
Aku Ingin Menulis, Tapi Aku Ingin Rebahan
Sebuah Seni Santai Menulis Cerita untuk Pemula
Copyright by Eki Saputra © 2021.
"Sayangnya, ketika kita ingin menulis seperti mereka (penulis), tangan kita mendadak jadi kaku, otak kita berubah keruh, dan tak satu kata pun tercipta sekian jam berlalu. Kalau sudah begitu, kita merindukan kasur. Lihatlah hamparan kasur itu! Mereka menunggu kita membaringkan diri. Tangan kita otomatis mengirimkan sinyal ke otak, "Hei! Hari ini kau sudah lelah. Waktunya kita rebahan! Ayo menulis sambil rebahan!"
Tentang Kekuatan Tulisan, Tentang Menulis dan Merebah

"You can make anything by writing."
Kutipan di atas bukanlah karangan saya, melainkan C.S. Lewis, si pengarang The Chronicles of Narnia. Menurutnya, kita bisa membuat apa pun dengan tulisan.
Ah, Lewis lebai, memangnya apa yang bisa kita lakukan hanya dengan menulis? katamu dalam hati. Atau mungkin kamu justru mengangguk-angguk setuju pada perkataan beliau? Sebagai tipe orang yang kritis, saya perlu merenungkan sesuatu masak-masak sebelum mengatakan setuju. Benarkah begitu? Kemudian seperti tayangan yang muncul di layar televisi, pikiran saya mulai melihat potongan gambar, cuplikan suara, dan video dari berbagai sumber yang saya punya. Saya mencari dan menggali lebih dalam.
Eureka! Akhirnya, saya mendapatkan satu kesimpulan besar: Tulisan bisa menciptakan segalanya. Tulisan telah menciptakan penemuan baru, ide baru, bahkan realitas baru. Dan sejarah menjadi abadi karena pernah ditulis. Mari kita berselancar.
Barangkali kita tidak akan tahu tentang kebudayaan Mesir kuno dan Mesopotamia kuno seandainya tak ada teks piramida dan Epik Gilgamesh yang diukir di dinding atau lempeng tanah liat.
Socrates yang kita anggap sebagai filsuf paling berpengaruh di dunia sampai hari ini, mungkin tidak akan pernah kita ketahui keberadaannya, gagasannya, dan bagaimana akhir hayatnya, andai saja muridnya bernama Plato tidak pernah menulis banyak karya yang menceritakan tentang hidup sang guru. Salah satu bukunya berjudul Apologia Socrates bahkan secara mendetail menceritakan hari-hari terakhir sebelum Socrates dihukum mati.

Mustahil pula Indonesia hari ini ada, seandainya dahulu kala nenek moyang kita tidak menulis prasasti dan kitab-kitab yang menggambarkan kejayaan di masa lampau. Perasaan senasib dan sepenanggungan, kerinduan akan kebebasan, dan kerinduan akan persatuan itu hadir tidak dengan tiba-tiba. Semua bersumber dari pengetahuan dan kronik bersejarah.
Begitu pula R.A. Kartini, seorang pelopor kebangkitan perempuan. Pandangannya, cita-citanya, dan ide-idenya yang menggugat budaya patriarki termuat dalam surat-surat yang ia kirimkan kepada sejawatnya di Eropa. Kumpulan surat-suratnya itu kemudian disatukan dalam buku Door Duisternis Tot Licht oleh J.H. Abendanon (1911), dan diterjemahkan Arjmin Pane kembali menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang.

Lalu, apa kamu mengenal sosok Mahatma Gandhi? Salah satu politikus dan aktivis kemerdekaan India yang terkenal dengan gerakan anti kekerasannya. Bagaimana cara ia menggerakkan masyarakat India yang semasa itu terbagi dalam banyak kasta, suku, dan agama? Betul, ia juga rajin menulis. Selain terjun langsung ke desa-desa, Gandhi juga menulis di koran mengenai pandangan-pandangannya yang sangat menjunjung nirkekerasan. Berkat pengaruhnya, Inggris akhirnya menyerah dan memberikan kemerdekaan kepada India.
Di Rusia ada juga Lenin. Tokoh revolusioner komunis yang meruntuhkan kekaisaran Tsar dan berhasil menjadi perdana menteri Uni Soviet. Dia banyak menulis esai dan buku mengenai pandangan politiknya yang mengkritisi sistem kapitalis. Salah satu bukunya yang terkenal berjudul Kepada Kaum Miskin Desa sangat kuat ajakan radikalisasi kepada petani dan golongan proletar untuk melawan kaum aristokrat dan pemilik modal.
Albert Einsten walaupun tidak kita kenal sebagai penulis, sepanjang hidupnya ia telah menulis 300 makalah ilmiah dan lebih 150 karya nonilmiah. Termasuk gagasannya mengenai relativitas dan persamaan kesetaraan energi (E=mc^2).

Nah, ternyata terbukti kan kalau tulisan memiliki kekuatan dan pengaruh dalam berbagai bidang kehidupan. Manfaatnya tanpa sadar sangat sering kita temukan dan rasakan. Misalnya saat kita membaca karya sastra. Kita selalu bisa menemukan hikmah dan pesan moral yang kita sarikan sendiri dari hasil bacaan itu. Atau ketika kita membaca buku pengembangan diri, pola pikir kita menjadi berubah dan semangat serta optimis kita bertambah.
Sayangnya, ketika kita ingin menulis seperti mereka (penulis), tangan kita mendadak jadi kaku, otak kita berubah keruh, dan tak satu kata pun tercipta sekian jam berlalu. Kalau sudah begitu, kita merindukan kasur. Lihatlah hamparan kasur itu! Mereka menunggu kita membaringkan diri. Tangan kita otomatis mengirimkan sinyal ke otak: "Hei! Hari ini kau sudah lelah. Waktunya kita rebahan! Ayo menulis sambil rebahan!"

Kita pun memutuskan membaringkan diri sejenak di kasur dengan tangan masih menggenggam ponsel (atau mungkin pena? Atau mesin tik? Wow, kamu klasik sekali!).
Sepuluh menit berlalu, kita cuma terpaku menatap layar kosong. Sejak tadi kegiatan kita cuma menulis sedikit kata, lalu cepat-cepat menghapusnya, mirip anak perempuan yang kerepotan membalas chat ajakan pacaran dari lelaki paling menyebalkan di sekolah. Atau mahasiswa yang kebingungan membalas chat dari dosen paling galak di kampus.
"Santai saja sih. Nanti juga bakal ketemu ide, kok. Eh, kamu sudah cek notifikasi Facebook/WA belum nih? Siapa tahu ada notifikasi penting?" Otakmu membujuk sekali lagi.
Perintah itu seketika mengendalikan kita agar memencet ikon bersimbol huruf F dan ikon berbentuk kotak pink jingga. Keinginan menulis memuai berganti menjadi rasa kantuk yang tidak tertahankan, sementara jam dinding berdenting menunjukkan pukul sebelas malam. Kita sudah telat tidur. Dan begitulah yang terjadi setiap hari. Tidak ada tulisan yang selesai.

Kamu berharap akan kedatangan ide luar biasa. Besok aku akan menulis seperti J.K Rowling, pikirmu. Lusa aku akan menjadi Kafka. Tulat aku seperti Eka Kurniawan. Tubin aku ingin jadi Leyla S. Chudori. Setahun berlalu belum menulis apa pun. Layar itu kosong, lembar itu kosong. Setelah tiga ratus enam puluh lima terlewati kamu sadar selama ini tidak pernah menulis apa pun, kamu merasa tidak pernah bisa menulis fiksi. Kamu berpikir bahwa kamu tak punya bakat menulis. Kamu gagal menjadi seorang penulis impianmu. Saya ulangi, kamu merasa GAGAL menjadi penulis. Salah siapakah ini?
Orang bilang kegagalan terjadi karena kita suka bermalas-malasan; karena kita terlalu sering rebahan. Tidak salah lagi, kamu selama ini memang selalu rebahan dengan ponsel tergenggam. Jadi, mari kita salahkan rebahan. Coba tengok pemain film atau sinetron di mana tokoh utamanya berprofesi sebagai seorang penulis. Apa yang mereka lakukan?

Mereka mengetik sambil duduk manis di kafe atau di taman, di pinggir pantai, di perpustakaan, di meja belajar dalam kamar yang sunyi. Keren sekali! Mereka penulis ideal. Mereka tidak pernah merebah sambil menulis. Tirulah cara aman mereka. Coba saja kamu buat aturan pribadi sekiranya rebahan adalah perbuatan terkutuk bagi penulis. Katakan itu seperti mantera expecto patronum yang diucapkan Harry Potter sewaktu mengusir Dementor. Bila perlu cepat buang kasur dan bantalmu dari kamar!
Tapi kalau saya jadi kamu, saya tidak akan melakukannya sama sekali. Saya memang ingin tetap menulis, tapi saya juga ingin menikmati rebahan. Daripada menghilangkan kebiasaan rebahan, kenapa tidak kita manfaatkan saja kebiasaan ini? Lagi pula merebah bukan cuma kegiatan berbaring seperti ikan asin dipanggang panas matahari. Berbaring adalah waktu terbaik untuk mengendurkan syaraf dan otot kita yang tegang. Peneliti dari Allegheny College bahkan menyebut rebahan dapat menurunkan tekanan darah setelah mengalami stress dalam bekerja (Detik.com).
“Mereka tahu pasti ada jalan lebih baik yang hanya membutuhkan sedikit kerja. Orang-orang ini ingin menjadikan hidup lebih mudah dijalani … Mereka ingin bekerja sedikit namun menyelesaikan banyak hal … Orang yang berpikir untuk memasang layar adalah dia yang tidak ingin susah payah mendayung … Kita terima saja orang kreatif adalah seorang pemalas.”
--Kutipan dalam buku "The Lazy Way to Success (2003) karya Fred Grazton.
Kesulitan menulis bukan karena kamu terlalu sering rebahan. Masalahnya karena kamu. Iya, kamu sejujurnya belum paham kunci dasar menulis. Seorang penulis, entah itu pemula atau sudah senior, mereka sudah punya pondasi. Mereka punya pola pikir yang sudah dibentuk selama bertahun-tahun dan dipertahankan setiap kali mereka ingin berhenti menulis atau kesulitan saat sedang menulis. Sama dengan melukis, menyanyi, dan menari, menulis cerita juga mempunyai seninya. Seni itu bisa kita pelajari dan bukan alasan untuk berhenti.
Percayalah, jika kamu bisa membaca tulisan saya sampai ke baris ini, artinya kamu sebenarnya memiliki minat dan bakat menulis cerita. Tetapi kamu mungkin belum tahu apa yang hendak kamu tulis. Atau kamu sudah pernah belajar menulis, mengikuti berbagai kelas menulis fiksi, dan membaca sekian banyak tetek bengek tip tentang kepenulisan dari yang gampang sampai yang rumit, tapi alih-alih kemampuanmu menjadi kian mumpuni, yang terjadi justru kamu tersesat dan meragukan kemampuanmu sendiri.
Untunglah sekarang kita bertemu. Melalui tulisan ini, saya akan membimbingmu kembali kepada hakikat menulis cerita. Menulis itu tidak sesulit yang dibayangkan. Menulis bukan bakat eksklusif. Menulis bukan milik segelintir orang. Semua orang bisa menulis, asalkan ... dia bisa membaca dan mengetahui seninya.
Menulis cerita terdiri dari dua kata. Menulis yang artinya kegiatan membuat kumpulan huruf menjadi kata, kalimat, atau paragraf; cerita adalah tuturan tentang peristiwa, perasaan, pengalaman, dll. Menulis cerita artinya menuturkan suatu peristiwa atau kejadian dengan menggunakan media berupa tulisan.
Yang terpenting dan paling utama bagi penulis cerita itu ialah memiliki cerita yang ingin disampaikan kepada pembaca. Setelah itu, barulah si penulis bisa menuangkannya menjadi gagasan secara tertulis. Apakah artinya itu sulit dilakukan?
Tidak! Gagasan menulis cerita adalah bakat alamiah yang kita punya. Sebab kita semua lahir sebagai pencerita, kita sebetulnya pendongeng yang ulung. Hanya saja kita terhalang memindahkan cerita menjadi teks yang bisa dipahami semua orang.
Oleh karena itulah, saya membuat materi ini. Saya ingin agar semua orang bisa menulis tanpa hambatan. Setidaknya setiap orang bisa menyampaikan isi kepala mereka dengan mudah. Entah menjadi buku fisik, entah menjadi jurnal, atau hanya menjadi tulisan ringan di medsos. Asalkan keinginan itu tidak terkubur dalam-dalam. Karena hasrat yang lama dipendam akan menimbulkan stres hingga depresi. Kenapa harus stres dan depresi, padahal menulis itu gampang?
Sebelum saya menceritakan lebih jauh mengenai tips menulis ini, alangkah baiknya kamu mesti melengkapi syarat utama yang akan saya berikan. Syarat itu, yakni jika kamu masih menganggap rebahan sebagai alasan kamu berhenti menulis maka segera buanglah pikiran jelekmu jauh-jauh. Mari ganti pola pikirmu. Ingatlah petuah keren ini, bahwa sebenarnya kita bisa menulis dalam posisi apa pun (jongkok, berdiri, tengkurap, salto, termasuk rebahan). Asalkan kita sudah punya pondasi atau memahami seni dalam menulis, posisi tubuh bukan hal penting lagi dibicarakan. Menulis jadi kegiatan ringan yang mengalir dan menyenangkan. Dan saat momen itu terjadi, kita bisa menghasilkan banyak tulisan tanpa perlu mendudukkan pantat di bangku keras. Tanpa perlu banyak buang tenaga.
“Sulit menjelaskan saat-saat ketika segala sesuatunya berjalan lancar. Ketika saya menulis hal yang saya sukai, saya bertanya pada diri saya. ”Siapa yang menulisnya?" Dan saya berkata pada diri saya, “Bukan aku. Aku tidak tahu dari mana tulisan itu datang." Yang saya tahu cuma ini … Dia lahir seakan tanpa usaha."
--Neil Simon, Penulis Teater Broadway (dikutip dalam buku "The Lazy Way to Success (2003) karya Fred Grazton)
Sesungguhnya justru bagus bila rebahan dijadikan sebagai alasan kenapa kamu tetap ingin menulis. Selama kamu masih hidup, artinya kamu akan terus mengalami siklus bangun dan rebahan. Kabar baiknya, berarti kamu selalu punya waktu menulis sepanjang hayat. Satu masalah sudah terselesaikan, bukan? Kamu selalu punya waktu buat menulis cerita. Tapi masalah lain sekarang muncul di benakmu, jadi cerita apa yang akan mulai saya tulis? Apa saya punya ide? Apa saya mampu berimajinasi? Jawabannya ada di tulisan saya selanjutnya.
***
Poin-poin bagian ini:
- Tulisan punya pengaruh besar dalam kehidupan manusia.
- Rebahan bukan alasan kamu tidak bisa menulis.
- Menulis bisa dalam keadaan apa pun, termasuk rebahan.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
