menyukai daging rendang dan sekarang sudah tak bisa menikmatinya. Sisa-sisa giginya tak lagi mampu mengunyah daging yang penuh serat itu.
Aku tiba-tiba saja teringat pada sejarah bakso yang pernah kubaca di internet. Mungkin hari ini sejarah itu terulang untukku. Aku ingin bangun untuk menuju rak piring, mencari ulekan dan ingin mengulek beberapa potong daging agar tetap bisa dinikmati oleh nenek. Namun, tangan tua nan keriput itu menahanku. Aku kembali menatapnya dengan raut wajah bertanya kenapa. Lagi-lagi kulihat wajah itu basah dengan air mata.
“Nenek tidak ingin memakannya.”
“Kenapa?” tanyaku. “Sekar akan mengulek dagingnya, Nek. Biar mudah dikunyah.”
Nenek tetap menggeleng. Aku jadi bingung ada apa sebenarnya. Apa karena larangan dokter atau semacamnya, tapi siapa yang selama ini pernah membawa nenek ke dokter. Bahkan anak-anaknya seolah menganggap perempuan tua itu telah mati.
Selama ini yang kutahu dari Farah, hanya ia dan tetangga yang peduli pada nenek. Mereka berjadwal membagikan makanan untuk nenek. Juga menjaganya saat siang saja, atau malam saat nenek meminta untuk ditemani. Selebihnya Farah yang sering bersama nenek. Farah, seorang janda yang dulunya satu kelas denganku, sahabatku. Ia kehilangan suaminya karena kecelakaan saat bekerja. Suaminya tak meninggalkan apa pun untuknya, tidak harta, tidak juga anak. Sebab itu, ia berjuang dengan hidupnya sendiri. Pun sampai sekarang ia tidak menikah lagi.
Namun, entah ke mana perempuan berusia sebaya denganku itu sekarang. Sejak aku tiba tadi siang, ia belum terlihat. Kata nenek, sekarang lagi musim sawahan. Jadi, kemungkinan besar Farah masih di sawah.
“Nenek sakit.” Panggilan telepon dari Farah membuat dadaku sesak. Ia memintaku untuk kembali ke desa, itu berarti ada situasi yang sangat genting. Aku pikir selama ini, nenek tidak membutuhkanku. Aku pikir perempuan tua itu aman karena tinggal di dekat anak-anaknya.
“Sakit apa?” tanyaku melalui sambungan telepon.
“Sakit orangtua, Sekar. Paling kentara batuk. Kadang sampai jungkir balik pas batuk, sakit dada katanya.” Tak terasa air mataku merembes begitu saja.
“Paklekku kan ada.” 
“Anu, Sekar.”
“Anu apa?” Aku ingin Farah memperjelas.
“Setelah lebaran terakhir, dan pindah rumah mereka tak ada yang datang. Kalila dan Karina juga.”
Aku terisak. Pikiranku makin jauh saat itu. Andai Farah telepon siang hari, mungkin aku akan segera meluncur ke Bandung. Lagi pun, suamiku sedang bekerja di luar negeri, aku akan izin padanya.
Lamunanku seketika terhenti saat Nenek kembali berkata.
“Andai waktu bisa diulang, nenek tidak akan memberimu rendang basi saat itu.” Nenek berkata pelan dan lirih, hampir seperti orang berbisik disertai tangisan. 
Aku yang masih berdiri, menoleh pada nenek. Lalu, kembali duduk dengan mata yang berkaca-kaca. Tanganku menggenggam tangan keriput itu, mencoba meredam sesak yang mungkin tengah hinggap di hatinya.

 

Bab 3
*
Aku Sekar, saat itu usiaku masih sembilan tahun. Masih mengenyam pendidikan sekolah dasar di kelas empat. Aku merupakan anak tunggal dari orangtuaku. Sejak kecil tinggal bersama orangtua di rumah yang sangat sederhana, bagiku rumah itu sangat layak dan menjadi tempat teduh ternyaman. Mungkin bagi orang lain tidak. Sebuah rumah yang terbangun dari bahan kayu, lantainya masih beralaskan tanah. Hanya di kamar saja yang sudah disemen kasar, kamar ibu bersama ayah dan kamarku.

Letaknya tak jauh dari rumah nenek, sekitar lima rumah selang dari rumah itu. Tanahnya tidak luas, hanya cukup untuk membangun rumah dan tersisa sedikit halaman di depannya. Berbeda dengan halaman rumah nenek yang cukup lebar. Kata ayah, tanah itu ia beli sendiri dari hasil sawah sejak ia masih muda.

Kehidupanku sama seperti anak kecil lainnya. Sekolah di pagi hari, mengaji di siang hari dan bermain di sore hari. Malam adalah waktu bersama ibu dan ayah, karena saat siang hingga sore ayah dan ibu pergi ke sawah atau bekerja di pasar untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin hari semakin meningkat.

Ayah adalah satu-satunya anak nenek yang tak memiliki pekerjaan tetap, meskipun ia tamat SMA. Ia merupakan anak pertama nenek. Sejak kakek meninggal, ayah yang membantu nenek untuk menyekolahkan adik-adiknya. Dulu, untuk masuk ke sebuah lembaga pendidikan masih mudah, juga untuk melamar sebuah pekerjaan masih mudah. Jamal, pamanku memang tidak kuliah, tapi ia bisa menjadi guru di salah satu sekolah dan sekarang bisa menjadi PNS. Namun, kabar terakhir yang kudengar ia sudah pensiun setelah beberapa lama dimutasi ke daerah lain. Zaman dulu, tidak membutuhkan ijazah strata 1 untuk melamar menjadi guru, berbekal ijazah SMA boleh-boleh saja mendaftar sebagai guru. Berbeda dengan sekarang.

Anak nenek satu lagi bernama Harun, ia bekerja sebagai salah satu pegawai di kantor kecamatan. Ia tinggal tak jauh dari rumah nenek juga, hanya beberapa meter di pusat kecamatan.

Kehidupan kedua anak nenek jauh berbeda dengan kehidupan orangtuaku. Mereka termasuk orang kaya yang dipandang di kampung mereka. Sementara keluargaku entah dipandang dengan cara apa. Aku ingat saat suatu hari ayah pernah berkata.

“Tak apa tak memiliki harta yang banyak, kedudukan yang tinggi, tapi harga diri selalu harus tinggi. Jangan mau diremehkan.”

Salah satu dari kalimat yang sampai saat ini masih tersisa di ingatanku.

Kedua pamanku memiliki anak perempuan. Kalila dan Karina. Kami bersekolah di sekolah yang sama, salah satu SD di dekat kampungku. Kami sebaya, meski hanya terpaut beda usia sebulan dua bulan. Padahal ibu dan ayahku yang lebih dulu menikah, tapi mereka baru bisa memilikku setelah beberapa tahun dari pernikahan itu.

Aku, Kalila, Karina sekolah dan mengaji di tempat yang sama. Di kelas yang sama. Awalnya aku merasa mereka berteman baik denganku, tapi ternyata tidak. Aku ingat saat Farah, sahabatku mengatai mereka. Ia tak pernah mau bermain denganku jika ada dua sepupuku itu.

“Males aku ada Kalila sama Karina. Mereka sombong.”

Aku menatap Farah dengan raut tak suka, bisa-bisanya ia mengatai saudaraku sombong. Rasanya aku tak terima, karena bagiku saudara tetaplah saudara.

“Sombong gimana maksudmu? Selama ini kan kamu yang nggak mau main sama mereka.”

Kulihat Farah pergi setelah aku mengatakan itu. Mungkin marah, atau ia tak bisa menjelaskan apa yang ada dalam hatinya. Saat itu aku tak tahu, karena bocah kecil sembilan tahun terlalu polos untuk mengetahui karakter seseorang.

Seperti pagi sebelumnya, kulihat ayah dan ibu bersiap dengan cangkul dan segala alat untuk mereka pergi ke sawah. Hari itu ibu akan menanam padi di sawah, karena saat itu sedang musim tanam. Biasanya ibu akan memakai jasa para tetangga untuk membantunya menanam, ibu Farah yang sering diajak ibuku. Nantinya tidak dibayar dengan uang, tapi dengan tenaga, saat mereka akan menanam di tanahnya ibu akan datang membayar keringat mereka. Semacam membayar tenaga dengan tenaga, karena sebagian besar penduduk di kampung ini memang bergantung pada sawah dan ladang. Hanya beberapa orang yang diberikan keberuntungan untuk bisa merasakan gaji bulanan, seperti paman-pamanku.

“Nanti pulang sekolah langsung pulang ya, Sekar. Ibu dan ayah mungkin pulangnya sorean. Makan siangnya udah ada di bawah tudung saji. Langsung pergi mengaji.”

Ibu berpesan panjang lebar padaku sambil menggantungkan bekal makan siang si stang sepeda ayah. Sawahnya lumayan jauh, orangtuaku harus pergi naik sepeda. Ya, meski nanti sesekali ibu harus turun saat mendapati jalanan becek.

“Iya, Bu.” Aku menjawab sambil mengangguk. Sejenak melihat kepergian ibu dan ayah di depan pintu rumah. Lalu aku melongok sedikit ke dalam, mengambil sepatu dan memakainya.

Aku menatap sepatu yang akan kupakai, warnanya telah kusam dan ada beberapa bagian yang sudah bolong. Jika dulu saat kelas satu sepatuku akan longgar, maka sekarang sepatu itu menjadi sempit. Itu masih sepatu yang sama dengan saat aku masuk sekolah pertama, usiaku yang bertambah membuat kakiku menjadi lebih besar daripada saat kelas satu SD.

“Sekar doakan saja nanti panennya banyak. InsyaaAllah ayah akan ganti sepatu Sekar.” Ayah berkata saat aku mengeluhkan tentang sepatu. Jadi, harapanku saat itu hanyalah semoga Allah memberikan rezeki dari panen yang melimpah.

Aku mengunci pintu, dan melangkah ke sekolah dengan harapan yang menggelora dalam hatiku. Semangat belajarku tinggi, meski dalam keadaan perekonomian yang rumit.

*

Pukul dua belas saat kulihat jam di dinding rumah. Aku menyimpan tas dan menggantung baju di kamar, rutinitas yang diwajibkan ibu setelah aku pulang sekolah.

Perutku terasa keroncongan, cacing-cacing di dalamnya terlalu ribut untuk meminta jatah diisi. Wajar saja, tadi di sekolah aku tidak jajan makanan. Ayah hanya memberikan uang jajak lima ratus perak padaku, jadi aku hanya membeli dua es lilin karena kehausan setelah pelajaran olahraga. Tiga ratus lagi aku simpan untuk jajan ditempat mengaji.

Langsung saja tanganku membuka tudung saji, karena ibu bilang sudah menyiapkan makan siang untukku. Aku menatap makanan di bawah tudung saja dengan terpaku. Bukan terpaku karena mewahnya makanan di dalam sana, tapi karena yang ada di bawah itu adalah makanan yang tadi pagi kumakan. Hanya nasi putih dan telur dadar. Ah, telur dadar yang isinya hanya sebutir bawang, dan tingkat ketebelannya bisa untuk menembus langit jika diangkat di bawah sinar matahari, tipis sekali. Aku tahu, itu satu telur yang digoreng ibu, lalu dibelah menjadi empat bagian. Dua bagian sudah dibawa oleh ibu ke sawah, untuk ayah dan ibu. Satu bagian sudah kumakan tadi lagi, sementara satu lagi menanti kumakan saat ini.

Jujur, aku bosan, karena bukan hanya hari ini makanan seperti itu kumakan.

Entah ide dari mana, mungkin karena lapar yang melanda. Aku keluar dari rumah dan menuju rumah nenek. Di sana mungkin ada banyak makanan, tak salah jika sesekali aku datang meminta. Bahkan Kalila dan Karina malah sering makan siang di rumah nenek, mereka menunggu ayahnya menjemput, lalu ditawarkan makan oleh nenek.

Dengan langkah yakin, aku memberi salam dan memanggil nenek. Kudengar di dalam sana nenek menjawab, tapi aku langsung masuk saja sebelum dipersilakan. Apa salahnya, itu rumah nenek sendiri.

Setelah melihatku masuk, nenek bangun dari rebahannya. Saat itu nenek masih terlihat kuat dan segar.

“Ada apa, Sekar?” nenek bertanya.

“Nek, aku bosan makan telur tipis terus. Nenek punya lauk enggak?” tanyaku.

Sejenak nenek diam, lalu tersenyum melihatku. Setelah itu, ia langsung bangun dan menuju ke dapur.

“Tunggu di sini ya.”

Aku mengangguk. Menunggu nenek kembali ke ruang tengah. Lalu, saat nenek kembali padaku ia membawa satu kantong di tangannya.

“Nih.” Nenek mengulurkan kantong kresek itu padaku.

Aku begitu gembira menerimanya, apalagi saat kubuka ternyata isinya daging rendang. Jarang-jarang sekali aku makan daging, paling saat panen.

“Wah, enak. Makasih ya, Nek.” Aku pamit setelah menerima sedikit lauk dari nenek.

Nenek mengangguk, dan menutup pintu setelah aku keluar dan lari ke halaman untuk pulang.

Hatiku begitu gembira dengan apa yang kini kupegang. Aku masuk ke dalam rumah, kembali membuka tudung saji dan mengambil sepiring nasi. Tanganku membuka lauk yang diberikan nenek dan bersiap untuk memakannya.

Namun, tiba-tiba hidungku seolah menghidu bau aneh dari rendang hang diberikan nenek. Aku masih berharap itu hanya pikiranku. Pikiran burukku. Lalu, aku mencoba mencicipi dengan lidahku. Benar. Rasanya sangat berbeda dengan rendang biasanya, aku masih hapal rasanya meski jarang makan.

Baunya aneh. Rasanya asam. Itu rendang basi.

 

Part 4
*
Aku terdiam cukup lama demi memikirkan apa saja kemungkinan yang baru saja terjadi. Kemungkinan nenek memang sengaja memberikan makanan basi, atau memang indera penciuman nenek yang sedang bermasalah, sehingga tidak bisa mengisi bau aneh dari rendang itu.

Saat itu, aku memilih untuk berpikir positif bahwa nenek tak sengaja. Nenek hanya tidak teliti dalam memberikan makanan itu untukku. Namun, saat aku melihat lagi ke dalam plastik yang berisi rendang, beberapa belatung tampak saling muncul di dalam sana. Beberapa binatang kecil itu terpintal-pintal diantara daging. Aku bergidik ngeri dan geli, juga sedikit mual saat itu. Bahkan buluku merinding karena rasa geli. Aku segera membuang makanan itu serta plastiknya tak tersisa. Rasa laparku yang tadinya bersuara kini bilang entah ke mana.

Siang itu, aku memilih untuk langsung pergi mengaji. Untuk makan sisa telur di bawah tudung saji pun aku sudah tak selera, rasanya belatung itu akan melompat-lompat di piringku. Seringnya, aku mandi lagi saat akan pergi mengaji, tapi hari itu tidak. Aku terus memakai baju dan mengambil tas yang berisi Al-Qur’an.

Tentang rendang yang ada belatungnya itu, aku tak pernah memberitahu pada ibu dan ayah. Aku tak ingin mereka salah paham tentang nenek, karena aku yakin nenek pasti tidak melihat. Mungkin saat Kalila dan Karina makan di rumah nenek, mereka juga menemukan hal yang serupa, dan mereka juga tak pernah mengeluhkannya. Jadi, tak perlu mengadu.

Tidak hanya tak pernah mengadu pada orangtua, tapi juga tak pernah bertanya pada nenek. Tak pernah lagi mengungkit masalah itu di depannya, pada siapa pun. Wajar manusia bisa salah dan silap, pikirku.

Aku masih melihat nenek sebagai orang yang menyayangiku. Salah satu orang yang kuhormati selain orangtuaku. Namun, makin hari aku merasa hanya aku yang merasakan demikian, sedangkan nenek padaku terkesan biasa saja bahkan abai.

Aku mulai berpikir, pikiran kecilku saat itu mulai membandingkan. Bagaimana Kalila dan Karina makan begitu lahap di rumah nenek, ia melayani dua cucunya itu dengan sangat baik. Bahkan kulihat banyak makanan enak di depan mereka. Namun, saat aku datang ke rumah nenek, saat aku masuk dan melihat mereka sedang makan, aku bahkan tak ditawari.

Hal itu membuatku sedikit merasa seperti anak bodoh yang masuk ke rumah nenek sendiri. Bodoh dan terasing di rumah nenek sendiri.

Aku baru menyadari bahwa ternyata aku dibedakan. Pikiran buruk tentang rendang itu mulai muncul. Bisa jadi nenek memang sengaja, karena ia tak menyukaiku.

Dari pikiran itu, aku kembali berpikir tentang apa yang menyebabkan nenek begitu beda denganku. Lalu, aku menyadari wajahku, status sosial, orangtuaku, uang orangtuaku. Semua itu tak sebaik yang dimiliki Kalila dan Karina.

Aku terlahir dengan kulit sawo matang, jauh dari standar kecantikan, juga anak dari seorang petani sawah. Itu berbeda sekali dengan dua cucu nenek yang lain.

*

Pagi itu hari Minggu, di kampung ramai anak-anak menghabiskan waktu dengan bermain. Kesempatan di hari libur untuk mengekspresikan diri sebagai anak-anak yang masih membutuhkan waktu bermain, seolah yang ada dalam pikiran mereka hanya main. Padahal bukan seperti itu, seperti aku misalnya, hanya menghibur diri dari segala keadaan yang kuhadapi.

Aku dan Farah keluar bermain, kami bermain di halaman rumahnya yang lebih luas daripada halaman rumahku. Permainan cengklek aku menyebutnya. Sebuah permainan yang menggunakan kaki untuk melompat gambar di tanah. Itu salah satu permainan favorit masa kecilku. Aku yang biasanya ditugaskan menggambar sebuah boneka menyerupai manusia di tanah, karena gambarku lebih rapi kata teman-teman. Gambar itu ada kepala, ada badan, tangan dan kaki. Yang bermain akan melempar batu ke dalam gambar tersebut, lalu melompat pada kotak-kotak atau bagian yang tidak ada batunya.

“Kena!” ucap Farah saat aku melompat, tapi mengenai batas garis gambar di tanah itu. Itu artinya aku tak boleh melanjutkan permainan, dan giliran Farah yang bermain.

“Duh, lapar.” Aku berkata sambil memegangi perutku.

“Eh, alesan doang pas giliran aku main.” Wajah Farah merengut. Seolah aku memang sedang berpura-pura lapar.

“Beneran lapar, Farah!” ucapku serius.

Aku tak hanya berasalan, tapi memang lapar dan ingin makan sesuatu. Sementara saat tak ada sekolah, tak ada uang jajan yang diberikan. Farah pun sama. Jika dipikir-pikir, hidupku dengan Farah hampir sama. Sama-sama terlahir dai keluarga miskin.

Dari halaman rumah Farah, aku melirik ke halaman rumah nenek. Aku melihat banyak jambu yang sedang berbuah. Aku hapal rasa buah jambu nenek, rasanya manis. Aku menyebutnya jambu lonceng. Jambu air berwarna merah yang bentuknya seperti lonceng.

“Makan jambu, yuk!” ajakku pada Farah.

“Mana? Jambu siapa?” tanya Farah tak tahu.

“Jambu nenek.”

Kulihat Farah menggeleng. Ia terlihat tak setuju dengan ajakanku. Padahal aku tahu ia suka ngerujak juga, sama denganku. Rasanya air liurku sudah mengalir keluar, mengingat rasa dari buah jambu itu.

Aku juga tahu, Farah sama halnya denganku. Apalagi ia tinggal di sebelah rumah nenek, yang setiap hari pasti melihat bagaimana ranum merah buah itu menggoda.

“Kamu yang minta ya.” Farah membuat kesepakatan, ia menyuruh aku yang memintanya pada nenek. Aku yakin ia tak berani, karena mungkin ia sering melihat nenek mengusir anak-anak yang mencuri jambunya, menaiki dahannya sesuka hati.

“Iyalah, aku yang akan minta. Kamu tenang aja.” Aku menjawab dengan santai pada Farah. Ia pun tersenyum senang setelah mendapat jawaban dariku.

Hei, Farah, aku ini cucunya. Tentu tak akan mendapat pengusiran seperti bocah-bocah lain.

Tanpa banyak berdebat lagi, aku dan Farah langsung menuju halaman rumah nenek yang hanya dibatasi pagar bambu seadanya. Tak kulihat nenek di halaman, sementara halaman itu terlihat bersih, menandakan nenek baru saja menyapunya.

Aku mencari nenek di belakang rumah, kudengar suara gemericik air dari dalam sumur. Aku mendekat dan memanggil nenek, rupanya benar seperti dugaanku, nenek sedang mencuci baju di sana.

“Nek, Sekar minta jambu ya,” pintaku.

“Jambunya belum tua itu, masih kelat rasanya.” Nenek bilang rasanya belum enak. Padahal aku melihat sendiri jambunya memang sudah tua, merah menggoda.

“Gak apa-apa, Nek. Sekar mau ngerujak sama Farah di rumah.”

Aku mendengar nenek mendengkus kasar. Lalu, ia mendumel entah apa. Sekilas terdengar di telingaku seperti, “keras kepala.” Namun, aku tak bisa menduga seenaknya saja.

“Boleh petik, tapi jangan ada satu daun pun yang rontok ke bawah. Nenek udah nyapu.” Akhirnya nenek membolehkan. Entah apa rasa dalam hatinya saat mengatakan itu, aku tak peduli.

“Siap, Nek!” seruku senang.

Aku langsung berlari pada Farah yang menunggu di bawah pohon jambu. Aku tersenyum padanya, ia juga mengerti apa maksud senyuman itu, karena itu ia juga ikut tersenyum. Senyum dua bocah polos yang kegirangan hanya karena mendapat izin untuk memetik jambu.

“Aku yang naik, ya. Kamu yang jaga di bawah, kutip daun-daun yang rontok saat aku metik jambunya. Nenek bilang enggak boleh ada daun yang jatuh, udah nyapu katanya.” Aku menjelaskan panjang lebar pada Farah, agar tak membuat kesalahan.

“Oke,” ucap Farah bersemangat.

Langsung saja aku naik ke pohon jambu. Menaiki dahan demi dahan untuk menemukan buah yang segar dan merah. Aku mengeluarkan kantong kresek dari saku celana selutut yang kukenakan, kresek yang kubawa dari rumah Farah tadi. Memang sengaja agar tak perlu meminta pada nenek, bikin ribet.

Aku memetik buah jambu dengan bahagia, sementara kulihat Farah di bawah sana sedang mengutip daun yang jatuh. Ia memang tak bisa memanjat pohon, takut ketinggian katanya, makanya aku menawarkan diri.

Aku memilih-milih buah yang akan kupetik. Harus yang merah dan besar. Sayang kalau memetik buah yang belum tua.

Saat sedang asyik memetik, tiba-tiba nenek muncul dari belakang setelah menjemur pakaiannya.

“Udah cukup, Sekar. Udah banyak itu. Turun!”

“Bentar lagi, Nek.”

Aku terus memetik, sementara kulihat Farah diam di bawah.

Aku masih memilih-milih buah di atas pohon, kadang menemukan ulat yang membuat kegiatanku terhenti sejenak. Bukan karena geli atau takut, tapi karena memerhatikan bagaimana ulat-ulat kecil itu merangkak, terpintal, lalu saat menyadari tanganku ingin mengambilnya, ulat-ulat itu masuk ke dalam tempurung kecilnya. Itu mengingatkanku pada pelajaran di sekolah, bahwa semua binatang memiliki cara untuk melindungi diri.

“Udah cukup, Sekar. Jangan rakus. Sisakan untuk Kalila dan Karina.” Nenek meneriakiku dari bawah.

Ada rasa ngilu yang tiba-tiba muncul di dalam hati. Aku tak mengerti rakus yang dimaksud oleh nenek, karena saat kuhitung jambu dalam plastik, hanya ada sembilan buah. Berarti jika dibagi dengan  Farah, hanya dapat empat setengah jambu per orang. Itu sedikit, karena sungguh buahnya masih sangat lebat.

 

Part 4
*
Aku terdiam cukup lama demi memikirkan apa saja kemungkinan yang baru saja terjadi. Kemungkinan nenek memang sengaja memberikan makanan basi, atau memang indera penciuman nenek yang sedang bermasalah, sehingga tidak bisa mengisi bau aneh dari rendang itu.

Saat itu, aku memilih untuk berpikir positif bahwa nenek tak sengaja. Nenek hanya tidak teliti dalam memberikan makanan itu untukku. Namun, saat aku melihat lagi ke dalam plastik yang berisi rendang, beberapa belatung tampak saling muncul di dalam sana. Beberapa binatang kecil itu terpintal-pintal diantara daging. Aku bergidik ngeri dan geli, juga sedikit mual saat itu. Bahkan buluku merinding karena rasa geli. Aku segera membuang makanan itu serta plastiknya tak tersisa. Rasa laparku yang tadinya bersuara kini bilang entah ke mana.

Siang itu, aku memilih untuk langsung pergi mengaji. Untuk makan sisa telur di bawah tudung saji pun aku sudah tak selera, rasanya belatung itu akan melompat-lompat di piringku. Seringnya, aku mandi lagi saat akan pergi mengaji, tapi hari itu tidak. Aku terus memakai baju dan mengambil tas yang berisi Al-Qur’an.

Tentang rendang yang ada belatungnya itu, aku tak pernah memberitahu pada ibu dan ayah. Aku tak ingin mereka salah paham tentang nenek, karena aku yakin nenek pasti tidak melihat. Mungkin saat Kalila dan Karina makan di rumah nenek, mereka juga menemukan hal yang serupa, dan mereka juga tak pernah mengeluhkannya. Jadi, tak perlu mengadu.

Tidak hanya tak pernah mengadu pada orangtua, tapi juga tak pernah bertanya pada nenek. Tak pernah lagi mengungkit masalah itu di depannya, pada siapa pun. Wajar manusia bisa salah dan silap, pikirku.

Aku masih melihat nenek sebagai orang yang menyayangiku. Salah satu orang yang kuhormati selain orangtuaku. Namun, makin hari aku merasa hanya aku yang merasakan demikian, sedangkan nenek padaku terkesan biasa saja bahkan abai.

Aku mulai berpikir, pikiran kecilku saat itu mulai membandingkan. Bagaimana Kalila dan Karina makan begitu lahap di rumah nenek, ia melayani dua cucunya itu dengan sangat baik. Bahkan kulihat banyak makanan enak di depan mereka. Namun, saat aku datang ke rumah nenek, saat aku masuk dan melihat mereka sedang makan, aku bahkan tak ditawari.

Hal itu membuatku sedikit merasa seperti anak bodoh yang masuk ke rumah nenek sendiri. Bodoh dan terasing di rumah nenek sendiri.

Aku baru menyadari bahwa ternyata aku dibedakan. Pikiran buruk tentang rendang itu mulai muncul. Bisa jadi nenek memang sengaja, karena ia tak menyukaiku.

Dari pikiran itu, aku kembali berpikir tentang apa yang menyebabkan nenek begitu beda denganku. Lalu, aku menyadari wajahku, status sosial, orangtuaku, uang orangtuaku. Semua itu tak sebaik yang dimiliki Kalila dan Karina.

Aku terlahir dengan kulit sawo matang, jauh dari standar kecantikan, juga anak dari seorang petani sawah. Itu berbeda sekali dengan dua cucu nenek yang lain.

*

Pagi itu hari Minggu, di kampung ramai anak-anak menghabiskan waktu dengan bermain. Kesempatan di hari libur untuk mengekspresikan diri sebagai anak-anak yang masih membutuhkan waktu bermain, seolah yang ada dalam pikiran mereka hanya main. Padahal bukan seperti itu, seperti aku misalnya, hanya menghibur diri dari segala keadaan yang kuhadapi.

Aku dan Farah keluar bermain, kami bermain di halaman rumahnya yang lebih luas daripada halaman rumahku. Permainan cengklek aku menyebutnya. Sebuah permainan yang menggunakan kaki untuk melompat gambar di tanah. Itu salah satu permainan favorit masa kecilku. Aku yang biasanya ditugaskan menggambar sebuah boneka menyerupai manusia di tanah, karena gambarku lebih rapi kata teman-teman. Gambar itu ada kepala, ada badan, tangan dan kaki. Yang bermain akan melempar batu ke dalam gambar tersebut, lalu melompat pada kotak-kotak atau bagian yang tidak ada batunya.

“Kena!” ucap Farah saat aku melompat, tapi mengenai batas garis gambar di tanah itu. Itu artinya aku tak boleh melanjutkan permainan, dan giliran Farah yang bermain.

“Duh, lapar.” Aku berkata sambil memegangi perutku.

“Eh, alesan doang pas giliran aku main.” Wajah Farah merengut. Seolah aku memang sedang berpura-pura lapar.

“Beneran lapar, Farah!” ucapku serius.

Aku tak hanya berasalan, tapi memang lapar dan ingin makan sesuatu. Sementara saat tak ada sekolah, tak ada uang jajan yang diberikan. Farah pun sama. Jika dipikir-pikir, hidupku dengan Farah hampir sama. Sama-sama terlahir dai keluarga miskin.

Dari halaman rumah Farah, aku melirik ke halaman rumah nenek. Aku melihat banyak jambu yang sedang berbuah. Aku hapal rasa buah jambu nenek, rasanya manis. Aku menyebutnya jambu lonceng. Jambu air berwarna merah yang bentuknya seperti lonceng.

“Makan jambu, yuk!” ajakku pada Farah.

“Mana? Jambu siapa?” tanya Farah tak tahu.

“Jambu nenek.”

Kulihat Farah menggeleng. Ia terlihat tak setuju dengan ajakanku. Padahal aku tahu ia suka ngerujak juga, sama denganku. Rasanya air liurku sudah mengalir keluar, mengingat rasa dari buah jambu itu.

Aku juga tahu, Farah sama halnya denganku. Apalagi ia tinggal di sebelah rumah nenek, yang setiap hari pasti melihat bagaimana ranum merah buah itu menggoda.

“Kamu yang minta ya.” Farah membuat kesepakatan, ia menyuruh aku yang memintanya pada nenek. Aku yakin ia tak berani, karena mungkin ia sering melihat nenek mengusir anak-anak yang mencuri jambunya, menaiki dahannya sesuka hati.

“Iyalah, aku yang akan minta. Kamu tenang aja.” Aku menjawab dengan santai pada Farah. Ia pun tersenyum senang setelah mendapat jawaban dariku.

Hei, Farah, aku ini cucunya. Tentu tak akan mendapat pengusiran seperti bocah-bocah lain.

Tanpa banyak berdebat lagi, aku dan Farah langsung menuju halaman rumah nenek yang hanya dibatasi pagar bambu seadanya. Tak kulihat nenek di halaman, sementara halaman itu terlihat bersih, menandakan nenek baru saja menyapunya.

Aku mencari nenek di belakang rumah, kudengar suara gemericik air dari dalam sumur. Aku mendekat dan memanggil nenek, rupanya benar seperti dugaanku, nenek sedang mencuci baju di sana.

“Nek, Sekar minta jambu ya,” pintaku.

“Jambunya belum tua itu, masih kelat rasanya.” Nenek bilang rasanya belum enak. Padahal aku melihat sendiri jambunya memang sudah tua, merah menggoda.

“Gak apa-apa, Nek. Sekar mau ngerujak sama Farah di rumah.”

Aku mendengar nenek mendengkus kasar. Lalu, ia mendumel entah apa. Sekilas terdengar di telingaku seperti, “keras kepala.” Namun, aku tak bisa menduga seenaknya saja.

“Boleh petik, tapi jangan ada satu daun pun yang rontok ke bawah. Nenek udah nyapu.” Akhirnya nenek membolehkan. Entah apa rasa dalam hatinya saat mengatakan itu, aku tak peduli.

“Siap, Nek!” seruku senang.

Aku langsung berlari pada Farah yang menunggu di bawah pohon jambu. Aku tersenyum padanya, ia juga mengerti apa maksud senyuman itu, karena itu ia juga ikut tersenyum. Senyum dua bocah polos yang kegirangan hanya karena mendapat izin untuk memetik jambu.

“Aku yang naik, ya. Kamu yang jaga di bawah, kutip daun-daun yang rontok saat aku metik jambunya. Nenek bilang enggak boleh ada daun yang jatuh, udah nyapu katanya.” Aku menjelaskan panjang lebar pada Farah, agar tak membuat kesalahan.

“Oke,” ucap Farah bersemangat.

Langsung saja aku naik ke pohon jambu. Menaiki dahan demi dahan untuk menemukan buah yang segar dan merah. Aku mengeluarkan kantong kresek dari saku celana selutut yang kukenakan, kresek yang kubawa dari rumah Farah tadi. Memang sengaja agar tak perlu meminta pada nenek, bikin ribet.

Aku memetik buah jambu dengan bahagia, sementara kulihat Farah di bawah sana sedang mengutip daun yang jatuh. Ia memang tak bisa memanjat pohon, takut ketinggian katanya, makanya aku menawarkan diri.

Aku memilih-milih buah yang akan kupetik. Harus yang merah dan besar. Sayang kalau memetik buah yang belum tua.

Saat sedang asyik memetik, tiba-tiba nenek muncul dari belakang setelah menjemur pakaiannya.

“Udah cukup, Sekar. Udah banyak itu. Turun!”

“Bentar lagi, Nek.”

Aku terus memetik, sementara kulihat Farah diam di bawah.

Aku masih memilih-milih buah di atas pohon, kadang menemukan ulat yang membuat kegiatanku terhenti sejenak. Bukan karena geli atau takut, tapi karena memerhatikan bagaimana ulat-ulat kecil itu merangkak, terpintal, lalu saat menyadari tanganku ingin mengambilnya, ulat-ulat itu masuk ke dalam tempurung kecilnya. Itu mengingatkanku pada pelajaran di sekolah, bahwa semua binatang memiliki cara untuk melindungi diri.

“Udah cukup, Sekar. Jangan rakus. Sisakan untuk Kalila dan Karina.” Nenek meneriakiku dari bawah.

Ada rasa ngilu yang tiba-tiba muncul di dalam hati. Aku tak mengerti rakus yang dimaksud oleh nenek, karena saat kuhitung jambu dalam plastik, hanya ada sembilan buah. Berarti jika dibagi dengan  Farah, hanya dapat empat setengah jambu per orang. Itu sedikit, karena sungguh buahnya masih sangat lebat.

 

Part 4
*
Aku terdiam cukup lama demi memikirkan apa saja kemungkinan yang baru saja terjadi. Kemungkinan nenek memang sengaja memberikan makanan basi, atau memang indera penciuman nenek yang sedang bermasalah, sehingga tidak bisa mengisi bau aneh dari rendang itu.

Saat itu, aku memilih untuk berpikir positif bahwa nenek tak sengaja. Nenek hanya tidak teliti dalam memberikan makanan itu untukku. Namun, saat aku melihat lagi ke dalam plastik yang berisi rendang, beberapa belatung tampak saling muncul di dalam sana. Beberapa binatang kecil itu terpintal-pintal diantara daging. Aku bergidik ngeri dan geli, juga sedikit mual saat itu. Bahkan buluku merinding karena rasa geli. Aku segera membuang makanan itu serta plastiknya tak tersisa. Rasa laparku yang tadinya bersuara kini bilang entah ke mana.

Siang itu, aku memilih untuk langsung pergi mengaji. Untuk makan sisa telur di bawah tudung saji pun aku sudah tak selera, rasanya belatung itu akan melompat-lompat di piringku. Seringnya, aku mandi lagi saat akan pergi mengaji, tapi hari itu tidak. Aku terus memakai baju dan mengambil tas yang berisi Al-Qur’an.

Tentang rendang yang ada belatungnya itu, aku tak pernah memberitahu pada ibu dan ayah. Aku tak ingin mereka salah paham tentang nenek, karena aku yakin nenek pasti tidak melihat. Mungkin saat Kalila dan Karina makan di rumah nenek, mereka juga menemukan hal yang serupa, dan mereka juga tak pernah mengeluhkannya. Jadi, tak perlu mengadu.

Tidak hanya tak pernah mengadu pada orangtua, tapi juga tak pernah bertanya pada nenek. Tak pernah lagi mengungkit masalah itu di depannya, pada siapa pun. Wajar manusia bisa salah dan silap, pikirku.

Aku masih melihat nenek sebagai orang yang menyayangiku. Salah satu orang yang kuhormati selain orangtuaku. Namun, makin hari aku merasa hanya aku yang merasakan demikian, sedangkan nenek padaku terkesan biasa saja bahkan abai.

Aku mulai berpikir, pikiran kecilku saat itu mulai membandingkan. Bagaimana Kalila dan Karina makan begitu lahap di rumah nenek, ia melayani dua cucunya itu dengan sangat baik. Bahkan kulihat banyak makanan enak di depan mereka. Namun, saat aku datang ke rumah nenek, saat aku masuk dan melihat mereka sedang makan, aku bahkan tak ditawari.

Hal itu membuatku sedikit merasa seperti anak bodoh yang masuk ke rumah nenek sendiri. Bodoh dan terasing di rumah nenek sendiri.

Aku baru menyadari bahwa ternyata aku dibedakan. Pikiran buruk tentang rendang itu mulai muncul. Bisa jadi nenek memang sengaja, karena ia tak menyukaiku.

Dari pikiran itu, aku kembali berpikir tentang apa yang menyebabkan nenek begitu beda denganku. Lalu, aku menyadari wajahku, status sosial, orangtuaku, uang orangtuaku. Semua itu tak sebaik yang dimiliki Kalila dan Karina.

Aku terlahir dengan kulit sawo matang, jauh dari standar kecantikan, juga anak dari seorang petani sawah. Itu berbeda sekali dengan dua cucu nenek yang lain.

*

Pagi itu hari Minggu, di kampung ramai anak-anak menghabiskan waktu dengan bermain. Kesempatan di hari libur untuk mengekspresikan diri sebagai anak-anak yang masih membutuhkan waktu bermain, seolah yang ada dalam pikiran mereka hanya main. Padahal bukan seperti itu, seperti aku misalnya, hanya menghibur diri dari segala keadaan yang kuhadapi.

Aku dan Farah keluar bermain, kami bermain di halaman rumahnya yang lebih luas daripada halaman rumahku. Permainan cengklek aku menyebutnya. Sebuah permainan yang menggunakan kaki untuk melompat gambar di tanah. Itu salah satu permainan favorit masa kecilku. Aku yang biasanya ditugaskan menggambar sebuah boneka menyerupai manusia di tanah, karena gambarku lebih rapi kata teman-teman. Gambar itu ada kepala, ada badan, tangan dan kaki. Yang bermain akan melempar batu ke dalam gambar tersebut, lalu melompat pada kotak-kotak atau bagian yang tidak ada batunya.

“Kena!” ucap Farah saat aku melompat, tapi mengenai batas garis gambar di tanah itu. Itu artinya aku tak boleh melanjutkan permainan, dan giliran Farah yang bermain.

“Duh, lapar.” Aku berkata sambil memegangi perutku.

“Eh, alesan doang pas giliran aku main.” Wajah Farah merengut. Seolah aku memang sedang berpura-pura lapar.

“Beneran lapar, Farah!” ucapku serius.

Aku tak hanya berasalan, tapi memang lapar dan ingin makan sesuatu. Sementara saat tak ada sekolah, tak ada uang jajan yang diberikan. Farah pun sama. Jika dipikir-pikir, hidupku dengan Farah hampir sama. Sama-sama terlahir dai keluarga miskin.

Dari halaman rumah Farah, aku melirik ke halaman rumah nenek. Aku melihat banyak jambu yang sedang berbuah. Aku hapal rasa buah jambu nenek, rasanya manis. Aku menyebutnya jambu lonceng. Jambu air berwarna merah yang bentuknya seperti lonceng.

“Makan jambu, yuk!” ajakku pada Farah.

“Mana? Jambu siapa?” tanya Farah tak tahu.

“Jambu nenek.”

Kulihat Farah menggeleng. Ia terlihat tak setuju dengan ajakanku. Padahal aku tahu ia suka ngerujak juga, sama denganku. Rasanya air liurku sudah mengalir keluar, mengingat rasa dari buah jambu itu.

Aku juga tahu, Farah sama halnya denganku. Apalagi ia tinggal di sebelah rumah nenek, yang setiap hari pasti melihat bagaimana ranum merah buah itu menggoda.

“Kamu yang minta ya.” Farah membuat kesepakatan, ia menyuruh aku yang memintanya pada nenek. Aku yakin ia tak berani, karena mungkin ia sering melihat nenek mengusir anak-anak yang mencuri jambunya, menaiki dahannya sesuka hati.

“Iyalah, aku yang akan minta. Kamu tenang aja.” Aku menjawab dengan santai pada Farah. Ia pun tersenyum senang setelah mendapat jawaban dariku.

Hei, Farah, aku ini cucunya. Tentu tak akan mendapat pengusiran seperti bocah-bocah lain.

Tanpa banyak berdebat lagi, aku dan Farah langsung menuju halaman rumah nenek yang hanya dibatasi pagar bambu seadanya. Tak kulihat nenek di halaman, sementara halaman itu terlihat bersih, menandakan nenek baru saja menyapunya.

Aku mencari nenek di belakang rumah, kudengar suara gemericik air dari dalam sumur. Aku mendekat dan memanggil nenek, rupanya benar seperti dugaanku, nenek sedang mencuci baju di sana.

“Nek, Sekar minta jambu ya,” pintaku.

“Jambunya belum tua itu, masih kelat rasanya.” Nenek bilang rasanya belum enak. Padahal aku melihat sendiri jambunya memang sudah tua, merah menggoda.

“Gak apa-apa, Nek. Sekar mau ngerujak sama Farah di rumah.”

Aku mendengar nenek mendengkus kasar. Lalu, ia mendumel entah apa. Sekilas terdengar di telingaku seperti, “keras kepala.” Namun, aku tak bisa menduga seenaknya saja.

“Boleh petik, tapi jangan ada satu daun pun yang rontok ke bawah. Nenek udah nyapu.” Akhirnya nenek membolehkan. Entah apa rasa dalam hatinya saat mengatakan itu, aku tak peduli.

“Siap, Nek!” seruku senang.

Aku langsung berlari pada Farah yang menunggu di bawah pohon jambu. Aku tersenyum padanya, ia juga mengerti apa maksud senyuman itu, karena itu ia juga ikut tersenyum. Senyum dua bocah polos yang kegirangan hanya karena mendapat izin untuk memetik jambu.

“Aku yang naik, ya. Kamu yang jaga di bawah, kutip daun-daun yang rontok saat aku metik jambunya. Nenek bilang enggak boleh ada daun yang jatuh, udah nyapu katanya.” Aku menjelaskan panjang lebar pada Farah, agar tak membuat kesalahan.

“Oke,” ucap Farah bersemangat.

Langsung saja aku naik ke pohon jambu. Menaiki dahan demi dahan untuk menemukan buah yang segar dan merah. Aku mengeluarkan kantong kresek dari saku celana selutut yang kukenakan, kresek yang kubawa dari rumah Farah tadi. Memang sengaja agar tak perlu meminta pada nenek, bikin ribet.

Aku memetik buah jambu dengan bahagia, sementara kulihat Farah di bawah sana sedang mengutip daun yang jatuh. Ia memang tak bisa memanjat pohon, takut ketinggian katanya, makanya aku menawarkan diri.

Aku memilih-milih buah yang akan kupetik. Harus yang merah dan besar. Sayang kalau memetik buah yang belum tua.

Saat sedang asyik memetik, tiba-tiba nenek muncul dari belakang setelah menjemur pakaiannya.

“Udah cukup, Sekar. Udah banyak itu. Turun!”

“Bentar lagi, Nek.”

Aku terus memetik, sementara kulihat Farah diam di bawah.

Aku masih memilih-milih buah di atas pohon, kadang menemukan ulat yang membuat kegiatanku terhenti sejenak. Bukan karena geli atau takut, tapi karena memerhatikan bagaimana ulat-ulat kecil itu merangkak, terpintal, lalu saat menyadari tanganku ingin mengambilnya, ulat-ulat itu masuk ke dalam tempurung kecilnya. Itu mengingatkanku pada pelajaran di sekolah, bahwa semua binatang memiliki cara untuk melindungi diri.

“Udah cukup, Sekar. Jangan rakus. Sisakan untuk Kalila dan Karina.” Nenek meneriakiku dari bawah.

Ada rasa ngilu yang tiba-tiba muncul di dalam hati. Aku tak mengerti rakus yang dimaksud oleh nenek, karena saat kuhitung jambu dalam plastik, hanya ada sembilan buah. Berarti jika dibagi dengan  Farah, hanya dapat empat setengah jambu per orang. Itu sedikit, karena sungguh buahnya masih sangat lebat.

 

Part 5
*
Sisakan untuk Kalila dan Karina. Jujur, aku cemburu mendengar kalimat itu keluar dari mulut nenek. Ia terlalu spontanitas mengatakan bahwa dua cucunya itu terlalu spesial di hatinya. Dan, aku hanya cucu yang ada atau tidak keberadaannya sama sekali tak berpengaruh pada nenek.

Beberapa menit setelah mengatakan itu, dari atas pohon kulihat Kalila dan Karina datang bersama ayah mereka. Keduanya menaiki motor yang mengkilat dibonceng sang ayah. Aku hapal nama motornya hingga kini. Ayah Kalila menaiki motor merek Honda Supra Fit. Sementara Aya Karina menggunakan motor Karisma.

Melihat kedatangan saudara-saudaraku, Farah berlari pulang tanpa pamit pada nenek, juga padaku yang masih di atas pohon.

Dari atas pohon kulihat nenek begitu gembira menyambut dua anak dan cucunya. Paman-pamanku mencium tangan nenek, diikuti Kalila dan Karina. Lalu, ada yang tiba-tiba sesak dalam hatiku. Sesak sekali dan sulit kujelaskan. Tanpa sadar, pipiku basah. Aku tak sengaja menangis. Bukan karena  cemburu pada Kalila dan Karina yang disayang nenek, tapi saat pikiranku memaksa mengingat-ingat kapan nenek pernah membelai kepalaku, mencium pipiku.

Seingatku ternyata tidak pernah, bahkan saat lebaran pun tidak. Ini yang namanya perasaan yang menyakiti diri sendiri. Aku baru menyadarinya.

Kalila dan Karina begitu cantik. Rambut keduanya lurus, hanya saja Kalila memiliki rambut panjang yang selalu digepang dua kiri dan kanan, dengan rambut poni lurus ke depan hampir mengenai matanya. Cantik. Sementara Karina memiliki rambut lurus sebahu, ia sering memakai jepit rambut di bagian depan, terkadang bando untuk menambah kecantikannya.

Aku?

Rambutku tak selurus mereka, tak juga lembut, karena terkadang saat mandi dan terlanjur membasahi rambut, tapi nyatanya di sumur sudah tak ada lagi shampo. Jadi, aku hanya mencuci rambut dengan air.

Wajah dan penampilanku jika dibandingkan dengan Kalila dan Karina jelas sekali perbedaannya. Jelas sekali orang akan mengenal siapa aku, dan siapa mereka.

“Nek, mau jambu.” Kudengar Kalila merengek pada nenek dengan manja.

“Iya, Karina juga, Nek.” Karina tampak meminta juga.

Nenek tersenyum pada mereka, lalu ia menengadah ke atas pohon, di mana aku masih memerhatikan kehangatan mereka. Kehangatan yang membuat mataku ikut menghangat.

“Sekar, sekalian kamu petik buat Kalila sama Karina ya.” Nenek memberikan perintah padaku, itu artinya aku harus menurut.

Dibalik lebatnya daun-daun jambu air itu, aku menyeka air mataku. Menyeka hingga tak tersisa. Untung saja banyak daun lebat yang menutupi wajahku. Jika tidak, mungkin besok di sekolah akan ada bahan baru untuk Kalila dan Karina mengejekku.

“Iya, Nek.”

Aku kembali naik ke satu dahan lagi yang teratas, demi mendapatkan buah jambu yang merah. Aku sibuk memetik jambu, sementara nenek dan kedua pamanku sedang mengobrol entah apa. Lalu, kulihat ayah Karina pulang dengan motornya.

“Titip Karina ya, Bu.” Pamanku berkata sebelum ia naik ke atas motornya.

Nenek mengangguk, tinggallah ayah Kalila bersamanya. Lalu beberapa detik kemudian ia juga pergi ke belakang entah untuk apa. Setahuku ayah Kalila sering memetik kelapa yang sudah tua di rumah nenek untuk dijual. Halaman rumah nenek sangat luas, selain ada pohon jambu, juga ada rambutan, sementara di belakang rumah banyak pohon kelapa.

Meninggalkan Kalila dan Karina di teras, nenek masuk ke dalam rumah. Karena tidak ada lagi nenek bersama mereka, Kalila dan Karina melangkah ke bawah pohon jambu.

“Sekar, lempar satu dong.” Kalila meminta.

“Iya, Sekar. Udah ngiler aku tengoknya dari tadi.” Karina ikut menambahkan.

Keduanya berdiri di bawah pohon, menanti aku melempar satu dua buah jambu dan menyambutnya.

“Tangkap!” ucapku pada keduanya setelah memetik buah yang kukira manis dan sangat merah.

Keduanya mengangguk, aku menjatuhkan satu persatu jambu untuk mereka. Kalila dan Karina langsung membelahnya dan memakan dengan lahap.

“Lagi, dong!” pinta keduanya serentak. Jambu nenek memang manis, bikin ketagihan.

Aku tidak keberatan meski sebenarnya aku sedang ada dalam posisi yang menyedihkan. Aku kembali memetik dan menjatuhkan tepat di tangan Kalila. Namun, Kalila tak bisa menangkapnya, jambu itu terjatuh ke tanah dan kotor. Kalila malah mengucek-ngucek matanya entah sebab apa.

Bersamaan dengan itu nenek keluar dari rumah, ia membawa dua kantong kresek di tangannya.

“Kalau nggak mau metik ya ngak usah lah, Sekar. Malah bikin mataku sakit gini kemasukan sampah dari atas itu.”

Kulihat Kalila masih mengucek matanya, sementara Karina mengecek kondisi sepupunya itu, melihat apa yang bisa dibantu. Dati atas kulihat mata Kalila sedikit merah. Mungkin karena mendongak ke atas terus, ia kejatuhan debu dari atas pohon jambu, atau kejatuhan sampah dedaunan kering yang telah mengering, atau apa pun itu.

“Tau tuh Sekar. Emang sengaja ya?” Karina ikut menyalahkanku.

Sengaja?

Aku bahkan tak tahu mata anak itu kemasukan apa, oleh siapa? Yang menyuruhku metik jambu adalah mereka. Yang meminta dijatuhkan jambu juga mereka, lalu salahku di mana?

Saat melihat nenek keluar, Kalila semakin menjadi-jadi. Ia menangis di depan nenek dengan raut wajah seolah ia paling tersakiti.

Aku menghela napas lelah, juga sedih atas perlakukan dua sepupuku itu. Padahal mereka sudah sering memperlakukanku seperti itu. Entah di sekolah, tempat mengaji atau di mana pun. Namun, dulu aku sama sekali tak menyadarinya. Aku terlalu polos untuk menilai orang lain.

Melihat itu semua, nenek mendekat ke bawah pohon jambu. Ia memeriksa kondisi Kalila. Matanya masih memerah.

“Jangan dikucek!” perintah nenek pada Kalila, ia lalu meniup ke dalam mata Kalila. Cara seperti itulah biasanya sedikit meredakan rasa perih dalam mata.

Kalila mengedipkan mata beberapa kali, mencoba menormalkan penglihatannya.

“Kamu keterlaluan ya, Sekar. Gimana kalau Kalila kenapa-kenapa?” bentak nenek padaku sambil mendongak dengan mata yang tajam.

“Harusnya kamu yang lebih tua, harus lebih sayang sama mereka. Bukan bikin celaka.”

Nenek terus mengomeliku. Aku memang lebih tua daripada Kalila dan Karina. Lima bulan jarak dengan keduanya. Sementara Kalila dan Karina hanya berjarak dua Minggu. Sebab itu nama mereka sama-sama diawali huruf K. Ibuku bilang, kedua pamanku sangat bersuka cita karena nanti mereka bisa bermain bersama.

“Sudahlah, capek ngomong sama kamu. Keras kepala.” Nenek masih mengutukku, tanpa peduli di atas sana, aku kembali mengeluarkan cairan hangat dari mata.

Keras kepala. Bagi nenek, aku keras kepala. Benar, ketika sayup kudengar ia mengomeliku tadi di sumur. Keras kepala.

“Turun dikit, ambil plastik ini. Petik yang banyak buat Kalila dan Karina. Pilih yang merah, yang manis.”

Aku turun ke beberapa dahan untuk menjangkau plastik yang diberikan nenek.

Aku menuruti keinginan mereka, memetik jambu-jambu manis itu dan memasukkan ke kantong. Peluh di dahiku sudah bercucuran karena sengatan sinar matahari dari atas langit sana.

Lelah. Hingga saat dua kantong itu penuh, aku turun dan menyerahkan jambu itu pada nenek.

Aku mengikat satu kantong yang tadi sempat kupetik untukku dan Farah, hanya kutambahi beberapa agar kami puas ngerujak.

“Kayaknya yang di plastik kamu lebih merah deh, Sekar.” Kalila protes saat melihat kresek di tanganku. Padahal itu untukku, miliknya dan Karina sudah kuserahkan.

“Yaudah. Kasih aja buat mereka, Sekar. Nanti kamu petik lagi, kan dekat. Kalau mereka kasian agak jauh rumahnya.”

Mataku mengerjap beberapa kali, agar air mata tidak mengalir deras saat nenek mengatakan itu. Meredam gejolak sedih dalam dada.

Aku menaruh plastik berisi jambu milikku di depan mereka, lalu keluar tanpa permisi pada nenek. Tanpa jambu juga.

 

Bab 6
*
Itu masih sebagian yang kualami dalam hidupku. Tentang ketidakadilan, tentang pengucilan juga tentang menepi perlahan.

Semuanya diringkas menjadi tentang seorang cucu yang dibedakan. Diperlakukan beda dari Kalila dan Karina.

Pagi. Seperti biasa ibu dan ayah pergi ke sawah. Selesai satu sawah, mereka akan bergerak ke sawah lainnya. Ada dua petak sawah yang mereka kelola, setahuku itu milik nenek. Nenek memiliki beberapa sawah dan kebun, peninggalan kakek turun temurun alias warisan.

Aku masih sedang menyiapkan diri, mengenakan seragam sekolah saat ibu dan ayah berpamitan.

Setelah semua beres, aku pun berangkat ke sekolah. Sampai di depan rumah Farah, aku memanggilnya untuk pergi bersama.

Farah juga terlihat sudah siap. Jika dilihat, penampilanku dengan Farah hampir sama. Sama buluknya. Ia mengenakan sepatu butut, tas yang sudah dijahit di bagian talinya. Sama sepertiku.

Aku dan Farah berjalan kaki ke sekolah, jaraknya memang tidak terlalu jauh, tapi lumayan membuat kaki menjadi pegal. Berbeda dengan anak-anak lainnya yang diantar orang tua, kebanyakan diantar naik sepeda, hanya satu dua orang yang diantar dengan motor oleh orangtua mereka. Mobil? Saat itu masih jarang sekali yang memilikinya. Bahkan di kampungku tidak ada yang memiliki mobil. Paling mewah standar orang kampung, ya, motor.

“Udah jam berapa?” tanyaku pada Farah, karena kulihat ia memakai jam di tangannya.

Farah diam tak menjawab. Aku mengulang pertanyaan, siapa tahu ia tidak mendengar.

“Jam berapa?”

Farah menatapku, lalu cengengesan. “Jamnya mati.”

Aku menepuk jidat. “Jadi, itu jam cuma buat pajangan di tangan?”

“Abisnya aku masih suka banget sama jam ini.” Farah nyengir.

Yasudahlah, tak perlu melihat jam pun aku sudah tahu ini belum waktunya masuk kelas. Kami akan masuk jam delapan pagi, dan pulang tepat jam dua belas siang. Dulu jadwal sekolah berbeda dengan zaman sekarang. Dulu bisa dikatakan jadwalnya tidak teratur, kurang disiplin, tapi muridnya memiliki sopan santun dan rasa hormat yang tinggi pada gurunya.

Aku dan Farah tiba di depan gedung sekolah. Gedung tua yang catnya sudah mengelupas sana sini. Tak banyak kelas yang ada di sana. Hanya enam kelas untuk peserta didik, dan satu ruang untuk kantor guru. Di tengahnya ada lapangan kecil untuk berolahraga. Semua sangat sederhana. Aku merasa beruntung bisa sekolah di sini, meski kadang aku merasa minder dengan sepatu dan tas jelek yang kupunya.

Namun, saat melihat beberapa anak yang masih mengenakan sandal, dan kresek sebagai pengganti tas, aku merasa hidupku lebih beruntung. Hanya ketika melihat Kalila dan Karina juga beberapa teman lain, yang membuatku iri.

Waktu demi waktu kulalui di sekolah. Hingga tiba saat pelajaran terakhir. Pelajaran matematika yang bagi sebagian anak sangat tidak menyukainya, tapi aku suka. Aku lebih suka menghitung angka eksak yang sudah pasti ketimbang harus berpikir teori dan penjelasan yang panjang lebar.

Suasana kelas tampak senyap, karena sebagian anak-anak sudah tertidur di bangkunya. Ya, bagi mereka pelajaran matematika itu ibarat pil tidur yang membawa mereka ke alam mimpi. Sebagian lagi masih memperhatikan, termasuk Kalila dan Karina.

Bu Halimah tak mempermasalahkan mereka yang tidur, karena itu lebih baik daripada mereka  terbangun dan membuat keributan di kelas.

Aku sedang menyimak pelajaran, saat itu kami belajar tentang pembagian dan perkalian. Tiba-tiba ada bau aneh yang menusuk hidung, membuat mereka yang pura-pura tidur demi tak mendengar pelajaran biru terbangun. Baunya seperti telur busuk.

Udin dari pojok kanan bersorak. “Bau kentut, woy.”

Karena teriakan Udin, semua anak yang tadinya menangkup wajah di meja kini terbangun. Semua serentak menutup hidung, menghindari bau busuk yang berasal entah dari mana.

“Ih, jorok.”

“Bau banget.”

“Siapa kentut, sih?”

Sahut-sahutan anak-anak saling melempar pertanyaan.

“Sekar mungkin. Kan dia sering makan terasi.” Ucapan Kalila membuat dadaku sesak. Ia menuduhku sembarangan di depan teman-teman sekelas.

Serentak semua murid tertawa. Menertawakan aku yang di mata mereka benar bahwa dariku bau busuk itu berasal. Farah yang duduk di sampingku menatap, hanya ia yang tidak ikut menertawakanku. Ia tahu bukan aku pelakunya, karena jika aku yang kentut pastilah dia duluan yang mencium baunya.

“Diam!” teriak Bu Halimah pada semua muridnya. Hal itu membuat semua anak diam.

“Kalau kebelet kentut, silakan minta izin dan buang di luar. Jangan pula menuduh sembarangan, Kalila.”

Aku senang, akhirnya ada yang menengahi keributan di kelas. Ah, bukankah itu memang tugas seorang guru?

Di depanku, kulihat Kalila menunduk. Mungkin merasa bersalah karena telah dimarahi Bu Halimah.

Suara lonceng di kantor guru berbunyi. Menandakan waktunya pulang. Namun, sebelum pulang, Bu Halimah menghentikan kami untuk duduk sebentar lagi.

“Tunggu sebentar, saya lupa. Hasil ulangan kalian sudah saya periksa. Dengarkan nama kalian saat dipanggil, dan maju ke depan untuk mengambil hasilnya.”

Semua murid tampak diam  menunggu nama mereka dipanggil.

“Kalila.” Bu Halimah memanggil Kalila. Sepupuku itu bangun ke meja guru untuk mengambil kertas ulangan. Saat ia berbalik, kulihat wajahnya tersenyum bahagia.

Aku mengintip kertas ulangan Kalila, tertulis angka sembilan puluh lima di situ. Ia memang pintar, tak heran bisa mendapatkan nilai seperti itu.

“Sekar.” Aku bangun dari tempat duduk untuk mengambil kertas ulangan. Mataku membulat sempurna, lalu tanpa sadar meloncat di depan meja Bu Halimah. Tak menyangka kali ini aku mendapatkan nilai seratus untuk ulangan matematika. Nilai yang sempurna, dan tentu saja lebih lima poin dari Kalila.

Melihat aku yang meloncat, wajah Kalila tertekuk. Begitu juga Karina, ia mendapat sembilan puluh kali ini. Keduanya saling menatap, lalu sedikit melotot padaku.

*

Aku pulang dengan senyuman yang tak lepas dari bibirku. Senang sekali rasanya, karena bisanya aku akan mendapat nilai sembilan puluh, atau malah delapan puluh, itu saja sudah sangat bagus untukku.

Aku mengayunkan langkah seirama dengan Farah. Irama jalan tertahan karena menahan sepatu agar tak lebih rusak.

“Sekar!” panggil Farah.

“Hmm.”

“Nanti kalau udah gede, kamu mau jadi apa?”

Aku menoleh pada Farah. Selama ini aku tak pernah berpikir tentang cita-cita, karena yang kutahu sekolah yang tinggi itu butuh banyak biaya. Ibu dan ayah tentu tak punya biaya sebesar itu, untuk makan saja susah.

“Nggak tau, Farah. Susah bilangnya.” Aku berkata dengan ragu. Saat itu pikiranku sama sekali tak terpikir tentang beasiswa.

“Tapi, kan, aku suka sama pekerjaan dokter. Itu tuh kayak Dokter Adi di puskesmas kita.”

“Kalau kamu?” tanyaku pada Farah.

“Aku malah bingung, Sekar. Aku suka ya apa ya?” Farah mendongak ke langit seolah akan mendapat jawaban dari sana.

“Aku suka liat ibu masak sih, pengen juga belajar masak yang enak. Pengen punya warung sendiri nantinya.” Farah menjawab dengan ragu, tapi ada keseriusan dalam ucapan dan harapannya.

Pulang sekolah di tengah terik matahari, berjalan kaki sambil bercerita banyak hal. Hingga tak terasa aku dan Farah sudah sampai di depan rumah nenek. Kalila dan Karina berjalan di depanku, mereka biasanya akan pulang ke rumah nenek, nanti akan dijemput oleh ayahnya.

“Aku duluan ya,” Farah pamit masuk lebih dulu ke rumahnya.

Di depan kulihat Kalila dan Karina berlari sambil mengambil sesuatu dari dalam tas mereka. Mengambil kertas ulangan yang tadi diberikan Bu Halimah. Keduanya memperlihatkan dengan riangnya pada nenek yang sedang duduk di teras.

“Nek, dapat sembilan puluh lima.” Kalila berkata dengan bahagianya.

“Aku dapat sembilan puluh, Nek. Aku janji, besok nggak akan kalah dari Kalila atau bahkan dapat seratus sekalian,” ujar Karina berapi-api.

Aku yang melihat pemandangan itu, langsung berlari menuju nenek. Aku ingin bersama mereka. Ingin juga menunjukkan hasil ulanganku yang sempurna.

“Aku dapat seratus, Nek.” Aku berkata dengan senang.

Aku, Kalila dan Karina mengulurkan kertas untuk dilihat nenek. Senyum di wajah kami sama, menanti nenek mengambil dan melihat dengan sendirinya. Namun, tangan nenek hanya mengambil dua kertas milik Kalila dan Karina. Sementara kertas milikku tetap terulur di udara. Tanpa sapa, tanpa senyum, tanpa ajakan, mereka langsung masuk ke dalam rumah.

Meninggalkanku yang perlahan menarik tangan di udara. Menyimpan kembali kertas ulangan dengan rapi dan melangkah pulang.

 

Bab 7
*
Setelah berbagai perbedaan yang kualami, aku masih saja menyukai nenek. Masih saja bermain bersama Kalila dan Karina. Karena bagiku saudara tetap saudara, keluarga tetap keluarga. Aku marah, aku kecewa, tapi hanya pada hari itu saja. Layaknya anak kecil yang terlalu polos untuk membenci, untuk menghakimi. Aku hanya bersikap seperti biasa.

Meskipun jika dipikir, Kalila dan Karina masih saja suka membuliku. Masih saja suka mencari gara-gara dan menyalahkanku. Seperti saat istirahat di sekolah tadi pagi, anak-anak bermain melempar kertas ke sembarang arah. Kalila dan Karina ikut bersama mereka, melempar kertas dan bersorak dengan gembira. Entah ke mana semua guru, mungkin mereka tak bisa mendengar suara riuh kami, karena kelas lumayan jauh dari kantor guru.

Tiba-tiba seorang anak lelaki datang padaku, menghampiri tempat dudukku.

“Aku nggak suka ya, kamu nulis nama aku.” Anak lelaki itu berkata. Sementara aku menatapnya bingung.

“Apa maksudnya?” tanyaku.

Bocah lelaki bernama Adit itu membuka kertas dalam genggamannya. Ia meletakkan ya di depanku. Aku bisa membaca tulisan di dalamnya.

Sekar cinta Adit.

Aku mendengkus kesal membaca tulisan itu. Menyebalkan sekali siapa pun yang menuliskan itu. Lalu, kudengar Kalila cekikikan bersama Karina di mejanya. Siapa lagi, itu pasti ulah mereka agar aku terlihat bersalah.

“Itu bukan tulisanku,” belaku untuk diri sendiri.

Tiba-tiba Farah masuk ke dalam kelas, dan melihat suasana tak enak antara aku dan Adit. Ia mendekat dan melihat kertas itu di atas meja.

“Ini bukan tulisan Sekar, Adit!”

“Ngapain belain dia?” tanya Adit bersungut.

“Karena dia sahabatku,” ucap Farah lantang.

Aku terharu mendengar jawaban Farah, ia membela sampai seperti itu. Sahabat sejati memang.

“Lagian cuma nama doang, marahnya gitu amat. Emang nama kamu bakalan ngaruh?” Farah masih menyemprot.

Adit diam. Merasa malu karena masalah kecil yang dibesar-besarkan. Pun itu bukan salahku. Aku tahu, ia sebenarnya malu karena namanya disandingkan denganku. Adit itu anak kepala desa di kampungku. Penampilannya sama seperti Kalila, bersih dan rapi dengan segala atribut sekolah yang masih baru. Sedangkan aku jauh daripadanya. Ia hanya malu jika anak-anak lain mengira yang bukan-bukan tentang kami.

Perlakuan Kalila dan Karina sudah bisa ditebak, ia menuliskan banyak nama otangtua murid, lalu mengambinghitamkan aku. Menulis tulisan-tulisan ejekan untuk teman-teman sekelas, lalu melempar ke kepalanya. Bisa ditebak, nanti ia akan menunjuk ke arahku, sebagai orang yang menuliskan ejekan itu.

Satu hal yang tak kusukai dari diriku, aku tak terbuka dengan ibu dan ayah tentang itu. Dalam pikiranku, sebagai anak-anak itu hanya permainan. Anak-anak hanya bermain.
*
Hari Jumat adalah hari libur mengaji. Minggu libur sekolah. Jadi, di hari itu kami biasa menghabiskan waktu untuk bermain.

Hari ini Kalila dan Karina membawa sepeda ke rumah nenek. Sepertinya sepeda baru. Terlihat dari buble wrap yang masih dibungkus di beberapa bagian. Keduanya telah memiliki sepeda Phoenix mini yang saat itu sedang tren. Maksudku, tren bagi orang kaya atau berduit. Bukan tren untuk orang-orang sepertiku dan Farah.

Sepeda Kalila berwarna pink, sementara milik Karina berwarna biru muda. Sesuai dengan warna favorit mereka.

Aku hanya bisa menatap dua sepupuku dengan mata yang berbinar, juga keinginan yang besar dalam hati ini. Ingin memiliki sepeda yang sama dengan keduanya. Tampilannya bagus, warnanya bagus, ada tempat bonceng di belakang dan keranjang di depan. Jika dipakai untuk ke sekolah, aku bisa memasukkan tas ke dalam keranjang, dan membonceng Farah di belakang.

Ah, indahnya berandai-andai.

Farah pun sama takjubnya denganku. Saat itu aku sedang berada di rumahnya, sedang bermain bola kerang di halaman rumah Farah. Dari tempat kami duduk, tentu saja terlihat betapa bahagianya Kalila dan Karina mengayuh sepeda baru dengan ban rodanya.

“Sepeda mereka cantik ya,” ucap Farah padaku.

Benar saja dugaanmu, Farah juga menginginkan sepeda itu.

“Iya. Kapan ya bisa punya kayak gitu?” tanyaku nelangsa.

“Entahlah, Sekar.”

Aku dan Farah melanjutkan permainan kami. Farah melempar bola ke atas dan memungut kerang yang ia letakkan di atas tanah di halamannya. Meskipun kami menyukai sepeda Kalila dan Karina, tapi kami tak berani untuk mendekat dan melihat. Takut terusir, takut tertolak.

“Sekar, sini!” panggil Karina di sela bermain sepeda dengan Kalila.

Aku menatap Farah yang juga menatapku. Ada rasa bahagia dalam hatiku mendengar bagaimana Karina begitu hangat memanggilku.

Aku dan Farah pun melewati pagar, dan melangkah ke halaman rumah nenek. Kulihat Kalila dan Karina membasuh peluh di dahinya, sepertinya mereka sudah terlalu lelah bermain dengan sepeda barunya.

Aku menatap sepeda mereka dari dekat. Cantik sekali, sangat cocok untuk perempuan. Untuk pertama kali aku melihat sepeda baru langsung di depan mata. Biasanya yang teman lain bawa ke sekolah banyakan sepeda bekas meskipun masih bagus.

“Sepedanya bagus sekali.” Aku memuji di depan Kalila dan Karina. Dengan memberanikan diri, aku mengelus permukaan besi sepeda itu. Berharap bisa ketularan beruntungnya seperti mereka.

“Iya, ini hadiah dari ayah.” Kalila menjelaskan.

Aku jadi membayangkan betapa indahnya hidup mereka, bisa mendapat hadiah semewah itu dari ayah. Namun, aku tetap bangga memiliki ayah seperti ayahku, karena ayah hanya kekurangan uang, setidaknya bukan kasih sayang.

Farah terlihat hanya diam. Aku tahu, sebenarnya ia tak terlalu suka bermain dengan Kalila atau Karina. Namun, sepertinya rasa sukanya terhadap sepeda itu yang mendorongnya kemari.

“Sini, Sekar!” Kalila menarik tanganku mendekat padanya.

Sejenak aku ragu, tapi juga penasaran Kalila mau ngapain.

“Kamu juga boleh, kok, naik sepedaku.” Kalila menatap Karina.

“Tapi, nanti kalau kita udah bosan main ya. Sekarang kalian dorong kami dulu. Sekar dorong aku, Farah dorong Kalila. Biar cepat bisa lepas ban rodanya.”

Ada binar bahagia dari mataku dan Farah. Bisa melihat dan dekat dengan sepeda itu saja senangnya luar biasa. Apalagi diberikan kesempatan untuk mendayungnya. Tak mengapa meskipun harus mendorong Kalila dan Karina terlebih dahulu. Saat itu, Aku dan Farah sangat ingin naik sepeda, sebab itu kami mengangguk dengan senyuman. Menyetujui kesepakatan dengan kedua sepupuku itu.

“Baiklah.”

Aku mulai mendorong sepeda Kalila dari belakang. Ia bersuara dengan riangnya saat sepeda mulai melaju kencang dan ia mendayung. Kadang, tanpa dilihat olehnya, aku mengelus tempat boncengan sepeda Kalila. Dalam hati berharap suatu saat bisa punya sepeda itu.

Begitupun dengan Farah. Karina tertawa riang saat ban sepedanya berguling mengikuti ban depan. Rumput-rumput kecil di rumah nenek menjadi saksi betapa keduanya bahagia.

Kalila dan Karina. Tidak dengan aku dan Farah. Karena hingga hampir satu jam, terhitung sepuluh kali putaran dari halaman depan ke halaman belakang rumah nenek, aku dan Farah masih menjadi pendorong. Sama sekali tak mendapat kesempatan untuk mendayung.

Aku lelah, doronganku tak lagi sekuat tadi, hingga Kalila protes.

“Yang kencang dong, Sekar.”

Aku mengumpulkan tenaga, mendorong kembali sepeda Kalila sambil menyeka keringat di dahi. Tiba-tiba kudengar Kalila menjerit, lalu ia terjatuh karena ban sepeda tersandung batu. Kalila jatuh ke tanah dengan sepeda yang menimpa di atasnya.

Kalila menangis, ia memegangi lututnya yang sedikit lecet dan berdarah.

Aku terdiam, tak tahu harus melakukan apa. Karina pun mendekat, dan Farah terlihat ketakutan.

Mendengar suara jeritan, nenek pun keluar dari rumah. Sementara jantung tak lagi berdetak dengan normal saat melihat mata nenek menatapku dengan tajam.

“Kamu pasti sengaja, kan?” bentak nenek.

Aku memilin ujung kaus kusam yang kukenakan. Tak bisa menjawab, karena lidahku seperti kelu saat berhadapan dengan nenek.

Kalila semakin menangis keras. Ia mengeluh lututnya sakit.

“Dasar anak nakal. Susah sekali dibilangin. Taunya nyakitin orang aja. Sengaja bikin Kalila jatuh biar bisa dayung sepedanya, kan?” Nenek tanpa henti mengomeliku.

Yang paling mengejutkan, hingga membuat mataku berair seketika, saat nenek mendekat dan memutar tangannya di kulit pinggangku. Sakit.

Kalila lututnya sakit. Sementara aku sakit di bagian pinggang. Itu bisa sembuh.

Sakit di dasar hati yang kian besar, itu susah sembuh.

 

 

Bab 8
*
Pagi ini aku terbangun agak malas-malasan, karena terdengar rintik hujan di atas atap sana. Aku kembali menarik selimut kumal untuk menutup tubuhku juga untuk menghangatkannya dari serangan dingin hujan di pagi hari.

Aku kembali memejamkan mata seraya tubuh meringkuk membentuk angka empat. Ah, iya, aku ingat dulu ketika kelas satu saat belajar tentang angka. Bu guru selalu menyamakan angka empat dengan bentuk kursi atau bentuk orang meringkuk.

“Kalau tidak bisa bayangin bentuk kursi, bayangin aja bentuk tubuh kalian kalau lagi meringkuk kedinginan pas hujan. Angka empat itu seperti itu bentuknya.” Bu Lastri menjelaskan.

“Udin sering kan meringkuk narik selimut dan malas-malasan ke sekolah?” tanya Bu Lastri pada Udin yang gemar libur sekolah tanpa alasan. Sementara saat itu Udin hanya garuk-garuk kepala sambil nyengir karena semua murid melihat padanya.

Kami semua tertawa dengan penjelasan Bu Lastri. Lucu saja angka empat disamakan dengan gaya tidur.

Mengingat kejadian itu, aku menarik selimut ke bawah. Lalu, dari luar kudengar ibu mengetuk pintu.

“Sekar, udah pagi. Sekolah, Nak!” ucap ibu dari luar.

“Iya, Bu. Sekar udah bangun.”

Aku langsung bangun dan meregangkan otot-otot agar tak terasa kaku dan malas lagi. Di kamar yang berlantai semen itu aku meloncat-loncat beberapa kali, agar kantuk dan rasa malas hilang seketika.

Namun, saat aku membuka baju untuk mandi, kulihat buluku semuanya berdiri karena dingin. Sat rasa malas datang lagi, aku kembali mengingat ucapan Bu Lastri tentang bermalas-malasan. Aku tak ingin menjadi orang malas dalam segala hal. Aku harus sekolah, harus belajar agar menjadi orang sukses. Satu mimpi besarku dan orangtua, aku ingin hidupku nanti jauh lebih baik dari keadaan ibu dan ayah sekarang.

“Ayah nggak mau kamu jadi petani seperti ayah. Minimal punya lahan sendiri dan punya pekerjaan lain. Sawah untuk menghasilkan beras sendiri. Sementara pekerjaan lain untuk mencukupi kebutuhan hidup kamu.” Ayah berkata panjang lebar.

“Untuk mendapatkan pekerjaan, kamu harus punya ilmu. Punya ilmu itu dengan belajar, sekolah, mengaji.” Ayah melanjutkan.

Saat itu aku hanya mengangguk, mengerti apa yang dikatakan oleh ayah. Aku tidak berpikir bagaimana jalannya, bagaimana akan mendapatkan itu semua. Intinya aku hanya harus belajar dengan giat.

“Lihat, Nak. Semua perempuan di desa ini hanya bisa menjadi buruh tani. Sehari nanam di sana, besoknya nanam di sawah lain. Tak terkira lelahnya berjam-jam berada di bawah terik matahari. Ibu mau kamu jangan seperti itu. Kamu harus lebih baik dari ibu-ibu di kampung ini, terutama harus lebih baik dari ibu.”

Malam itu kami sedang mengobrol bersama-sama di dipan yang terbuat dari bambu. Saat siang setelah pulang dari sawah, ayah akan beristirahat di situ. Saat malam, itu menjadi tempat keluarga. Tempat untuk mengobrol dan becanda, kalau istilah zaman sekarang family time.

Dulu rumahku tidak ada televisi. Jangankan untuk membeli televisi, bisa membeli ikan di pasar saja itu sudah terlalu indah. Untung saja kami memiliki beras sendiri, jadi tak pusing memikirkan beras. Hanya mencari lauknya saja, sebab itu jika ayah sedang tak ada uang, maka kami hanya memakan nasi putih, atau satu telur dibagi empat.

Malam itu ayah dan ibu kembali bergantian membelai kepalaku. “Kamu pasti jadi anak yang sukses, Sekar.” Setelah itu ayah memeriksa PR matematika yang kukerjakan. Meskipun seperti itu, ayah dulu tamatan SMA, yang tak banyak orang yang bisa menamatkannya. Dulu masih ada kakek yang mencari nafkah. Kata ayah, hanya beberapa yang bisa tamat SMA saat itu, salah satunya ayah. Sementara yang lainnya lebih memilih bekerja sejak dini atau membantu ayahnya di kebun atau sawah.

Ayah Kalila dan Karina itu tamat beberapa tahun setelah ayahku, dan beruntungnya mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang bagus, dan sekolah lagi setelah diangkat menjadi pegawai negeri sipil, untuk melengkapi syarat menjadi pegawai.

Keluargaku keturunan Jawa, sebab itu, aku memanggil adik-adik ayahku dengan sebutan Paklek, meskipun kami tinggal di salah satu desa di Bandung. Kakek dan Nenek merupakan orang Jawa yang pindah dan menetap di Sunda setelah menikah. Keduanya memutuskan pindah ke Bandung setelah menikah. Berjuang menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak-anaknya. Awalnya hanya membajak sawah milik orang lain, sebelum akhirnya bisa membeli tanah sendiri bahkan dalam jumlah yang banyak.

Sejak kecil, aku diajarkan ayah seperti itu, agar bahasa Jawa dalam keluarga sendiri tak hilang begitu saja. Meskipun kami tinggal dikelilingi orang Sunda. Nenek dari pihak ibu juga orang Jawa. Jadi, secara garis besar aku masih keturunan Jawa yang tinggal di salah satu desa di Bandung. Orang-orang di sekitar kami juga tak mempermasalahkan itu, karena di tempat kami tinggal, lebih banyak orang Jawa yang migrasi, termasuk ibu Farah.

Ayah yang dulu bermimpi ingin mencari pekerjaan yang layak di kota, tapi harus mengurung niatnya karena kakek dipanggil pulang oleh Tuhan. Secara otomatis semua tanggung jawab di rumah nenek, dialihkan untuk ayah sebagai anak pertama. Ayah bekerja di sawah membantu nenek. Sawah nenek lumayan banyak, ia termasuk orang yang memiliki banyak tanah di kampung itu. Tanah peninggalan warisan Kakek yang masih ada hingga saat ini.

Seperti sebagian orang kampung, khususnya di tempatku, mereka memiliki lahan dan sawah, meskipun kecil. Memiliki beras untuk dimakan, tapi jarang memiliki uang.

Aku masih sibuk dengan pesan dalam memori pikiran. Pesan yang disampaikan ayah dan ibu beberapa waktu lalu. Tiba-tiba ibu memanggil lagi dari luar.

“Sekar, udah jam tujuh, Nak. Belum mandi, belum sarapan. Cepet bangun.” Ibuku berteriak dari luar.

“Iya, Bu. Sekar mandi sekarang.” Aku menyahut agar ibu tak terus-menerus memanggil.

Aku keluar sambil membawa handuk. Kulihat ayah sedang menyesap kopi di atas dipan. Sedangkan sang ibu masih menyatukan kayu bakar di bawah tungku. Mungkin sedang memasak sesuatu.

Di luar sana hujan terdengar makin deras. Semakin terasa dingin untuk keluar dari rumah. Kamar mandi di rumahku berada di luar, beberapa meter dari dapur. Aku tak yakin itu layak disebut kamar mandi, karena dindingnya hanya terbuat dari karpet plastik. Layaknya kebanyakan tempat mandi di desa, tanpa atap, tanpa pintu sebagai penutup. Hanya dinding dari plastik itu yang menutup tubuh dari penglihatan orang-orang.

Namun, air di sumurku putih dan dingin. Sebab itu, kini aku hanya berdiri di pintu dapur. Tarik ulur antara melangkah atau tidak untuk mandi. Kadang aku berpikir untuk tidak mandi saja jika cuaca seperti ini, tapi bagaimana rupaku nanti. Bau setelah semalaman tidur di kasur yang apek pasti sangat mengganggu.

Aku melangkah mundur dari pintu. Membuat ibu dan ayah bersamaan menatapku dengan raut wajah bertanya, ada apa?

Aku tersenyum pada keduanya, lalu mengambil satu buah kantong kresek yang dikumpulkan di kantong besar dan digantung di dinding. Aku memakai plastik di kepala agar rambutku tidak basah.

Setelah berdamai dengan rasa dingin, aku melangkah keluar. Air hujan yang turun dari langit membuatku menggigil. Aku menimba air dari sumur, lalu menyiram tubuhku dengan air dingin itu.

“Berrr ... dingin.” Gigiku bergemeletuk.

“Hiyaaap! Akan kukalahkan kau rasa dingin.” Aku berdialog sendiri. Sementara kuyakin bibirku sudah pucat kini.

*

Aku dan Farah berjalan beriringan dalam hujan yang dihalangi oleh payung. Beberapa anak lainnya juga sama seperti kami, berjalan ke sekolah di tengah hujan. Aku bahkan tak memakai sepatu agar tak basah sampai di sekolah. Sebaliknya aku mengamankan sepatuku di dalam keresek yang kumasukkan ke dalam tas.

“Ayah antar saja ya?” tanya ayah saat aku berdiri di pintu depan, mengambil ancang-ancang untuk menembus hujan.

“Terus Farah gimana?” tanyaku.

Ayah sejenak diam. Mungkin berpikir bahwa aku ada benarnya juga. Jika aku diantar oleh ayah naik sepeda, itu berarti Farah harus jalan kaki sendirian. Tidak bisa. Aku tidak ingin meninggalkan Farah sendirian, gadis kecil itu pasti sedih karena ia hanya tinggal bersama ibu, ia sudah lama kehilangan ayahnya. Farah kehilangan ayah sejak dia masih dalam kandungan. Bahkan belum sempat sekali pun ia melihat wajah sosok itu.

Kadang, jika aku ingin mengeluh tentang hidupku, aku akan ingat Farah. Aku tentu lebih beruntung darinya. Itu saja.

Tubuhku dan Farah sebenarnya sama-sama kecil, tapi karena payung yang kubawa ukurannya kecil, jadi itu membuat tubuh kami sedikit berdempetan agar tak keluar dari naungan payung. Masih mending menggunakan payung, itu pun hadiah pemilik toko kelontong tempat ayah bekerja.

Aku dan Farah memegang gagang payung bersamaan. Payung yang bertuliskan Mie Anak Mas di atasnya. Ya, memang mungkin hadiah dari salah satu merek jajanan ternama di Indonesia dulu. Ayah mendapatkan itu dari toko kelontong tempat ia bekerja. Jelas berbeda dengan milik teman lainnya, yang kebiasaan bergambar Hello Kitty.

Sambil berjalan, kami sesekali bercerita entah tentang apa saja. Namun, tiba-tiba kulihat sepada motor milik ayah Kalila lewat. Ia memakai jas hujan, begitu juga Kalila. Keduanya tampak nyaman dengan tubuh ditutupi jas itu tanpa takut kehujanan.

Aku dan Farah sedikit menepi, agar tak terkena cipratan lumpur jalanan. Beberapa detik kemudian, ayah Karina yang muncul dengan motornya. Ia membonceng putrinya di belakang.

Ya, itu dua pamanku. Adik dari ayahku. Namun, mereka sama sekali tak berniat mengajakku ikut naik motor bersama mereka. Aku dan Farah saling pandang. Lalu, karena tak bisa menjelaskan rasa apa di dalam dada, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.

 

Bab 9
*
Musim hujan tak kujung berhenti di kampungku. Sudah seminggu berturut-turut kampung kami diguyur hujan. Warga mulai panik dengan tanaman dan padi di sawah. Padi baru saja ditanam bahkan belum kuat akarnya, biasanya jika hujan terus-menerus itu akan membuat siput-siput memakan batangnya. Itu sama saja musibah untuk petani desa.

Petani dengan kekhawatiran sendiri. Ibu dan ayah dengan kekhawatiran mereka. Dan, aku dengan kekhawatiranku. Jika gagal panen kali ini, artinya tidak ada yang namanya ganti sepatu baru. Itu artinya aku harus memakai kembali sepatu koyak itu entah berapa lama.

Awal Desember, akhirnya air sungai meluap di beberapa daerah. Sebagian kampung sudah ada kabar banjir datang menenggelamkan kampung. Kampungku belum terkena banjir, tapi air di sungai dekat rumah nenek sudah penuh terlihat mengalir ke permukaan sungai. Hujan masih belum reda.

Ayah dan ibu sibuk memindahkan beberapa barang. Yang paling penting adalah padi yang masih tersisa dua karung lagi. Seharusnya itu cukup dimakan sekeluarga sambil menunggu panen kembali. Aku membantu mengangkat apa yang aku bisa, memindahkan baju-baju di kamar ke tempat yang lebih tinggi. Kasur kumal itu juga ikut kuangkat bersama ibu. Beberapa kali aku bersin karena kapas yang beterbangan saat posisi kasur diganggu gugat.

Aku sudah terbiasa dengan itu semua. Tetapi, tetap fokus kembali mengangkat barang-barang.

Ayah dan ibu mengangkat meja di dapur. Meletakkan di dekat dinding yang bagian atapnya tidak bolong. Itu semua dilakukan agar padi tidak basah oleh air hujan dan menjadi bau tak bisa lagi dinikmati. Di tengah ruangan yang beralaskan tanah itu masih tergenang air sisa rembesan hujan beberapa hari ini.

Dengan telaten, ayah dan ibu mengangkat karung padi, dan meletakkannya di meja agar lebih tinggi. Meja itu tingginya sebatas dadaku. Menurut informasi, banjirnya akan sebatas paha orang dewasa. Selesai satu karung, ayah mengangkat sisa satu karung lagi.

Aku mengamati seluruh sudut ruangan rumahku. Semua sudah terlihat kosong.

Kami telah siap dan siaga untuk mengungsi, baju-baju dan semua yang diperlukan sudah kumasukkan ke dalam tas sekolah. Juga satu tas denim tua milik ibu, yang sering digunakan saat ibu bepergian.

Tiba-tiba nenek datang dengan tangan di atas kepalanya seolah menahan air hujan untuk membasahi tubuhnya. Aku, ayah, dan ibu menoleh ke arah pintu melihat nenek yang tergesa-gesa ke rumah. Ada yang aneh di pikiranku, tapi aku baru menyadarinya. Menyadari bahwa mungkin untuk pertama kali nenek datang ke rumahku. Padahal jarak rumahku dengan nenek hanya terhalang lima rumah, termasuk rumah Farah.

“Ridwan, kamu udah tau mau banjir bukannya bantuin ibu, malah bengong di sini.”

Aku mengerutkan dahi mendengar ucapan nenek. Apa yang dimaksudkan dengan bengong, sementara ayah pasti kelelahan setelah memindahkan beberapa barang.

Kulihat ibu dan ayah sama terkejutnya, tapi hanya sekejap, karena sedetik kemudian ayah seolah tahu apa maksud nenek.

“Bantu ibu naikin barang-barang. Belum padi, belum ayam, belum kambing. Ibu bingung sendirian mau amankan di mana semuanya.” Nenek meminta bantuan ayah. Wajar saja ia meminta pada anaknya, tapi caranya yang membuatku berpikir banyak.

“Lagian, ngapain aja kamu dari tadi, toh kamu juga enggak punya banyak barang untuk dilindungi.” Ucapan nenek mulai merendahkan. Saat itu, aku tak terlalu mengerti, tapi aku hanya merasa itu ucapan yang egois.

“Iya, Bu. Ridwan ke sana sekarang.” Ayah sama sekali tak membantah. Ia mengikuti semua permintaan nenek.

“Nggak mungkin juga kan, Harun sama Jamal datang ke sini bantuin ibu. Mereka jauh, kamu yang dekat yang harusnya bantu. Mereka pasti sibuk juga mindahin barang mereka yang banyak, kasian.” Harun dan Jamal itu adik-adik ayah. Ayah Kalila dan Karina yang tinggal di perbatasan kecamatan. Rumahnya tidak terlalu jauh jika menggunakan motor, hanya lima menit saja.

Akhirnya ayah pergi ke rumah nenek. Beberapa menit setelah ayah pergi, ibu berkata.

“Sekar, yuk ikut bantu nenek. Bawa semua barang-barang, nanti kita tinggal mengungsi.”

Aku mengangguk setuju. Lalu, ibu menutup pintu. Hanya menutup seperti itu tanpa dikunci, karena jika airnya mengalir deras bisa saja pintu itu akan terlepas dari engselnya saking tak lagi kuat. Jadi, ibu tak mengunci pintunya. Pun jika ada yang berniat mencuri, tak ada barang berharga di sana selain dua karung padi.

Saat keluar rumah, kulihat orang kampung sudah ramai yang berada di luar rumah mereka, berlindung di teras-teras, atau di gazebo seperti yang mereka buat untuk menjaga padi dari burung di sawah. Semua bersiap untuk mengungsi, sebagian lagi kulihat hilir mudik ke arah sungai, mungkin mereka memantau bagaimana keadaan air sungai.

Aku dan ibu berlari ke rumah nenek. Ayah dan nenek sibuk mengangkat karung padi untuk dipindahkan ke kamar panggung. Rumah nenek memiliki satu kamar panggung, yang dulu ia tiduri bersama kakek. Namun, sejak kakek meninggal, kamar itu dibiarkan kosong entah sebab apa.

Kamar yang terbuat dari kayu, dan lantai papan kualitas sedang. Di bawahnya dekat pintu, ada empat anak tangga yang terbuat dari bambu. Rumah nenek jauh lebih bagus dari rumahku.

Aku dan ibu membantu apa yang bisa dibantu. Tapi sepertinya barang yang lain sudah lebih dulu diamankan oleh nenek. Hal itu membuat aku dan ibu bingung mau bantu apa.

“Larasati, tolong ke kandang. Amankan kambing di sana.” Nenek memberi perintah pada ibu.

“Dibawa ke mana, Bu?” ibu bertanya.

“Ya, ke sini lah. Masak dibiarkan di kandang. Bisa tenggelam kambingnya, Laras!” ketus nenek.

Ibu sejenak melirikku, aku mengerti apa maksudnya. Segera saja aku dan ibu ke belakang rumah menuju kandang. Kasihan binatang ternak itu jika tak diselamatkan.

Saat kami masuk ke kandang, terdengar suara rintihan beberapa kambing yang mungkin juga punya firasat tentang banjir. Aku tidak tahu, juga tidak bisa membaca pikiran kambing. Namun, suara mereka membuat aku kasihan.

Dengan cekatan, ibu memegang dua kaki seekor kambing. Semuanya ada tiga ekor kambing. Ditambah satu anak kambing yang mungkin baru berumur beberapa hari.

“Sekar, pegang sebelah sini.” Aku mendekat pada ibu. Ia menyuruhku memegang dua kaki kambing di sebelahnya.

Kambing itu mengembik, mungkin ketakutan. Sebenarnya aku juga takut memegangnya, tapi juga kasihan dan terpaksa. Syukurnya kambing itu tak banyak melawan hingga tak begitu menyusahkan aku dan ibu saat mengangkatnya.

Anak kelas empat SD mengangkat kambing bersama orang dewasa, ya tidak seimbang. Yang penting bisa dibawa ke dalam dan diselamatkan.

Aku dan ibu bolak balik dari rumah ke kandang, tak peduli pada lantai semen yang kotor karena kami tak sempat memakai sandal.

Ayah mungkin tak bisa membantu kami, karena padi nenek jauh lebih banyak dari milik ayah dan ibu.

Kambing-kambing itu akan diam setelah ibu meletakkan di kamar panggung, satu kamar dengan karung padi, biar sekalian nanti bisa dikunci. Semoga saja airnya tidak tinggi. Masalah nanti kambingnya akan berak di situ, itu urusan nenek nanti. Atau ia akan memanggil ayah kembali untuk membersihkannya.

“Eh, Sekar. Jangan digendong gitu anak kambingnya. Bisa mati dia!” gerutu nenek saat melihatku menggendong bayi kambing di pangkuan. Jika dilihat-lihat bayi kambing itu lucu, sebab itu aku menggendongnya seperti boneka.

Ibu saja tadi tertawa saat melihat tingkahku, lalu ia masuk dan mencari golok untuk memotong beberapa daun untuk makanan kambing. Karena tersisa satu anak kambing, jadi ibu menyerahkan padaku. Tapi, nenek malah marah.

Akhirnya selesai juga, kulihat ayah menyeka peluh di keningnya. Suasana di luar masih hujan, tapi keringat ayah bercucuran. Ayah kelelahan, aku tahu itu.

Nenek duduk di anak tangga bambu, mungkin sama lelahnya dengan ayah.

“Nanti, jangan ada yang mengungsi terpisah. Kita harus di tempat yang sama. Jamal dengan Harun dan keluarganya juga.” Nenek berkata.

Ayah hanya mengangguk. Aku dan ibu ikut mengangguk pelan.

Kata ibu, tempat mengungsi di balai dekat masjid. Di sana ada beberapa balai tinggi yang biasanya tak mencapai tinggi air. Dulu, ibu juga pernah mengungsi di situ, sebelum aku lahir. Karena setelah menikah, ibu dan ayah tak langsung bisa memiliki seorang anak. Barulah beberapa tahun mereka memiliki aku.

“Nek Jumi, airnya naik. Segera mengungsi di tempat biasa. Pak RT sedang mengarahkan warga lainnya. Segera ya, Nek, semuanya.” Nek Jumi adalah panggilan orang kampung untuk nenek. Namanya Jumiati, orang-orang memanggilnya Nek Jumi. Saat itu nenek masih berusia enam puluh tahun.

Kulihat seorang lelaki dewasa muncul dari balik pintu rumah nenek. Ia mengabarkan bahwa air sungai benar-benar sudah meluap dan sedang mengalir ke kampung. Juga air di kampung-kampung lain sedang melintasi jalan menuju ke kampungku.

“Iya!” Kami menyahut panik bersamaan.

Setelah itu aku, ayah, ibu dan nenek segera keluar setelah mengunci pintu kamar panggung itu. Di luar, sudah banyak orang yang berlarian menuju balai desa.

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya 10-11 CUCU YANG DIBEDAKAN
0
0
Selamat membaca ya.Ini akurnya maju mundur, tentang seorang anak yang diperlukan tak adil oleh neneknya.Diwarnai dengan setting zaman dulu yang mungkin membawa kita pada nostalgia.Kelahiran tahun 90-an merapat sini!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan