
Ingin mengendalikan mimpi bersambung bersama ayang? Pesan sekarang! Tiket Lucid Dream—taruh di bawah bantalmu untuk satu mimpi yang bisa kau kendalikan tiap malam. Jika mengalami efek samping, harap hubungi dukun terdekat.
2. Tiket Lucid Dream (Part 2)
Saat bermimpi malam ini, kudapati Dexter mengernyit menatapku, tampak jengkel.
“Kamu lagi,” ujarnya. Dia memandang sekelilingnya. “Bagaimana caraku keluar dari sini?”
Aku menelan ludah. Mungkin efek samping itu sungguhan. Mungkin sosok Dexter yang ini betul-betul mengembangkan kesadaran sendiri sekarang. Namun, tidak masalah, selama dia tidak menyedot jiwa lewat ubun-ubunku.
“Aku enggak bisa nonton konsermu,” lirihku. Aku duduk lesehan di lantai dan memeluk lutut. “Maaf, aku enggak akan memaksamu. Aku cuma mau menghabiskan waktu dengan idolaku, setidaknya dalam mimpi. Kamu boleh melakukan apa saja di sini, aku enggak akan mengganggumu.”
Ekspresi wajahnya melunak, lalu pemuda itu duduk di sisiku. Barangkali alam bawah sadarku memang menginginkan ini. Aku agak merasa bersalah pada Dexter jadi-jadian karena sepertinya aku masih mengendalikannya.
“Kalau begitu, ayo mengobrol saja. Kau bilang namamu kemarin Delilah, ‘kan? Kau masih SMA?” tanyanya.
Kami mengobrol tentang sekolahku, keluargaku, dan kehidupanku sebagai penggemar boyband-nya. Kubayangkan sosok Dexter yang asli pasti juga kepingin sekolah, karena profesinya membuatnya tidak bisa sekolah seperti anak biasa. Bayangan itu seperti terefleksikan ke sosok ini karena Dexter jadi-jadian tampak tertarik sekali dengan ceritaku dan sesekali menampilkan wajah sedih sekaligus berharap.
“Teman-temanmu kedengarannya mengasyikkan.” Dexter mengangguk-angguk. Saat dia menarik sudut-sudut bibirnya, lekuk pipinya tampak nyaris menyerupai lesung pipit. Rahangnya kokoh dan kulitnya kencang, otot-otot lehernya tampak kuat. Ini satu-satunya perbedaan yang barangkali terbentuk sendiri mengikuti seleraku terhadap anak cowok. Soalnya, Dexter yang asli biasanya tampil lembut dan punya baby face.
“Teman-teman band-mu juga pasti asyik-asyik.” Aku menepukkan tangan. “Aku lihat di satu video lucu waktu kalian menjaili satu sama lain—”
Dexter meringis. “Video yang itu? Kami berkelahi setelahnya. Prank itu agak keterlaluan dan kami akhirnya saling menyalahkan. Kami sebetulnya melakukan itu sesuai arahan direktur.”
Aku mengerjap. Sepertinya ini gara-gara ucapan Idlan yang mempengaruhiku bahwa personel band favoritku sebetulnya membenci satu sama lain. Aku tertunduk, agak kecewa, “Jadi, kalian sebenarnya enggak seakrab itu, ya?”
Dexter buru-buru mengubah nada suara dan sikapnya. “Oh, kami akrab, kok. Bagaimana pun kami selalu bersama saat ada tour, bekerja di studio .... Hanya saja, pasti ada masalah-masalah internal. Kami kadang bertengkar, berbaikan, lalu bertengkar lagi. Seperti ... yah, seperti kau dan kakakmu.”
Sepertinya Dexter yang ini akan mengatakan apa saja yang alam bawah sadarku inginkan.
“Kalau begitu,” kusulap udara kosong di depan kami dan memunculkan vokalis lain dari band-nya. Berdiri di hadapan kami, Riftan, Elliot, dan Adler, berkostum necis karena tanpa sadar aku terbayang penampilan mereka di salah satu mv Anak-anak Nyasar. “Karena ini mimpi, katakan apa yang mau kamu katakan. Lampiaskan saja.”
Dexter berdengap menatap teman-teman boyband-nya. “Benar tidak apa-apa?”
“Ya. Lihat saja, mereka kayak patung, enggak merespons apa-apa.”
Dexter mendadak berdiri dan mengepalkan tangannya, lalu meninju pipi Riftan. Aku mematung menyaksikannya.
“Ini buat komentarmu tentang wajah tanpa make up-ku waktu itu.” Dexter menunjuk Riftan yang terduduk dengan pipi lebam. “Aku tahu kau cuma bercanda, tapi persetanlah.”
Lalu Dexter menendang Elliot sampai menabrak Adler. “Kalian berdua bersekongkol mengadukanku waktu aku pacaran diam-diam. Sialan. Aku diancam pihak manajemen sampai kami harus putus. Bukan salahku, ya, kalau kalian sendiri enggak laku dan aku lebih tenar.”
Karena ketiganya tidak merespons, Dexter mulai menggebuki mereka habis-habisan. Setelah dia selesai membuat ketiganya berdarah-darah, Dexter menoleh padaku dengan mata nyalang dan bertanya, “Kau kecewa? Idolamu sebetulnya seperti ini—tempramental, kasar, dan pernah punya pacar tanpa sepengetahuan kalian.”
Aku melonjak berdiri dan menangkup dadaku. “Enggak. Aku suka bad boy. Kayak tokoh cogan di Wattpad favoritku: cowok mafia yang ternyata suka main cewek tapi kemudian terobsesi ke satu cewek—kamu tipeku banget.”
Dexter mendadak menyengir dan berderap ke arahku. Tidak ada tanda-tanda Dexter yang lembut dan baby face, atau yang tersenyum manis pada fans-nya. Hanya sosok yang kusempurnakan sesuai tipe cowokku, mengenakan wajah Dexter. Dia lantas meraih bagian belakang kepalaku dan menciumku.
Aku bahagia. Rasanya aku tidak mau bangun lagi.
Di ruangan putih itu, kami menghabiskan waktu bersama. Mengobrol, menggibah, sesekali pakai fitnah. Aku agak melebih-lebihkan saat menceritakan keusilan kakak laki-lakiku, membuatnya terdengar lebih jahat dari yang seharusnya. Tidak masalah, ‘kan. Toh saat Dexter menjelek-jelekkan teman-teman artisnya, itu semua pasti tak benar juga. Dia mengatakannya persis seperti harapanku—dia menjelek-jelekkan semua artis yang kubenci, termasuk Merry, vokalis band favoritnya Kak Uzaid yang sempat digosipkan dekat dengan Dexter.
Di akhir mimpi itu, Dexter bersedia membuat konser mini untukku dengan Riftan, Elliot, dan Adler.
Aku suka lucid dream.
Besok malamnya, kami menghabiskan waktu bersama lagi. Dexter menceritakan padaku betapa lega hatinya karena kini dia tidak lagi digerogoti rasa ingin membogem saat melihat wajah teman-teman band-nya.
“Mereka betul-betul tidak tahu aku menghajar mereka habis-habisan dalam mimpi ini.” Dexter bercerita dengan semangat. Dalam hati, aku merasa sedih melihatnya mengira bahwa dirinya ini sungguhan. Seolah di luar mimpi ini, dia punya kehidupan nyata bersama teman-teman boyband-nya. “Awalnya aku takut mereka mengalami mimpi yang sama. Ternyata tidak. Saat aku mengarahkan obrolan kami agar membicarakan mimpi apa kami tadi malam, Riftan bilang dia bermimpi membajak sawah. Elliot bermimpi dikejar fans-nya. Dan Adler mimpi jorok.”
Saat Dexter memintaku untuk memunculkan teman-teman band-nya lagi, aku terpaksa menolak. Aku tidak mau sosok-sosok itu mengembangkan kesadaran seperti Dexter karena terlalu sering kubentuk.
Namun ... sepertinya oke juga. Kadang aku kepingin punya harem. Lalu, Dexter merangkulkan satu tangannya di bahuku, dan aku pun jadi lupa tadi sedang memikirkan apa. Yah, Dexter saja sudah cukup.
Malam-malam selanjutnya obrolan kami jadi makin intens. Dexter menceritakan tentang keluarganya yang kacau, ayahnya yang pemabuk, dan ibunya yang abusive. Ini persis seperti yang sudah diberitakan dan sudah kuketahui, tetapi rasanya tetap saja berbeda karena aku mendengar langsung nada suaranya, melihat sorot matanya, dan tangannya yang merangkulku mencari sandaran.
Satu kali, Dexter melakukan gestur paling romantis. Dia mengecup punggung tanganku dan berkata, “Aku lelah di dunia nyata. Aku ingin di sini terus, denganmu. Bisakah kamu terus tinggal di sini? Pakai kekuatan tiket Lucid Dream yang kau ceritakan itu agar tidak keluar lagi dari sini?”
Aku membuka mulut, hendak mencari alasan untuk menolak, tetapi sorot matanya yang memelas seolah menghipnotisku. Kudapati diriku balas mengecup punggung tangannya, “Aku akan coba cari cara.”
***
Beberapa hari sebelum konser Anak-anak Nyasar, Idlan mengonfrontasiku. Tentu saja dia akhirnya tahu aku memborong tiket Lucid Dream dari ayahnya.
“Kamu harus berhenti, Del. Kamu kira aku enggak sadar ada lingkaran gelap di bawah matamu? Warna auramu jadi beda dari biasanya. Sosok itu pasti mempengaruhi energi kehidupanmu!”
Kutunjuk dada seragamnya. “Itu. Bukan. Urusan. Kamu.”
Saat pulang ke rumah, aku langsung bersiap untuk tidur siang. Kukecup wajah Dexter di sarung bantalku. Aku tidak lagi betah terjaga di siang hari. Aku tidak puas hanya menemui Dexter tiap malam. Aku ingin menghabiskan waktu dengannya tiap saat.
Namun, saat aku kembali ke ruangan putih itu, ada Idlan di sana. Di mimpiku. Berhadap-hadapan dengan Dexter.
“Apa yang—”
“Aku pakai tiket Lucid Dream sendiri di bawah bantalku.” Idlan mengakui. Lalu, dengan segan, dia mengakui, “Pakai fotomu. Jadi mimpi kita terhubung.”
Kutuding wajahnya. “Aku tahu dari dulu kamu bakal pakai guna-guna terhadapku!”
Idlan tampak tersinggung. “Kalau aku mau, sudah dari dulu kamu kubuat cinta mati padaku! Tapi aku enggak serendah itu!”
“Oh, maksudmu, aku rendahan karena pakai cara mistis untuk menggaet Dexter?!”
“Aku enggak bilang begitu! Kamu tahu maksudku!” Idlan berbalik kembali ke Dexter. “Lihat penampilannya? Wajah pucatnya? Tingkah lakunya? Kamu menyedot jiwanya!”
Kutarik bahu Idlan. “Kamu enggak ada hak mengaturku—”
Idlan menampik tanganku. Tangannya mendorong Dexter menjauh. “Kamu bakal membunuh Delilah pelan-pelan seperti ini! Dia punya keluarga dan teman-teman di dunia nyata! Delilah anak supel, periang, dan punya banyak teman! Agak halu tapi dia sebenarnya anak yang baik! Sekarang, dia jadi menarik diri! Dia tidak pernah menyapa teman-temannya lagi dan terpaku padamu! Bebaskan dia!”
“Idlan—”
Namun, Idlan langsung menarik lenganku dan menyeretku menjauhi Dexter. Aku meronta, berusaha meraih kembali sosok Dexter, tetapi Idlan membawaku menuju sudut ruangan yang tampak bercahaya kemerahan.
Sekilas, kulihat Dexter ikut mengulurkan tangannya ke arahku, sorot matanya tampak terluka. Namun, pada akhirnya dia menurunkan kembali tangannya dan menundukkan pandangan hingga aku tidak bisa melihat ekspresi wajahnya.
>>> Next “Tiket Lucid Dream (Part 3)”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
