
Dua orang yang tidak saling mengenal, bertemu secara tidak sengaja dan menjadi musuh karena mencintai orang yang sama
Pangkalpinang
FERRY
# Insiden
“mau pulang sekarang fer?” aku menoleh dan menghentikan sejenak kesibukanku menyusun buku buku ke dalam tas. dion sahabatku sesama guru TPA di masjid al-hikmah berdiri dibelakangku sambil tersenyum. “iya nih.. soalnya masih ada sedikit tugas yang belum selesai, kamu mau bareng?”, tanyaku sambil berdiri dan menghampirinya. “duluan saja, masih mengajar anak tingkat dua menghafal doa doa singkat..!”, jawab dion sambil duduk di bangku panjang dari papan yang ada diruangan khusus mentor di TPA ini. “kalau gitu aku duluan ya, tadi aku sudah kasih tau fatma buat gantikan aku sementara di kelasku, sampai jumpa kamis… "assalamualaikum…” “waalaikumsalam, hati hati dijalan…” dion mengantarku hingga di depan pintu perpustakaan masjid. aku berjalan menuju pekarangan masjid tempat aku memarkir motor, sebuah motor yang walaupun sudah tua tapi masih cukup terawat. motor yang setiap hari setia menemaniku kemana-mana. pagi mengantarkan koran lokal kerumah rumah disaat masih gelap, setelah itu mengantarkan ibu ke pasar pagi untuk membeli kebutuhan sehari hari serta alat alat toko yang stoknya sudah hampir habis. untuk menambah penghasilan dirumah, ayah membuka toko kecil kecilan, yang jaga ibuku, terkadang dibantu kak topan dan adik perempuanku mardiana. aku naik keatas motor dan menyalakannya, beberapa anak anak menunduk hormat saat berpapasan denganku. aku membalas tersenyum pada mereka, jiwa jiwa polos yang masih harus dibentuk agar bisa menjadi pribadi yang lebih baik dimasa mendatang, dan tugas kami sebagai pembimbing mereka diluar keluarga dan sekolah, meskipun hanya sekedar TPA kecil, aku yakin akan membawa kebaikan pada mereka. rata rata temanku yang mengajar disini adalah tetangga dan beberapa teman sekolah yang cukup akrab, kami merasa terpanggil untuk membina anak anak agar lebih dekat mengenal agama. semua atas dasar keikhlasan, kami tak digaji dan tak pernah berharap untuk itu. meskipun kami memberlakukan iuran bulanan yang kami namakan infaq, tetap saja kami pertimbangkan agar tak memberatkan para orangtua mereka yang rata rata berasal dari keluarga sederhana. dan infaq yang terkumpul itu kami gunakan untuk membeli sarana mengajar seperti kapur, buku buku, serta bangku tambahan. untung saja teman temanku memiliki visi yang sama denganku, kadang aku merasa kuatir ada diantara mereka yang bosan. Seminggu lima kali harus datang ke masjid untuk mengajar, bukanlah hal yang mudah, mereka harus mengeluarkan uang beli bensin dari kocek sendiri, ada yang harus berjalan kaki, dan ada yang pake sepeda. Dion teman sekolahku, tinggalnya sekitar sepuluh kilometer dari masjid ini, ia lumayan berada karena bapaknya seorang kepala bagian di kantor timah, mereka menempati rumah dinas cukup bagus di kompleks perumahan pejabat timah, terkadang ia mengajar diantar jemput naik mobil. Fatma, dia tetanggaan denganku, rumahnya cuma berjarak enam rumah dari rumahku. setiap pagi kami berangkat sekolah sama sama, ibunya sudah meninggal, ia tinggal bersama bapaknya dan tiga orang saudaranya yang semuanya perempuan. Robi, dia mentor idola.. memiliki wibawa yang sangat kentara meskipun usianya baru 18 tahun. wajahnya agak ketimur tengahan, memiliki kulit putih dan hidung yang bikin orang lain jadi merasa pesek bila berdekatan dengannya. bicaranya teramat santun dan teratur. orangtuanya cukup terpandang di Pangkalpinang, mereka punya butik pakaian muslim dan muslimah yang cukup besar. Uci, yang paling dewasa diantara kami, usianya 22 tahun, dia pembimbing sekaligus ketua kami, memakai jilbab dan baju muslimah yang serba tertutup. tak pernah tampil modis. kami semua sangat menghormatinya. Rinto, beda sekolah denganku, tinggal tak jauh dari masjid ini. tapi cukup akrab denganku sejak kami masih di sekolah dasar. Nita setahun lebih tua dariku, sudah lulus smu hampir setahun, mau melanjutkan kuliah tak ada biaya. jadi untuk mengobati kerinduannya akan sekolah, ia bergabung bersama kami mengajar disini. masih ada beberapa lagi teman temanku yang lain yang nanti akan aku perkenalkan pada kalian seiring cerita ini mengalir. aku mengendarai motor dengan kecepatan sedang meninggalkan pekarangan masjid. sekarang sudah pukul empat kurang duapuluh menit, aku janji sama ibu mengantarnya ketempat bibiku jam empat. sepupuku yulita minggu ini menikah dengan pemuda dari kalimantan. jadi ibu mau membantu dirumah bibiku. aku tersenyum sendiri membayangkan sepupuku yang dulu sering aku ganggu kalau lagi main kerumahku. kadang aku tarik kuncirnya hingga ia kesal dan mengejarku. tak jarang ibu menjewerku karena kenakalanku itu, begitu cepat waktu berlalu tanpa terasa dan sekarang ia akan menikah dan menjadi ibu rumah tangga, rencananya aku bersama teman temanku di TPA akan jadi panitia pada pesta pernikahannya. Aku jadi tak sabar ingin melihat betapa cantiknya dia saat pesta nanti. Sore ini agak mendung, jalanan tak begitu ramai. sepertinya akan turun hujan, jadi aku mempercepat laju motorku. titik kecil air sudah mulai menerpa wajahku. Pas di tikungan baru saja aku mau belok, sebuah motor yang agak ngebut menyerempetku, aku sudah berusaha menghindar namun tak keburu. sepertinya pengendara motor itu sedang melamun. alhasil aku hilang keseimbangan terjatuh tepat diatas aspal dengan posisi merunduk. sementara pemuda yang menabrakku itu terhempas setelah motornya menabrak trotoar dan masuk ke selokan. Sambil menahan nyeri pada tempurung lututku, aku berusaha bangun sendiri, tubuhku gemetaran hebat. beberapa orang berhenti melihat kejadian ini dan menolong kami. dua orang memapahku. “makasih bang….aduh..”, aku meringis karena nyeri tak tertahankan pada kakiku. “ada yang luka nggak?”, tanya bapak yang memapahku. “sepertinya tak ada pak.. cuma lututku terhempas di aspal dan rasanya agak ngilu..”, jelasku apa adanya. semakin ramai yang berhenti melihat kejadian ini, au lihat motorku sudah dipindahkan ke pinggir jalan oleh beberapa orang. aku menoleh ke tempat jatuhnya pemuda tadi. jaket yang ia pakai robek di bagian dada dan lengannya. nampak darah merembes dari luka baret terkena gesekan aspal di beberapa bagian tangan dan kakinya, membuat aku agak bergidik. matanya melotot melihatku. ia berjalan terpincang pincang dibantu dua orang yang aku kenal sering nongkrong di simpang jalan ini. aku menghampirinya. “maaf…..”, ujarku kalut meskipun aku tau dia yang bersalah atas insiden ini. dia tak menjawab, cuma gerahamnya bergerak gerak dengan mulut terkatup sepertinya ia begitu geram, matanya nyalang menembus mataku. “Bangsat… kamu harus ganti semua kerugianku..!!”, geramnya sambil mencoba berdiri, namun ia kembali terduduk. aku ternganga tak percaya dengan apa yang barusan aku dengar. CHANDRA suara tangisan adikku yang melengking membuatku terbangun kaget, aku turun dari tempat tidur sedikit kesal. sedang enak enak tidur harus terganggu lagi, padahal baru setengah jam aku memejamkan mata, kenapa sih emak harus punya anak banyak, sudah tau hidup susah masih saja nekat tiap tahun beranak. aku sebagai anak paling tua hampir tak pernah bisa istirahat, bapak cuma memberikan warisan adik lima orang saja saat ajal menjemputnya. Tak ada harta apapun, aku heran apa yang ada diotak almarhum bapak, kerjanya hanya sebagai buruh bangunan biasa tapi anaknya melebihi penghasilannya. enak saja ia meninggal saat sebuah ember berisi semen jatuh menghantam kepalanya, meninggalkan emak, aku dan adik adikku yang masih kecil dan butuh banyak biaya. hidup ini memang tak adil, aku ingin marah tapi kepada siapa, marah pada keadaan percuma saja, semakin aku menyumpahi hidupku ini semakin tak beres. Aku keluar kamar sambil uring uringan, adikku nana yang berumur dua tahun sedang menangis sambil guling guling diatas lantai aku cubit dengan gemas, walhasil tangisanya makin keras, aku pelototin nana sebesar mataku bisa melotot, ia tak perduli tetap menangis, disampingnya rere sedang duduk asik sendiri menghisap gulali seolah tak terjadi apa apa. aku mendesah kesal, emak entah kemana. “rere kenapa nana bisa nangis hah… pasti gara gara kamu..!”, aku menuding adik lelakiku yang berumur hampir lima tahun itu dengan suara tinggi. rere menatapku takut takut seolah mengisyaratkan kalau memang dia yang menyebabkan nana menangis. “dia minta pelmenku kak…!”, jawab rere sambil melepaskan gulali dari mulutnya, lalu menyembunyikan di belakang punggungnya seolah takut aku rampas. “emang dasar pelit ya kamu… sini permen itu..kasih kakak cepat.!!!” aku bentak rere, namun ia tak bergeming seakan gulali itu lebih berharga dari apapun yang ada di dunia ini. “ehhh.. malah diam, ayo kasih kakak nggak permen itu.. kalau nggak kakak tampar kamu..!!” ” nggaaaaak… pelmen lele cuma dikit, lele juga mau pelmen ini..!”, rere membantah namun suaranya terdengar ketakutan, aku jadi semakin tak sabar, dengan paksa aku rampas gulali itu dari tangannya. rere berusaha mempertahankan gulali itu, namun apa daya tenaga anak usia 5 tahun melawan aku yang hampir 18 tahun benar benar tak seimbang, tanpa perlawanan yang berarti gulali itu berpindah tangan dengan mulus. aku kasih gulali itu ke nana, ajaib bagaikan sulap tangisan nana langsung berhenti bak nada dering handphoneku bila ada teman iseng miss call. aku mengerenyit melihat tingkah laku adik bungsuku itu. belum sempat aku menarik nafas puas tiba tiba….. “aaaaaaaaa……. pelmenkuuuuuuuuu…” , lengkingan rere nyaris membuat bulu romaku berdiri, suara jeritannya jauh lebih parah dari tangisan nana tadi. darahku langsung naik ke otak. tanpa pikir panjang aku cubit rere agar diam. tapi tak berhasil, aku makin kesal dan refleks aku tampar pantatnya keras keras. “diaaaam..!!!” , bentakku tak sabar. rere beringsut ketakutan mendengar suaraku, tangisannya melemah, sepertinya tamparanku tadi benar benar mujarab. dengan tersengal sengal ia menahan tangisannya namun ia kesulitan untuk meredakan nya. “awas ya kalau kamu pelit lagi sama adek, kakak tak segan segan tampar lagi pantatmu..ngertiii???” “ada apa ini?” aku menoleh ke belakang, emak baru pulang dengan menenteng kantong kresek berisi beras dan mie instan. “emak darimana sih, tuh anak bawel dua itu nangis rebutan gulali..ganggu istirahatku saja..”, protesku sama emak. “kamu itu chan, baru ditinggal sebentar aja nggak bisa ngurusin adikmu.. emak ke warung bik mala, beli beras…!”, jelas emak meletakkan kantong beras diatas meja makan. rere berlari ke arah emak. “mak.. kak candla mukul lele…cakit pantat lele…”, adu rere sambil menunjuk pantatnya. air matanya masih tergenang bercampur ingus di pipinya hingga berkilat. aku mendelik ke rere namun ia langsung sembunyi di belakang punggung emak sambil menutup mukanya dengan ujung daster emak. emak memandangku sekilas lalu berjongkok menghadap rere. “kak candra mukul rere..?, emak bertanya sama rere kurang yakin. “iya mak.. pantat lele cakit di tampal kak candla..” “sini mak liat..!”, emak menarik rere dan menurunkan celana rere, astaga aku kaget melihat pantat adikku berwarna merah bekas tamparanku tadi, ternyata aku tadi menamparnya tak kira - kira. “kenapa tak kamu bunuh saja sekalian adikmu ini?”, emak terlihat sagat marah, aku jadi merasa bersalah, aku tak menyangka tamparanku tadi meninggalkan bekas, pantas saja rere begitu ku tampar langsung menahan tangis, pasti ia takut aku tampar lebih keras lagi. “bukan begitu mak…tadi aku..” “kelewatan kamu chan, sama adik sendiri, kamu mukul kayak algojo.. emak kecewa sama kamu.. emak susah susah kerja agar kalian semua bisa makan, kamu malah enak enakan memukul adikmu tanpa perasaan…emak tak suka perlakuanmu itu…!” omel emak sangat marah. aku diam tak menjawab, aku pandangi rere yang berdiri disamping emak dengan wajah puas melihat aku diomeli emak. “kelakuanmu itu nggak pernah nyenangin orangtua… cuma tau makan, tidur..kelayapan.. minta duit… belum puas kamu kalau emak belum mati karena tingkahmu..” omelan emak semakin melebar keluar dari konteks masalah. “habis si rere bikin nana nangis mak.. dia nggak….” “terus kamu pukuli gitu?? jadi tiap adekmu nangis langsung kamu pukuli… susah payah emak membanting tulang kasih adikmu makan cuma untuk kamu pukuli..!!!” kemarahan emak makin menjadi jadi. aku kembali terdiam, padahal tadi kan aku tak berniat mukul, salah rere nya aja kenapa memancingku untuk memukulnya. coba tadi dia tak nangis dan membuat nana nangis tentu aku gak bakalan mukul dia. “sekarang sudah sore dan kamu itu kerjanya cuma tau tiduuuuuur melulu.. bangun bangun langsung makan.. seolah emak ini babu kamu.. yang harus menyiapkan makanan kamu, mencuci baju kamu..” nah,……. ini yang paling aku nggak doyan kalau emak lagi ngomel pasti merembet panjang kemana mana. seakan akan tak ada habis habisnya. daripada sehari ini aku habiskan untuk mendengar omelan emak yang dijamin tahan berjam jam kayak aroma softener ultra mendingan aku cabut dari rumah untuk menenangkan jiwa. aku beranjak dari duduk lalu berjalan keluar rumah. “mau kemana lagi kamu chandra…!!!”, teriak emak namun tak aku hiraukan. “mau ke masjid mak dengerin ustad, ceramah”, jawabku asal asalan sambil terus berlalu meninggalkan emak sekaligus dengan omelannya. berdasarkan pengalaman kalau emak ngomel pasti akan berhenti kalau aku tak ada dirumah untuk mendengarkannya. “kebiasaan kamu tiap dinasehati malah pergi..!!”, omelan emak masih terdengar walaupun aku sudah di pekarangan. aku raih motor bebek yang aku pinjam dari paman rinto, adik emak yang tinggal tak jauh dari rumahku. kuambil kunci dari kantong jaketku, lalu secepat kilat aku nyalakan mesin dan meninggalkan rumah untuk mencari kedamaian jiwa. aku melaju kencang dengan perasaan masih kesal akibat omelan emak, kenapa aku harus punya banyak adik yang membuatku hampir tiap hari kena omelan emak kenapa bapak terlalu cepat meninggal, kenapa aku harus putus sekolah saat kelas satu smu, dimana remaja seusiaku sedang asik asiknya menikmati hidup dengan bergaul dan belajar, sedangkan aku harus gigit jari. mengapa kami harus miskin.. ingin rasanya aku berteriak menumpahkan segala perasaan kesal yang berkecamuk. tanpa terasa aku melamun dijalan raya. beban pikiran yang aku rasakan ini tak pantas ditanggung oleh anak seumurku, segala pikiran serta protes terhadap kehidupan berputar putar dalam otakku hingga membuat kepalaku pusing. tanpa aku sadari sebuah sepeda motor berbelok kearahku bertepatan aku mau belok. aku yang setengah sadar karena lamunan ditambah mengendarai motor terlalu kencang kelabakan menghindar namun terlambat, tak ayal kami nyaris beradu kambing. aku terserempet motor didepanku hingga terbelok menghantam trotoar dan terpental jatuh ke selokan bersama motor yang rebah tak jauh disampingku. celanaku robek terkena ujung trotoar, beberapa luka di kaki dan tanganku terasa perih membuat aku hampir mengeluarkan air mata. “keparat… dasar orang begooo…”, umpatku geram. aku berusaha bangkit namun kakiku terasa sakit. nyaris tak percaya aku melihat motor paman rinto yang agak ringsek dan box nya pecah. semakin naik darah ke ubun ubun. beberapa orang membantuku keluar dari selokan. aku harus membuat perhitungan sama orang celaka yang menabrakku tadi ..
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
