Dua Sisi Wajah part 3

1
0
Deskripsi

Ferry

Acara pembentukan panitia untuk pesta pernikahan Yulita sepupuku anak bibiku berjalan dengan lancar. Teman temanku datang semua yang aku minta bantuannya. Mbak Uci yang sudah banyak pengalaman dalam mengurusi saudara saudaranya yang menikah jadi dengan cekatan ia melakukan pembagian tugas untuk kami menjadi panitia nantinya.

Aku mendapat tugas menjaga agar meja saji tak kehabisan lauk-pauk serta nasi sedangkan Dion mendapat tugas membersihkan serta mengangkut piring-piring kotor ke sumur. Robi menjaga meja saji pertama bersama dua perempuan yang adalah sepupu Yulita dari pihak ayahnya sedangkan mbak Uci sendiri menjaga meja suvenir bersama Helen. Dua temanku yang lain yaitu Fandy dan Rahman masing-masing tugasnya sama denganku yaitu seksi mondar-mandir mengangkut makanan.

Setelah rapat pembentukan panitia selesai aku pulang ke rumah diantarkan oleh Dion. Ia hanya mengantar sampai depan rumahku saja, aku ajak mampir katanya ia sedang buru-buru jadi tak sempat. Aku masuk ke dalam rumah setelah Dion pergi.

Karena sekarang belum ada jam sembilan malam maka aku tak langsung tidur. Besok di sekolah ada ulangan kimia, pelajaran yang selama ini cukup menjadi momok bagiku. Kalau aku tak belajar keras maka dipastikan aku akan mendapatkan nilai yang buruk.

Aku langsung masuk kamar melewati ibu dan bapak yang sedang menonton acara ditelevisi yang sedang menayangkan program mencari jodoh yang pesertanya adalah selebritis. Cukup mengherankan juga orang-orang yang terkenal seperti mereka masih saja ikut acara seperti itu. Padahal secara kasatmata mereka terlihat hampir sempurna. Punya fisik yang meyakinkan serta gaya hidup yang tinggi rasanya mustahil hingga untuk mencari jodoh saja mesti ikut acara itu.

"Sudah selesai rapatnya Fer?" Tanya ibuku memalingkan wajahnya dari televisi begitu melihatku pulang.

"Sudah menjadi Bu, semua sudah beres. Tinggal melaksanakannya saja minggu depan!"

"Makan apa tadi dirumah bibi Nur?" Ibu  ingin tahu.

"Empek-empek kapal selam sama mie kuah ikan Bu"

"Kalau masih lapar masih ada makanan di bawah tudung saji tadi ibu masak pepes Kulat Kukur (sejenis jamur yang kecil berwarna abu-abu keputih-putihan yang sering tumbuh pada batang pohon yang sudah mati) sama Lempah kuning ikan Kerisi dengan nanas."

"Iya bu tapi sekarang aku mau belajar dulu soalnya besok ada ulangan di sekolah. Aku masuk kamar dulu ya bu" aku permisi sama ibu. Beliau mengangguk-angguk sambil tersenyum senang. Aku meninggalkan ibu dan ayahku lalu masuk ke kamar. Sekitar limabelas menit aku belajar ibu mengetuk pintu dan memanggilku. Aku berdiri dan membuka pintu kamarku. Ibuku berdiri depan pintu dengan memegang baki berisi segelas susu coklat dan sepiring kue roti papan. Aku mengambil baki dan tak lupa berterimakasih pada ibuku lalu kembali melanjutkan belajar hingga hampir jam satu dinihari.

Chandra

Aku terbangun pagi-pagi sekali bahkan masih gelap gulita suasana diluar. Kulihat emak masih tidur bersama Nana di kasur yang dibentangkan diatas lantai dapur. Saat aku ke kamar mandi ternyata air dalam bak mandi sudah kering. Karena kemarin kakiku masih bengkak jadi aku tak bisa mengangkut air dari sumur belakang rumah. Biasanya jadi tugas rutin sehari-hari dan itu sangatlah membosankan. Tapi emak bilang itu termasuk olahraga yang bermanfaat ketimbang fitnes yang harus bayar mahal.

Memang tak bisa disangkal  untuk remaja seusiaku ini tubuhku terlalu berotot. Kelihatan sekali anak orang susah yang harus kerja keras. Yuk Tatik tetanggaku yang sudah tiga tahun menjanda bahkan sering sekali bilang kalau aku terlihat lebih dewasa dari umurku yang sebenarnya. Bukan hanya sekali tapi sudah kerap kali secara gamblang kalau didepanku ia menggodaku seolah ia menyukaiku. Sempat hal itu membuat emak risih karena ia bahkan beberapa kali mengantarkan kue maupun lauk ke rumah dan memberikan perhatian yang agak berlebihan padaku. Emak sempat memperingatkanku agar jangan macam-macam sama yuk Tatik karena ia tak mau sampai aku membuat aib bagi keluarga. Tak bosan-bosannya emak bilang sudah cukup kemiskinan kami tanpa aku tambah-tambah dengan memberinya malu yang membuat ia bisa mati berdiri.

Namun sebagai remaja yang masih dalam pencarian jati diri, (menurut istilah jaman sekarang yang tak aku mengerti sama sekali maknanya, masak sih jati diri harus dicari) karena sering dikasih sesuatu yang tak aku dapatkan dirumah lama-lama aku jadi tergiur juga. Pada suatu hari ketika emak sudah tidur dan malam belum terlalu larut saat itu aku yang masih belum bisa tidur dan bete berat karena tak ada rokok memutuskan berjalan-jalan di sekitar rumah tanpa ku sangka aku bertemu dengan yuk Tatik. Entah apa yang ia lakukan pada jam segini. Tapi yang jelas terlihat di mataku saat itu ia sedang merokok dengan nikmatnya. Perlu diketahui yuk Tatik adalah janda yang makmur. Dulu waktu lakinya mati meninggalkan duit banyak yang bisa dipakai yuk Tatik untuk hidup tanpa bersahaja. Aku sengaja memperlambat langkah berharap yuk Tatik memanggilku dan menawari sebatang rokok atau bahkan sebungkus itu lebih baik. Benar apa yang aku perkirakan belum sampai tepat di depannya yuk Tatik memanggilku. Ia berdiri dan menunggu di depan pagar rumahnya.

"Mau kemana kamu malam-malam begini Chan? Dingin loh..... Kok nggak pake jaket ntar kamu masuk angin!" Ia menyapaku dan suaranya terdengar bersemangat.

"Nggak kemana-mana yuk hanya mau jalan-jalan cari angin saja" aku menjawab seadanya.

 "Kalau kamu sakit malah jadi repot nantinya mendingan mampir sini temani Ayuk ngobrol, kebetulan Ayuk lagi butuh teman ngobrol" yuk Tatik menawariku.
Sebetulnya aku tak ada minat sama sekali dengan ajakan ngobrol tapi aku tahu ngobrol dengan yuk Tatik artinya aku bisa duduk santai ia buatkan kopi serta dengan santai menyalakan rokok tanpa harus meminta. Akhirnya tanpa pikir terlalu panjang aku memutar langkah masuk ke pagar rumahnya. Yuk Tatik langsung membuka pintu pagar dan menutupnya kembali begitu aku sudah masuk.

"Kita ngobrol didalam saja ya? Soalnya sudah larut sekarang dan Ayuk juga nggak enak kalau sampai emak kamu lihat kamu disini nanti ia bakalan tambah nggak suka sama Ayuk!" Ternyata ia sadar juga kalau selama ini emak tak pernah ngasih muka padanya.
Aku mengangguk-angguk setuju dan ikut masuk ke dalam rumahnya. Lagi-lagi seperti yang sudah aku duga sebelumnya ia langsung bersibuk ria membuatkan aku kopi dan melemparkan sebungkus rokok putih diatas meja dekatku. Tanpa menunggu lagi aku membuka bungkus rokok itu mengambil isinya sebatang lalu menyulut api. Astaga nikmat sekali rasanya. Tak sia-sia aku mampir. Kami ngobrol atau lebih tepat lagi dibilang yuk Tatik curhat dan aku mendengarkan. Ia bilang selama ini dia kesepian. Beberapa lelaki yang pernah dekat dengannya ternyata tak ada yang benar-benar tulus menyayanginya. Mereka dekat yuk Tatik hanya karena yuk Tatik sudah punya rumah sendiri dan banyak uang.  Yuk Tatik aslinya memang tak begitu cantik, ia terlihat agak menarik karena ia pintar berdandan. Tubuhnya tak begitu tinggi serta kulihat ada beberapa lipatan pada pinggangnya yang kurang sedap untuk dilihat.

Semakin malam obrolan makin melantur dan makin gencar. Aku yang sudah bosan mencari celah untuk memotong ucapannya agar bisa pamit pulang namun sepertinya ia sadar kalau aku sudah mku pulang malah makin asik saja. Kopiku sudah habis dan rokok tinggal setengah bungkus. Rasanya sayang rokok itu habis aku hisap hanya untuk menemaninya mengobrol. Saat aku berdiri yuk Tatik ikut berdiri. Ia mengeluarkan hape nya dan bilang ingin menunjukkan sesuatu padaku. Apa yang ia tunjukkan padaku membuat aku kaget. Ternyata film biru dari Arab.

Kepalaku pusing menontonnya dan penis ku menjadi keras. Badanku agak menggigil ditambah lagi yuk Tatik sengaja duduk merapat disampingku dengan tangan mendarat diatas pahaku yang hanya memakai celana Hawaii tipis dan entah siapa yang memulai aku tak ingat. Namun masih jelas hingga sekarang dibenakku tubuh yuk Tatik yang tak berbusana menantang didepanku benar-benar polos. Di pangkal pahanya tumbuh bulu lebat ikal menghitam menutupi Memeknya. Aku sangat terangsang bahkan tak mampu melarang ketika bajuku ia buka dan celana Hawaii serta celana dalamku yang lapuk dan bagian pantatnya sudah banyak lubang itu ia perosot hingga ke mata kaki.

"Oh Tuhan ini lebih dari yang aku bayangkan selama ini!" Yuk Tatik
mendesis lalu mencaplok penisku tanpa aba-aba.

Aku tak pernah membayangkan keperjakaanku lepas pada seorang janda genit. Ternyatabermain seks itu tak senikmat yang diceritakan teman-temanku yang rata-rata sudah dewasa dan beristri selama ini. Aku lebih suka saat penisku masuk mulut yuk Tatik ketimbang masuk Memeknya. Rasanya tak jauh beda terperosok dalam agar-agar jelly yang kurang kenyal karena kebanyakan air waktu memasaknya. Aku sama sekali tak ketagihan dan tak terkesan sedikit pun. Yang ada hanyalah perasaan jijik dan menyesal datang sedetik setelah sperma ku keluar. Aku bergegas memakai baju dan pulang tanpa pamit bahkan rokok pun tak ingat aku bawa pulang.

Ferry

"Fer tunggu!" Seru Dion memanggilku sambil setengah berlari
menghampiriku. Aku yang baru saja keluar dari gerbang sekolah langsung berhenti dan berbalik menunggunya dekat.

"Ada apa Bro?"

"Sore ini sepertinya aku nggak bisa ngajar deh soalnya musti ikut Papa ke rumah nenek kata papa nenekku sakit!"Dion menjajariku dan ikut berjalan bersamaku.

"Kalau begitu kamu ikut jenguk nenek mu saja Yon, soal anak-anak nanti kami bisa handle, semoga nenekmu cepat sembuh ya!"

"Makasih Fer, tolong nanti kamu bilang sama teman-teman lainnya
soalnya aku nggak enak juga harus menelantarkan santri-santriku!"

"Sudahlah kamu tenang saja kalau soal itu tak jadi masalah lagian
santri kita juga pasti akan dikasih tau alasan kamu tak bisa datang, aku juga akan mengajak mereka mendoakan nenek kamu semoga cepat sembuh" aku tersenyum pada Dion.

Untuk urusan tanggung jawab memang tak usah lagi diragukan, Dion jarang bahkan tak pernah aku lihat melalaikan apapun yang menjadi kewajibannya. Hal itu juga yang membuat aku jadi makin simpati dan senang berteman dengannya. Padahal biasanya anak dari kalangan mampu akan lebih memilih untuk bersenang-senang dengan sobat ataupun mejeng sambil pamer sana-sini kekayaan ortunya. Aku dan Dion berpisah di tikungan karena rumah kami tak satu arah.

Di depan rumahku aku melihat ibu sedang melayani orang yang sedang belanja di warung. Aku mengucapkan salam dan dijawab ibuku sambil memberikan sekantong gula pasir kepada Nova anak bu Ningsih tetanggaku yang rumahnya tak jauh dari rumahku.

"Mardiana belum pulang ya bu?"

 "Belum Fer, katanya sekarang ada les tambahan selepas jam pulang. Soalnya mereka akan menghadapi Ebtanas"

"Tak terasa ya bu, Mardiana sudah hampir masuk SMU....."

"Kalau ibu sih terasa sekali Fer, soalnya tiap bulan harus bayar uang sekolah dan buku-buku belum lagi sumbangan ini itu!" Ibuku tertawa.

"Ibu bisa saja..... Tapi pengorbanan ibu tak sia-sia soalnya Mardiana selalu dapat juara umum di sekolahnya"

"Bagi ibu menyekolahkan kalian tak ada kata sia-sia soalnya ibu juga tak mau menanggung kalian sampai nenek-nenek nantinya, ibu mau pensiun sambil menggendong cucu dari anak anak yang ibu sayangi"

Aku tertawa, begitu jauh pikiran ibu. Sekarang aku kelas tiga SMU dan tak beberapa bulan lagi sudah lulus. Setelah itu aku bercita-cita ingin kuliah. Meskipun aku tahu keuangan orangtuaku tidak memungkinkan untuk aku kuliah di luar Bangka tapi  aku akan tetap kuliah disini. Nanti aku akan mencari uang untuk membantu biaya kuliah agar orangtuaku tak terlalu terbebani. Kak Topan usianya baru 24 tahun. Ia tak punya pacar karena baginya tak ada kata pacaran dalam hidupnya. Ia yakin jodoh itu sudah diatur sang mahakuasa. Pacaran itu banyak hal negatif ketimbang positifnya begitulah yang selalu Kak Topan katakan padaku. Tapi ia tak pernah melarang aku untuk pacaran sama siapapun. Tapi karena aku memang belum ada pikir untuk pacaran hingga detik ini aku tak pernah pacaran.

"Kamu masuk dulu ganti baju, cuci muka lalu makan. Habis itu jaga
warung, ibu mau istirahat dulu!"

"Iya bu" aku masuk ke dalam rumah dan berganti pakaian lalu makan setelah itu menggantikan ibu jaga warung.

Jam setengah empat seperti biasa aku ke masjid untuk mengajar anak-anak TPA. Karena hari ini Dion tak masuk maka santri dikelas ku dan kelas Dion aku gabung. Hingga jam setengah enam aku mengajar. Santri yang pulang kami awasi hingga pagar masjid. Setelah itu kami memberesi kapur dan peralatan mengajar karena sebentar lagi masjid akan di pakai untuk sholat maghrib berjamaah. Aku dan Robi pulang bersama karena Robi tak bawa motor. Tanpa aku duga Di jalan aku bertemu lagi dengan anak yang tempo hari bertabrakan motor denganku. Ia sempat melihat
kearahku tapi langsung memalingkan wajahnya. Kali ini dia berjalan kaki. Wajahnya seperti sedang kesal. Aku jadi bertanya-tanya sebenarnya apa masalah yang sedang ia hadapi. Meskipun saat kami kecelakaan dulu ia bersikap kurang ramah entah kenapa aku malahan simpati padanya. Kalau saja saat ini aku tak sedang mengantarkan Robi pulang mungkin sudah aku hampiri dia.

 Kami makan malam bersama sekeluarga. Kak Topan bercerita kalau ia akan naik jabatan di tempat kerjanya. Ibu dan ayahku sangat senang mendengarnya. Itu artinya pendapatan Kak Topan akan bertambah. Ibu membahas tentang masalah pernikahan. Menurut ibu sudah waktunya Kak Topan memikirkan untuk mencari perempuan untuk ia nikahi. Ibu berpendapat semakin cepat menikah itu lebih baik kalau sudah mampu. Seperti biasa Kak Topan tak menjawabnya. Selama ini Kak Topan terlalu memikirkan keluarga. Kata Kak Topan sudah padaku ia mau mencari wanita yang solehah yang tak hanya menginginkan Kak Topan saja tapi harus bisa menyayangi kami sebagai keluarga Kak Topan. Mencari wanita cantik tak akan sulit bagi Kak Topan aku sangat tahu itu.  Banyak teman wanitanya yang secara terang-terangan menunjukkan kalau mereka menyukai kakakku itu, tapi di mata Kak Topan teman wanitanya itu terlalu gaul. Ia tak suka dengan perempuan gaul. Selain susah diurus mereka juga sulit untuk jadi isteri yang baik dan akan sukar mendidiknya karena perempuan gaul menjunjung kebebasan.

Aku jadi berpikir rasanya Kak Topan bakalan susah mendapat isteri dengan kriterianya yang seperti itu. Kak Topan tak jelek, tubuhnya jangkung dan berisi. Kulitnya putih dengan ruas tulang yang panjang-panjang tak kalah dengan tubuh bintang iklan alat olahraga. Rambutnya cepak rapi dan wajahnya tegas di naungi sepasang alis lebat menghitam memayungi matanya yang bulat dan berpupil  coklat muda, bibirnya kemerahan tak tipis namun terlalu tebal pun tidak. Hidungnya mancung bangir. Jadi mustahil tak ada yang berminat dengan sosok yang seperti itu.

Selesai makan seperti biasa kami duduk di depan televisi. Mardiana
nonton sambil belajar, sesuatu yang aku tak bisa meskipun pernah aku coba. Saat aku sedang menonton film barat, Kak Topan mengajakku ke kamarnya. Katanya ada yang ingin ia bicarakan padaku. Dengan hati bertanya-tanya aku mengikuti Kak Topan ke kamarnya. Kak Topan menutup pintu kamar dan menyuruh aku duduk.

"Ada apa Kak?" Tanyaku penasaran. Soalnya kalau Kak Topan bersikap seperti ini biasanya ada sesuatu hal rahasia yang sedang ia simpan.

"Adek bisa jaga rahasia kan?" Kak Topan menatapku lekat-lekat seolah memastikan aku bisa dipercaya untuk mendengar apa yang akan ia sampaikan.

 "Memangnya kenapa Kak?" Sekarang aku benar-benar penasaran. Bukannya langsung menjawab, Kak Topan malah menggaruk kepalanya seakan banyak ketombe dan kutu Di rambutnya itu.
 "Sebenarnya ada wanita yang kakak sukai dan inginkan untuk jadi isteri kakak, tapi ibu pasti tak akan setuju dengan wanita itu dek!"

"Wah Kak Topan rupanya punya pacar ya selama ini?" Aku tertawa karena tak menyangka.
 "Tolong suaranya diturunkan dikit volumenya dek, kakak tak mau ibu dan ayah mendengar!" Raut wajah Kak Topan seolah begitu kepingin menjitak kepalaku.

"Eh iya, maaf Kak!" Aku langsung membekap mulutku dengan telapak tangan dan berhenti tertawa.
"Kenapa kakak bisa mengatakan kalau ibu tak setuju sedangkan kakak belum pernah mengajaknya ke rumah?" Tanyaku heran. Kak Topan menggelengkan kepalanya.

"Sebenarnya kami belum pacaran dek, kami teman sekantor, tapi
diam-diam kami saling menyukai satu sama lain"

"Lalu apa masalahnya Kak?" Aku jadi makin heran saja.

"Dia sudah janda beranak dua dek!" Jawab Kak Topan murung. Aku terhenyak mendengar jawaban Kak Topan itu. Kalau memang itu masalahnya kemungkinan Kak Topan akan susah mendapat restu dari ibu karena Kak Topan adalah anak kesayangan ibu dan aku yakin ibu sangat selektif memilih wanita yang akan jadi isteri Kak Topan nantinya.

Chandra

"Mau kemana lagi kamu Chan?" Belum sempat aku keluar dari pintu suara emak yang melengking sering bikin kuping ku nyaris jebol sudah menghadangku dan membuatku menahan langkah.

 "Ke rumah Ferdi Mak! Di rumah terus bikin otak mumet!" Jawabku sekenanya.

 "Bawa saja baju-baju kamu sekalian tak usah pulang lagi ke rumah ini, bukannya cari kerjaan bantu orangtua ini malah keluyuran tiap hari, punya anak lelaki tak ada gunanya dirumah!" Emak mulai lagi dengan omelannya yang membuat bukan hanya kuping saja yang panas tapi hati juga sepuluh kali lebih panas.
Bukan hanya sekali tapi sudah kerap kali emak mengusir aku dari rumah ini. Terkadang ingin aku pergi tapi aku tak tahu harus pergi ke mana. Emak hanya tahunya aku pemalas dan tak mau cari kerjaan tapi mana pernah ia berpikir dengan keadaanku yang hanya tamatan SMP mencari kerja bukan perkara yang mudah. Entah kenapa penyesalan pernah dilahirkan dirumah ini sering sekali terlintas dalam otakku.

Selalu saja aku disudutkan seperti ini. Selalu berada di rumah terus aku salah, begitu juga kalau aku mau jalan-jalan hanya sekedar ingin melepas sumpek pun aku dimarahi. Ke lima orang adikku yang masih kecil-kecil yang aku pikirkan saat ini. Meski aku sering kesal dengan mereka tapi aku juga sangat menyayangi adik-adikku. Akhirnya tanpa mengindahkan omelan emak aku ngeloyor pergi tanpa bicara sepatah katapun.

Di jalan aku kembali berpapasan dengan yuk Tatik yang melemparkan senyum nakal padaku tapi mengingat kejadian yang lalu membuat aku malu sekali. Sejak itu aku berusaha menghindari yuk Tatik. Namun sepertinya dia selalu punya cara untuk mencari aku. Yuk Tatik memanggilku namun tak ku acuhkan dan ku percepat langkah.

Aku berjalan tanpa tujuan mau kemana. Saat aku di pertigaan aku melihat anak yang aku tabrak tempo hari dan mata kami berpapasan. Aku langsung menoleh kearah lain. Aku tak mau ia tahu kalau saat ini pikiranku sedang galau. Akhirnya dengan uang tujuh ribu yang ada di kantong aku menyetop angkot yang sedang lewat. Dari pada pusing mendingan aku main ke Mall. Lihat anak-anak yang main game koin mungkin bisa menghiburku, suasana keramaian dan hingar-bingar game zona bisa membuatku sedikit melupakan beban pikiran. Rasanya tangan ini sudah gatal sekali ingin menikmati permainan ditempat ini tapi aku tak punya uang untuk membeli koin. Uang empat ribu di kantong hanya cukup untuk ongkos naik angkot pulang. Jadi aku hanya bisa menonton saja.

"Nggak ikut main?" Aku terkejut dengan suara seseorang yang menyapaku.
Aku menoleh dan semakin heran karena aku sama sekali tidak mengenal orang itu.

"Tidak bang, lagi malas aja!" Aku tak mau ia tahu kalau aku tak punya uang.

"Lagi malas kok bersemangat sekali lihat orang lain main?" Ia
tersenyum lebar seperti bisa membaca pikiranku. Aku merasa bagai ditelanjangi. Kenapa sih ada orang yang sok akrab seperti itu, kenal juga tidak tapi sibuk mengurusi urusan orang lain.

 "Ini aku punya koin kalau kamu berminat main kamu pakai saja!" Aku terpaksa menelan kata-kata ketus yang nyaris keluar dari mulutku dan ternganga melihat ia mengulurkan tangannya yang berisi belasan koin"

"Nggak usah bang, terimakasih aku juga sudah mau pulang!" Aku menolak padahal tanganku gatal sekali ingin mengambil koin-koin itu. Ia malah tersenyum makin lebar dan meraih tanganku lalu menjejalkan koinnya ketanganku. Aku genggam dan menatap orang itu dengan rasa terimakasih.

"Oh ya seharusnya kita kenalan dulu, namaku Wahyudi tapi panggil saja Wahyu..!" Bang Wahyu memperkenalkan dirinya mau tak mau aku juga mengulurkan tangan dan menyebutkan namaku.

"Wah Chandra nama yang bagus sebagus orangnya!" Bang Wahyu berkelakar dan aku tertawa berbasa-basi untuk menghargainya. Aku cukup terkesan dengan bang Wahyu  karena kebaikannya padahal aku baru mengenalnya tapi ia sudah memberiku koin untuk bermain game.

"Kenapa malah bengong mumpung sekarang belum terlalu sore mendingan kamu main sekarang saja!" Bang Wahyu mengingatkanku. Aku pamit pada bang Wahyu dan setelah berterimakasih sekali lagi aku langsung main game. Awalnya aku lihat bang Wahyu masih berdiri mengamati aku bermain tapi setelah aku terlalu keasyikan hingga tak lagi menyadari suasana di sekitar saking serunya bermain game saat aku teringat padanya aku tak melihatnya lagi. Mungkin dia sudah pulang. Aku melanjutkan kembali bermain hingga koinku kehabisan. Betapa kagetnya aku ketika aku sampai di depan pintu keluar saat menginjakkan lantai satu di depan eskalator ku lihat langit sudah gelap dan aku lihat jam pada konter serba sepuluh ribu sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam.

Jam segini biasanya angkot tak ada lagi. Terpaksa aku harus jalan kaki pulang ke ruma padahal jarak dari sini ke rumahku bukannya dekat. Dengan lesu aku melangkah gontai meninggalkan Mall. Namun tanpa terduga aku kembali bertemu bang Wahyudi tepat di tangga sedang bicara dengan satpam. Aku tak sempat lagi sembunyi ia telah lebih dulu melihatku. Malu sekali rasanya kalau sampai bang Wahyudi tahu aku harus pulang jalan kaki. Bang Wahyudi menghampiriku.

"Sudah selesai main game nya?" Tanya dia sambil berdiri di depanku diantara gantungan baju yang memamerkan bermacam-macam baju berwarna-warni dan aneka model.

"Sudah bang, abang sendiri kenapa belum pulang?"
Aku balik bertanya padanya.
Bang Wahyudi tersenyum dan menjawab kalau sebenarnya dia adalah Manajer di Mall ini. Aku sempat kaget. Aku baru menyadari kalau pakaiannya memang necis. Kemeja hijau pupus lengan panjang serta celana katun krim berbahan halus serta sepatu pantofel yang ia pakai memang menunjukkan kalau ia orang yang punya kedudukan. Aku makin malu padanya.

"Kamu sendirian ya ke sini? Soalnya abang lihat kamu tak bersama teman!" Kata bang Wahyudi dan hanya aku jawab dengan anggukan.

"Kamu tak bawa kendaraan?" Bang Wahyudi mengamatiku dari ujung kepala hingga ujung kaki dan hal itu membuat aku gelisah. Aku sangat sadar sekali kalau baju yang aku pakai sudah kusam dan celana jeans ini sudah sebulan tak dicuci hingga terlihat kumal. Penampilan kami berdua nampak kontras.

"Iya bang aku sendirian ke sini, aku mau pulang dulu ya bang......
Makasih banyak untuk koin yang abang berikan tadi!" Maksud hatiku ingin cepat-cepat berlalu namun tanganku dipegang bang Wahyudi hingga aku mengurungkan langkah. Dengan heran aku menoleh padanya.

"Sekarang tak ada lagi angkot!" Ujar bang Wahyudi membuat aku kaget ternyata ia tahu kalau aku tak membawa kendaraan.

"Jam setengah sepuluh abang pulang, sekarang belum ada jam delapan kalau kamu mau menunggu nanti abang bisa antarkan kamu pulang ke rumah, tapi kamu harus menunggu dulu, bagaimana?" Bang Wahyudi
menawarkan. Namun aku baru kenal dengannya aku tak mau merepotkannya meskipun aku orang susah bukan berarti aku suka menyusahkan.

"Nggak usah bang terimakasih aku bisa pulang jalan kaki tak apa-apa bang sudah biasa kok!" Aku mencoba menolaknya tapi bang Wahyudi kembali memaksa hingga aku tak berkutik. Bang Wahyudi mengajak aku
naik ke lantai tiga dimana di lantai itu ada kafe untuk bersantai. Ia memesan makanan dan jus buah untukku saja. Ia menyuruh aku menunggunya kerja sambil aku makan. Dan tanpa terduga ia mengeluarkan lagi belasan keping koin dari dompetnya lalu memberikannya padaku.

"Masih ada waktu untuk kamu bermain game sepuas-puasnya, nanti kalau game zona tutup kamu tunggu di depan pintu parkir belakang!" Bang Wahyudi memberitahuku. Aku tak  banyak membantah karena saat ini aku memang lapar dan membayangkan bisa main game lagi membuat aku sangat kesenangan. Selesai makan yang menurutku begitu enak karena jujur aku memang tak pernah makan yang begini sebelumnya.

Kehidupan kami sudah susah dari aku lahir, untuk bisa makan saja sudah sangat bersyukur sekali. Emak tak pernah beli kue yang di jajakan orang setiap pagi karena memang tak punya uang untuk makanan rekreasi seperti itu. Hari ini sepertinya aku mendapat berkah yang tak terduga-duga. Siapa bilang kalau habis berzinah akan dapat sial empat puluh hari, buktinya sekarang aku malah mendapat rezeki.

Aku berhenti bermain game karena penjaganya bilang sudah mau tutup.
Aku kantongi sisa koin yang belum terpakai lalu aku turun dan menunggu bang Wahyudi di parkiran. Tak ada  sepuluh menit aku menunggunya kulihat bang Wahyudi keluar dari pintu karyawan dengan menenteng
bungkusan yang lumayan besar, ia melambaikan tangannya memanggilku.

Aku hampiri bang Wahyudi yang langsung menyuruhku masuk ke dalam mobilnya. Dia menanyakan alamat rumahku dan menyetir perlahan. Mobilnya lumayan bagus menurutku tapi terlalu dingin hingga rasanya
mau batuk tapi aku tak enak hati memberitahunya. Bang Wahyudi ternyata orang baru di Pangkalpinang ini. Aku sempat mengira kalau bang Wahyudi langsung mengantarkan aku pulang ternyata ia malah singgah ke rumahnya terlebih dahulu.

Rumahnya terletak di sebuah kompleks Griya yang tertata rapi. Rumah bang Wahyudi lumayan bagus menurutku. Aku diajaknya masuk ke dalam. Katanya ia gerah dan ingin mandi dulu. Ia menyuruhku duduk dan menyuruh aku mengambil sendiri makanan dalam kulkas kalau aku lapar. Aku hanya diam dan mengangguk-angguk patuh.

Bang Wahyudi menyalakan televisi berukuran nyaris sebesar jendela depan mobil. Ia meninggalkanku sendirian. Cukup lama bang Wahyudi mandi dan aku lihat jam sudah lewat setengah sebelas malam. Aku jadi gelisah karena biasanya jam segini emak sudah tidur. Kalau aku pulang dan membangunkannya pasti aku kena damprat lagi.

Akhirnya bang Wahyudi keluar juga dari kamarnya. Sekarang ia hanya memakai celana pendek dan baju kaus oblong berwarna kuning. Aku membetulkan posisi duduk.

"Kamu lapar Chandra? " bang Wahyudi bertanya padaku. Aku menggeleng meskipun lapar. Pikiranku gelisah saat ini. Hingga lapar pun jadi tak terlalu penting.

"Bagaimana kalau pulang besok saja Chan, sekarang sudah larut, kalau kamu mau menginap disini tak masalah nanti besok abang antar kamu pulang sambil abang berangkat kerja. Tawaran yang bagaikan nyanyian musik termerdu yang pernah ku dengar. Tanpa berpikir panjang aku mengangguk. Bang Wahyudi tersenyum lalu berdiri. Ia membuka kulkas dan mengeluarkan minuman. Bukan minuman biasa tapi bir. Aku menahan nafas, aku bukan orang yang anti dengan minuman keras karena beberapa kali aku diajak teman-temanku minum-minum. Tapi aku baru tahu kalau ada prang yang menyiapkan minuman keras di kulkasnya.

"Kamu mau kan minum ini? " tanya bang Wahyudi sambil menuang minuman ke dalam gelas Aku hanya mengangguk tanpa berkata. Bang Wahyudi mengingatkanku untuk tak lagi malu-malu padanya. Bang Wahyudi ternyata membelikanku baju dan celana aku tak menyangka sama sekali ternyata bungkusan yang di bawa itu ternyata isinya pakaian untukku. Saat melihat aku mau menolak bang Wahyudi kembali mengingatkan aku untuk tak malu-malu.

Ia menyuruhku mencoba baju yang baru ia beli itu. Dalam hatiku jadi bertanya-tanya kenapa bang Wahyudi begitu baik padahal ia baru kenal denganku. Saat aku ragu untuk membuka baju ia mengatakan tak perlu ragu karena sama-sama lelaki. Sebetulnya bukan itu yang jadi kendala tapi celana dalamku bolong parah. Dengan muka merah padam aku menurunkan celana jeans kumal yang aku pakai. Bang Wahyudi sempat ternganga kaget melihat celana dalamku namun sebagai orang yang terdidik ia segera mengatasi kagetnya dan bersikap biasa lagi. Entah kenapa aku merasa saat aku mencoba pakaian itu bang Wahyudi tak pernah
lepas mengawasiku.

"Kamu sangat ganteng memakai baju itu Chan" pujian  bang Wahyudi Membuat aku senang. Bang Wahyudi menyuruh aku mandi. Aku memang belum mandi dari tadi siang. Jadi aku tak menolak saat disuruh mandi. Bang Wahyudi memberiku handuk dan selembar celana dalam yang masih baru ia menyuruhku membuang celana dalam yang sekarang aku pakai. Aku mandi sampai bersih dengan sabun yang berada dalam botol yang sempat aku kira shampoo. Habis mandi aku berpakaian dengan baju baru yang baru di beli tadi.

Setelah itu kembali menemui bang Wahyudi di ruang nonton. Sekitar setengah jam kami menonton film Televisi sudah berakhir dan tanpa aku duga bang Wahyudi menawarkan memutar film porno. Aku tak menjawabnya tapi bang Wahyudi tetap memasukkan CD ke pemutar dalam sekejap film yang membuat badanku panas dingin sudah terpapar didepanku. Beda sekali menonton film ini dengan layar besar dan film nya begitu bening seolah aku Melihat secara langsung. Tanpa terasa aku berkali-kali berangkat buang air.

Bang Wahyudi hanya tertawa melihatku. Ia duduk lebih merapat denganku. Aku konsentrasi menonton dengan otak kacau. Kembali aku dikagetkan dengan sebuah adegan yang bahkan tak pernah sekalipun terlintas dalam benakku. Tiga orang pemain satu wanita dan dua lelaki bermain bertiga- tapi yang membuat mataku terbelalak saat lelaki yang satunya menjilat penis lelaki yang lain saat penis itu tertancap dalam vagina sang perempuan.

Chandra

Aku berdiri secepat kilat, bang Wahyudi terkesiap dan menatapku panik.
"Ada apa Chandra? " tanya bang Wahyudi cemas. Aku tak segera menjawab, aku merasa gemetar ternyata bang Wahyudi seorang gay dan aku paling anti dengan gay. Sekarang aku terjebak disini bersama seorang gay. Harusnya aku lebih peka tadinya. Seseorang tak akan baik pada orang yang tak ia kenal kalau tak ada maksud tertentu.
"Maaf bang aku harus pulang sekarang!"
"Loh bukannya kamu mau menginap disini? Sekarang sudah larut dan abang terlalu capek untuk mengantar kamu pulang" alasan bang Wahyudi. Aku cuma menggeleng dan berkata.
"Tak apa-apa bang aku sudah terbiasa jalan kaki, lagipula jarak dari sini ke rumahku tak seberapa jauh" aku tak mau mengatakan yang sebenarnya kalau alasan aku mau pulang karena aku tak mau terjadi sesuatu. Aku sudah mengerti apa yang ada di benak Bang Wahyudi. Bang Wahyudi terdiam dan terpaku sesaat, seolah tersadar ia mengambil remot dan mematikan DVD.
"Ada yang mau abang katakan padamu, sekarang abang mau bertanya apa kamu takut karena abang gay dan kamu membayangkan abang mau memperkosa kamu?" Bang Wahyudi menatapku tajam, ternyata dia bisa membaca pikiranku. Aku jadi bingung harus menjawab apa. Aku tak mau membuat bang Wahyudi tersinggung karena saat ini aku berada dirumahnya, ia juga sudah sangat baik padaku tapi aku tak menyangka kalau dia seorang gay. Aku punya pengalaman tak enak dengan teman gay. Dulu aku pernah digerayangi waktu aku mabuk-mabukan, Sapta teman yang tak terlalu akrab tapi kadang kami bersama untuk mabuk bersama, waktu itu aku yang sudah sangat pusing akibat pengaruh arak. Aku tertidur dan terbangun lagi karena merasa ada yang mencoba menurunkan celanaku dan ternyata setelah aku membuka mata aku menyadari Sapta sedang berusaha menelanjangiku. Aku langsung tersadar, hilang sudah sakit kepalaku dan aku meraih patung kayu seukuran lengan yang ada di nakas dan menghantamkan ke kening Sapta hingga berdarah-darah. Aku pulang tanpa perduli keadaan Sapta yang mengaduh kesakitan sambil terpuruk dilantai. Itu kejadian setahun yang lalu, masih membuat aku trauma mengingatnya. Aku tak mau kejadian yang sama terulang pada bang Wahyudi.
"Iya bang.... Mohon maaf sebelumnya aku anti dengan gay, aku tak mau berpura-pura kalau aku merasa tak nyaman, jadi aku mau pulang sekarang" kataku tanpa basa-basi. Namun sesuatu Yang tak aku duga terjadi, tiba-tiba bang Wahyudi tertawa terbahak-bahak seolah sesuatu yang lucu sedang berlangsung di depan matanya.
"Kenapa bang?" Tanyaku heran.
"Jadi kamu takut dengan abang karena abang gay? Apa kamu kira karena abang gay, harus langsung menyukai kamu?" Bang Wahyudi balik bertanya padaku. Ditanya seperti itu malah membuat aku jadi bingung harus menjawab apa.
"Bu...bukan begitu bang, a...aku cuma merasa tak nyaman berada disini"
"Menginaplah disini, kamu bisa pulang besok, kamu tidur saja dikamar itu, kalau masih kuatir kamu kunci dari dalam!" Bang Wahyudi menunjuk sebuah ruangan yang terletak disebelah kamar tidurnya. Wajah bang Wahyudi begitu tenang seakan tak tersinggung dengan sikapku yang tak menerimanya. Aku tak tahu apa yang ada di pikiran bang Wahyudi sekarang tapi yang pasti aku memang tak bisa berpura-pura. Akhirnya aku terima usul bang Wahyudi karena setelah aku pikir-pikir lagi apa yang ia sarankan memang benar. Pulang jalan kaki jam segini tidak aman.
Aku masuk ke dalam kamar diantar oleh bang Wahyudi. Aku mengucapkan selamat malam dan segera mengunci pintu meski bang Wahyudi masih berdiri didepan. Semalaman aku tak bisa tidur dan hanya berbaring gelisah.

Rere dan Nana sedang makan dan menghambur-hamburkan makanannya di lantai. Hanya berlauk kecap asin saja. Bang Wahyudi melihat kedua adikku dan tersenyum-senyum. Aku agak malu juga karena bang Wahyudi harus melihat keadaan kami yang menyedihkan ini tapi apa mau dikata kalau memang tak mampu bagaimana lagi memaksa. Bang Wahyudi mengeluarkan dompet lalu memberikan pada Nana dan Rere masing-masing sepuluh ribu. Tentu saja Rere langsung kegirangan karena jarang sekali mereka mendapat uang jajan sebanyak itu. Nana belum mengerti nilai uang tak begitu perduli ia meletakkan uang di lantai disamping piring plastiknya dan tetap sibuk makan sambil bermain-main dengan sendok dan menghamburkan nasi.

"Ayo bilang terimakasih sama om Yudi!" aku mengajari kedua adikku. Rere awalnya tak perduli namun setelah melihat mataku melotot nampaknya jadi takut dan berterimakasih pada bang wahyudi.
Reni yang baru bangun dari tidur langsung merengek sama Emak begitu melihat rere dan nana memegang uang ia mengira Emak yang kasih uang kepada kedua adikku itu.

Emak yang sedang mencuci kangkung di dapur jadi heran karena Emak tak merasa memberi Nana dan Rere uang. Bang wahyudi kembali mengeluarkan isi dompetnya dan memberikan Reni selembar uang sepuluh ribuan. Itu membuat Reni kesenangan karena sama seperti kami anak-anak Emak yang lain mana pernah dapat uang jajan yang begitu banyaknya. Aku merasa tak enak hati pada Bang wahyudi karena belum apa-apa pagi ini sudah habis tigapuluh ribu hanya untuk adik- adikku.  Emak juga merasa tak enak hati dan bilang pada bang wahyudi untuk tak perlu memberi adik- adikku uang tapi Bang wahyudi mengatakan kalau ia tak keberatan karena biasanya ia juga sering membagi keponakan nya uang saat ia masih tinggal di jakarta dulu.  Emak tak mengatakan apa- apa lagi. Setelah itu Bang wahyudi pamit pulang, katanya jam 11 ia kerja. Aku tak menahannya sama sekali karena jujur saja aku memang berharap dia cepat pulang.

Sepeninggal Bang wahyudi Emak menginterogasi aku ia ingin tahu bagaimana aku bisa kenal dengan orang sebaik Bang wahyudi.  Aku mengatakan yang sejujurnya tentang kejadian aku bertemu Bang wahyudi hingga aku diajak kerumahnya, tentu saja bagian yang ia penyuka sejenis tak aku katakan karena tak ada manfaatnya juga.

Perutku saat ini tak lapar tak seperti biasanya karena pagi tadi aku sudah sarapan bersama Bang wahyudi dirumahnya. Makanan yang aku makan tadi enak banget hingga membuat aku ingin menambah sepiring lagi tapi itu tak aku lakukan karena malu bahkan ketika Bang wahyudi menawari untuk tambah aku bilang sudah kenyang.

"Emak mau pergi ngambil pakaian kotor dulu dirumah bu Wati, kamu tolong jaga rumah dan adik-adikmu jangan sampai kamu pukul lagi!" Kata emak sambil memakai sandal jepit yang ia letakkan diantara pintu dapur dan ruang tamu. Aku agak heran juga buat apa emak mengambil pakaian kotor.
"Emangnya buat apa mak?" Tanyaku penasaran. Emak mendengus sambil terus berjalan ia menjawab.
"Ya buat di cuci memangnya buat apa lagi!" Aku terpana mendengarnya sejak kapan emak mengambil upah nyuci baju tetangga. Meskipun Emak menjawab dengan ketus tapi aku diam saja. Aku kasihan juga sama Emak yang harus membanting tulang seperti ini padahal aku anak lelakinya tapi tak bisa diandalkannya. Aku menjaga rere dan mengajaknya belanja makanan ringan di toko dengan uang yang tadi diberikan oleh bang wahyudi.
Untung saja nana tak rewel karena ada makanan yang ia sukai.

Aku sedang masak mie instan untuk Rere dan Nana ketika bibi Sumi datang dengan wajahnya yang angkuh dan sikapnya yang sok. Aku tak langsung menjawab ketika ia memanggil emak. Aku pura-pura tak mendengar namun terdengar suara adikku menyuruh dia masuk. Aku mengangkat mie dari atas kompor dan menuang isinya ke dalam tiga mangkuk plastik. Sebungkus aku bagi untuk tiga adikku yang masih kecil-kecil. Saat aku keluar dari dapur aku lihat bibi Sumi sudah duduk di kursi makan sambil berkipas dengan majalah saat melihatku matanya melotot.

"Kamu tuli ya dipanggil dari tadi tak menjawab?" Tanyanya ketus. Aku tak menjawab dan pura-pura cuek dengan santai meletakkan tiga mangkuk tadi diatas lantai dan memanggil ketiga adikku. Melihat mie kuah yang asapnya masih mengepul dan menguarkan aroma yang menggelitik perut tanpa diberi aba-aba kedua kalinya adik-adikku langsung menyerbu mie itu tanpa menghiraukan apapun lagi.

"Kemana emak mu?" Tanya bibi Sumi dengan tatapan meremehkan melihat ketiga adikku yang makan mie dengan lahap.

"Lagi kerja!" Jawabku singkat.

"Itu mie sedikit amat mana kenyang makan segitu, gimana mau sehat! Emak kamu itu kayak kecantikan aja ada duda melamarnya dulu ia tolak, sekarang itu lihat saja kurus-kurus anaknya kayak jarang dikasih makan!"

Kesal sekali aku mendengarnya tapi aku tahan emosi.
"Sebenarnya ada apa bibi kemari?"
"Memangnya kalau mau kemari harus ada apa-apanya dulu ya?" Bukannya menjawab malah bertanya balik dengan sewot. Aku sedang tak ada hasrat untuk meladeni bebek Serati angkuh itu.
"Masih lama nggak emak kamu pulang?"
"Nggak tau, kalau memang penting nanti aku sampaikan apa pesan bibi!" Kataku ingin ia berambus dari sini secepatnya. Sepertinya ia sadar dengan jawabanku yang sinis karena kulihat ia langsung berdiri.
"Bilang saja jam tiga suruh datang kerumah buat bantu2 ada acara selamatan. Kamu juga datang daripada kelayapan nggak ada juntrungannya!"  Ia berbalik untuk pergi namun baru pertengahan mau ke pintu tiba-tiba ia balik lagi membuka dompetnya lalu meninggalkan selembar uang limaribu diatas meja makan.
"Belikan mie lagi buat adik kamu!" Katanya tanpa ekspresi lalu bergegas keluar dari rumahku seolah ada wabah penyakit yang harus ia hindari.

Aku sama sekali tak menyentuh uang pemberian bibi Sumi, entah kenapa perasaan antipati terhadapnya semakin hari semakin besar. Mulutnya yang tak bisa dijaga dan kesukaannya menghina emak membuatku muak bahkan membencinya padahal selama ini aku lihat emak tak pernah mencari masalah pada bibi Sumi. Mungkin dia kira dengan uang limaribu itu aku bakalan kagum padanya.

Setelah ketiga adikku selesai makan aku memandikan mereka. Biasanya emak yang melakukan tugas ini tapi karena emak lagi sibuk jadi terpaksa aku menggantikannya.

Nana tak rewel mungkin dia tahu kalau aku tak sabaran menghadapi anak rewel demikian juga dengan Rere. Bahkan saat aku suruh mandi tadi mereka langsung nurut padahal biasanya emak kewalahan kalau memandikan mereka.

"Sudah mandi jangan lagi main kotor!" Aku mengultimatum Rere. Ia mengangguk. Aku tersenyum lalu membedaki wajah Nana dengan bedak tubuh seperti yang kerap emak lakukan. Setelah itu aku menggendong Nana keatas kursi.

"Kalian tunggu dulu disini abang mau ke toko dulu beli permen buat kalian! "  karena ketiga adikku tak banyak tingkah aku mau membelikan permen buat mereka karena aku sangat tahu sekali kalau adik-adikku menggemari permen.

"Reni kamu jaga Rere sama Nana jangan sampai mereka main pasir atau tanah!" Aku mengingatkan Reni dengan tegas. Soalnya biarpun umurnya nyaris tujuh tahun adikku yang satu ini sering bertingkah manja seolah ia anak paling bungsu.

"Iya bang!"

"Jangan cuma iya bang iya bang saja! Awas ya kalau sampai kamu biarkan mereka main pasir nanti abang pukul punggung kamu pake sapu lidi kasur! " ngomong dengan Reni terkadang memang harus tegas dan memakai ancaman kalau tidak ditakut-takuti ia akan menganggap angin lalu soalnya sudah sering kejadian ia mengacuhkan perintahku hingga aku yang kena marah emak.

Aku meninggalkan mereka dan pergi ke toko. Sampai di toko aku membeli beberapa buah permen dan cokelat yang murah dengan uang pemberian bang Wahyudi. Saat hendak membayar, tanpa sengaja pandanganku terarah pada sebuah boneka terbuat dari plastik mirip Barbie tapi yang itu adalah tiruannya karena kemasannya bukan kotak melainkan plastik bening sekadarnya. Timbul keinginanku untuk membelikan untuk adikku. Nana tak punya boneka. Tapi kalau aku beli cuma satu pasti Reni iri dan ujung-ujungnya merengek sama emak. Nana juga tak mungkin main boneka karena ia cowok, paling tidak aku juga harus membelikan dia mainan khusus cowok. Untuk membeli buat mereka bertiga aku tak punya cukup uang. Akhirnya aku mengurungkan niat membeli boneka pada Nana. Aku bertanya pada penjaga toko berapa harga boneka itu ternyata harganya tak begitu mahal dan uangku cukup membelinya. Aku berterimakasih pada penjaga toko sambil mengambil kembalian yang dia berikan. Aku meninggalkan toko sambil berniat untuk kembali lagi beberapa hari lagi untuk membeli dua boneka serta satu mobil-mobilan kalau uangku sudah cukup.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya Dua Sisi Wajah part 2
1
0
Ferry dan Chandra. Kalian tim mana? 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan