Journey to Love (1)

26
2
Deskripsi

Apakah semua orang harus menikah?

Kenapa perempuan matang harus menikah? - Evelyn Tanisha.

***

Evelyn Tanisha menerima perjodohannya dengan Elzein Daaris dan meninggalkan segalanya yang ia miliki di Jakarta untuk kembali ke kampung halamannya, Tepian.

Menikah tanpa cinta tak membuat keduanya bermasalah dalam mengarungi rumah tangga yang saling menghargai.

Satu pertanyaannya, benarkah cinta benar-benar tidak penting?

Bagaimana jika ... segalanya berubah saat cinta sudah datang?

Bab I

Apakah semua orang harus menikah?

Kenapa perempuan matang harus menikah?

Banyak hal yang seharusnya kupikirkan. Misalnya, bagaimana aku bisa menyelesaikan laporan tahunanku sebelum aku memutuskan resign atau apa yang harus kumakan malam nanti hingga nggak kelaparan. Seharusnya pikiranku nggak tertuju pada satu pertanyaan yang sebenarnya aku tahu jawabannya.

Pertanyaan terkait pernikahan itu kadang nggak penting tapi bisa membuat semua orang menoleh padamu, penasaran akan jawabanmu atau menunggu bagaimana reaksimu. Pernikahan bak sebuah mobil tank yang gagah dan berani di jalanan yang penuh dengan motor dan mobil biasa.

Pernikahan akan membuat dirimu naik derajatnya di mata masyarakat dan juga jatuh sekaligus.

Aku tahu bahwa seharusnya aku nggak memikirkan hal ini. Pertanyaan nggak penting itu datang begitu saja ke dalam kepalaku saat aku menenangkan diri dari tumpukan pekerjaan yang sudah dua minggu ini menghantuiku.

Ada empat market research yang belum kuserahkan pada Nauren. Si perfectionist itu meminta semua laporan itu sore ini sudah jadi. Sepuluh persen aku yakin bisa memberikannya, sembilan puluh persen aku enggan memberikannya tepat waktu.

Ciri-ciri karyawan mau resign itu memang malas-malasan. 

Menurutku udah cukup pengalamanku sepuluh tahun di perusahaan ini. Aku udah seharusnya menapaki hal baru, yang mungkin nggak terpikirkan sebelumnya. Aku sudah seharusnya berada di tempat lain dan bukan di tempat yang memberiku kenyamanan namun nggak membawaku kemana-mana seperti ini.

Lalu ... apa rencana hidupku selanjutnya?

Apa itu? Pernikahan?

Bisa jadi, kan?

Usiaku matang untuk menikah. Semua keinginanku sudah terkabul semua. Aku punya notes terkait semua mimpiku dari usiaku masih muda, semuanya sudah terceklis dengan baik. Bahkan Tanisha muda nggak berpikir itu akan terjadi di awal umur tiga puluhan ini.

Satu-satunya yang belum tercapai adalah enyah dari perusahaan ini.

Sejujurnya perusahaan ini memperlakukan—menggajiku dengan baik. Apalagi setelah aku mendapatkan jabatan manajer lima tahun yang lalu. Semakin tinggi jabatanmu, semakin baik perusahaan memperlakukanmu. Itu benar adanya. Percaya padaku, aku sudah melewatinya.

Hanya saja, aku udah nggak memiliki waktu lagi. Akhir tahun adalah waktu terbaik atas rasa tanggung jawabku pada pekerjaan untuk keluar dari perusahaan ini. Jenuh juga banyak hal yang nggak bisa kujelaskan sudah terjadi yang membuatku merasa makin lama makin tercekik.

Aku sudah nggak bisa menunda lagi.

Selain itu, tanggal pernikahanku makin dekat.

Tapi aku bahkan sama sekali belum mengenal calon suamiku.

Sulit dibayangkan perempuan mandiri sepertiku harus menerima kenyataan bahwa orangtuaku sudah menjodohkanku.

Aku pun menerima begitu saja.

Cinta bukan satu-satunya landasan pernikahan. Aku bisa menjamin hal itu. Banyak hal yang bisa menjadi dasar atas pernikahan. Selain cinta, aku bisa mengusahakannya.

Lagipula aku juga yakin mau tidak mau aku pasti akan menyukai suamiku nanti. Bak pepatah jawa mengatakan, cinta datang karena terbiasa. Usiaku nggak mengenal lagi suka-sukaan era muda yang begitu polos dan lugu. 

Aku yakin akan menyukainya. Entah harus mengenalnya saat ini atau nanti. Entahlah.

Sejujurnya aku nggak peduli dengan pernikahan ini.

Tapi ini harus kulakukan.

"Eve." Seseorang membuka pintu ruanganku.

Aku menoleh. Nauren Alshaad, putra bungsu CEO grup perusahaanku masuk ke dalam ruangan. Dia memang lebih sering memanggilku dengan Eve dan Evelyn Tanisha dibandingkan nama kecilku, Tanisha.

"Lo lagi ngerjain report?" Tanyanya cepat. Ia duduk pada kursi di depan mejaku.

Aku hanya menatapnya sekilas sebelum mengangguk. Sejujurnya aku lagi tidak mau diganggu siapapun sore ini atau dua minggu ke depan. Aku perlu fokus menyelesaikan tanggung jawab terakhirku di perusahaan ini.

"Insider minta pendapat kita soal Tepian," Nauren mulai membahas pekerjaan. Insider merupakan panggilan terhadap perusahaan yang bekerjasama dengan grup perusahaan ini. Biasanya kami melakukan market research untuk beberapa bisnis yang dikembangkan oleh grup perusahaan, namun karena satu dan lain hal termasuk budget dan regulasi, kami menawarkan research itu perusahaan-perusahaan serupa. 

Aku mengangkat alis. "Hasilnya jelek, kan? Gue udah ngasih report bahwa demand di Tepian nggak sebesar itu."

"It has potential."

Aku menarik napas panjang. Aku sudah membahas ini ratusan kali dengannya. "No means no, Nau. Lo jangan ... mulai membelot lagi dari hasil kesepakatan terakhir kita," aku mengucapkan dengan lantang.

Nauren tertawa. Matanya menyipit saat tersenyum. Nauren selalu tampak menawan ketika dia terlihat ceria. Laki-laki ini mendapatkan darah Melayu, India dan Inggris dari kedua orang tuanya. Menjadikannya laki-laki yang mempesona. Setidaknya untuk karyawan di grup ini.

"Apa karena lo mau balik kampung halaman?" Nauren lurus menatapku. Ada sesuatu di dalam tatapannya.

Aku menggeleng. "Pekerjaan tetap pekerjaan. Nau, gue nggak bisa bahas ini terus menerus."

"Eve, pikirin lagi soal surat resign lo."

"Why?" Aku mengernyit heran. Tunangannya akan bersorak jika mengetahui bahwa aku akan pergi dari kehidupan mereka.

"I'm not going to marry her." Nauren seperti berusaha mengungkapkan keinginannya agar aku nggak keluar dari perusahaan ini.

Salah satunya dengan cara mempermainkan perasaanku.

"And then?" Tanyaku sarkas.

Nauren hanya diam. Aku tersenyum tipis dan menggeleng. "I am getting married, Nau. Just please let me go."

"You kidding me."

"Buat apa gue resign dan pulang kampung kalau bukan karena menikah?" Aku mengerjap pelan. Mata kami saling menatap untuk beberapa saat. Aku melempar keseriusan yang sama dengannya. "Gue serius."

Nauren tak langsung menanggapi. Ia hanya diam saja. Dia pun akan menikah. Kami berdua akan sama-sama menikah dan keluar dari hubungan rumit yang kami jalani dari awal ini.

"Siapa?"

Aku bahkan belum mengenal betul siapa calon suamiku. Kami hanya pernah bertemu sekali ketika dia datang ke Jakarta. Pertemuan singkat yang membawa kami ke keputusan akan melanjutkan perjodohan oleh orang tua kami.

Nauren tampak kecewa. Aku pun. Aku pun kecewa dengan kabar pernikahanku. Tetapi aku tahu bahwa segalanya akan berjalan dengan lancar jika aku tak lagi banyak protes.

Laki-laki itu menunduk lesu.

Bukan.

Laki-laki yang kusukai selama sepuluh tahun terakhir itu memikirkan sesuatu. Aku tak pernah menafikkan fakta bahwa aku tak menyukai Nauren. Dari awal, dia menawan hatiku.

Sepuluh tahun.

Sepuluh tahun aku berada pada situasi rumit dan tak menyenangkan. Salah satunya bersama Nauren.

Wajah tampannya yang kecewa tak bisa menyembunyikan denyut sakit dari jantungku. Ia tak bisa mengubah kekecewaan terhadap takdir kami pada sesuatu yang melegakan karena dia juga turut bersedih akan berita pernikahanku.

"Gue bakalan kirim undangan ke lo dan keluarga jika udah jadi," jelasku singkat. Aku nggak mau lagi terperanguh oleh bujuk rayu Nauren karena dia ingin terus-terus mengikatku di perusahaan ini. 

Aku sudah mempertegas segalanya.

Aku akhirnya menunduk dan tersenyum tipis. Tidak ada yang bisa kulakukan lagi. Keputusan sudah kuambil. Aku juga perlu bertanggung jawab atas keputusanku. Perasaanku pada Nauren tak boleh menghalangi apapun masa depan yang sedang kurencanakan.

Nauren keluar dari ruanganku begitu saja. Mungkin dia perlu menenangkan diri dari informasi yang baru saja kusebutkan. Terkadang, dia bahkan lebih kekanakan dibanding anak baru yang bergabung kemarin di perusahaan. 

Punggung tegapnya menghilang bersamaan dengan aku yang lupa cara bernapas.

Hatiku mencelos.

Dari segala keberuntungan yang selalu datang padaku selama ini ... ada satu ketidakberuntunganku di dunia ini.

Adalah tidak dicintai oleh laki-laki yang kusukai.

TBC

TBC


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Journey To Love
Selanjutnya Journey to Love (2)
17
0
Kamu beneran mau resign? Sanggup hidup di Tepian? - Adiba.***Evelyn Tanisha menerima perjodohannya dengan Elzein Daaris dan meninggalkan segalanya yang ia miliki di Jakarta untuk kembali ke kampung halamannya, Tepian.Menikah tanpa cinta tak membuat keduanya bermasalah dalam mengarungi rumah tangga yang saling menghargai.Satu pertanyaannya, benarkah cinta benar-benar tidak penting?Bagaimana jika ... segalanya berubah saat cinta sudah datang?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan