
Hampir seabad berlalu sejak perang nuklir mengakhiri peradaban. Dunia kini bukan lagi tempat bagi kehidupan, melainkan reruntuhan yang kelam dan membusuk. Langit tak lagi biru—hanya abu-abu yang pekat, menelan mentari dalam tirai kabut nuklir yang enggan sirna. Tidak ada warna yang tersisa, hanya bayangan. Kadang, jeritan datang dari kejauhan—ratapan memilukan dari mereka yang telah kehilangan jiwanya. Tangisan bercampur amarah liar, bergaung di antara puing-puing yang membisu.
Lita menelusuri jejak...
Geraman terdengar dari balik pepohonan di ujung tebing.
Satu Bangkai muncul sebelum mereka sempat bernapas lega.
Lalu satu lagi.
Dan satu lagi.
Mereka bergerak cepat.
Satrio mengumpat. “Bangsat!” Lalu mengayunkan parangnya, nyaris memenggal satu Bangkai yang melompat padanya, tapi makhluk itu bergerak tak terduga, merunduk, lalu menerjang perutnya. Panik, Jaras menembakkan senapannya, satu peluru menembus kepala, tapi dua Bangkai lain sudah berlari ke arahnya.
Angin menghantam keras dari timur.
Badai telah tiba.
Dedaunan dan ranting beterbangan seperti pecahan kaca di tengah gelap. Hujan es kecil mulai turun, menghantam kepala dan bahu mereka.
“NYALAKAN SENTER!!” seru Baskara.
Cahaya darurat menyala di tangan mereka, menembus gelap, tapi malah memperjelas pemandangan mengerikan di sekitar.
Puluhan Bangkai mulai muncul di antara pepohonan.
Lita menoleh ke kanan tepat saat makhluk itu menerjangnya dari samping. Tubuhnya terdorong dari atas kuda, jatuh ke tanah. Kuda itu meringkik. Kedua kaki depannya terangkat—lalu ia melesat ke dalam kegelapan. Tangan kotor dengan kuku panjang melesat ke arah wajahnya.
Dengan refleks, Lita menarik belati dari ikat pinggangnya dan menusuk mata Bangkai itu. Makhluk itu meraung, tapi tetap meronta. Lita mengangkat lututnya, menendang tubuh makhluk itu menjauh—sampai sebuah belati panjang menembus kepalanya dari belakang. Darius.
Lita terengah, lalu menatap sekilas. Darius tak berkata apa-apa. Ia menarik belatinya kembali, sebelum menoleh ke sekeliling.
Mereka terdesak.
Di belakang, hanya ada tebing.
Di depan, Bangkai yang semakin banyak.
Salju bercampur abu berputar liar di tengah angin badai. Geraman Bangkai menggema dari segala arah, memantul di antara tebing yang menjepit mereka. Pedang dan kapak beradu dengan tulang, menciptakan suara retakan mengerikan.
Darius menebas satu Bangkai yang melompat ke arahnya, belatinya membelah dada makhluk itu. Tapi sebelum bisa menarik napas, satu lagi datang dari kiri. Ia menghindar, mengayunkan sikunya ke wajah Bangkai itu, lalu membabat lehernya. Kepala itu nyaris putus, tapi makhluk itu masih mencoba bergerak. Dengan geram, Darius menginjak kepalanya hingga tak lagi meronta.
Di dekatnya, Baskara menghantamkan kapaknya ke dada Bangkai, lalu menariknya keluar dengan satu hentakan kasar. Pak Wayan mengayunkan caluknya dengan tenaga penuh, membelah kepala makhluk yang menerjangnya. Rangga menembak satu, dua, lalu tiga Bangkai lagi dengan pistol. Ia menarik pelatuk berkali-kali hingga suara klik kosong terdengar—kehabisan peluru.
“Raka, kiri mu!” suara Jaras berteriak.
Terlambat.
Bangkai menerjang Raka dari belakang, menjatuhkannya ke tanah. Ia menggeram, berusaha meronta, tapi dua tangan Bangkai itu sudah mencengkeram bahunya.
“ARGHH!”
Darius bergerak, tapi sebelum sempat menarik Raka, satu Bangkai lain mencabik perutnya, mencakar ke dalam hingga darah bercipratan ke tanah beku.
Raka menjerit.
Rangga menoleh dengan mata melebar. “TIDAK—!”
Ia dan Jaras berusaha mendekat, tapi sudah terlambat.
Bangkai-bangkai lain langsung mengerubungi tubuh Raka, mencabik-cabiknya tanpa ampun. Jeritannya menghilang dalam geraman rakus mereka. Lita membekap mulutnya, berusaha menahan rasa mual.
Darius menggertakkan giginya. Dadanya naik turun, marah dan panik bercampur menjadi satu.
Bangkai terus berdatangan. Kewalahan. Sialan! Mereka tak pernah menghadapi Bangkai sebanyak ini.
Erangan kuda yang berlarian panik menggema dalam kekacauan.
Ganindra mengayunkan goloknya, menebas satu Bangkai, tapi dua lainnya menerjangnya dari belakang.
Tangan-tangan kurus mencengkeram bahunya, kuku menancap menembus kulit.
“ARGHH!”
Darius berbalik, langkahnya terhenti saat melihat dua Bangkai itu menarik Ganindra ke dalam kegelapan.
Ia langsung mengangkat senapannya—
Dor!
Tembakan pertama tepat mengenai kepala salah satu Bangkai, otaknya berhamburan, dan tubuhnya tersungkur ke tanah.
Tapi sebelum Ganindra sempat melepaskan diri, satu Bangkai lain muncul dari kegelapan. Tangannya menjulur—dan mencengkeram erat pergelangan kakinya.
Dor!
Peluru kedua menghantam leher makhluk itu, tapi tak cukup untuk membuatnya lepas. Ia menarik kokang senapannya, siap menembak lagi—
RAAAKH!
Bangkai lain menerjang dari samping! Darius nyaris tak sempat bereaksi saat makhluk itu menubruknya, mencakar jaketnya hingga robek. Ia merosot ke tanah, tubuhnya bertabrakan dengan batu.
Ganindra makin terseret ke dalam bayangan pekat di antara pepohonan.
Darius berusaha bangkit, tapi Bangkai di atasnya terus menggeram, mencoba menggigit lehernya. “Bajingan—!” Darius mendorong senapannya ke rahang Bangkai itu, menahan moncongnya yang terbuka lebar, napas busuk menembus respiratornya.
Dor! Dor! Dor!
Baskara dan Pak Wayan melepaskan tembakan bertubi-tubi ke arah kegelapan, berharap bisa mengenai sesuatu—apa pun yang menarik Ganindra.
Jaras menghabiskan satu magazin penuh, melontarkan selongsong kosong ke udara. Darmaji menembakkan shotgun-nya, tubuh Bangkai terpelanting ke belakang, tapi lebih banyak yang datang menggantikannya.
"Brengsek! Mereka tak habis-habis!" Jaras menggeram, menembak tanpa berpikir.
Dor! Dor! Dor!
Rangga mengarahkan pistolnya ke kepala Bangkai yang hampir menerkam Darius—Klik. Kosong.
"Brengsek!" geramnya, melempar pistol ke kepala Bangkai terdekat sebelum menghunus pisaunya.
Bangkai terus merangsek maju, seperti ombak gelap yang tak bisa dihentikan. Darius menggertakkan gigi. Tak peduli berapa banyak yang mereka tumbangkan, Bangkai seakan tak ada habisnya.
Kemudian, satu per satu senter mereka mulai mati. Jaras yang pertama. Lalu Darmaji. Lalu Rangga. Baskara mengguncangkan senternya, tapi tak ada gunanya. Hanya satu cahaya yang tersisa.
Darius menoleh ke tangannya, cahaya di itu bergetar—seperti keberanian yang tinggal sisa, di tengah kegelapan yang kini terasa lebih pekat.
Geraman terdengar dari segala arah. Mereka semakin terdesak. Rangga menatap ke arah Darius, matanya penuh dengan sesuatu yang tak biasa—ketakutan yang nyata.
Darius mengencangkan genggaman di senapannya, berusaha menahan rasa putus asa yang mulai menjalar.
Lalu…
Mereka berhenti.
Bangkai-bangkai itu berhenti.
Dari balik bayangan, sesuatu yang lain muncul. Gerakannya begitu cepat, begitu halus, seperti bayangan hidup yang mengoyak malam. Dalam sekejap, Bangkai-bangkai itu tercabik.
Geraman mereka berubah menjadi jeritan.
Darius menyorot senternya, tapi makhluk itu bergerak begitu cepat. Hanya ada kilasan—tubuh besar, gerakan beringas, tangan yang merobek daging busuk tanpa ragu.
Satu Bangkai ditarik ke dalam kegelapan. Suara retakan tulang menggema, diikuti semburan darah pekat yang tercecer di tanah.
Yang lain mencoba melawan, tapi percuma. Mereka dirobek, dihancurkan, seperti mainan rapuh di tangan sesuatu yang jauh lebih mematikan.
Lita menahan napas, tubuhnya kaku.
Darius merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya.
Yang tadinya bertarung mati-matian, kini hanya berdiri membeku.
Tak ada lagi perlawanan.
Tangan-tangan yang memegang senjata kini melemah. Beberapa melangkah mundur tanpa sadar. Yang lain hanya berdiri terpaku, wajah pucat.
Mereka pikir mereka sedang menghadapi neraka.
Mereka salah.
Neraka baru saja membuka pintunya.
Makhluk itu berhenti membantai.
Berbalik…
Melangkah perlahan dari balik bayangan.
Krek… krek…
Setiap langkahnya diiringi bunyi tulang yang bergeser, seolah persendiannya bergerak tidak semestinya. Napasnya terdengar aneh—serak, berat, seperti seseorang yang sekarat dipaksa bernapas.
Dunia terasa lebih sunyi. Sekeliling mereka gelap total, hanya diterangi cahaya lemah dari senter yang bergetar di tangan Darius.
Dinding-dinding yang tadinya terlihat kini lenyap dalam kegelapan pekat, seakan dunia di sekitar mereka telah menghilang.
Udara membeku. Bau busuk menyengat, bercampur dengan darah hangat dan tanah dingin yang seakan ikut menyerap kengerian malam itu.
Lita merasakan bulu kuduknya meremang saat suara napas itu semakin dekat, semakin jelas.
Krek… krek…
Darius menyorotkan senternya lagi.
Cahaya hanya menangkap sedikit—kilasan tubuh yang cacat, kulit yang terlalu pucat, dan gerakan yang tak seharusnya dimiliki makhluk hidup.
Lampu senternya berkedip.
Sebentar mati. Sebentar menyala.
Setiap kali cahaya menyala, jaraknya makin dekat.
Setiap kedipan seperti hitungan mundur menuju akhir.
Krek… krek…
Tak ada yang berbicara.
Tak ada yang bergerak.
Mereka semua hanya berdiri, seperti anak-anak kecil di hadapan sesuatu yang tak bisa mereka pahami.
Darius pernah melihat banyak hal.
Tapi belum pernah merasa sekecil ini.
Bukan sebagai petarung. Bukan sebagai pemimpin.
Tapi sebagai manusia.
Tak ada gunanya melawan.
Tak ada gunanya lari.
Tak ada jalan keluar.
Darah hangat membasahi tanah beku—
Seolah bumi pun meneguk horor malam dalam diam.
Angin melolong bak terompet peperangan. Daun kering beterbangan bersama butiran salju yang beku. Udara mencekik tiap jiwa yang bernapas di balik respirator.
Bumi menggelegar dalam amukan badai.
Dalam segala kengerian, makhluk itu mengeluarkan suara yang menyeramkan.
Khhhk…
Serak.
Pecah.
Hampa.
Khhda…
Khhdariuh
Deg.
Darius membeku.
Dadanya seperti diremas.
Seseorang… memanggilnya. Samar. Pelan. Yang dikira suara dari Bangkai itu, ternyata bukan.
Senter di tangannya berkelip redup. Makhluk itu berada tak jauh di depannya. Tinggi. Besar. Kulit pucat terkelupas. Dada berlubang penuh belatung. Tangannya menggantung—siap menerkam.
Darius ingin berbalik—kabur sejauh mungkin. Tapi tubuhnya kaku, seperti tertanam di bumi.
Khhdarius…
Suara itu lebih jelas.
Seseorang di belakang sana.
Darius menegang, mencengkram senjatanya lebih erat.
Satrio menoleh padanya, matanya menyipit, seolah memastikan ia juga mendengar hal yang sama.
Mereka bergerak gelisah, saling melirik dengan raut tak percaya.
Darius menelan ludah. Lututnya melemas.
“R—raka?” panggilnya ragu.
Berharap Raka masih hidup dan menyelamatkan mereka semua.
Lita mundur selangkah, kedua tangannya gemetar hebat.
Makhluk itu berhenti.
Tepat di hadapan Darius.
Dunia di sekitarnya seakan membeku. Angin tak lagi terdengar. Yang tersisa hanya detak jantungnya—keras, kacau, menghantam dadanya seperti palu godam.
Darahnya tak sekadar berdesir.
Ia menggumpal.
Membeku.
Tertahan di ujung-ujung jarinya.
“Khdarius…”
Deg!
Matanya membelalak.
Napasnya berat.
Tidak mungkin.
Tidak seharusnya!
Suara itu…
Ia pikir suara seseorang di balik kegelapan.
Ia salah.
Darius berharap ia salah.
Tapi tidak.
Suara itu…
Dari makhluk itu… Bangkai itu!
Ia bisa merasakan tengkuknya berdiri. Tubuhnya gemetar hebat.
“Khhhg ikuti aku.”
Tidak. Ini gila.
Ia tahu betul Bangkai tak berbicara. Hanya lolongan, erangan, suara yang mengerikan. Tapi ini… ini berbeda. Suara itu bergema dalam kepalanya, seperti bisikan yang tak bisa dihindari.
Jelas Bangkai itu bisa menyerangnya kapan saja. Tapi ia tidak melakukannya. Sebaliknya, makhluk itu hanya berdiri di sana, menunggu.
Darius menggertakkan giginya. Kakinya terasa seberat timah. Akal sehatnya berteriak agar ia tetap di tempat. Tapi ada dorongan lain—sesuatu yang aneh—yang membuatnya ingin tahu.
Bangkai tak bergerak. Menunggu.
Jantung Darius berdegup liar. Lari atau ikut? Tetap hidup atau jatuh ke dalam sesuatu yang ia sendiri tidak pahami?
Tangannya mengepal. Napasnya pendek. Sialan!
Darius ragu-ragu… lalu melangkah.
Satrio ingin menahannya, tapi mulutnya membisu.
Pak Wayan menatap punggung Darius tak percaya. Baskara dan Darmaji bertukar pandang. Tak ada yang tahu harus berbuat apa. Lima detik lalu mereka pikir mereka akan mati.
Sekarang…
Apa ada pilihan lain?
Lalu, satu per satu… ikut melangkah…
Amukan badai semakin mengganas. Mereka berjalan di sisi tebing bebatuan. Melawan angin yang menggila. Telinga mereka dipenuhi suara angin menderu, dingin menusuk hingga ke tulang.
Langkah mereka berat. Bukan hanya karena angin… Tapi juga karena otak mereka masih mencerna apa yang terjadi. Dan ketakutan yang masih mencengkeram.
Di hadapan mereka, mahluk itu melangkah. Tubuhnya menjulang. Namun langkahnya berat. Ringkih.
Tak seorang pun tahu, jalan ini menuntun mereka pada tempat yang aman, atau justru berjalan menuju akhir hidup.
Bangkai itu berhenti.
Di hadapan mereka, ada sesuatu yang tampak seperti jalan masuk sempit di antara bebatuan.
Sebuah gua.
Darius menelan ludah. Kakinya gemetar. Ia mencoba melihat ke dalam, tapi kegelapan menelannya mentah-mentah.
Yang lain menelusuri celah itu dengan waspada.
Mereka berdiri diam, menunggu seseorang mengambil keputusan.
Darius menarik napas dalam. Genggaman di senter mengerat. Ragu-ragu, ia melangkah.
Lita melirik makhluk itu. Napasnya tercekat karena rasa takut. Namun berdiam diri di tengah badai juga tak ada gunanya.
Ia menyusul. Langkahnya tertatih. Seluruh tubuhnya gemetar.
Darmaji menatap lekat mulut gua, seolah mencari alasan untuk tidak melangkah. Masuk ke dalam mungkin ide buruk. Tapi tetap di luar... bisa berarti mati sekarang juga.
Pilihannya bukan antara baik dan buruk—tapi antara buruk dan lebih buruk.
Ia menyusul dengan langkah berat. Kakinya serasa dipaku ke tanah.
Satu per satu—mereka masuk ke mulut gua.
Punya pilihan apa mereka?
Udara semakin menusuk. Kegelapan semakin pekat. Darius bisa mendengar napasnya di balik respirator. Bahkan detak jantungnya sendiri.
Kakinya menjejak genangan yang terselip di antara batu yang licin. Tubuhnya merengsek di antara celah-celah sempit.
Dingin dan lembab.
Tiga puluh detik berlalu. Celah itu akhirnya melebar.
Mereka tiba di sebuah ruangan berbatu. Langit-langitnya tinggi. Cukup luas untuk menampung mereka semua.
Makhluk itu menyusul tak lama kemudian. Berdiri di mulut gua. Diam.
Lita mencengkeram jaketnya erat-erat.
Pak Wayan menelan ludah, tatapannya terkunci pada makhluk itu.
Gua itu sunyi.
Sunyi yang menusuk.
Udara lembap merayap ke kulit mereka. Bau tanah lembap bercampur busuk menusuk hidung—seperti bangkai yang sudah lama membusuk di tempat yang tertutup. Tetesan air jatuh dari langit-langit, menghantam batu dengan ritme tak beraturan, seolah menghitung waktu yang berjalan lambat.
Darius berdiri paling dekat dengan makhluk itu. Senter di tangannya berkedip-kedip. Cahayanya bergoyang tak tentu, menari di dinding gua, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak seperti sesuatu yang hidup.
Bangkai itu diam. Tak bergerak. Tak bersuara. Hanya napas beratnya yang terdengar samar di antara hembusan dingin gua.
Tak seorang pun berbicara. Tak seorang pun bergerak.
Darius mencoba menelan ludah, tapi yang ada hanya rasa kering dan getir di tenggorokannya.
"A-arnol..." Suara Darius lirih, nyaris tenggelam dalam desau napas respirator.
Tak ada yang menjawab.
Tapi Bangkai itu menoleh. Lambat. Kaku.
Darius mengangkat senter tanpa sadar. Cahaya berkedip menangkap wajahnya—retak, sobek, dan tak lagi manusiawi. Tapi ada satu hal yang membuat darahnya beku.
Mata itu.
Masih utuh. Masih hidup.
Dan yang paling menakutkan: mata itu mengenalinya.
Darius menahan napas. Sebagian dari dirinya ingin percaya ia salah lihat. Tapi nalurinya tahu. Jauh sebelum bibirnya bergerak, tubuhnya sudah tahu.
Yang berdiri di depannya… bukan sekadar Bangkai.
Itu Arnol.
Sahabatnya.
Makhluk itu buru-buru mengalihkan pandangan. Tubuh Darius membeku, bagai dihantam gelombang dingin.
Tidak mungkin.
Darmaji terkejut, tak percaya. Satrio kaku di tempatnya.
Mereka mengenalnya.
Tapi tak seperti Darius.
Bagi Darius, ini lebih dari sekadar keterkejutan.
Ia mengenalnya sejak remaja.
Ia, Amad, Arnol, dan Kalisa, adik perempuan Amad. Berkelana dari distrik ke distrik. Mencari penghidupan—sebelum akhirnya menetap di Distrik 79.
Arnol sekadar teman patroli—juga teman berkelakar, berbagi cerita—membicarakan hal-hal kecil yang kini terasa begitu jauh.
Malam itu… Saat patroli di luar Distrik... Mereka diserang gerombolan Bangkai. Jumlahnya terlalu banyak. Arnol tumbang. Darius masih mengingat teriakan terakhirnya—saat bayangan tubuhnya ditarik ke dalam kegelapan.
Arnol gugur. Itu yang ia yakini. Tetapi kenyataan menghantam wajahnya lebih keras dari ombak menghantam karang.
Arnol kini tepat di hadapannya. Bukan dalam wujud yang ia kenali selama ini, tapi sesuatu yang lain. Sesuatu yang menghantui bumi di ambang peradaban.
Napas Darius berat. "K-ku kira… kau…”
“Khhg—sudah mati…”
Hening.
Hanya suara napas di balik respirator.
“Apa yang terjadi padamu…?"
Napas Arnol terdengar lebih berat. "Khhg—vaksin," jawabnya singkat.
Vaksin?
Wajah Darius sarat dengan kebingungan.
Ia menatap Arnol, rahangnya mengatup. Senter di tangannya terus berkedip. Dalam cahaya yang tidak stabil, tubuh Arnol terlihat semakin mengerikan.
Arnol membuka mulut sekali lagi. Tiap kata butuh perjuangan—tiap kalimat seolah di ujung napas.
Kendati demikian, ia bercerita…
Sebelum seisi dunia kolaps sepenuhnya, keluarganya dari kalangan konglomerat. Ayah dari kakeknya memiliki segalanya—akses ke perlindungan, makanan, bahkan vaksin yang hanya dimiliki orang-orang tertentu.
Namun, tak ada benteng yang benar-benar abadi.
Saat distrik para elit diserang pemberontak, mereka yang selama ini hidup mewah merasakan ketakutan yang sama dengan rakyat jelata. Keluarga Arnol ikut hancur dalam semalam. Keluarganya melarikan diri dengan sedikit barang peninggalan. Di antaranya: sisa vaksin eksperimental—diwariskan turun temurun hingga botol terakhir sampai ke tangan Arnol.
Ia tak tahu, benda yang dipikir tameng malah jadi sebab penderitaannya.
Alih-alih menyembuhkan, vaksin itu hanya menunda nasibnya.
Menjaganya tetap di batas tipis antara hidup dan mati.
Menjadikannya sesuatu yang lain.
Sesuatu yang tak seharusnya ada.
Hening mencekam usai Arnol bercerita. Kata-kata keluar dari mulut yang tak seharusnya berbicara. Tatapannya nanar ke lorong gua—pada badai yang masih meronta.
Dalam cahaya senter yang berkedip-kedip, mereka dapat melihat jantung Arnol berdenyut di balik luka lebar yang menganga.
Makhluk itu berbalik badan—melangkah pergi.
“Arnol…” panggil Darius. Mereka saling bertatapan sekali lagi.
“Terimakasih…”
Denting air dari langit-langit terdengar seperti detak jantung—menghitung waktu. Kali ini… Arnol tidak buru-buru melepas pandangannya. Setelah sekian lama ia merasa hidup. Berbincang dengan sesamanya—sahabat lamanya, meski bukan dengan tubuh yang utuh. Bukan dengan suara yang wajar. Tapi untuk pertama kalinya, ia merasa didengar.
Darius mampu merasakan sisa kehangatan di balik mata Arnol—makhluk itu.
Siluetnya larut dalam gelap, seiring cahaya yang terus berkedip
Hening.
Di dalam, suara napas mereka terdengar lebih nyata—desahan berat yang terendam di balik respirator. Ritmenya tak beraturan. Ketegangan menggantung di udara.
Pikiran Darius berkecamuk. Yang lain pun tenggelam dalam diam, digayuti gema pesan terakhir Arnol.
Tepat sebelum menghilang di mulut gua, ia meninggalkan satu pesan—tajam dan dingin, seperti pisau yang menebas sunyi.
“Ada sesuatu yang lebih besar di luar sana… Yang lebih kejam… Lebih mengerikan… Jika kalian menemukannya, jangan melawan… jangan bersembunyi… LARI—
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
