Garuda Evolution

1
0
Deskripsi

Bab 4: Asian Festival Cosplay

Margana cs melayani pelanggan di studio. Selesai melayani pelanggan, mereka menuju dapur. Sena, selesai makan langsung bersendawa. Aji menatap lauk dan nasi di bekalnya habis tanpa sisa. Karena bekal Aji adalah masakan kedua Wanda.

"Kamu yang habisin lagi?"

Sena meringis.

"Maaf, Bang, habis enak," akunya.

Mereka duduk, menyantap bekal. Aji menyeret bekal Samudra.

"Hei, itu bekalku!" serunya. "Mana bekalmu?"

"Dihabisin si Sena," kata Aji, akan menyuap ayam dibekal Samudra namun segera diseret Samudra lagi."Enggak mau! Ambil tuh punya Sena!"

Aji mendengus, menatap bekal Sena yang telah habis.

"Habis juga?"

"Iya, Bang."

"Kamu lapar banget, Sen?"

"Iya, hari ini masakannya cocok dengan seleraku."

"Jadi, aku makan apa nih? Perutku masih lapar. Kemarin juga sama karena habis pertarungan-"

"Pertarungan apa?" timpal Erza sehabis dari kamar mandi.

"Eh? Pertarungan... pertarungan... "

"Bukan pertarungan. Sena Mencoba pedekate sama Wanda, Oom!" lanjut Margana menutupi.

Aji mendelik ke arahnya.

"Oh, kamu masih lapar, Nak? Tuh, di gantungan jok sepeda melayang saya ada bento. Kebetulan pas pergi ke rumah teman saya ada restoran Jepang yang mengadakan diskon..."

Aji berdiri, beranjak ke arah salah satu sepeda melayang, mengambil bento itu.

"Yang ini Oom?"

"Iya."

"Terima kasih," ucap Aji. "Rezeki anak sholeh... hehehe." membuka bento itu.

Samudra mengambil salah satu lauk di bento yang sekarang milik Aji. Aji memukul tangannya.

Plaak!

"Aduh!"

"Ini punyaku! Enak saja!"

Margana, Sena, dan Erza tertawa.

Aji menyantapnya sambil memamerkannya.

"Enak tenaan!"

Samudra mendengus.

"Kemarin mereka itu siapa ya?" kata Margana.

"Siapa, Bang?"

"Kemarin itu pertarungan..."

"Enggak tahu."

Erza menggeser kursi, duduk.

"Pertarungan apa sih yang kalian maksud?"

"Bukan," Margana mengalihkan obrolan, tidak jadi. "Tapi ini ngomongin orang lain Oom."

"Terus?"

"Kami penasaran. Ibu pemilik kost cowok paling tahu..."

"Mirna?"

"Oom kenal sama Bu Mirna?"

"Kenal."

"Saya kebetulan kenal sama salah satu anak kost di situ. Pernah, waktu mengambil peralatan buat fotografi di rumahnya Oom, waktu itu saya jatuh dari sepeda melayang, saya ditolong sama namanya Bang 
Yudha..."

"Yudha?"

"Iya. Kayaknya seumuran sama kalian, Bang."

"Yudha siapa?"

"Yudha Wijaya?"

"Enggak tahu. Pokoknya dia bilang Yudha namanya. Untungnya, peralatannya enggak ada yang rusak."

Margana mengangguk. Seketika Evolution Entity mereka menyala terang. Mereka berdiri.

"Oom, kami pergi dulu sebentar."

"Boleh?"

"Ke mana?"

"Ada urusan."

"Boleh. Jangan lama-lama." ada Whatsapp masuk di handpone-nya. Dia membuka, membacanya.

Mereka keluar berlari, berbelok ke Jalan Mawar lalu berubah.

"Aruna Evolution!"

Mereka berubah lalu meraih kartu Blumbangan, mereka terisap di lingkaran sihir itu menuju Wedhi. Sinetra, mendongak menatap sesuatu yang muncul di atasnya.

"Mereka!"

Ia segera bersembunyi namun kakinya keburu terkena besetan keris menyala merah.

Breet!

"Ugh!"

Ia terjatuh tapi bisa bangkit lagi.

"Dia yang kemarin. Kalian bereskan!" perintah Margana kepada Aji dan Samudra. Mereka langsung melayang ke arah Sinetra. Aji mengeluarkan sihir bola merah-api, melesat ke arahnya.

"Fire Ball!"

Sinetra mengeluarkan pedangnya, melayangkannya ke bola-bola itu.

Sreet!

Sreet!

Samudra melayangkan keris menyala ke arahnya.

Set!

Tring!

Trang!

Margana merasakan daya kartu di sekitar tempat itu. Melayang turun, tangannya diletakkan di atas pasir. Muncul sinar kemerahan lalu padang pasir itu pelan-pelan retak dan menyebar. Aji dan Samudra yang melawan Sinetra mengetahui retakan, langsung melompat bersamaan-Sinetra tak sempat melompat, terperosok jatuh.

"Aaah!"

Jedug!

"Ah!" pekik Eka, kepalanya terbentur meja. Ia meraih pensil yang terjatuh di bawah meja.

"Bullshit!"

Ia memegangi kepalanya yang sakit. Molly, memasuki kamar. Dia melihat Eka, mengeong.

"Apa? Minta makan lagi?" katanya. "Kan sudah dikasih makan tadi. Nanti sore minta sama Sine sana..." ia mencoba menulis novel di buku catatan kosong, diambilnya dari lemari.

"Meong."

"Apalagi?"

Molly naik ke ranjang, menggulung badan, mencoba tidur.

"Tuh, kan sampai mana aku tadi?"

Sebelum menulis novel yang awalnya enggak sengaja itu ia membuka salah satu akun sosial media, dan mencoba berkenalan hingga kontak ke Whatsapp dengan salah satu penulis bernama Lisa Massivecore.

"Nanti, aku tanya Kak Sasa saja," gumamnya, melanjutkan menulis.

Perasaannya mulai tak enak. Ia berhenti menulis. Menoleh ke tas batik milik Sinetra. Beranjak dari kursi, membuka tas-memperlihatkan Evolution Entity-nya menyala terang.

"Huh!"

Ia meraihnya langsung berubah membuat Molly terbangun, membuat kedua matanya silau.

Eka pun terisap kartu Gapuran berpindah ke tempat di mana Sinetra bertarung melawan Margana cs. Melihat sekeliling tempat berpasir itu. Ia menunduk, melihat retakan yang lebar. Perasaannya mengatakan, kalau Sinetra berada di sana. Ia melesat turun, masuk ke dalam retakan namun Margana tahu kehadirannya segera melemparkannya keris kecil menyala.

Set!

Set!

Eka berbalik menghindar, meliuk ke Margana dengan merentangkan salah satu kakinya menendang.

Buaak!

Margana terjungkal.

"Ugh!"

Eka melesat lagi ke arah retakan, masuk mencari Sinetra. Di antara puing-puing itu ia melihat tangan yang tertutupi oleh debu. Ia turun, menariknya. Tampak pemuda itu tak bergerak. Mengibas-ngibaskan debu yang melekat di tubuhnya.

"Sine!"

Pemuda itu tersadar.

"Ka...?"

Eka menggotongnya keluar melesat dari retakan.

"Lihat! Ada Pahlawan Garuda satu lagi!" Aji melihat mereka.

"Mereka mau ke mana?"

"Kita kejar, Dra!"

Samudra menurut bersama Aji mengejar mereka.

Eka melesat terbang ke arah tiga bukit kecil di situ, turun lalu meletakkan Sinetra pelan.

"Kamu enggak apa-apa?"

Sinetra memegang kepalanya.

"Iya..." ia melihat Samudra dan Aji mengejar mereka."Eka, mereka!"

Eka menoleh, berdiri, merentangkan tangannya di atas. Di tengah mereka, keluar dua lingkaran sihir mirip kartu Gapuran tapi ukurannya berbeda.

"Trap Magic Circle!"

Cliing!

Aji dan Samudra terkena lingkaran itu. Tubuh mereka terperangkap.

"Lingkaran apa ini?"

"Kita enggak bisa bergerak!"

Muncul lingkaran sihir di belakang mereka. Dewa, menangkal sihir Eka menggunakan Bunga Api Racun-nya. Keluar sulur-sulur bunga api itu ke arah Eka. Ia melompat menghindar ke bawah, tangannya mengeluarkan lingkaran sihir lagi ke arah Dewa.

Cliing!

Dewa menghindar, sulur-sulurnya membebaskan Aji dan Samudra tanpa mengeluarkan racun.

Bet!

Bet!

Dewa melayangkan sulur-sulur Bunga-nya pada Eka.

"Awas!"

Eka melesat menarik Sinetra, melompat menghindari sulur-sulur itu tetapi Dewa melayangkannya bak angin membentuk pusaran.

"Kita terkejar!"

Sinetra mengeluarkan pedang, dari pedangnya mengeluarkan sihir mencoba menangkisnya.

"Garuda of Oclussion!"

Sihir di pedangnya membentuk lingkaran ombak lalu membentuk Burung Garuda!

Kaak! Kaak!

Wuur!

Garuda di pedangnya menyala, meliuk terbang menangkis sihir Bunga Racun milik Dewa. Sulur-sulur itu langsung terbabat habis tak bersisa.

"Apa?"

"Bagus, Sine!"

Aji dan Samudra yang terbebas dari lingkaran sihir, melesat terbang ke arah mereka mengeluarkan sihir bersamaan.

"Particle Fire!"

"Shooter of Earth!"

Dua sihir bersamaan menghujani mereka sekaligus.

Pteees!

Duaar!

Asap menyeruak di bawah mereka. Samudra melebarkan mata.

"Mereka hilang!"

Di belakang mereka sekelebat muncul dua lingkaran sihir. Eka dan Sinetra muncul menyerang mereka bergantian. Mereka menoleh, terjadi ledakan lagi.

Duaar!

Aji dan Samudra terpelanting ke bawah.

Buaak!

Margana melihat dari kejauhan.

"Mereka dikalahkan?" dia masuk ke dalam retakan, mencari kartu Mandura. Tidak memedulikan mereka.

"Hallo," sapa suara seseorang.

Dia menoleh, terkejut siapa di belakangnya. Seseorang itu menyengir lebar, memperlihatkan giginya. Dia merentangkan tangan, mengeluarkan sihir.

"Sulur Api!"

Sesorang itu menghindar, berbalik menyerang-memukulnya dengan satu pukulan.

Bruuak!

Margana melesat jatuh ke dalam pasir. Seseorang itu ikut melesat arah lain, mencari kartu Mandura. Dalam puing retakan, melihat sebuah cahaya putih, menyambarnya melesat ke atas lagi.

"Called?" Dewa bangkit, melihat dari kejauhan. Tangannya direntangkan ke samping, memanggil Called.

Muncul cahaya merah-api di depannya. Sekelebat di depannya seseorang bertubuh tinggi, memakai baju mecha mirip cyborc berwarna hitam metalik, memakai penutup kepala mirip mahkota wayang jawa, berwajah sangar.

"Hanoman," kata Rahwana.

"Eh?"

Rahwana melesat, merentangkan satu kakinya menendang mengarah Hanoman. Hanoman mengetahuinya berbalik menghindar ke bawah.

"Oh!"

Rahwana meliuk ke bawah, memutar badannya mencoba menendangnya lagi namun kera-manusia itu berputar menghindar. Rahwana merentangkan dua tangannya menyerupai sarung tangan tinju ke depan lalu meninjunya brutal hingga padang pasir itu timbul retakan hebat di mana-mana.

"Rahvana Punch!"

Muncul lingkaran sihir kartu Gapuran di belakang Sinetra dan Eka. Keluar Aksa dan Yudha.

"Kalian enggak apa-apa?" tanya Aksa.

Mereka mengangguk.

"Tapi, siapa dia?" kepalanya menunjuk dua Called itu.

"Hanoman," kata Yudha,"tenang saja. Sebelum ke sini, dia memang kusuruh."

"Kalian lama banget, sih!"

Aksa dan Yudha meringis.

"Soalnya..."

Aksa, di kamar mandi sedang ada panggilan darurat yang tidak bisa ditunda sembari membaca koran yang dibeli abangnya tadi pagi sementara Yudha melayani para tamu di hotel tempatnya berkerja sedang diadakan rapat. Evolution Entity mereka menyala dalam kondisi ini.

"Begitu," kata Aksa, selesai bercerita. "Maaf ya."

Eka mendengus.

Rahwana masih meninju Hanoman. Hanoman tak membalas serangannya sama sekali. Dia menghilang lalu berpindah tempat.

Ke mana dia? Batin Rahwana.

Rahwana menunduk ke bawah namun Hanoman sudah di belakangnya. Dia menoleh, dua tangannya berubah menjadi senapan raksasa mecha.

"Rahvana Jet Attack!"

Tangan senapan raksasa itu mengeluarkan sinar kuning-menembak langsung ke arah sasaran.

Vroom!

Duaar!

"Garuda Provective Ball!"

Aksa mengeluarkan pelindung menyerupai bola, melindungi semuanya termasuk musuh mereka.

"Ini..."

"Kita dilindungi!"

"Tunggu, mana Gana?" kata Dewa."Kita harus mencarinya! Rahwana, cepat tolong Gana!"

Pemuda yang dicari Dewa malah tertimbun pasir akibat retakan hebat tadi tak sadarkan diri. Rahwana sama sekali tak mendengarkan panggilannya karena terfokus pada pertarungan.

"Dia enggak mendengarkanku!"

Duaar!

Asap menyeruak lagi. Rahwana mengerahkan seluruh tembakannya. Hanoman hanya menghindar. Dia melayang turun tak jauh di belakangnya.

"Hanoman."

"Ya?"

"Kenapa daritadi kamu terus menghindar?"

"Aku malas saja," kata Hanoman tak minat.

"Aku serius! Seranganku meleset terus. Kalau kamu enggak serius melawanku sampai kapan pun kamu terus kutantang walaupun berkali-kali!"

"Jadi kamu tadi serius?"

Rahwana menghela napas kemudian merentangkan dua tangannya.

"Rahvana-" perkataannya terpotong, terkejut menatap Hanoman sudah di depan wajahnya, merentangkan satu tangannya meninjunya dengan satu pukulan.

Bruak!

Dia pun terpental menjauh sampai menubruk lempengan pasir membentang luas hingga jebol menyeluruh. Hanoman berbalik, melayang ke arah mereka-melihat Margana tertimbun pasir, menyambarnya. Dia melihat bekas pukulan lebam di pipi kiri pemuda itu.

"Apa pukulanku sesakit itu ya?" gumam Hanoman melayang ke arah mereka.

Aksa membuka pelindungnya kembali.

"Gana!" Dewa menghampirinya.

"Dia cuma pingsan, kok," kata Hanoman.

Terdengar suara berdering di saku mecha-nya. Merogohnya, mengangkatnya. Handpone di tangannya tertera tulisan call "Mama".

"Ya, hallo?" ucapnya, terdengar dari sana suara mamanya.

"Iya, Ma, aku tadi dipanggil sama Master. Hanila nelpon aku? Handpone-ku ku non aktifkan... aku pulang sekarang..." menatap Yudha. "Eh, Ma, aku sama Master, nih!"

Suara dari sana terdengar terkejut.

"Iya. Master, ada salam dari Mama Anjani..."

Pip!

Sambungan terputus.

Hanoman memasukkan kembali handpone-nya lalu memberikan kartunya kepada Yudha.

"Nih, Master," katanya. "Aku pulang dulu! Soalnya Mama bikin kue bolu pisang. Kapan-kapan aku kenalin Master sama yang lain ke Mama," janjinya.

Yudha menerimanya.

"Iya, Sukmasun."

Tubuh Hanoman bersinar, menghilang.

Yudha meletakkan kartu Mandura di Evolution Entity.

Dewa mengangkat tubuh Margana dikuti Aji dan Samudra di belakangnya.

"Kamu mau membawanya pulang dalam keadaan seperti itu?"

Mereka menoleh.

"Apa urusanmu?"

"Lihat, keadaannya. Kalian enggak kasihan? Maaf, pasti Called-ku memukulnya."

Samudra meraih kartu Blumbangan di Evolution Entity-nya, kartu itu menyala, muncul lingkaran sihir di bawah kaki mereka lalu terisap.

"Egois banget," kata Aksa sebal."Percuma aku melindungi mereka tadi." menatap Eka dan Sinetra lantas teringat sesuatu.

"Ah, apa kamu berdua mau enggak ikut di AFC?" tawarnya.

"AFC?"

"Apa itu?"

"Asia Festival Cosplay," jelasnya. "Kalian mau?"

"Maksud kamu ikut jadi pesertanya?"

"Iya. Tapi kalian harus ikut cosplay juga."

"APA?!"

"Aku enggak mau!" tolak Eka cepat.

"Aku juga!"

"Tuh kan, Sa, apa kataku kemarin? Mereka enggak mau," celetuk Yudha.

"Sebentar, dengerin dulu. Aku tahu kamu enggak mau. Maksud aku kamu ikut di acara itu biarpun enggak bisa dandan, kamu nanti didandani sama temanku," jelas Aksa.

Sinetra dan Eka bergeming.

"Mau?

Mereka tampak ragu.

"Cuma kami doang?"

"Nih, Yudha juga ikut. Aku juga."

"Aku cuma dipaksa. Ketimbang kasihan..."

Aksa mendengus.

Mereka pun mengangguk setuju.
Sebelum pulang, Aksa meminta nomor whatssap mereka masing-masing. Dia tersenyum, karena berhasil membujuk mereka.
 

**
 

Besoknya, pagi buta sekali, Eka terbangun karena mendapat telepon dadakan dari Aksa.

"Yang bener kamu?!" pekik Eka dengan setengah sadar. "Aku masih ngantuk... jam enam saja lho..."

Suara Aksa yang lantang seperti alunan screamo menggema memaksa.

"Sekarang? Iya, iya!"

Sinetra terbangun. Ia mengucek dua matanya.

"Ada apa, Ka?"

Eka menatapnya. Tangannya ditepis, bermaksud melarangnya bicara.

"Iya. Sine? Dia sudah bangun! Kamu mau menjemput kami? Enggak usah, pakai kartu Gapuran bisa..."

Eka memutuskan sambungan.

"Ada apa?" ulang Sinetra.

"Buruk, Sine! Kita harus secepatnya ke rumah temannya dia..."

"Dia siapa?"

"Aksa," kata Eka. "Dia menyuruh kita ke rumah temannya karena acara yang dia bilang kemarin ternyata hari ini!"

Sinetra berdiri, beranjak dari ranjang.

"Ayo!" serunya, menarik tangan Eka.

Mereka buru-buru ke kamar mandi namun bergantian. Mama terbangun melihat Eka dengan handuk hijau muda melilit di lehernya menunggu di ambang pintu.

"Kok berisik banget? Kamu mau ke mana?"

"Temanku mengajak kami ke acara, Ma, katanya buru-buru. Padahal kemarin bilangnya tiga hari besoknya. Tuh orang kampret memang!"

"Ya sudah. Mandi sana!" perintah Mama."Mama mau belanja dulu." beliau menghampiri pintu, membukanya.

Sambil menunggu, ia memainkan handuknya. Ayah keluar dari kamar setengah mengantuk.

"Sapa ing jeding?" tunjuk Ayah ke arah kamar mandi.

"Sine, Yah," jawab Eka.

"Sinetra! Sinetra!" panggil Ayah.

Suara air terhenti dari dalam kamar mandi.

"Apa?!" seru Sinetra.

"Lak adus cepetan! Selak kebelet ngeseng!"

"Sebentar!"

Suara keran menyala lagi. Beberapa jam kemudian, ia keluar dengan memakai handuk kuning melilit di pinggangnya.

"Lak adus suwene!" ejek Ayah meraih majalah di dekat pot bunga, masuk ke kamar mandi.

Sinetra cuek, berbelok menuju kamar.

Pintu tertutup, lalu terdengar suara bagaikan bom atom dari kamar mandi.

"Bakal lama deh!"

Selesai berganti pakaian rapi, Sinetra menghampiri dapur.

"Belum mandi?"

"He-eh. Ada emergency call dari kamar mandi," kata Eka. "Kamu mau ngapain?"

Sinetra menghampiri rak sepatu. Mencari sepatu snikers-nya.

"Ambil sepatu."

Molly turun dari kursi di meja makan, dia habis bangun tidur. Meong menghampirinya. Sinetra hapal dengan kebiasaan kucing itu.

"Makan?"

"Meong."

Sinetra langsung memberinya makan dengan ceki khusus kucing. Meletakknya di kedua wadah mungil.

"Sudah, nanti minta makan lagi ke kakak ya," kata Sinetra. "Aku mau pergi."

Molly meong, menyantap makanannya.

Beberapa menit, Ayah keluar dari kamar mandi, mengelus perutnya yang buncit.

"Ah, legaaa!"

Eka menerobos masuk ke kamar mandi, berteriak,"IIH, BAUUUU!!"

"Masa wangi? Ya, baulah!"

Ayah kembali ke kamar.

Setelah semuanya sudah siap, mereka pergi menuju ke rumah teman Aksa dengan menggunakan kartu Gapuran. Lingkaran sihir mengisap mereka, berpindah ke rumah teman Aksa-Yamamoto bersaudari. Di depan pagar sudah terpakir mobil melayang warna hitam milik Pranaja.

"Apa ini rumahnya?"

"Mungkin."

"Kita coba periksa dulu. Siapa tahu keliru."

Mereka masuk saat pagar bergeser otomatis. Ada interkom hologram di samping pintu.

"Permisi," ucap Sinetra.

Terdengar suara seorang wanita di interkom hologram itu.

"Ya, ini siapa?"

"Kami teman Aksa. Apakah dia ada di sini?"

Suara wanita itu berganti suara yang dikenal mereka.

"Hei, aku di sini! Masuklah!" perintah suara itu.

Mereka masuk seraya melepas sepatu. Berjalan ke arah ruangan khusus di situ. Mereka terkejut karena disambut oleh wanita memakai cosplay karakter gadis iblis di salah satu Sinetra mengenali karakter itu, karakter favoritnya sampai tak bisa berkata saking kagetnya. Wanita itu melambaikan tangan pada mereka. Sinetra langsung memeluknya. Wanita itu mengelus rambutnya.

"Kami teman Aksa," ucap Eka.

Wanita itu mengangguk. Dia menggumam"hm" karena mulutnya menggigit bambu hijau di bibirnya. Menyuruh mereka masuk ke ruangan khusus. Sinetra tak melepas pelukannya, mengikutinya.

Ruangan itu tampak kecil. Ada kamar ganti dan dua lemari ukuran sedang di sebelahnya. Sisanya ada meja rias dan cermin, satu kursi dan dua sofa kecil.

Aksa mendongak dari handopne-nya.

"Kalian sudah datang," katanya, sekarang dia ber-cosplay karakter teman Harry Potter di Asrama Gryffindor.

"Ron!" seru Eka, matanya berbinar. Ia menatap Aksa sudah di dandani duluan dengan sangat mirip dengan karakter asli.

"Kamu Ron atau Aksa?"

"Aku Aksa!"

"Beneran mirip! Mana Yudha?"

Aksa menunjuk ke arah bilik kamar yang tertutupi gorden ungu. Mereka menoleh. Di balik gorden itu keluar Gatra bersama Yudha-ber-coplay salah satu karakter dari anime Naruto.

Sinetra menatapnya tak percaya. Yudha melompat berjingkrak heboh layaknya anak kecil.

"Bli, de moto cang biin!" seru Yudha menepis tangan kakaknya yang memotretnya lagi dengan handpone di tangannya.

Gatra tertawa.

"Miih, Sasuke! Dija, Sharingan ci..."

"Sing!"

Mereka menghampiri sofa, duduk.

Sinetra menatap Gatra. Gatra menatapnya gantian.

"Lho, kamu kan yang di kampus itu?"

Sinetra tersenyum.

Gatra mengulurkan tangan kepada Sinetra.

"Pas kita ketemu, kita belum kenalan kan? Saya Wayan Gatra," dia memperkenalkan diri. "Abangnya Yudha."

Sinetra membalas uluran tangannya.

"Sinetra, Bli."

Gatra bergantian mengulurkan tangan ke Eka.

"Eka."

Dhanni dari dapur bersama Bumi dan Pranaja membawa camilan dan minuman. Masuk ke dalam ruangan. Pranaja meletakkannya di meja kecil. Bumi mengetahui Eka dan Sinetra melayang ke arah mereka menubruk wajah Eka, mengelus pipinya.

"Temanmu sudah datang, Sa?" tanya Dhanni, yang sudah berdandan salah satu karakter berkuncir kupu-kupu.

"Nih, Sis," Aksa menunjuk mereka.

Pranaja membisikkan sesuatu di telinga Aksa, menanyakan siapa mereka.

"Iya," katanya.

Dhanni melihat mereka 
bergantian-melihat Sinetra memeluk kakaknya.

"Kamu kenapa meluk Anee-san? Kamu suka banget sama karakter itu?"

Sinetra tampak malu, melepaskan pelukannya dari pnggang Dea.

"I-iya. Maafkan saya," ucap Sinetra meminta maaf.

"Oh, enggak apa kok." Dhanni menghampiri meja rias, meraih sebuah buku bersampul cokelat menghampiri mereka.

"Ini, silakan kalian lihat. Kalian ingin ber-cosplay karakter seperti apa," ujarnya memberikan buku itu.

Sinetra menerima, membukanya.

Di buku itu banyak daftar karakter yang ingin dipakai. Termasuk karakter favorit Eka, Lee Jordan, dari asrama Gryffindor.

"Waah!"

Sinerta membalikkan halaman berikutnya. Ada kumpulan karakter dari komik Marvel DC. Ia membalikkannya lagi kumpulan dari manhwa, manga dan anime.

"Kita yang mana nih?"

"Aku jadi bingung!"

"Bagaimana? Kalian pilih yang mana?"

"Terpaksa, Kak, yang ini!" tunjuk Eka heboh, pada gambar karakter Harry Potter!"

"Saya enggak tahu."

Sinetra akan menutup bukunya namun ia menjatuhkannya dan buku itu memperlihatkan karakter apa yang dipilihnya. Ia tersenyum merekah, membungkukkan badan, meraih buku itu.

"Nah, karakter ini saja!" serunya, menunjuk gambar itu.

"Yang ini?"

"Iya."

"Mana cocok kamu pakai karakter ini?"

Pundak mereka seketika ditepuk oleh Dea.

"Cocok kok. Asalkan itu ada di tangan kami," kata Dhanni, memainkan tangannya.

Dea mengangguk setuju.

Dan, dengan dua jam lamanya dan susah, mereka menurut saat didandani oleh Yamamoto bersaudari. Dhanni melengkapi mereka kostum yang dipilih mereka. Menyuruh mereka keluar duluan dari bilik kamar.

Aksa dan lainnya yang sedang menyantap camilan menoleh menatap mereka dengan kagum dari atas sampai bawah.

"Woow!"

"Apa kamu Sinetra sama Eka?" tanya Yudha, camilan di mulutnya sampai terjatuh.

Aksa menyeruput teh gelas ternganga.

"Iya, ini kami."

Dea dan Dhanni keluar dari bilik kamar.

"Coba kalian bercemin," suruh Dhanni.

Mereka menurut, menghampiri cermin besar itu. Mereka tidak percaya melihat tampilan mereka sekarang. Mata mereka berbinar-binar.

"Apakah ini beneran aku?" kata Sinetra.

"Enggak bisa dipercaya... kita bisa seperti ini karena dua tangan dewa mereka..."

Dhanni tersenyum, Dea terharu.

"Oke, kita berangkat sekarang!" Aksa membuang teh gelasnya yang sudah kosong di tempat sampah di sampingnya. Dia berdiri, beranjak keluar dari kamar itu.

Sinetra dan Eka berbalik, terdengar bunyi perut mereka.

Krucuuk!

Mereka meringis.

"Kalian lapar? Makan dulu camilannya. Nanti di sana kita beli makan," kata Dhanni, "Anee-san, mobil melayang kita sudah siap?"

"Kakak orang Jepang?"

"Iya, enggak usah kaget begitu."

Dea menunjukkan jempol, menandakan sudah siap. Dia mengangkat tas kotak kayu berukuran besar di samping meja di ruang tamu, menyuruh Sinetra untuk memakainya.

"Memangnya harus pakai itu?" tanya Eka.

Dea mengangguk. Membantu Sinetra memakainya.

"Soalnya tas ini buat kakak ini," kata Sinetra, mengucapkan terima kasih.

"Apa maksudmu?"

"Entar aku kasih tahu di acara itu. Ayo," ajaknya kepada Dea dan Eka.
Mereka keluar dari ruangan menuju teras.

Aksa bersama yang lain memasuki mobil melayang Pranaja sementara Sinetra menurunkan tas kotak kayu dicangklongnya, memasukkannya ke garasi mobil melayang milik Yamamoto bersaudari. Dea menepuk pundaknya, menawarkan ia naik ke mobil mereka.

"Enggak, saya ikut Aksa," tolaknya halus.

Dea mengangguk, menyusul adiknya masuk ke mobil.

Sinetra menghampiri mobil melayang
Pranaja. Ia masuk saat pintu bergeser, duduk di sebelah Gatra. Tangannya menutup mulut karena ia menguap.

"Aku mau tidur sebentar, Bli," menyambar boneka Grizzly dari Kartun We bare Bears di belakang kursinya. Ia melongok ke belakang, Eka dan Yudha sudah jauh tertidur. Ia pun mencoba tidur.

"Iya," kata Gatra, membuka handpone.

"Sudah siap?" Pranaja mendongak ke arah cermin mobil.

"Sudah."

"Sudah, Brot."

Dea, menyetir mobil merah melayang keluar pagar, melenggang duluan disusul mobil melayang Pranaja di belakang. Handpone Aksa berdering, mengangkatnya.

"Yeah, hallo?"

Suara dari seberang menjelaskan.

"Sudah berangkat nih, Sir."

Dia terdiam sebentar. Menjawab,"Baik."

Aksa mematikan handpone.

"Kenapa, Sa?"

"Sir Devian nelpon. Mereka juga dalam perjalanan. Aku tidur dulu, Brot." dia meraih bantal, memejamkan kedua mata.

Pranaja fokus menatap ke depan mengikuti mobil melayang di depannya. Dua mobil melayang itu berbelok ke jalan raya, menyalip pelan mobil-mobil melayang lain hingga di depan lampu lalu lintas dua mobil itu berhenti. Di belakang mereka, mobil melayang putih juga berhenti. Di dalam mobil melayang itu tampak Erza dan Sena memborong peralatan berupa kamera dan lainnya di bangku belakang. Sama seperti Sinetra dan Eka, dia ikut didandani. Waktu di rumah Maria, seorang make up artis, dia terpaksa didandani mirip karakter Levi Ackerman. Mereka disuruh menyusul di acara itu. Dia masih emosi gara-gara itu.

"Padahal kan aku enggak mau!"

"Sudahlah, Oom Levi-eh Oom Erza. Penampilannya sudah bagus, kok." Sena menenangkannya.

"Bukan masalah itu, dia itu tukang maksa! Enggak ada yang lain apa selain aku yang didandani kayak siapa itu... Lepi siapa..."

"Lepi eh Levi Ackerman!" Sena membenarkan.

Lampu lalu lintas berganti warna hijau, mobil-mobil melayang mulai berjalan. Pranaja menjalankan lagi mobilnya perlahan lalu meluncur mengikuti mobil melayang di depannya. Mobil melayang merah di depan mobilnya berbelok ke salah satu jalan menuju taman. Dari arah taman, ada sebuah stadion olahraga, STADION CYBORC. Stadion itu tampak ramai dikunjungi setiap pengunjung yang hadir. Pranaja membelokkan mobilnya masuk ke arah parkir sambil menempelkan kartu pembayaran ke dada dua robot yang berjaga. Setelah membayar, memakirkannya tepat di dekat mobil melayang Yamamoto bersaudari.

"Kita sudah sampai," ucap Pranaja, menoleh ke belakang. "Kok pada belum bangun?"

Gatra mematikan handpone-nya ikut menoleh.

"Hei, bangun semuanya! Kita sudah sampai!" serunya.

Mereka terbangun.

"Su-sudah sampai ya?"

Pranaja dan Gatra turun duluan diikuti mereka. Eka turun terakhir terjeduk pinggiran atas mobil.

"Aduh!"

Ia mengusap kepalanya yang sakit.

Mereka menghampiri pintu masuk. Di dalam stadion itu, ada peserta yang memakai kostum seperti mereka. Tinggal Sinetra memakai kembali tas kotak kayu di punggungnya diikuti Dea dan Dhanni masuk. Sinetra terpana saat melihat di sekeliling stadion itu penuh dengan orang-orang yang memakai kostum seperti dirinya sebagiannya pengunjung hanya melihat-lihat dan mampir ke beberapa stand yang menjual makanan dan aksesoris. Erza dan Sena sudah sampai masuk ke stadion. Erza menghubungi Maria. Sena menggotong peralatan. Dia memutuskan sambungan. Membantu menggotong peralatan lain di tangan Sena.

"Dia sudah menunggu. Ayo," kata Erza.

Mereka berjalan terburu-buru hingga Erza menabrak Sinetra.

Bruuk!

Mereka terjatuh. Peralatannya bersamaan ikut jatuh.

"Oom Levi eh Oom Erza!"

Sena meletakkan peralatannya. Menolong keduanya. Dhanni dan Dea sudah lebih dulu meninggalkan Sinetra, tidak tahu pemuda itu tidak bersama mereka.

"Aduh..."

"Oom Levi eh Oom Erza, enggak apa-apa?" Sena meraih tangan Erza, membantunya bangun.

Erza menggeleng, bokongnya sakit.

Sena bergantian membantu Sinetra bangun.

"Maaf, Bang ya, kami terburu-buru!" kata Sena, meminta maaf.

"Enggak apa-apa kok."

"Maaf, Nak, menabrakmu." Erza ikut meminta maaf.

Sinetra mengangguk.

"Anda juga ikut ya?"

"Sebenarnya sih. Tapi dipaksa. Kamu ke sini sendiri?"

"Enggak. Saya sama-" Sinetra menoleh."Lho, aku kok ditinggal!"

Sena tertawa.

"Kalau begitu, ikut kami saja, kebetulan kami mencari teman. Dia juga ke sini," tawarnya. "Tapi cosplay Abang mirip banget sama karakter utamanya. Karakternya pakai anting hanafuda!" pujinya.

"Terima kasih," ucap Sinetra,"kamu pernah nonton anime-nya? Siapa nama kamu?"

"Iya. Seru anime-nya! Namaku Sena. Nama Abang siapa?" Sena mengulurkan tangan ke Sinetra.

"Sinetra." membalas uluran tangan Sena. Menatap ke arah Erza.

"Erza," pria itu memperkenalkan diri, menjabat tangan Sinetra.

Mereka melangkah, mencari teman masing-masing. Sinetra dan Sena melanjutkan obrolan mereka yang terlihat seru. Erza sama sekali tak paham apa yang mereka obrolkan. Terlihat Aksa dan lainnya bersama Devian dan teman band-nya juga teman fotografer Erza. Dia mengajak teman cosplay-nya. Juga Di antara mereka, Eka khawatir.

"Tenang. Nanti dia bakalan nongol." Yudha menenangkannya.

Bumi di pundaknya ikut khawatir, matanya membulat melihat sosok Sinetra. Dia melompat-lompat. Eka mengetahuinya buru-buru memarahinya.

"Kamu ke mana saja! Dicariin malah menghilang!"

Sinetra meringis.

"Bikin khawatir saja!"

"Maaf."

Gantian Erza yang memarahi Maria masih tak terima jika dirinya didandani. Maria yang memakai kostum mirip Hange Zoe, meminta maaf. Sebagai gantinya akan mentraktirnya makanan. Sena menatap mereka, mengenal suara yang tak asing diantara mereka.

"Bang Yudha?"

Yudha terkejut, menutupi mukanya dengan satu tangan.

"Bener, kan ini Bang Yudha?"

"Iya, Dek." Gatra membenarkan.

"Keren!"

Gatra menepis tangan Yudha yang menutupi mukanya.

"Kamu dipuji, tuh! Sudah enggak usah ditutupi mukanya..."

Devian menatap jam dipergelangan tangan kanannya.

"Sudah jam tujuh. Cepat kalian bersiap," kata Devian kepada anak-anaknya.

Aksa dan teman band-nya menurut. Sebelum pergi, dia mengenalkan Sinetra kepada teman band-nya.

"Ini Sinetra. Dia penggemar kita. Dia saudara Eka-tepatnya Deejay Eka."

"Oh."

"Kamu suka metal?"

"Kamu suka lagu kami?"

"Terima kasih, sudah menjadi penggemar kami."

Aksa dan teman band-nya bersama Devian pamit meninggalkan mereka menuju belakang panggung yang tak jauh dari arah mereka.

Erza masih kesal dipaksa berpose layaknya Levi Ackerman.

"Cukup! Aku enggak mau lagi!"

"Ayolah, Alzaki! Ini demi prefesionalitas!" bujuk Maria, memeluk pinggangnya.

"Aku enggak peduli! Foto saja sendiri!"

Maria membujuknya lagi.

"Kumohon Alzaki... nanti aku traktir lebih! Kamu mau apapun aku
turuti..."

Erza terdiam, berpikir.

"Mau, kan?"

Dia mengeratkan pelukannya membuat yang lain dan para pengunjung melihat ke arah mereka.

"Bener?"

"Iya!"

"Baik. Aku pegang omonganmu."
Maria merenggangkan pelukannya.

"Terima kasih. Alzaki cakep, deh!"

Erza siap dengan posenya, jubah hijau tuanya tertepa angin memperlihatkan replika manuver 3D-nya di belakang punggung.

"Ya sudah. Cepetan kalau mau foto!"

Maria menyiapkan kamera di lehernya, menyetelnya mulai memotret. Sena menyiapkan tripot serta peralatan lainnya.

Acara di mulai dengan Hard Core Band menyapa para pengunjung dan membawakan lagu "Spirit of Garuda" andalan mereka. Suara Aksa mulai mengalun. Para pengunjung heboh. Dea dan Dhanni bertemu teman sesama make up artis yang ber-cosplay karakter anime sama.

"Katanya kamu mau jelasin tas kotak kayu itu?" kata Eka.

"Itu ya, tas kotak kayu ini aslinya buat karakter yang kakak itu cosplay-kan. Karakternya iblis tapi aslinya manusia. Dia dimasukkin ke sini," kepalanya menunjuk ke belakang. "Dia ditaruh di sini karena dia takut kena sinar matahari, tubuhnya bisa mengecil. Tapi dia enggak makan saudaranya. Terus, yang dia lakukan tidur di dalamnya," jelas Sinetra.

"Oala. Kenapa dia jadi iblis?"

"Dia diserang sama musuhnya yang juga iblis."

"Kenapa musuhnya jadi iblis?"

"Kalau dijelasin panjang, Ka."

"Kalian ngomongin apa? Kayaknya seru," kata Yudha nimbrung.

"Bukan apa-apa. Kita enggak makan dulu? Aku sudah lapar banget! Tadi rumah belum sempat sarapan."

"Iya, ayo," ajak Yudha, diikuti yang lain beranjak ke arah banyaknya stan. Sinetra pamit kepada Sena. Mereka beranjak menuju banyaknya stan menghampiri salah satu stan yang menjual makanan. Mereka masuk, mencari bangku berada di ujung.
Pranaja meraih daftar menu yang sudah disediakan. Menatap daftar itu. Pelayan robot menghampiri mereka.

"Kalian mau pesan yang mana?" tanya Pranaja.

Eka di sebelahnya, menatap macam-macam makanan dan minuman.

"Nasi goreng saja," katanya,"Kamu yang mana, Sine?"

Sinetra menompang dagunya dengan tangan.

"Samaan deh."

"Minumannya teh es, samaan," kata Eka lagi.

Pranaja mengangguk.

"Kamu Tra, Yud?"

Gatra meraih menu itu. Memilih apa yang akan dipesan.

"Bebek goreng," kata Gatra.

"Aku juga."

"Maaf, kalau bebek goreng sudah habis. Karena sudah dipesan sama pelanggan di sebelah meja ini," jelas robot pelayan.

"Yang lain." tangan Gatra menelusuri,menunjuk. "Lalapan. Kamu, Bagos?"

"Iya."

"Minumannya samaan."

Robot pelayan itu segera mengaksesnya melalui hologram yang muncul di dadanya. Dia pun melayang pergi.

Terdengar suara ribut dari meja sebelah.

"Abang! Aku mau duduk di sini, di sini!" seru bocah kecil, berkuncir satu berpita warna hijau muda, berambut panjang, memakai baju lengan panjang, celana berwarna hijau senada tampak tomboi.

"Ck, siapa duluan duduk di sini? Aku kan?! Ya sudah, cari bangku lain sana! Hei, itu bebek gorengku!" tangannya merebut kembali makanannya dari bocah kecil itu.

"Abang Jahat!"

Bocah itu langsung menangis, hingga gadis berambut gaya bob, memakai jepit kuning di rambut kanannya memeluk, menenangkannya.

"To, jangan begitu! Dilihat orang tuh!" peringat pria berambut acak-acakan.

Pemuda ber-headband Batik Gatotkaca, berkulit hitam itu cuek, menoleh saat dirinya dilihat Sinetra di meja sebelah. Dia meringis.

Sinetra tersenyum sambil menunggu pesanan, ia memandangi sekeliling stan itu. Suara Aksa menyanyi menggema stadion. Para pengunjung mengangkat tangan tinggi-tinggi saat dia ber-screamo kencang.

Beberapa jam kemudian robot pelayan tadi melayang menghampiri meja mereka meletakkan satu per satu pesanan mereka di meja.

"Silakan menikmati," ucapnya, meninggalkan mereka.

Mereka mulai menyantap makanan masing-masing.

Siing!

Tiba-tiba saja suara berhenti, semua orang termasuk Bumi, Pranaja dan Gatra tidak bergerak kecuali mereka bertiga.

"Apa yang terjadi?"

"Kenapa semua enggak bergerak?"

"Enggak tahu."

Sinetra menatap mereka yang tidak bergerak. Pemuda ber-headband batik Gatotkaca tak bergerak dalam posisi menggigit paha bebek, bocah kecil dipelukan sang gadis menangis dengan mulut menganga.

"Kita harus pastiin dulu," kata Eka.

Mereka beranjak dari kursi, berlari keluar dari stan. Di salah satu spanduk raksasa, di atasnya, satu Pahlawan Aruna duduk terkikik.

"Haha, mereka bodoh!" kata Aji, menjentikkan jari lalu di bawah kaki Sinetra dan Eka muncul dua lubang, mereka terjatuh di lubang itu.

"Aah!!"

Yudha menoleh, menatap dua lubang itu.

"Sinetra! Eka!"

"Aah!!"

Lubang itu terhubung ke dalam suatu dimensi berbeda. Mereka terjatuh saling tumpang-tindih, lubang itu sekejap menghilang.

Mereka merintih sakit, mengusap kepala dan bokong. Mereka melihat dimensi itu berwarna biru mengkilat seperti cermin. Kosong.

"Di mana ini?"

"Sepertinya ini dimensi," kata Sinetra. "Tapi kita harus keluar dari sini!"

"Aku tahu! Sekarang kita mencari portal tadi, siapa tahu ada di sekitar sini... jangan berpisah!"

Mereka mencoba mencari portal tadi hingga menyeluruh. Mereka meraba setiap dinding dimensi itu. Dua jam lebih, mereka kelelahan dan berhenti mencari. Mereka duduk bersandar di dinding dimensi.

"Enggak ketemu!"

Sinetra terdiam sebentar, ia teringat sesuatu-Evolution Entity. Merogohnya di balik haori berwarna bermotif kotak hijau-hitam, memperlihatkannya.

"Kita coba pakai ini!"

"Memangnya bisa pakai itu?"

Sinetra menekan tengah tombol di pinggir benda itu namun tak berhasil. Mencobanya lagi, hasilnya tetap sama.

"Enggak bisa!" serunya."Masa kita enggak bisa keluar dari sini?"

Eka menatap Evolution Entity di tangan pemuda itu. Ia merogoh saku di balik jubah. Melakukannya seperti Sinetra.

"Punyaku juga enggak bisa."

"Bagaimana dong?"

"Padahal kita melakukan sebisa kita... apa dimensi ini menyerap daya di benda ini?"

"Mungkin. Aku sudah enggak tahu lagi..."

"Mau enggak mau, kita menuggu pertolongan."

Sinetra menekuk kedua lututnya, membenamkan mukanya. Eka meluruskan ke dua kakinya ke depan.

"Dimensi ini memang beda ya dari dimensi sewaktu kita berubah..."

"Beda?"

"Iya, beda. Aku rasa kalau dalam dimensi ini seperti kita itu dalam kekosongan. Bebas dari apa yang mengekang diri kita. Kamu sebelum ada aku, perasaanmu bagaimana?"

"Sakit," ucap Sinetra.

"Sakit? Pasti sakit dulu kamu pernah di-bully kan?"

Sinetra menampakkan wajahnya sedikit.

"Memang aku pernah di-bully. 
Sewaktu di sekolah dulu..."

Eka diam.

"Soalnya, aku dulu anaknya polos, sering disuruh-suruh mau bahkan yang menyuruhku itu anaknya tergolong pintar... aku masih ingat betul waktu SMA dulu, aku enggak bisa pelajaran Fisika pas bimbel, guruku sudah pusing mengajariku hingga ketiga temanku tergolong pintar menertawaiku diam-diam di toilet. Jujur saja, aku memang bodoh dalam pelajaran dan enggak terlalu menonjol," ceritanya.

"Tapi kamu punya bakat," puji Eka tulus. "Aku enggak sengaja melihat isi map-mu yang isinya sketsa gambarmu di handpone-mu gambarnya kamu warnai..."

Ia terkejut lalu tersenyum.

"Terima kasih," ucap Sinetra. "Itu cuma hobi. Gara-gara hobi gambarku itu aku pernah enggak naik kelas waktu SD. Mama sampai marah, dan membakarnya."

Eka tertawa mendengarnya.

"Sejak kapan kamu suka menggambar?"

"Dari TK. Sewaktu lulus dari SMA, aku sempat punya cita-cita menjadi animator. Tapi enggak kesampaian terus mutusin masuk desain grafis, mengambil studi setahun. Kamu bagaimana?"

"Aku ya? Aku suka banget baca buku, terutama novel. Paling favorit ya, Harry Potter."

"Pantas. Kalau lihat Aksa dandan karakter Ron, kamu heboh. Aku memang belum mengenalmu sepenuhnya tapi sepertinya kamu kenal banget sama aku." Sinetra mendongak, menatap sekeliling dimensi.

"Masa?" kata Eka."Tapi, aku lihat, kamu tuh orangnya baik. Beda sama orang lain."

"Kamu bilang aku baik?"

"Iya, aku tahu sendiri dari awal kita pertama bertemu."

Terdengar suara ledakan disertai guncangan hebat di sekeliling dimensi.

"Ada apa ini?"

"Saguplo, tolong temukan Sinetra dan Eka! Biar aku yang urus di sini!"

NB:

*Miih, Sasuke! Dija, Sharingan ci... = Wuih, Sasuke! Coba mana Sharingan-mu... (Bahasa Bali kasar)

*Sing!= Ogah! (Bahasa Bali kasar)

 

Bab 5: Harapan yang Sia-Sia

"Saguplo, tolong temukan Sinetra dan Eka! Biar aku yang urus di sini!"

Harimau itu menurut, beranjak mencoba mengendus bau Sinetra dan Eka.

"Enggak akan bisa mencari dua temanmu itu," kata Aji."Sekalipun masuk, pasti harimau kecilmu bakalan enggak bisa keluar." melompat, menendang Yudha. Yudha berbalik, menangkis kakinya, memutar badannya. Aji memutar badan menendang lagi. Dewa dan Samudra menyusul, mereka ikut menyerang.

"Lotus Bloom!"

Dewa menghentakkan tangan kanannya ke bawah, muncul beberapa kelopak Bunga Teratai berukuran raksasa ke arahnya. Dia melompat, Samudra melesat di belakangnya. Mengunci pergerakannya lalu menghentakkannya ke bawah.

Bruuak!

Timbul retakan dan asap menyeruak menjadi satu. Yudha jatuh terkapar. Kostum Garuda-nya kotor, merintih sakit. Samudra dan Aji melayang turun di belakang Dewa.

"Mana Gana?"

"Dia mencari kartu," kata Aji.

Saguplo berlari mengendus setiap sekeliling stadion. Menabrak Sena yang siap dengan membawa kamera. Harimau itu tiba-tiba mengendus sesuatu, tepat di antara salah satu jalan.

Pik!

Harimau itu merentangkan dua kakinya ke depan, mencakarnya cepat hingga robek memperlihatkan sesuatu lubang. Melompat masuk ke lubang menuju dimensi, berlari mengendus lagi menelusuri tempat itu.

"Guncangannya berhenti."

"Mungkin guncangan tadi dari atas."

"Bikin takut, deh... "

"Apa Yudha yang melawan mereka?"

"Yudha?"

"Dia tadi kan enggak ikut jatuh ke dalam portal. Cuma kita doang."

"Terus nasib kita gimana? Masa kita di sini terus?"

"Aku bilang tadi, kita harus menunggu pertolongan."

Sinetra menyerah.

"Enggak tahulah!"

Terdengar suara langkah kaki berlari menuju ke arah mereka-Saguplo datang.

"Itu..."

"Harimau?!"

Mereka melangkah mundur.

"Dari mana harimau ini datang?"

Saguplo melangkah mendekat, menubrukkan kepala ke kaki mereka bak kucing manja kepada majikan.

"Eh, dia jinak!" kata Eka.

Saguplo menubrukkan kepalanya lalu berganti menggelungkan badan. Sinetra membungkuk, mengelus kepalanya. Ia tertawa geli saat tangannya dijilat harimau kecil itu.

"Haha, geli! Kamu lucu ya? Kayak Molly! Kamu sini disuruh sama siapa?"

Saguplo berhenti menjilat, mata cokelatnya memandangi mereka, menggerung pelan.

"Aku enggak tahu gerunganmu," kata Eka. "Harimau ini pasti ada yang nyuruh."

Saguplo menggerung lagi.

"Kamu bliang apa? Mau main? Mau menolong kami?"

Saguplo menggerung, menjilati lagi.

"Kayaknya dia ke sini buat nolong kita..."

Eka ikut membungkuk.

"Kamu bisa mengeluarkan kami dari sini?"

Saguplo berhenti menjilat, mengangguk. Dia berdiri, muncul sinar menutupi badannya mulai membesar seperti bentuk harimau dewasa. Membungkukkan badannya sejajar dengan mereka. Mereka pun naik ke atas punggungnya. Dia berlari ke jalan masuk ke dalam dimensi tadi menuju lubang, melompat keluar dan lubang itu langsung tertutup rapat. Saguplo terus berlari. Sinetra duduk di depan melihat sosok Pahlawan Aruna-Margana, melayang turun di salah satu gedung olahraga. Tangannya meraih kartu Bumiratewu menyimpannya di Evolution Entity-nya.

Evolution Entity mereka kembali menyala. Sinetra mencoba berdiri.

"Kamu mau ngapain?!"

"Aku akan mencoba mendekatinya! Biarpun aku enggak berubah, aku bisa melawannya!"

"Jangan, Sine!" seru Eka, melarangnya. "Dia pakai wujud Pahlawan Aruna!"

"Aku tahu!"

Ia mencoba melompat disertai cahaya dari Evolution Entity namun ia tak berubah. Dua kakinya menapak miring di dinding gedung. Melompat lagi melewati pegangan besi, menendang pemuda itu.

Bruuak!

Margana terjungkal. Dia segera bangkit, membalas serangannya dengan tangan kosong saling menangkis dan menendang. Sinetra mencabut pedang-kalau di anime aslinya Nichirin. Mengarahkannya ke arahnya. Margana menangkis pedang itu seraya tertawa terbahak.

"Hahaha! Kamu memakai pedang kayu itu?" ejeknya.

"Gundulmu! Ini bukan pedang kayu! Tapi replika Nichirin!"

"Oh, kalau enggak salah, tampilanmu itu mirip sama anime yang sering ditonton adikku, Sena..."

Mata Sinetra terbelalak.

Sena?

Ia teringat pemuda yang tadi menolongnya.

Margana menepis pedangnya, meninjunya sampai terjungkal ke bawah. Eka buru-buru menyuruh Saguplo melompat. Ia menangkap tubuhnya cepat. Saguplo merentangkan dua cakar raksasanya menyerang Margana. Dia melompat menghindar, pipinya menggembung keluar semburan merah-api ke arah mereka.

Bruaash!

Margana pun mengeluarkan kartu Blumbangan, keluar lingkaran sihir dan terisap menghilang.

Saguplo melindungi mereka menggunakan pelindung di kepalanya terdapat kristal kuning mengkilat. Pelindung itu menghilang. Semua yang terhenti terkena mantra Penghenti Waktu, kembali seperti semula. Sena yang ditabrak Saguplo saat waktu terhenti, oleng mengenai kamera dan peralatan lain di depannya.

Bruuk!

"Aduh!"

Erza dan Maria menoleh, membantunya bangun serta mengembalikkan kamera dan meletakkan peralatan semula.

"Kamu enggak apa-apa?"

"I-iya," kata Sena, merintih sakit."Aku tadi ngerasa ada yang 
menyenggol..."

"Jangan-jangan pengunjung lain kali."

"Bukan! Kayaknya berbulu..."

"Berbulu?"

"Mana ada hewan berbulu di sini?" kata Erza."Yang ada kingkong di belakangmu," tunjuknya ke temannya yang lain memakai kostum Zeke dalam wujudnya sebagai Beast Titan di belakangnya Sena.

Sena menoleh, terkejut melihatnya langsung memeluk Maria.

"Maaf, menganggetkanmu," katanya, menggigit batang cokelat di tangannya.

Di belakang Erza, teman lainnya baru datang. Dia memakai kostum Mikasa Ackerman bersama temannya Annie Lockhart memakai wujud Female Titan membuat Sena terkejut lagi, memeluk erat Maria.

"Maaf, terlambat! Macet."

"Enggak apa, kok."

"Sudah foto?"

"Sudah, tapi dipaksa sama dia!"

Maria meringis.

Saguplo melompat, menurunkan mereka. Mereka turun.

"Terima kasih, Harimau," ucap Sinetra mengelus pelan kepalanya.

Harimau itu mengangguk lalu menghilang. Yudha menghilang menggunakan kartu Gapuran-menuju toilet, kembali ke wujud normal menghampiri mereka.

"Kalian ke mana saja?" tanyanya.

"Kami terkurung di dalam dimensi."

"Kenapa kamu?"

"Habis melawan Pahlawan Aruna... hebat sekali dia..."

"Jadi kalian enggak berubah pas melawannya?"

"Sama sekali enggak. Tapi harimau tadi yang menolong kami di dimensi."

"Saguplo itu."

"Saguplo?"

"Iya, dia called sama seperti Hanoman," jelas Yudha,"Kita kembali stan, yuk. Pasti yang lain nyariin. Badanku juga sakit, nih."

Mereka berjalan meninggalkan gedung itu. Mereka kembali ke stan tadi. Di sana juga heboh, terutama Aksa yang lebih dulu datang bersama Devian, teman band-nya dan Yamamato bersaudari.

"Aku enggak sadar. Tadi kayaknya kita terdiam seperti patung."

"Iya."

"Kayak tiba-tiba... aku enggak merasakan apa-apa..."

"Aku juga."

Mereka melengok, melihat Yudha dan Eka, yang menggotong Sinetra.

"Kenapa Sinetra?"

"Kamu kenapa, Yud?"

Mereka duduk. Eka mendudukkan Sinetra pelan.

"Kami enggak apa-apa... habis
jatuh..." kata Sinetra menutupi, melanjutkan makan.

Yudha melirik Aksa di meja sebelah terkekeh.

"Ada yang lucu?"

Di sela kekehannya menjawab,"Ada. Aku lihat tadi mulut siapa yang 
maju..."

"Mulut siapa yang maju?"

"Kamu tahu sendiri, kan?"

Aksa tampak bingung.

"Aku enggak ngerti maksudmu." tangannya meraih daftar menu. Sontak dirinya teringat sesuatu. Wajahnya merona malu.

"Tahu dari mana kamu Yudha Wijaya! Kalau aku kayak gitu? Kamu foto, kan?"

Di sampingnya, Devian dan teman band-nya tertawa.

Yudha menghentikan kekehannya.

"Ada lah! Nanti aku ceritaiin pas pulang dari sini. Hei, dibilangin namaku bukan Yudha Wijaya!" sewotnya, menyantap makanannya lagi.

Pemuda memakai headband batik Gatot kaca di sebelah meja mereka menoleh, sedaritadi menyimak pembicaraan mereka. Bocah kecil yang dipeluk sang gadis menatap yang ditatapnya. Dia berhenti menangis.

"Abang lihat apaan sih?"

Pemuda itu kembali menggigit paha bebek goreng, menggeleng.

Sambil menunggu pesanan Aksa dan lainnya, mereka melanjutkan obrolan sampai Yamamoto bersaudari menghabiskan masing-masing dua piring soto ayam karena mereka sangat lapar. Makanan Sinetra telah tandas, menunggu yang lain selesai makan. Menyeruput es tehnya. Beberapa menit, mereka beranjak meninggalkan stan dan masuk ke salah satu stan yang menjual berbagai aksesoris. Mereka sibuk memilih. Apalagi Eka heboh di depan rak aksesoris Harry Potter. Ia bingung memilih di antara syal rajut bermotif garis sesuai asrama di Hogwarts.

"Pilih mana ya?"

"Pilih sesuai seleramu," kata Sinetra, ikut melihat syal-syal rajut itu.

"Tapi semuanya bagus... bingung pilihnya..."

"Harry itu di asrama Gryffindor, kan? Pilih saja syal ini." menunjuk syal bergaris merah-kuning berlambang singa.

"Enggak ah," Eka menolak. Ia mengambil syal hijau bergaris putih berlambang ular di tengahnya. "Ini saja. Kamu enggak nyari aksesoris buat oleh-oleh pulang?"

"Nyari. Tapi deretan aksesoris paling kanan masih di serbu."

Eka meraih gantungan kunci menyerupai Fire Bolt dan Nimbus 2000 di rak bawah, menyeret Sinetra ke arah deretan rak paling kanan. Menerobos kerumunan pengunjung yang heboh memilih.

"Pilih yang kamu suka."

Seorang anak kecil di belakang mereka menangis karena kalah oleh pengunjung lain. Mamanya mencoba meraih anaknya karena terdorong-dorong.

"Mau apa, Dek?"

Bocah kecil itu menunjuk ke 
atas, menunjuk topi menyerupai kepala babi. Eka meraihnya, memberikannya lalu menggendongnya.

"Kamu tunggu di sini. Aku mau ke mamanya dia."

Sinetra mengangguk.

Eka menerobos kerumunan para pengunjung yang berdesak-desakan. Aksa berteriak karena sebagian pengunjung meminta foto bersama secara paksa. Jubah-nya tertarik-tarik bersama teman band-nya juga kecuali Devian yang berhasil membebaskan diri.

Yudha menunggu di luar. Gatra, Pranaja, Bumi bersama Yamamoto Bersaudari ke arah stan yang menjual oleh-oleh. Di sana, Erza memilih jajan yang akan di beli tapi dibayar oleh Maria.

"Kamu beli yang mana?"

Sena bingung memandangi rak berisi macam-macam snack.

"Cokelat ini mau, Bum?"

Bumi di pundak Pranaja mengangguk. Pranaja memasukkanya ke ranjang. "Kamu sudah dapat, Tra?"

Gatra memborong beberapa snack kentang di tangannya.

"Sudah. Yang ini buat anak kost 
lain." memasukkannya ke keranjang. Mereka menghampiri kasir lalu membayarnya, keluar dari stan merenteng masing-masing belanjaan.

"Sudah, Bli?"

Gatra memperlihatkan kantong plastik di tangannya.

"Sudah. Kita tunggu teman Aksa,"
katanya, duduk di tempat duduk yang sudah disiapkan. "Mana Aksa sama dua temanmu?"

"Mereka masih di stan sebelah. Aku tadi mendengarnya berteriak karena pengunjung ada yang meminta foto."

Kembali ke Eka, bocah kecil itu masih digendonganya. Dia melihat mamanya yang terdorong-dorong. Eka menepis para pengunjung, membebaskan wanita itu.

"Terima kasih, Nak," ucapnya meraih anaknya dari gendongan Eka.

"Sama-sama, Tante."

Eka kembali menerobos di antara kerumunan pengunjung menghampiri rak paling kanan melihat Sinetra muram, karena tak mendapatkan aksesoris gantungan kunci berbentuk anting yang mirip dipakainya.

"Kamu kenapa?"

"Direbut gantungan kuncinya."

"Direbut sama siapa?"

"Cewek itu," tunjuknya ke gadis berambut panjang, terlihat dari cara bicaranya yang ngotot. "Kita pulang saja."

Mereka menghampiri meja kasir, Eka membayarnya lalu merenteng belanjaan.

"Nanti aku kasih gantungan kunci Nimbus 2000 deh," katanya mencoba menghiburnya.

Sinetra tersenyum getir.

Mereka menghampiri bangku di mana yang lain menunggu. Dea dan Dhanni keluar merenteng belanjaan. Keluar Erza dan Sena memborong tiga kantong plastik. Dia melihat Sinetra muram. Tangan satunya yang bebas membuka kantong plastik, menyodorkan dua snack kentang kepadanya.

"Nih," ujar Erza.

"Bu-buat saya?"

"Buat kamu. Bagi sama saudaramu ya." dia beranjak diikuti Sena.

"Aku pulang dulu, Bang," pamit Sena.

Mereka melangkah menuju ke area parkir.

Erza menoleh ke Maria,"Suwun ya, Manis!" berbelok ke arah mobil melayang-nya.

Maria menyusulnya bersama teman yang lain. Pipinya merona.

"Jarang banget tuh si Alzaki ngomong gitu ke cewek..." bisik temannya berkostum Titan Colossal diringi anggukkan temannya berkostum Mikasa Ackerman.

"Oom, kenapa tadi ngasih jajan ke Bang Sinetra?"

Erza diam sebentar.

"Enggak apa, Sen. Lagi pula apa salahnya kita berbagi?"

Pintu bergeser, dia memasukkan tiga belanjaannya. Pintu bergeser tertutup berganti pintu depan terbuka. Dia masuk. Sena masuk di samping kirinya. Erza memasukkan kunci ke lubang kunci. Dia teringat wajah Handoko, anak temannya, saat Handoko berusia sembilan tahun, yang berduka cita atas meninggalnya sang ayah karena kecelakaan. Mamanya saat itu sedang mengandung si kembar Hendra dan Hendri. Dia menghiburnya dengan memberinya cokelat. Mobil melayang meluncur meninggalkan area parkir menuju jalan raya.

Margana cs sudah kembali ke studio dengan wujud semula. Saat mereka pergi, mereka menggunakan duplikat mirip diri mereka agar Erza pulang tak curiga. Mereka beristirahat di ruang depan.

"Kalian tahu, aku tadi melawan musuh tapi dia enggak berubah seperti yang biasa kita lakukan," cerita Margana, menyelonjorkan kedua kaki.

"Bener, Ga?"

"Iya."

"Dia kayak apa?"

"Dia tadi pakai pakaian kayak karakter yang pernah ditonton sama Sena... dia pakai anting..."

"Aku tahu siapa," timpal Samudra, membenamkan wajah ke bantal."Shikamaru!"

"Bukan, bukan itu..."

"Terus siapa?"

"Nanti kalau Oom Erza sama Sena pulang, aku tanyakan ke anaknya."

"Oh ya, sebelum mereka berangkat, Oom Erza pakai kostum karakternya siapa? Kayak pernah lihat aku... temanku pernah pakai buat profil Whatsapp..."

"Kenapa dia enggak berubah? Atau yang kamu maksudkan, dia yang jatuh tadi ke portal sihirku? Dua orang kalau enggak salah," kata Aji.

"Dua orang? Satunya kayak apa?"

Aji mengingat-ingat.

"Kalau enggak salah, dia pake kostum kayak penyihir."

"Apa mereka sengaja enggak berubah?"

"Enggak, Ga, kalau masuk ke portal sihir, enggak bakalan bisa berubah karena di dalamnya enggak ada
daya."

"Gila kamu!"

"Tapi tadi mereka bisa keluar," kata Margana.

Aji terkejut.

"Keluar dari mana?" sahut Erza, masuk ke dalam merenteng tiga kantong plastik di belakangnya. Sena menyusul menggotong peralatan.

"Enggak keluar ke mana-mana," kata Aji, menutupi. "Acaranya sudah selesai?"

"Belum," jawab Erza meletakkan tiga kantong plastik itu di meja.

"Wah, Oom, habis belanja?"

"Iya, tapi dibayarin temanku. Ambil saja yang kamu suka." beranjak ke ruang ganti. Sena, kembali memasukkan peralatan di Ruang Foto. Kembali lagi ke ruang depan, duduk di sofa. Margana melirik ke arah ruang ganti, kembali menatap adiknya.

"Sen."

Sena membuka satu di antara tiga kantong plastik, mengambil snack kentang, membukanya.

"Apa?"

"Kamu di acara tadi sama Oom Erza, selain karakter yang dipakai dia, ada?"

"Banyak! Aku tadi kenalan sama namanya Bang Sinetra terus bertemu sama Bang Yudha. Dia pakai kostum Sasuke," ceritanya.

"Yudha yang pernah kamu bilang itu? Terus Sinetra itu pakai kostum kayak apa?" Margana mulai tertarik. Di seberang meja, Aji juga.

"Dia pakai kostum mirip banget sama karakternya Tanjirou."

"Dia pakai anting?"

"Ya, dia pakai anting, dahinya ada tatonya. Ini lho," merogoh saku, memperlihatkan gambar di handpone-nya. Aji menghampiri ikut melihat.

Mata Margana membulat.

"Bener, dia!"

"Kenapa?"

"Eh, enggak." tangan Margana menggeser gambar berikutnya."Kalau ini aku tahu," tunjuknya.

"Itu Harry Potter."

Matanya membulat lagi.

"Abang tumben tanya itu? Bilang saja Bang Margana suka anime-nya." Sena menggigit keripik kentang.

"Cuma penasaran."

"Gitu ngejek aku!"

Margana meringis.

"Tahu enggak? Di sana tadi aku kayak disenggol sesuatu... cepat, kayak berbulu."

"Kucing?"

"Kayaknya."

"Mana ada kucing di sana?"

"Beneran! Aku enggak bohong!"

"Kalau kucing, aku percaya Sen, misalkan itu harimau aku enggak percaya-harimau?" Margana dan Aji berpandangan.

Angkasa melayang ke ruang depan, dia menempel di pundak Margana. Dia menguap.

"Kamu baru bangun, Ang?"

Angkasa mengangguk pelan. Memandang tiga kantong plastik di meja.

"Ada cokelat, Ji?"

Aji merogoh kantong plastik, tangannya meraih Better.

"Cuma Better doang." memberikannya ke Margana.

"Mau?" tawar Margana, menunjukkannya ke robot hitam itu.

Angkasa mengangguk, meraihnya dari tangannya.

Erza keluar dari ruang ganti, menuju westafel membasuh mukanya dengan air. Selesai membasuh, mengelap mukanya dengan handuk kecil yang dibawanya dari rumah. Beranjak ke ruang depan. Duduk di samping Samudra yang sudah lebih dulu tertidur. Dia membuka satu kantong plastik lain. Meraih Tanggo. Melirik Samudra.

"Bangunin sudah, Oom."

"Biarin. Jarang-jarang kalian bisa tidur di sini."

**
 


Mereka melangkah menuju area parkir. Masuk ke mobil melayang Pranaja. Kali ini Aksa yang menyetir. Mobil melayang Yamamoto bersaudari dan teman band Aksa lebih dulu keluar. Sebelum pulang, Dhanni memberitahu kostum yang dipakai mereka bisa dikembalikan besok. Mobil melayang Pranaja melesat keluar menuju jalan raya. Yudha menceritakan mereka terkena mantra Penghenti Waktu lalu Sinetra dan Eka terperangkap ke dalam dimensi. Mereka terhenyak dari kursi, Aksa marah.

"Bisa-bisa dia ngasih mantra itu ke orang-orang-ke kita juga!"

"Awalnya kita enggak tahu. Tapi saat melihat sekitarnya, semua berhenti."

"Tapi, aku mengalahkan salah satunya dan membawa kartunya kabur," kata Sinetra.

"Berarti mantra Penghenti Waktu itu hebat, dong."

"Penggunanya juga hebat."

"Masa aku pulang pakai beginian?" protes Yudha, selesai bercerita. "Enggak ganti dulu, Bli?"

"Enggak usah. Lagian sudah jalan ini. Mau ganti di mana?" Gatra menggeser bantal yang dipakai Sinetra.

"Aku nanti diejek sama anak-anak di kost!"

Gatra menyangkal,"Enggak, Bagos, siapa yang ngejek kamu."

Mobil melayang masih melesat. Berbelok ke salah satu jalan, mobil melayang Yamamoto Bersaudari menuju perumnas sementara mobil melayang Pranaja melesat terus.

"Rumah kalian di mana?" tanya Aksa, fokus menyetir.

"Rumah kami?"

"Masih jauh dari Kota Cyborc. Mau ngapain?"

"Sekalian mengantar kalian pulang."

"Enggak usah! Kami nanti turun di halte Kota Pan, naik angkutan melayang," kata Sinetra.

"Kalau aku turunin di situ, kalian bakal dilihatin sama orang banyak."

Aksa menekan klason kencang, karena di depannya mobil melayang mengerem secara mendadak.

"Apaan sih mobil itu! Renting dulu dong kalau mau belok!"

Mobil melayang putih itu berbelok ke tempat kerjanya, Dewa berbelok ke area parkir, turun dari mobil melayang, buru-buru masuk ke kantornya-mengambil flash disk di meja.

"Untung, masih sempat," gumamnya.

Dia keluar dari kantor. Temannya menyapanya,"Lho, Wa, kok balik lagi?"

"Aku mengambil flash disk-ku yang ketinggalan," jawabnya."Kamu baru mau pulang?"

"Iya. Aku mampir ke kantin bawah sebentar, membeli nasi uduk buat makan malam. Kamu mau balik lagi?"

Dewa mengangguk. Berbalik, berpamitan kepada temannya meninggalkan gedung itu menuju area parkir, menaiki mobil melayang keluar. Terdengar sambungan hologram di depannya-Christine.

"Bang, nanti jemput aku sama Nanda. Di sini mendung," ucapnya.

"Iya."

"Abang di rumah?"

"Enggak. Ini di jalan. Tadi ke kantor sebentar, mengambil flash disk yang ketinggalan."

"Enggak pergi kayak biasanya?"

"Sudah, Chris. Nanti disambung lagi ya."

Pip!

Sambungan terputus di hologram itu. Dewa fokus ke depan melaju ke tempat tujuan. Seperti perkataan Christine, awan-awan mendung disertai suara gemuruh petir. Mobil melayang Aksa melesat memasuki Kota Pan, menyusuri pasar, kantor polisi, dan sekolah. Membelokkannya ke Jalan Anggrek, di depan jalan, Studio Alzaki berada, menuju kost pria. Memberhentikan mobil melayang Pranaja di depan pagar. Di kost itu hanya ada enam orang yang tinggal. Seorang pemuda melihat kedatangan mereka bergegas keluar membukakan pagar. Di dalam, tiga pemuda ikut melihat. Pintu bergeser, turun Gatra dan Yudha, mukanya ditutupi kedua tangan.

"Sasuke?!"

"Dudu, Sasuke. Iki Yudha," kata Gatra masuk ke teras, menoleh,"Terima kasih," ucapnya kepada Aksa.

Aksa tersenyum, melesat lagi ke arah jalan pintas.

"Tenanne, Tra?"

"Iya!"

Mereka masuk ke dalam rumah. Tiga temannya lain terkejut. Dhonny, menyantap mie indomie ternganga.

"Jangan menatapku kayak gitu! Kayak enggak pernah lihat cosplay apa," celetuk Yudha merasa jengah.

Buru-buru tiga temannya menghampirinya. Gatra terdorong bokong Bagas sampai terjungkal ke karpet. Dia menyiapkan tongkat selfie, meletakkan handpone di atasnya. Empat pemuda itu bergaya. Yudha di tengah-tengah mereka. Kamera handpone memotret tak hanya satu tapi beberapa.

"Wis, wis!" seru Yudha merentangkan kedua tangan mendorong mereka menjauh.

"Sek talah, Yud!"

"Ayo, foto maneh!"

"Aku nggawe Bubunka no Jutsu lho!"

"Ora!"

"Geneya kok ora?"

"Aku kesel, Bang! Aku wis ndhek foto maeng!"

"Dilut wae."

"Emoh!"

Yudha berbalik menuju ke kamar mandi di dapur. Mereka langsung kecewa. Gatra bangkit, mengelus bokongnya yang sakit. Dia mendengus meninggalkan mereka ke kamar, melepas udeng batiknya, merebahkan diri ke kasur. Tiga temannya menoleh, melihat Gatra sudah tak ada. Yudha kembali beberapa menit dengan make up di wajahnya sudah hilang-kembali ke wajah seharusnya.

"Lha kok dibusek raine!"

"Dudu Sasuke maneh!"

"Ben." Yudha masuk ke kamar. Di kamar, terlihat abangnya sudah tertidur.

Dia melepas kostum-nya, mengganti pakaian yang dipakai saat berangkat ke rumah Yamamoto Bersaudari. Menaiki kasur bawah, mulai tertidur. Tiga temannya bubar menuju ruang tengah. Joko menatap kantong plastik itu penasaran dia membukanya ternyata berisi aneka camilan kentang.

"Wuih, isine jajan!" seru Joko, membuka salah satu keripik kentang itu.

"Endi?"

"Iki lho!"

Dhonny menghentikan menyantap mie-nya ikut mengambil bagian bahkan lebih.

"Oi, aja akeh-akeh! Sisane gawe Yudha karo Gatra!" Bagas memperingatkan.

Joko teringat.

"Oh iya, Gatra lak seneng karo kentang!" menatap dua kantong plastik itu sesama,"isine kentang kabeh! Dhon, iku nduwekku!" merebutnya dari tangan gemuk Dhonny.

"Oala, tithik wae..."

"Heh, nang tangane sampeyan iku apa? Lak jajan?"

Dhonny menatap lima bungkus snack kentang di kedua tangan dengan kecewa.

"Wis, meneng! Aku tak ngemplok iki," kata Joko mulai menyantap snack kentangnya sembari menyetel televisi di depannya. Dhonny duduk kembali, menyantap mie-nya. Wajah bulatnya muram.

"Dhon, lak entek tuku maneh. Mumpung isa jajan."

Dhonny tak menjawab.

Bagas duduk di samping Dhonny. Membuka bungkusan kentang, menyantapnya. Di televisi, mempertontonkan permainan sepak bola Maschaster United. Joko menggantinya ke FTV di salah satu channel.

"Diganti seh, Jok?"

"Iku wae bola."

"Wis tau ndelok. Dibaleni maneh iku."

"Yudha, kok ora muncul?"

"Turu kayak-e."

"Gatra?"

"Embuh."

Bagas merebut remot dari tangan Joko, mengganti FTV ke channel lain ke sebuah berita kebakaran gedung.

Mobil melayang Pranaja masih melesat melewati rumah-rumah. Sinetra menatap jendela menghela napas. Wajahnya muram tapi tambah muram. Ia menyesal karena saat berhadapan dengan Margana, ia tak berpikiran merebut kartu Bumiratewu. Perasaan bersalah menyerapinya. Eka, di sampingnya sama. Ia juga menyesal. Di pikiran mereka saat ini terlintas sesuatu yang memutuskan, membuat harapan yang menurut mereka sia-sia.

Berhenti dari Aliansi Garuda.

**
 


Mobil melayang Pranaja keluar dari jalan pintas. Melesat di antara ojek online. Sinetra membuka kaca di sebelahnya. Angin sepoi-sepoi masuk. Setengah jam memasuki beberapa kota dan sampai di Desa Jati, Aksa membelokkanya ke jalan di antaranya ada dua gapura berdiri, menyeberangi rel kereta. Tepat di jalan kecil, ada papan nama bernama "Gang Bambu".

"Rumah kalian yang mana?"

"Di tengah itu," Eka menunjuk di balik jendela mobil ke arah rumah ke dua bercatkan putih, di sisi kanannya ada balkon.

Aksa memberhentikan mobil melayang Pranaja di depan pagar. Pintu bergeser, mereka turun. Eka menawarkan mereka untuk mampir, Aksa menolaknya halus. Pintu terbuka, Shinta keluar melihat siapa yang mendatangi rumah. Mobil melayang Pranaja mundur, membelokkannya keluar.

"Siapa ya?" tanya Shinta.

Mereka melongo.

Shinta ternyata tak mengenal dua 
adiknya.

"Ini aku, Sinetra."

"Ini aku, Eka."

"Hah?"

"Iya, Kak."

Mereka masuk, melepas sepatu dan sandal ke dalam rumah. Dua keponakan laki-laki Sinetra di ruang tengah melengok di balik dinding-sama kagetnya dengan Shinta.

Sinetra dilihat seperti itu cuek, masuk ke dalam kamar diikuti Eka. Pintu ditutupnya, mereka melepas kostum yang melekat di tubuh mereka lalu melipatnya rapi. Sinetra melepas kacamata dan dua anting hanafuda, meletakkannya di meja. Mereka keluar menuju kamar mandi di dapur, dua keponakannya masih menatapnya tanpa berkedip. Mereka masuk, membasuh muka mereka.

"Kayak enggak pernah lihat saja," kata Eka, persis perkataan Yudha, mengambil Biore Man, sabun pencuci muka milik Sinetra memencetnya hingga keluar, meletakkannya di pinggir baskom air. Mengusapnya ke wajah. Sinetra melakukan hal sama. Selesai membasuh muka, mereka keluar dari kamar mandi, berbelok ke arah kamar. Dua keponakan Sinetra
melihat mereka.

"Bang," panggil di antara mereka. Yang juga menyukai anime seperti dirinya dan Sena.

Sinetra berhenti melangkah di ambang pintu.

"Apa?"

"Abang maeng nggawe kostume Tanjirou karo Harry Potter?"

"Iya."

"Sejak kapan Abang dadi cosplayer?"

"Aku maeng mek didandani thok," kata Sinetra.

"Sing cosplay Harry Potter iku sapa?"

"Dulurku. Dulur adoh saka Kutha Balik."

Sinetra masuk ke kamar, menutup pintunya sedikit. Ia merebahkan badan di kasur. Eka sama halnya Gatra, terlelap.

Suara sekuter melayang memasuki dapur. Mama melepas helm dan masker. Turun, merenteng satu kresek hitam berisi mangga. Meletakkannya di meja makan.

"Kakak, adikmu sudah pulang?" tanya Mama.

"Sudah. Baru pulang," jawab Shinta sudah berada di kamar, melanjutkan menonton K-Drama yang ditonton.

Mama masuk melewati ruang tengah menghampiri kamar depan. Membuka pintu sedikit.

"Lha, pada tidur semua?"

Sinetra menggeliat, membuka mata pelan.

"Apa, Ma?"

"Sudah makan?"

"Sudah. Tadi di sana kami diajak makan."

"Oh, lantas Mama tadi masakin kamu cumi-cumi kesukaanmu," bisik Mama, agar tak kedengaran dua keponakannya.

"Nanti saja makannya. Aku masih kenyang..."

Mamanya beranjak meninggalkan kamar sambil bergumam,"Bikin rujak buah, ah!"

"Aku mau!" seru Shinta, mematikan K-Drama-nya, keluar dari kamar.

"Kamu bantuin ngupas buahnya. Mama yang bikin bumbunya."

Mereka ke dapur, menyiapkan alat-alat dan bahan untuk membuat rujak.

Sinetra terbangun sore harinya, ia mengucek mata sambil mulut menguap-tertutupi satu tangannya. Ia beranjak dari kasur, keluar dari kamar. Berjalan ke ruang tengah, yang sekarang telah kosong. Dua keponakannya sudah pulang saat ia tidur. Molly seperti biasa pulang bermain dengan cicak kecil di mulutnya. Mendekati Sinetra dan memamerkan hasil tangkapannya.

Sinetra duduk di sofa abu-abu. Melihat kucingnya. Ekspresi wajahnya terlihat jijik.

"Euh, aku sudah tahu, kok," katanya,"Kucing pintar!"

Molly membulatkan mata, tampak senang dipuji oleh majikannya. Berbalik, melangkah ke dapur. Dia menyelinap masuk di kolong meja makan, menyantap hasil tangkapannya di sana. Mama yang sedang makan, menjerit ketika mengetahui Molly di kolong meja. Ayah sehabis dari kandang ayam, memberi pakan, langsung panik.

"Apa sih, Ma?"

"Ini, Yah, Molly!"

"Kenapa sama Molly-ke mana ya kucing itu? Kok enggak kelihatan sama sekali?"

"Ini lho, di bawah!" tunjuk Mama ke kolong meja.

Ayah menghampiri meja makan, menundukkan kepala. Molly berhenti menyantap, dua mata birunya menyala bak melihat lawan yang ingin merebut mangsanya.

"Eh?"

Molly menyantap lagi. Kali ini dengan mendesis.

"Tuh, kan, Bang! Dia ngelihat kamu kayak gitu! Jangan dilihat, diusir!" perintah Mama kepada suaminya.

Ayah mendongak tak mengusirnya.

"Suruh Sinetra saja," katanya. "Aku malas..."

"Kamu disuruh malah gantian nyuruh orang lain!" seru Mama seraya mendengus.

Ayah cuek saja, menghampiri westafel di samping rak piring dan sendok, mencuci tangan kemudian berbelok ke arah ruang tengah, meraih remote di meja kecil, menyetelnya namun tak kunjung menyala. Remote itu dipukul-pukulkan di meja. Mencoba menyetelnya lagi, dan berhasil, televisi menyala. Ayah duduk di samping Sinetra.

"Mana Eka?"

"Masih tidur."

"Sore-sore kok turu..."

"Dari tadi siang kok, Bang. Mereka habis pulang dari acara temannya," jelas Mama dari dapur.

"Acara apa?"

"Banyak, Yah."

Ayah menatap rambut anak keduanya yang mencuat ke belakang, bercatkan sedikit warna merah maron di sisi-sisinya. Beliau menatapnya seperti merasa aneh dan berbeda.

"Rambutmu kenapa?" tanya Ayah, menatap rambutnya tak suka.

"Oh, habis cosplay di acara itu," jawab Sinetra menonton kartun Upin dan Ipin.

"Kok rambutmu kayak gitu?"

"Memang gini gayanya, Yah. Eka apalagi, dia jadi Harry Potter tadi."

"Acarane sing nyeleneh."

"Acaranya bukan nyeleneh yang Ayah bilang... kalau aku jelasin, Ayah enggak bakalan ngerti..."

Ayah diam saja.

Terdengar bunyi pesan dari handpone-nya di meja. Meraihnya, membukanya. Eka terbangun, keluar dari kamar sambil menguap masuk ke ruang tengah. Ia menatap Sinetra.

"Sudah mandi?"

"Belum."

"Kalau gitu, aku mau mandi duluan." Eka masuk ke dapur, melewati meja makan, keluar mengambil handuk, kembali lagi di depan kamar mandi.

"Siapa yang ada di kamar mandi, Ma?"

"Kakakmu. Ka, nanti kamu sama Sinetra makan cumi-cumi yang Mama buatkan tadi pagi. Habisin saja," kata Mama berdiri, membawa piring ke keran tadi mencucinya.

"Kakak gimana?"

"Sudah Mama sisakan tadi. Shin, cepetan kalau mandi! Gantian!"

Di dalam kamar mandi, gadis itu tak mendengar omongan mama karena terendam bunyi air mengalir.

"Shinta!" panggil Mama.

Gadis itu tak mendengar.

"Shinta!"

"Apa?!"

"Cepetan kalau mandi! Gantian!" 
ulangnya.

"Iya!"

"Dasar anak itu! Kalau mau mandi sampai mau berapa jam lagi sih?" umpat Ayah.

Setelah dua jam lamanya, Shinta keluar dari kamar mandi dengan handuk bermodel baju, handuk kecil menggulung rambutnya di kepala. Di bergegas ke kamar, menutup pintunya. Giliran Eka masuk.

Upin-Ipin pun berganti iklan sabun. Sinetra berdiri kembali ke kamarnya, terbayang di pikirannya tadi, ia menggeser kursi, duduk, tangannya membuka laptop kemudian menyalakannya. Sambil menunggu, ia meraih tas kecil di gantungan dinding. Membukanya, meraih flash disk. Muncul di layar-menampilkan windows berganti menampilkan wallpaper bergambar gadis iblis menggigit bambu di mulutnya serta ikon-ikon program-nya. Ia menancapkan flash disk itu ke salah ujung colokan. Flash disk pun masuk. Tangannya menggeser mouse ke arah ikon, membuka Microsoft Word. Mulai mengetikkan kata di lembar kosong. Di sela mengetik, mama menghampiri kamar.

"Sinetra, makan dulu," pinta Mama.

"Sebentar, Ma."

"Nanti kan bisa dilanjutin menulisnya. Adikmu nanti keburu datang lagi. Kamu sama Eka malah enggak kebagian. Mumpung mereka belum ke sini."

Mama meninggalkan kamar. Sinetra berhenti mengetik, berdiri dari kursi keluar. Membiarkan laptop menyala. Sinetra berjalan ke dapur. Mamanya meraih mangkok yang disimpannya di atas lemari, meletakkannya ke meja. Masakan cumi-cumi diberi tambahan cabe yang dipotong kecil-kecil dan beberapa buah pete-kesukaannya selain jengkol. Mama kembali ke balkon.

Sinetra meraih piring, mengambil nasi di bakul kecil, mengambil berapa cumi-cumi berukuran kecil dan pete, menyantapnya. Decap lidahnya merasakan makanan itu. Sesekali mama memasakkannya cumi-cumi. Menurutnya, masakan mamanya itu sangat enak dan tak kalah dari masakan semur jengkol buatan almarhum sang nenek. Selesai mencuci, beliau menoleh melihat anaknya lahap memakan masakannya. Biasanya, jika beliau masak, sering malah, makanan itu utuh tak tersentuh dan membuangnya. Apalagi lidah ayah yang kerap kali tak cocok dengan makanan yang dimasaknya, membuat mama jengkel setengah mati.

Mama keluar ke samping rumah, menaiki tangga ke balkon, mengambil jemuran yang sudah kering.

Pintu terbuka, satu menit selesai mandi, Eka sudah berbalut handuk melilit di pinggangnya, rambutnya yang tak bergaya Harry Potter basah karena habis keramas.

"Kamu makan apa, Sine?" tanyanya, dua kakinya diusap-usapkan di keset handuk.

"Makan cumi-cumi," jawabnya. "Nih, kusisakan buat kamu." Sinetra mengambil kuah kental berwarna hitam yang sebenarnya adalah tinta.

Eka berbelok menuju kamar. Masuk, menutup pintu dan gorden seraya berganti pakaian. Selesai berganti pakaian, meraih sisir di meja rias, ia menatap cermin. Di balik cermin itu laptop masih dalam keadaan menyala diringi slide show berbentuk gelembung busa. Menyisir rambutnya yang kembali normal, meletakkan sisir ke tempat semula menghampiri laptop. Ia melihat di layar itu, membacanya.

Kami, Arief Sinetra Dwi Putra dan Eka Prameswara menyatakan undur diri da...

Betapa terkejutnya saat membaca tulisan yang tertera di laptop. Ia keluar lagi dari kamar berlari ke dapur.

"Sine, kamu enggak apa-apa?"

"Ha? Apa maksudmu?"

"Kamu menulis apa di laptop? Aku tadi membacanya!"

Sinetra tak menjawab, membereskan piringnya ke westafel.

"Kenapa kamu menulis itu?"

Sinetra memutar keran. Air keluar mengalir.

"Bukan apa-apa. Aku hanya 
iseng."

"Bohong!"

"Apa sih itu? Ribut saja!" sahut Mama dari atas.

"Enggak tahu," celetuk Ayah tak memperhatikan televisi malah terpekur ke arah handpone, menyaksikan video prank di Youtube sembari rebahan di sofa, mirip sekali dengan karakter Richard Watterson, karakter kelinci berbulu pink yang pemalas dan pengangguran dari kartun The Amazing World of Gumball yang pernah ditonton Sinetra.

"Bohong!" lanjut Eka.

"Dibilangin ya sudah." tangannya menyabuni piring dan sendok, membilasnya dengar air mengalir. Selesai membilas, meletakkan dua benda itu ke rak sesuai tempatnya. Bergegas keluar mengambil handuk, melewati Eka, masuk ke kamar mandi, menutup pintu.

"Sine!"

"Aku mau mandi!" seru Sinetra dari dalam diringi suara keran menyala.

Eka berbalik kembali lagi ke kamar. Shinta selesai mengganti pakaiannya dengan daster biru, bergambar semut berjajar rapi di depan-belakang.

"Ada apa, sih?"

"Enggak tahu dua anak itu." Ayah masih terpekur menonton Youtube di handpone.

Eka masuk ke kamar, duduk di pinggir ranjang menatap laptop yang menampilkan slide show sama. Molly berjalan ke kamar dengan menjilati mulutnya, puas menyantap seekor cicak, menaiki ranjang, duduk di sampingnya berganti menjilati salah satu kakinya.

Ia melirik ke arahnya.

"Ngapain kamu ke sini?"

Molly menjilati kakinya, menatapnya sebentar, menjilat lagi.

Eka menatap laptop. Tak percaya jika Sinetra menulis lembaran di depannya. Daripada menatap lama-lama, beranjak ke arah lemari kecil berisi kumpulan komik koleksi Sinetra dan paling banyak adalah koleksi novel berbagai genre, terutama fantasi dan teenlit. Tangannya terulur ke rak nomor empat deretan novel tebal-termasuk seri novel Harry Potter favoritnya hanya beberapa. Tangannya meraih salah satu novel bersampul biru dan bergambar dua gadis penyihir, berjudul "Darkest of Ray". Saat di dalam tubuh Sinetra, ia suka sekali mengoleksi novel. Alih-alih tersadar, Sinetra tampak bingung karena lemarinya didominasi novel.

Ia duduk lagi di ranjang, membuka novel dengan asal, mulai membaca. Molly berhenti menjilat, merentangkan ke empat kakinya, seperti biasa dilakukannya tidur.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Garuda Evolution
0
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan