Behind The Clouds (1-2)

11
2
Deskripsi

"Rhe! Kalian lima tahun bareng-bareng, nggak mungkin nggak ada masalah besar."

01 - Kabar Putus

"Sayang, Rhea kok nggak keluar kamar ya?"

Aku menyesap teh hangat yang dibuatkan Bunda dengan pelan. Mataku mendelik ke arah kamar Rhea yang masih tertutup rapat—untuk alasan yang sudah pasti kuketahui. Rhea putus sama Kafka, setelah lima tahun menjalin hubungan!

Wih! Gila! Mereka bisa putus juga? Kalau dipikir-pikir tentang bagaimana cinta membodohi keduanya rasanya fakta putus pastilah sesuatu yang tidak nyata.

Tapi kenyataan memang harus dihadapi, mereka benar-benar putus. Sudah lima hari putus. Sudah lima hari juga aku mengurusi dua orang yang gagal move on itu! Ngapain putus segala kalau masih menginginkan satu sama lain? Merepotkan orang lain!

"Masih sedih."

Ayah yang sedang membaca sesuatu di ponsel lipat spontan menatapku. "Sedih kenapa?"

Aku mengulum bibir, menyadari bahwa orangtuaku belum mengetahui kabar tak sedap itu. Ragu-ragu aku menatap keduanya, "putus sama Kafka."

Bunda berpindah ke kursi sebelahku, yang biasa diduduki Rhea. "Putus? Kok bisa?"

Aku mengangkat bahu, benar-benar tidak tahu apapun soal kabar ini. Rhea hanya mengatakan dia putus, Kafka belum memberikan kabar sama sekali.

Ya sudahlah! Mereka juga sudah dewasa. Tidak perlu diurusi lagi seperti awal-awal mereka pacaran.

"Kenapa putus, Ya?"

"Yaya nggak tahu, Bun. Tanya aja sendiri sama mereka berdua," kulirik jam tanganku yang sudah menunjukkan pukul tujuh. Aku sudah harus ke kantor untuk bekerja. Sudah terlalu excited untuk memulai hari pertamaku bekerja—setelah dua bulan menganggur pasca wisuda.

Bunda menjitak kepalaku dengan sangat tega. "Kamu itu! Kalau Bunda nanya yang bener jawabnya." Bunda mulai cari perkara.

"Ayaaahhhh!" Aku merengek pada Ayah yang memberikan tersenyum simpul. Ayah kemudian menyelesaikan sarapan dan berdiri. Aku juga sudah bersiap untuk nebeng sama Ayah.

Aku menggandeng tangan Ayah dengan senang. "Kapan Ayah bolehin aku nyetir mobil?"

"Tahun depan."

Aku merengut. "Ayah nggak adil! Rhea boleh bawa mobil!"

"Cara nyetir kamu sama kayak Bunda, payah! Padahal udah dua puluh tiga tahun!"

Aku makin merengut mendengar ucapan itu. Benar juga kata Ayah, aku selalu menabrakan mobil saat menyetir, membuat kepercayaan Ayah kepadaku makin lama makin menipis.

Semua orang mengatakan bahwa secara fisik aku sangat mirip dengan Bunda, namun sayangnya kebiasaan-kebiasaan Ayah menurun langsung kepadaku. Aku adalah perpaduan Ayah dan Bunda yang begitu pas. Rhea, adikku satu-satunya, malah lebih mirip Bunda dan tak mirip Ayah sama sekali, baik fisik maupun sifat!

Di perjalanan menuju kantor baruku, aku mengeluarkan ponsel dan melihat satu pesan dari Kafka—si pembuat masalah!

Kafka
Hari pertama kan? Good luck!

Tara

Thank u yang lagi patah hati.

Kafka
Rese.

Tara

Gue mau musuhan sama lo
dulu karena bikin
Rhea nggak keluar kamar.

Kafka
Serius?

Tara

Ho oh.

Kafka
She still loves me, right?

Tara

She always loves you, btw.

Kafka
I need your help
Please
Cuma sekaliiii aja.

Tara

Nggak

Kafka
Ayolah

Tara

Apa?

Kafka
Bantu gue

Tara

Buat?

Kafka
Balikan

Tinggal balikan aja kali.

Kafka
Putus yang ini kayak beda, Ya.

Tara

Apa bedanya?

Kafka
Dia berasa ada orang lain

Tara

Terus?

Kafka
I still love her, Ya.
Please, help me.

Tara

Yaudah.
Lihat situasi dulu.

Kafka
Thanks, Ya.
You are the best.
Mulai besok gue antar-jemput lo ya.

Tara

Hmm

Kafka
Rhea nggak mau ketemu gue lagi.

Tara

Kenapa?
Lo bikin salah apa sampe diputusin?
Selama ini kalian baik-baik aja.

Kafka
I don't know

Tara

Bego lu.

Kafka
😒

 

 

02 - New Phase

 

Seseorang menjemputku di lobby setelah lima belas menit menunggu. Sesuai dugaanku, Aksara memang lebih charm dan hangat daripada saat mewawancaraiku. Usianya satu tahun lebih muda dariku tetapi sudah sukses mengendarai perusahaan ini. Benar-benar pencapaian yang luar biasa.

Aksara datang dengan kemeja polos berwarna biru muda dan celana bahan, sungguh berbeda ketika aku bertemu dengannya seminggu yang lalu yang hanya mengenakan kaos hitam polos dan celana jeans. Dia jauh lebih rapi dengan mengenakan kemeja.

Aku memang melamar menjadi content creative di sebuah startup properti setelah menamatkan studi magisterku di bidang Digital Business dua bulan yang lalu. Katanya, dulu perusahaan ini hanya memberikan informasi terkait properti yang dibangunnya. Lama-kelamaan divisi ini menjadi sangat berkembang dan memecahkan diri dari perusahaan induk sehingga menjadi perusahaan yang menyediakan layanan properti di Jabodetabek hingga Bandung. Setelah lulus sarjana, Aksara diberikan beban langsung oleh orangtuanya untuk mengembangkan TerraProper ini.

"Sorry, telat. Gue habis meeting sama investor," Aksara menjabat tanganku dengan ringan sedangkan aku hanya membalas jabatan tangan sambil mengulum senyum. Astaga, sejak kapan Tara menjadi sangat pendiam begini?

"It's okay, belum satu jam."

Aksa meringis. "Ouch!"

Aku tersenyum simpul, merasa begitu gugup menjalani hari pertama ini.

"Kontrak baru lo udah selesai," Aksa membimbingku menuju lift. Dia memencet tombol tujuh sebelum berbalik menghadapku, "lo tegang banget, Ya?"

Setelah mendengarnya yang mulai menenangkan ketegangan ini aku kembali tersenyum. "Lumayan. Lumayan tegang juga karena lo udah menampilkan keakraban sama gue."

Aksa membalas senyumku. "Gue bisa apa sama anaknya Tante Gia?"

Spontan aku mendelik menatapnya.

Laki-laki itu tersenyum semakin lebar. "No. Lo memang direkomendasikan Tante Gia, tapi lo keterima karena pengalaman dan kemampuan lo. Gue jamin."

"Dan desakan Kafka?"

Aksa mengangguk tanpa ragu. Ibu-Gianny dan Kafka memang dua orang yang memiliki peranan penting dalam merekomendasikan diriku pada Aksa. TerraProper sebenarnya tak buka lowongan pekerjaan secara terbuka. Entah bagaimana caranya Ibu dan Kafka bisa menginformasikan bahwa TerraProper sedang membutuhkan seseorang di bidang kreatif karena staf lama telah mengundurkan diri.

Kami masuk ke dalam ruangan Aksa. Sebenarnya, dia masih berperan sebagai CMO di perusahaan yang baru berdiri sepuluh tahun ini. Aku belum pernah bertemu dengan bos besar sering tidak berada di tempat.

"Lo ponakannya Oom Afif?" Tanya Aksara random, sepertinya dia sudah menyelidiki latar belakangku.

Aku tak mengindahkan ucapan itu dan fokus kepada sebuah map yang diberikan Aksa. Aku sudah menandatangani secara digital, tapi karena ada beberapa perbaikan, Aksa kembali menarik dan memintaku menandatangani secara langsung.

"Iya," balasku singkat.

"Kenapa nggak bilang?"

"Gue nggak pengin dikenal sebagai ponakannya."

"Supaya nggak dikira masuk karena kroni ya?"

Aku mencibir dan mengangguk.

Aksa masih berusaha mengorek informasi. "Ini alasan lo juga nggak kerja di OpenWorld?"

Kutelan ludah yang terasa pahit. Ayah memang sudah menawarkan untuk bekerja di kantor Ayah agar aku tidak terlalu nganggur setelah lulus. Namun, aku mendapat kesan tidak menyenangkan saat magang disana, padahal suasananya sangat kusukai karena bisa bekerja remote.

Sekarang, perusahaan-perusahaan di Indonesia sudah banyak menggunakan sistem remote dan tidak memerlukan kantor sama sekali dalam bekerja. Kata Bunda, kondisi ini berbanding terbalik dengan zaman dulu, dimana hanya sedikit perusahaan menggunakan sistem ini. Pemerintahan dan BUMN juga sudah menerapkan sistem serupa karena mereka sudah berorientasi pada hasil pekerjaan. Sayangnya, untuk perusahaan besar dan lama masih banyak juga menggunakan sistem full bekerja di kantor.

Kesan tidak nyaman yang didapatkan di kantor Ayah membuatku tidak ingin bekerja disana. Lebih baik aku mencari tempat lain yang lebih membuatku leluasa berkembang, tidak ada embel-embel anak atau kenalan seseorang. TerraProperpun kupertimbangkan karena Papa Afif tak langsung bekerja di tempat ini.

"Iya."

"Padahal perusahaannya sangat strategis."

"Gue tahu."

"Lo yakin mau bekerja di perusahaan kecil ini?"

Aku mengangguk yakin dan mendapati beberapa klausul kontrak yang berubah dari sebelumnya. Pertama tentang reward and punishment, gajiku dan juga jadwal kerja.

"Mulai bulan depan kita syuting dua kali seminggu di lapangan, jadi hari kamis atau jumat lo wajib datang ke kantor. Kalau nggak ada meeting, lo bebas mau ngantor atau nggak," Aksa menjelaskan dengan tenang.

"Meja kerja gue?"

Aksa menggeleng. "Nggak ada, lo bebas kerja dimanapun. Fasilitas Gym dan klinik kesehatan di gedung ini juga lo dapat subsidi. Lo bisa ke co-working yang ada di lantai lima belas juga buat kerja."

Aku mengangguk-angguk mengerti, kemudian mempunyai satu pertanyaan penting. "Biasanya karyawan disini-"

"Kebanyakan lebih suka kerja disini. Operasional kantor juga jauh lebih mendingan tahun ini dengan tahun-tahun sebelumnya. Ada benefit lembur, yang penting kerjaan lo jelas setiap hari."

Aku mengambil pulpen dan menandatangani kontrakku dengan segera, menampilkan senyum sangat puas dari bibir Aksa.

"Selamat datang, Claudya. Semoga kita bisa bekerjasama dengan baik."

"Thank you, Sa."

"Kita meeting setengah jam lagi."

***

Aku baru pulang sekitar pukul lima, menggunakan MRT. Posisi rumah yang dekat dengan MRT membuatku jauh lebih mudah mobilisasi kemanapun. Apalagi, mobil hanya ada dua di rumah, dua-duanya dipakai orangtuaku.

Ayah mengatakan, pajak mobil semakin mahal dan kalau aku tidak bisa membayar pajak sendiri setiap tahun ... aku belum akan diizinkan memiliki kendaraan sendiri. Ayah dan Bunda saja merogoh kocek yang sangat besar hanya untuk pajak kendaraan. Mungkin karena itulah, banyak yang beralih ke public transport saat ini.

Aku pernah melihat berita saat zaman kedua orangtuaku muda dulu dan tak menyangka itu adalah Jakarta. Sekalipun sekarang pada jam sibuk masih macet, tapi kondisi kota ini dulu terlalu serabutan.

Kudorong pintu dengan pelan. Ayah sudah pasti belum ada di rumah karena selalu jadwal pulangnya setelah petang. Bunda yang kuharapkan ada di rumah ternyata belum pulang juga.

Mataku menangkap Rhea yang tengah menonton serial sihir kesukaannya, tapi pandangannya terlalu sayu untuk menonton seri mengerikan.

"Rhe!" Sapaku sambil mengusap kepalanya, dia langsung berjengit menyadari keberadaanku.

"Martabakku mana?" Tanyanya langsung.

Aku memberikan tas belanjaku padanya. "Nih!"

Dia tersenyum lebar dan segera mengambil martabak itu, berjalan ke dapur dan meletakkannya di piring. Seperti biasa, kalau Rhea sudah di dapur berarti dia akan membuat keributan.

Aku kembali mengingat percakapanku dengan Kafka tadi pagi, membuatku juga ingin tahu bagaimana perasaan adikku sesungguhnya kepada laki-laki itu. Mereka sudah lima tahun bersama, tidak mungkin putus karena alasan sepele. Lagipula, aku sudah yakin Rhea menikah duluan daripada aku.

Dia meletakkan sepiring martabak yang kubeli di meja panjang yang berada di depan kami. Sekarang dia sedang libur semester, bulan depan kembali ke Singapura.

"Nggak ada yang beliin martabak lagi ya?" Sindirku sambil mencomot sepotong martabak. Ternyata martabak di dekat kantorku ini enak juga!

"Apaan sih, Kak?" Rhea menggeleng pelan. "Udah putus!"

"Kalian putus kenapa sebenarnya? Biasanya nggak pernah putus."

Rhea tak menanggapi dan mengalihkan pandangan ke arah televisi. Pandangannya kembali sayu. Aku menyadari keanehan sikap Rhea dan Kafka saat mengajak mereka merayakan keberhasilanku mendapatkan pekerjaan beberapa hari lalu. Hari itu aku mendapati sendiri kedekatan mereka berdua tak lagi sama. Pulangnya, aku langsung mengintrogasi Rhea.

"Rhe! Kalian lima tahun bareng-bareng, nggak mungkin nggak ada masalah besar."

"Memang nggak ada masalah besar, Kak," akunya pelan.

"Trus?"

"Perasaanku sama Kafka nggak lagi sama." Rhea beberapa detik terdiam-aku tentu masih belum membuka suara. "Aku suka orang lain."

Aku menghentikan gerakan mulutku yang sedang makan seketika, memperhatikan ekspresi Rhea yang terlampau serius. Aku menelan martabak dengan susah, seketika gamang mengingat keinginan Kafka tadi pagi.

"Siapa?"

Rhea menggeleng pelan. "Daripada dilanjutkan dan dia terlanjur serius sama aku, mending disudahi aja."

Aku menggeleng tak percaya, menolak kenyataan yang dia berikan. "Kamu suka dia dari kecil, Rhe."

"Memang. Apa karena aku suka dia dari kecil, aku nggak boleh suka orang lain saat dewasa? Semua berubah, Kak. Aku nggak bisa mengendalikan juga."

Aku mendengus mendengar penjelasannya.

"Bukan karena bosan sama hubungan kalian?"

Masih kuingat dengan jelas curhatan Rhea beberapa bulan lalu perihal dia yang merasa bosan dengan hubungannya dan Kafka. Kafka cenderung orang yang sistematis sedangkan Rhea berubah-ubah. Rhea bahkan bisa merubah keinginan secepat kilat dan tak suka ikatan kuat.

Kafka sebaliknya, dia menyukai kepastian.

Adikku lagi-lagi hanya diam. Lima tahun bersama tentu saja datang rasa bosan. Aku tak pernah menyentuh hubungan selama itu dan tidak tahu rasanya. Melihat gelagat Rhea yang semakin gugup, aku menyadari bahwa dia juga kebingungan mengenali perasaannya.

"Kamu sayang dia, kan, Rhe?"

Rhea tersenyum tipis, tampak dipaksakan.

Aku menarik napas panjang. "Yaudah. Kamu fokus skripsi dulu. Mungkin memang kalian butuh space untuk mengenali perasaan masing-masing," aku berdiri untuk masuk ke kamarku.

"Dia bilang sesuatu?" Rhea mencoba memastikan.

"Nggak ada," balasku tanpa menoleh pada Rhea.

TBC

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori karya
Behind The Clouds
Selanjutnya Behind The Clouds (3-5)
11
2
He is my type. Pekerja keras, humble dan sukses.Aku pun sudah saatnya melepaskan Kafka di dalam hidupku.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan