Dibalik Kaca yang Basah

0
0
Deskripsi

Ruang rinduku seakan mau pecah, aku meronta sendirian disetiap lamunan. Malam siang tak ubahnya sebuah pergantian hari yang sama, bersama rasa yang tak kutahu ini apa. Sepertinya aku tertawan dalam gegap gempita imajinasi rindu. Entahlah, aku harus bagaimana, gejolak tubuhku benar-benar tak kuketahui, mereka bergerak begitu aneh. Pikiranku, hatiku, tubuhku begitu tak menentu, rasa apa ini. Kenapa aku ini, padahal duniaku ada didepan, dan itu nyata. Sedangkan apa yang kurasa hayalah imajinasi kosong...

Ini sangat aneh buatku, aku tak tahu dengan siapa. Apakah ia berwujud ataukah hanya guyonan kecil yang disebar lewat dunia maya, jadinya aku terpesona. Aku menggigau pada banyangan yang kubuat sendiri, tertawa dan menangis dalam hanyalan cerita yang kubuat. Terkadang aku merasa sedang mabuk kasmaran yang melampoi batas. Mungkin karna terbawa oleh suasana lingkungan dan teman-temanku yang telah mendahuliku dalam menjalin hubungan yang serius dengan pujaan mereka.

[“kukruyuk…kukryuk…,"] bunyi hapeku emang begitu, suara ayam. Sebab aku suka makan ayam, jadi, aku notifikasi hapeku dengan suara ayam. Emang lucu sih, sebab jadi bahan tertawaan teman-teman seprofesiku. Tapi tak apa-apa, membuat tertawa orang lain menjadi nilai pahala buatku, hal itu yang pernah diajarkan ustad dikampungku. Ternyata bunyi hape itu dari dia, seseorang yang kukenal lewat dunia maya.

[“Bagaimana…,"] ia hanya menulis kata itu dalam WA, membuatku berpikir seribu kali untuk memaknainya, teks aneh yang terkadang muncul tanpa ada pengantar yang jelas. Maunya apa, tak pernah bisa kutebak. Tapi, aku suka, sebab ia berbeda.

[“Sudahlah, kau sama dengan yang lain teksmu hanya tulisan yang terabaiakan pada janji,"] sekenanya ku jawab semacam itu, entah nyambung apa tidak dengan hasratnya. Meskipun aku berharap ia muncul dihadapku dan bercengkrama denganku, ah..hayalku muncul lagi.

[“Bagaimana dengan waktu, bagaimana dengan laku, bagaimana…,"] sepertinya ia mempersulit alam pikiranku, ia mengoyaknya agar aku menyalahkan waktu, menyalahkan sesuatu yang tak seharusnya disalahkan, dan memang tidak ada yang salah. Ini sebuah pilihan, aku sedang memilih, bagaimana dan harus bagaimana?.

[“Berdoalah….,"] jawaban singkatku padanya.

[“Apa yang kau doakan?,"] ia bertanya padaku, seakan-akan teksnya tanyanya menikamku untuk segera menjawab. Aku kebingungan, apa yang harus kujawab. Aku bingung dengan diriku, aku bingung dengan rasaku. Oh Tuhan.. apa yang harus kuperbuat ini.

["KAMU…,"] tanpa sadar aku menulis kata itu, terkirim dengan kecepatan cahaya. Dihapuspun tak ada guna. Pasti sudah terbaca olehnya. Aku panas dingin, menunggu balasan darinya, meskipun berapa detik, menit, jam. Aku benar-benar menunggu, ternyata ia diam tak membalas chat dariku.

***
Sudah seminggu berlalu, tak ada lagi chat darinya, aku menunggu. Pertanyaan negative selalu muncul dibenakku, apakah ia marah dengan jawabanku itu, apakah ia akan menghilang, tak akan menghubungiku lagi. Padahal adanya selalu menghiburku setiap waktu, aneh rasanya jika ia tak meghubungiku selama ini. Lantas kuberanikan diri untuk menghubunginya terlebih dahulu, biarlah menggangu sebab aku rindu.

Kata apa yang harus kumulai terlebih dahulu, jariku masih membeku menunggu inspirasi rasa tuk menuangkan rindu. Aku seperti terhipnotis dalam kata yang sudah tersebar dikhalayak, cinta yang tumbuh dalam pandangan pertama. Tapi, aku beda, ruangku, ruang tak bernyawa, imajinasiku bisa sirna kapan saja. Ini rasa, yang tumbuh bersama datangnya teks darinya, indah, menjadi penawar dikala gundah.

[“Bagaimana….?,"] aku meniru kata-katanya tanpa pengantar yang jelas. Meskipun begitu sandi-sandi rasa tertuang lewat setiap huruf yang tertulis dan terbaca.

[“aku masih berdoa,"] ia menjawab WA ku, dengan senang dan tenang kukembali bertanya padanya.

[“Berdoa apa?,"] teringat tanyanya tempo lalu, berharap jawabanya menyenangkan untukku. Aku bertanya padanya dengan penuh harap.

[“kamu…,"] teks jawaban ini yang muncul darinya seakan-akan menyentuh qalbuku, aku merasa ia mencintaiku meskipun kami tak pernah mengungkapkan teks yang bernada suka. Tapi apakah benar begitu, entahlah, pikiranku melayang keruang antah berantah, berantakan dengan ketakutan hayalan tentang masa depan yang tak seharusnya terpikirkan. Pikiranku hilang sejenak, menemukan kembali ruang kesadaran bahwa aku nyata.

[“benarkah….lantas?,"] aku menguatkan jariku, menguatkan pikiranku, menguatkan hatiku. Apa yang terjadi biarlah terjadi. Aku bertanya padanya dalam ketegasan seorang wanita, wanita yang keelokannya adalah diamnya.

Tak ada jawaban darinya, sepertinya ia pergi entah kemana. Kutahu ia belum membaca teks yang kukirim sebab ada tanda dalam aplikasi ini. Ia selalu begitu, tiba-tiba ada, tiba-tiba pergi, membuatku risau menunggu apa yang akan dia kata dalam tulisnya untukku. Akupun tak tenang, jadilah kamarku sedikit berantakan karna sikapku, kutendang selimutku, kutendang bantal gulingku.

“ayolah bales...," akupun berbicara sendiri. menginginkan ia membalas chat ku. Beberapa jam-pun berlalu, masih belum ada tanda-tanda ia akan membalas chatku. Akupun berpikir sejenak menenangkan diri, mungkin ia sedang sibuk dengan kegiatannya. Akupun juga tak begitu tahu, sebenarnya kegiatan ia apa, dia siapa.

Aku baru menyadari bahwa cinta memang buta, buta tak melihat akan masa lalu siapa dan apa. Cinta merupakan keanehan yang diolah rasa yang terdapat pada manusia, ia bisa melupakan siapa saja, termasuk diriku, bahwa cinta ini tak nyata. Ia semu dalam ruang abstrak tak bernyawa. Akankah ini jadi singgahanku, ataukan bagian dari kisah tawaku dalam hidup ini, jadi sejarah dan akan menceritakan tentangnya pada dunia. Tiba-tiba bersama hayalanku ini masuklah chat darinya.

[“Kita bagaikan malam dan siang
yang pergantiannya selalu dinantikan, diharapkan.
Kita bagaikan kumbang dan bunga
yang penyatuannya menghasilkan manisnya kehidupan.
Kita bagaikan api dan air
yang saling menjadikan perbedaan dalam kesejukan dan kehangatan.
Kita bagaikan langit dan bumi
yang salah satunya sebagai penopang yang lain.
Kita bagaikan nafas dengan kehidupan
yang tak akan bisa terpisahkan.
Kita adalah perbedaan,
tapi didalammnya ada penyatuan.
Kita, aku dalam dekap halalmu”.]

Aku tak kuasa menahan haru, ia membalasku dengan puisi yang romantis. Aku terbang ketika membaca teks akhir “kita, aku dalam dekap halalmu”, akankah ia melamarku. Oh….hayalanku melayang kembali dengan kebahagiaan. Aku tak sendirian lagi, aku bersama dengan sesorang yang….. aku terdiam sendiri. Aku bertanya sendiri, kenapa aku senang?, kemudian aku membaca lagi kiriman chat darinya yang ternyata masih belum selesai kubaca selurunya.

[“puisi itu untukmu, dariku. Tapi, setelah itu jangan kau hubungi aku lagi”,]


Apa ini…, ia memberikan puisi, aku tersanjung bahagia. Tapi, tiba-tiba ia menusukkan duri yang begitu dalam di ulu hatiku. Oh rumi, oh romeo, oh majnun begitu sakitkah cintamu itu, mungkin beginilah rasanya, sama seperti rasaku saat ini. Apakah ia benar-benar seperti itu, akan menghilang dan tak boleh aku hubungi. Ia telah mempermainkan rasaku, ia telah menghancurkan imajinasi bahagiaku.

***
“sudahlah…apa yang kau harap darinya, ia tak nyata, ia hanya bagian kecil dari hidupmu yang panjang, lupakan saja”. Teman seprofesiku menghiburku, aku banyak bercerita tentangnya pada temanku itu. Ia seorang guru, kami guru, mengajar anak-anak adalah kesenanganku. Disamping itu aku sebentar lagi akan diwisuda.

Jujur sedikitpun aku tak bisa melupakanya, ia adalah bayangan aneh yang hinggap dikepala hayalku. Ia datang dengan senyuman abstrak yang menyenangkan. Tapi, disatu sisi ia menjadikanku lemah tak berdaya, ia membuatku menangis bertalu-talu karna rindu. Setiap waktu, kubaca puisi darinya untukku. Sudah sangat lama ia meninggalkanku, kuhitung dari terakhir ia mengirim pesan puisi itu, satu tahun lamanya. Anehnya aku tak bisa melupakan setiap kata manisnya. Aku sangat merindukan hadirnya, meskipun aku tak tau siapa ia.

Pernah sekali waktu, kami bertukar foto. Kukirim dulu fotoku, tapi ia tak mengirimnya hingga saat ini. Sehingga aku tak pernah tau seperti apa wajahnya. Sedangkan ia tau akan diriku, siapa dan dimana aku. Sedikit banyak aku menyesal, kenapa aku mengirimkan data pribadiku padanya. Benarkah ia orang baik, terkadang aku berpikir begitu. Tapi, aku yakin dan kumantapkan dalam hati ia pasti orang baik.

“ayo…cepat…ngelamun aja….telat entar kita”, temanku bersemangat sekali mengajakku menghadiri seminar tentang “peran guru bagi karakter anak didik……..”, yang diadakan oleh dinas setempat di daerahku. Narasumbernya dari luar kota, ia berpendidikan tinggi, ia narasumber utama dalam seminar itu.

Acarapun dimulai, aku duduk didepan bersama temanku, ia yang mengajak untuk duduk didepan. Moderator memulai acara yang sebelumnya ada sambutan dari ketua panitia. Aku mendengarkan setengah hati, aku bermain-main dengan handphoneku, sebenarnya aku merasa risih duduk didepan sebab narasumber utama dari awal aku masuk hingga acara berlangsung selalu memandangiku. Ia selalu melihatku, ketika ia berbicara menyampaikan materi. Akupun tak kuasa menahan diri, akupun berdiri dan mau pergi.

“Ida, kau mau kemana….?”, sejurus kemudian aku mengejar kata itu, narasumber utama yang berkata seperti itu, hingga membuat hening seluruh ruangan. Aku meraba setiap dimensi tubuhku, bulu kudukku berdiri melihatnya. rasa yang selama ini kupendam muncul kepermukaan, rasa rinduku padanya. Aku tak kuasa menahan diri, aku menangis haru, aku bisa melihatnya, ia nyata dan menyapaku.

“apa benar itu engkau…..”,

“ia, ini aku….Abdulllah”, jawaban itu membuatku tambah menangis haru, kukira nama di spanduk seminar ini yang telah kubaca adalah nama dari ribuan nama dari namanya yang kurindukan. Aku tak kuasa menahan diri, aku berlari, aku memeluknya berdiri. Aku tak perduli dengan banyak orang yang melihatku begini.

“sudah nangisnya, entar kaca yang kau pegang itu basah dan rusak”,

Aku tak perduli dengan metaforanya, aku masih memeluknya. Ini rasa rasaku yang selama ini kupendam. Kemudian ia melepaskan pelukanku. Ia mengeluarkan sesuatu dari kantongnya ternyata cincin pernikahan, ia melamarku didepan ratusan orang yang hadir diseminarnya. Aku sangat terharu dan tepukan tangan menjadi lagu senduku.

“kita, aku dalam dekapan halalmu”, bisiknya padaku.

TAMAT

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Malam Tanpa Bulan
0
0
Dalam keramahan malam disudut kota terindah yang selalu aku kunjungi. ditempat biasa dalam riang nyanyian lagu pengamen jalanan. kehangatan kopi pahit terasa hingga membuat ubun-ubun berdiri bersama kenikmatan. Disampingku terdapat banyak teks berkeliaran bersama tawa-tawa tak beraturan. setiap berapa menit sekali nyanyian rel kereta api serta belnya bersautan mengikuti irama malam yang cerah. Kesendirianku ini lebih menyakitkan daripada sakit hati, tergambar jelas pada diriku. dalam sadar, malam ini aku memikirkan seseorang yang aku kenal lewat pertemuan yang aneh. yang begitu mengejutkan dalam ketidaksengajaan, seolah ini takdir Tuhan.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan