Tetap Teman : Bab 1-3

14
0
Deskripsi

Setelah melarikan diri dari kota yang membesarkannya, Iris Amaira kembali ke Jakarta. Bukan hanya memulai kehidupan baru, dia juga mulai terjebak akan perasaannya sendiri kepada sahabat baiknya, Rian.

Di antara kenangan-kenangan masa lalu, Iris kembali menyelami hatinya sendiri. Hingga suatu hari ia membuat keputusan agar tak terjebak dalam patah hati lagi. Patah hati begitu mengerikan, dia enggan merasakannya lagi.

Meski Rian menyambut baik perasaannya ... tetap teman saja sudah cukup.

Satu : Jakarta dan Patah Hati

Dunia tetap baik-baik saja sehancur apapun hidupmu. Jadi, nggak ada gunanya bersedih lama-lama.

Aku nggak mungkin benci Jakarta.

Bagaimana mungkin aku bisa benci Jakarta?

Aku hanya nggak suka tinggal di Jakarta. Maksudnya ... siapa yang suka? Baru lima menit keluar dari rumah sudah berhadapan dengan kemacetan yang tiada henti. Itu baru keadaan yang dihadapi saat memulai aktivitas, saat pulang nanti .... Harus menghadapi hal yang sama, bedanya saat jam pulang kemacetan di jalan meningkat dua kali lipat.

Kalau kata orang-orang, Jakarta hanya membuatmu tua di jalan. Ya benar. Jika di tempat lain jarak tempuh empat kilo hanya sekitar sepuluh menit, di Jakarta kita bisa mendapati jarak tempuh serupa bisa mencapai tiga puluh menit perjalanan. Itu baru persoalan jarak tempuh, belum lagi polusi, banjir, gaya hidup, sewa tempat tinggal dan orang-orang dengan emosi sumbu pendek yang berkendara di jalan.

Bagiku, Jakarta tetap bukan tempat ideal untuk ditinggali. Sayangnya semua itu bukan alasannya.

Aku harus menandatangani offering letter yang ditawarkan Mbak Wulan karena butuh pekerjaan.

"Lumayan lho, Ris, gajinya naik tiga kali lipat dari sebelumnya."

Aku tersenyum tipis dan mengangguk. Gaji pekerjaan baruku memang tiga kali lipat dari gajiku saat pertama kali bergabung dengan kantor ini. Benar, tetapi pekerjaanku dan tanggung jawab sekarang juga bukan main-main. Lagi pula, ini sudah sesuai dengan kualifikasiku sebagai lulusan pascasarjana yang sudah memiliki pengalaman bekerja selama empat tahun.

Mbak Wulan menerima berkas kontrak yang kutanda tangani dengan semringah. Setelah mengetahui bahwa aku akan segera lulus master, dia nggak segan menawarkan pekerjaan padaku. Awalnya aku berniat menolaknya tapi setelah berpikir berkali-kali aku memutuskan untuk menerima tawaran ini.

"Kamu bisa masuk mulai besok ya," ucap Mbak Wulan. Fyi, Mbak Wulan akan menjadi supervisiku setahun ke depan.

"Siap, Mbak." Aku menjawab template.

Mbak Wulan masih tersenyum-senyum menatapku. "Udah dapat tempat tinggal? Atau nge-kos?"

Aku hampir lupa bahwa aku harus segera bersih-bersih tempat tinggal baruku hingga beberapa detik lalu. "Tinggal di rumah Om, kebetulan beliau sekeluarga nggak tinggal di sana lagi."

Mbak Wulan mengangguk-angguk. "Ya udah, kamu pasti sibuk hari pertama pindahan. Sampai ketemu besok, Ris."

"Makasih, Mbak."

Aku segera berdiri dan menyalami tangan Mbak Wulan sebelum keluar dari ruangan rapat minimalis bercat putih itu. Lantai tempatku akan bekerja ada di lantai lima, wing dua. Dulu saat pertama kali bekerja di sini aku bekerja di lantai dua wing satu.

Aku menunggu lift dengan perasaan cukup gusar.

Benarkah ini yang harus kujalani? Aku tiba-tiba gamang.

Mataku mengedar ke sekeliling, pada lorong besar yang memerangkap tubuhku seorang diri. Di bagian paling kiri terdapat ruang untuk menerima tamu bertema open space, sedangkan ruangan kerja berada di sebelah kananku. Kantor ini sudah jauh berubah dibandingkan terakhir kali aku bekerja di sini.

Kutatap ujung sepatuku dengan nanar, sebelum akhirnya kutegakkan wajah.

Sudahlah. Semua sudah diatur sebagaimana semestinya. Aku juga tengah membutuhkan pekerjaan secepatnya.

***

"Halo, Dil?" Aku mengangkat panggilan telepon sambil mengapit ponsel diantara kepala dan bahu sedang tanganku sibuk melipat-lipat pakaian yang udah nggak akan digunakan. Sahabatku, Fadila, baru saja mengetahui aku sudah kembali lagi ke Jakarta.

Jangan terkejut. I know. Aku nyaris tinggal di kota ini seumur hidup dan tetap nggak menemukan alasan kenapa aku harus kembali. Apalagi setelah melarikan diri tiga tahun dan berharap aku bisa hidup bebas dari satu kota ke kota lain, satu negara ke negara lain.

Patah hati bukan hanya membuat hidupku berantakan tetapi juga membuatku nggak bisa menemukan rumah dan tujuan.

Suara cempreng Fadila kembali menyemprotku tanpa basa-basi. Dia sih, memang udah biasa protes untuk hal-hal nggak penting dengan mulut pedasnya itu. Aku hanya menjawab iya-iya seperti yang biasa kulakukan. Tanpa emosi.

"Lo kok nggak bilang udah balik?!" teriaknya dari seberang sana.

"Buru-buru."

"Buru-buru?" Tanyanya heran.

"Gue sibuk pindahan. Besok gue udah masuk kerja," aku berkilah.

Desisan Fadila di seberang sana membuatku nggak tahan menyemburkan tawa. Memang sahabat-sahabatku sangat ajaib—yang beruntungnya masih ada disisiku sampai hari ini. Sekalipun dulu aku sempat menghilang karena terlalu sakit melanjutkan kehidupan.

Halah, memang kata-kata yang lumayan puitis. Nyatanya setelah putus paling pahit yang kurasakan itu ... dunia tetap berjalan normal, hidupku juga baik-baik saja. Aku masih bisa makan dan minum dengan mudah, dunia pun belum sampai perang dunia ketiga dan proyek kereta cepat masih mandek karena urusan lahan. Hal yang berbeda hanyalah jalan pikiranku, dulu seperti nggak memiliki arah sekarang sudah mendingan.

Satu-satunya hal yang bisa kusadari setelah dahsyatnya gelombang kehidupan adalah dunia tetap baik-baik saja sehancur apapun duniamu. Jadi, nggak ada gunanya bersedih lama-lama. Toh pada akhirnya, waktu bisa menyembuhkan segalanya. Membuat rasa sakit menjadi bias—dan biasa, membuat kepahitan menjadi hambar.

Dan membuat pikiranku, sekalipun mengingatnya tetap baik-baik saja.

"Berarti lo bisa datang jadi bridesmaid acara gue kan?"

Aku nggak segera menjawab. Pikiranku mengingat terakhir kali Fadila menghubungiku untuk meminta restu dan memaksa bahwa aku harus datang ke pernikahannya. Dia nyaris melakukan segala cara : merengek, merajuk bahkan mendiamkanku satu bulan penuh. Dia juga kekeuh membelikanku tiket pulang jika aku tidak datang. Aku nggak mengatakan kepadanya akan kembali ke Jakarta waktu itu dan hanya mengatakan jika ada kesempatan aku akan datang.

Bagaimana aku bisa datang?

Kecuali abang kesayangannya itu nggak datang, aku baru mau datang.

Tapi sekarang jalan pikiranku tidak seperti itu lagi. Dia sudah bahagia dengan kehidupannya —kelihatannya. Semoga dia juga bisa melupakan perjalanan tujuh tahun kami yang luar biasa itu. Sepertiku, yang berdarah-darah melupakannya.

Aku memang menjadi mantan-pacar abang sahabatku selama empat tahun terakhir dengan masa pedekate tiga tahun. Iya, kami dekat tiga tahun dan baru mengungkapkan perasaan masing-masing setelah tahun ketiga. Aku nggak menyesali hubungan yang berakhir kandas itu. Aku hanya menyesali bagaimana cara diriku menghadapi kesedihan karena patah hati.

Tidak ada yang mudah dalam proses penyembuhan diri. Baik fisik dan hati. Jika luka fisik saja butuh waktu lama untuk menghilangkan bekasnya bagaimana dengan luka hati? Aku bahkan membuka pintu kebodohan-kebodohan lainnya hanya untuk berusaha keluar dari rasa sakit yang kurasakan.

Kuhela napas panjang, telingaku masih setia mendengarkan Fadila mengoceh nggak jelas. Sudah tiga tahun aku sengaja menghindari Fadila dan keluarganya. Sekarang aku nggak memiliki waktu dan alasan lagi untuk bersembunyi.

Aku sudah melepaskan Agam dan nggak lagi memiliki perasaan apapun padanya. Itulah yang kuyakini. Sejak dia memutuskan menikah dengan istrinya setelah satu tahun kami putus.

Sialan!

Kalau dipikir-pikir, dia memang nggak memiliki adab setelah putus sama sekali. Dia bisa menikahi seorang perempuan satu tahun setelah kami putus tapi nggak bisa menikahiku yang sudah menjalin hubungan tujuh tahun bersamanya.

Butuh waktu lama bagiku untuk merelakan kenangan-kenangan bersama Agam di dalam hidupku. Dulu, dia kujadikan matahari. Setelah dia hilang, duniaku langsung gelap gulita dan nggak tahu arah.

Sejak saat itu aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak lagi menjadikan siapapun penerang dalam hidupku. Jikapun suatu hari akan, aku harus bisa tetap waras menjadikannya sebagai sebuah lampu tambahan yang akan menjadi penerang tambahan dalam hidupku. Karena cahaya yang sesungguhnya —yang menjadi penerang hidupku— berasal dari diriku sendiri.

"Gue mau nge-mall bentar, lagi ada outlet sampah kain." Aku menyudahi obrolanku dengan Fadila.

"Dimana? Lo nggak mau ketemu gue?! Lo nggak kangen gue apa, Ris?!" Fadila mulai berdrama.

Aku memutar bola mata. "Nanti aja pas acara pesta bujang lo." Pesta Bujang adalah istilah yang kami gunakan untuk bacheloratte party. Mengingat Fadila akan menjadi orang pertama yang akan menikah diantara kami berlima. Baiklah, sahabatku ada empat orang. kami lima sekawan sejak berada di bangku kuliah. Dua sahabat perempuanku bernama Fadila dan Umbar, sedangkan dua orang lagi berjenis kelamin laki-laki bernama Kelvin dan Rian.

"Ris! Lo kok rese?" Fadila kembali merengek.

"Udah ya? Gue mau beresin kamar dulu nih," aku nggak menghindar. Benar-benar pure karena sedang sibuk.

"Lo sekarang tinggal dimana?" Tanya Fadila masih meneruskan obrolan, nggak peduli dengan keinginanku yang ingin mengakhiri panggilan ini. Sejak aku putus dengan abangnya kala itu, Fadila lebih memilih bungkam dan nggak ikut campur. Namun bagiku saat itu, berhubungan dengan Fadila tetap menyakitkan karena aku masih mengharapkannya menjadi bagian dari keluargaku. Karena itulah, aku menghindari Fadila dan diapun sepertinya mengerti akan hal itu.

"Benhil."

"Benhil dimana? Lo pikir Setiabudi seluas kampus kita?!"

Aku tersenyum mendengar repetan yang dikeluarkan Fadila. "Apartemen, mau nanya lagi apartemen yang mana?!"

Dia ikut tergelak diseberang sana. "Dapat duit darimana lo sewa apartemen? Simpanan om-om ya lo sekarang?"

"Hibahan sugar daddy," candaku, "Itu lho ... apartemen Oom gue dulu sama keluarganya, katanya gue bayar IPL aja."

"Om lo yang mana? Yang bule?"

"Yup. Mereka udah pindah selamanya ke Toronto."

"Gils, udah nggak jadi rakyat akhir bulan makan mie lagi ya?"

Aku terkekeh. "Masih kok. Jadi budak pemerintah."

"Serius lo kerja di pemerintahan?"

"Iya. Gue dapat offering kerja. Gue butuh kerjaan cepat, Dil."

Fadila nggak segera menjawab. "Jangan sampai Rian tahu. Dia kan buzzer pemerintah."

Aku nggak bisa menahan tawaku. "Palingan kuping gue harus siap-siap kena hina dia lagi. Lagi pula, gue cuma kontrak satu tahun, kok."

Fadila hanya ber-oh ria. "Lo belum ngasih kabar dia kalau udah balik Jakarta?"

"Ngapain gue menghubungi dia?!"

"Ngapain-ngapain! Tahun kemarin siapa yang liburan berduaan di Korea?"

Napasku sedikit tercekat, namun aku tetap mencoba santai. "By the way, status gue masih mahasiswa di sana. Yang liburan tuh Rian."

Fadila lagi-lagi mencibir. "Yaudah, ketemu besok ya."

"Oke, Beb."

Kututup sambungan telepon itu dan akan segera meletakkan ponselku, namun sebuah chat group membuatku urung melakukannya.

Fadila
Ada yg udah di Jakarta nih.

Rian
Siapa?

Kelvin
Gue bisa nebak langsung nih

Rian
Siapa sih?

Umbar
Gue juga yakin sih.

Rian
Woy!

Kelvin
Iris goblok.

Rian
Umbar kan juga udah di Surabaya sekarang!

Iris

Lo bilang gue goblok, Pin?

Kelvin
Si Rian maksud gue.

Rian
Udah di Jakarta lo?

Iris

Menurut lo?

Rian
Udah selesai patah hatinya?

Udah selesai melarikan diri?

Iris

Bodo.

 

Aku meringis membaca pesan dari Rian. Selain terkenal menjadi buzzer pemerintah, dia juga bertindak sebagai buzzer kehidupan kami semua. Dia akan mengomentari apapun yang bisa dia komentari. Pertama kali berkenalan dengannya, aku langsung tahu bahwa orang ini tidak akan cocok berteman denganku.

Sayangnya meskipun menyebalkan, Rian juga nggak luput menunjukkan kebaikannya pada semua orang.

Aku tergerak untuk melihat foto profilnya. Beberapa detik memandangi wajah tengil orang itu sebelum akhirnya menyerah karena dadaku mulai bergemuruh nggak santai.

Sudahlah.

Ini bukan kali pertama aku jatuh cinta. Tapi perasaan jatuh cinta yang terlalu membebani seperti ini ... baru kali ini kurasakan.

Apalagi ... menyaksikan Rian sedang mempersiapkan pernikahannya.

***

Ada satu rahasia yang kupendam selama beberapa bulan terakhir. Aku tahu persis kapan tepatnya ... aku mulai menyukai Rian. Tidak lain dan tidak bukan setelah kehadirannya di Seoul enam bulan yang lalu.

Seperti sahabatku yang lain, dia menjadi satgas terdepan yang selalu menyemangatiku saat-saat hatiku patah karena Agam menyerah akan hubungan kami. Dia rutin menanyakan kabarku, terkadang rese hanya ingin meminta tolong untuk mengisikan pulsa atau paket data. Dalam dua minggu, nggak mungkin kami nggak berkomunikasi.

Perasaanku padanya adalah alasanku untuk pindah ke Jakarta yang semakin berat. Awalnya, aku ingin mencari pekerjaan di Gunung Putri saja, tempat orangtuaku tinggal. Selain karena Jakarta membuatku harus berhadapan dengan keluarga Fadila, aku juga harus sering bertemu dengan Rian.

Aku tahu betul ... apa yang kurasakan ini memang tidak pada tempatnya. Ini hanyalah perasaan sepihak karena aku terlalu terbawa suasana karena Rian begitu perhatian denganku dalam waktu yang lama. Rian sendiri telah memiliki kekasih yang sangat dicintainya dan telah merencanakan pernikahan.

Perasaan ini begitu menghimpit hingga mulai timbul rasa bersalah di dalam diriku. Apalagi, aku mulai merasakan cemburu dengan hubungannya itu. Seperti orang tolol yang nggak pernah belajar dari kesalahan masa lalu. Padahal dulu aku nggak pernah cemburu pada pacar-pacar Rian. Setelah aku menyadari perasaan ini, aku nggak bisa lagi memandang Rian dengan cara yang sama. Dan itu malah membuatku merasa bersalah karena jatuh cinta pada orang yang nggak seharusnya.

Kutarik napas panjang untuk menetralkan suasana hatiku.

Jatuh cinta memang sesuatu yang rumit, aku sendiri sudah merasakannya. Kita nggak pernah tahu kapan perasaan ini menjadi bom waktu, menjadi bumerang. Thanks to patah hatiku yang membuatku menjadi orang yang lebih rasional yang terlalu menggunakan akal sehat. Meskipun menyukainya, aku nggak ingin mendekati Rian atau merebutnya dari Ayasha, calon tunangannya.

Tentu saja menghadapi Rian nggak semudah itu.

Seperti malam ini, saat dia tahu aku sudah kembali ke Jakarta ... dia langsung bom chat mengatakan akan mengunjungiku.

Seharusnya ini hal yang biasa. Namun, karena aku sudah terlanjur menaruh sesuatu padanya, aku merasa sedikit nggak nyaman.

Percayalah, aku udah berusaha melupakan perasaan ini. Aku nggak ingin menjadi benalu di hubungan orang lain, menjadi munafik karena diam-diam mengharapkan seseorang yang sudah memiliki kekasih ... menjadi kekasihku.

Bertahan untuk nggak menyukai sahabat sendiri ibarat membangun rumah di padang pasir. Tampak kokoh diawal namun nggak ada jaminan kapan badai akan datang merobohkan pertahanan.

Salah satu badainya seperti detik ini, baru beberapa saat lalu aku mengikrarkan diri untuk melupakan perasaanku padanya. Tapi kemudian, saat dia mengirimkan chat akan menemuiku, perasaanku langsung rekah nggak terkendali. Terasa sangat berarti untukku.

Oh. Sialan.

Gelisah bukan main, aku mengusap pelan dadaku saat mendengar suara bel apartemenku berbunyi. Kubuka pintu dengan gerakan pelan, senyum lebar yang entah kenapa begitu menarik di mataku langsung membuatku terpaku.

"Sombong amat nggak ngomong kalau udah balik?" Rian dengan seenaknya masuk ke dalam unitku dengan satu kantong belanjanya. Aku hanya membiarkannya masuk dan menutup pintu. Dengan santai, dia menghempaskan diri ke sofa dan mulai menghidupkan televisi.

"Ngapain sih lo malam-malam kesini? Gue mau istirahat tahu!" Protesku dan duduk di sebelahnya. Laki-laki itu tersenyum menatapku, yang lagi-lagi sedikit membuatku tertegun.

"Sekarang jadi budak pemerintah nih?" Sindirnya yang langsung balasan dercakan dariku. Aku mengalihkan pandangan pada tas belanja yang dibawanya.

"Apaan tuh?" Tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Ini cake terbaru dari outlet gue. Cobain deh!" Tangannya meletakkan tas belanja diantara kami. Baru detik itu, aku menyadari penampilannya. Dia mengenakan hoodie hitam dan celana jeans, outfit kesukaannya. Rian rajin olah raga sejak kami kuliah, sehingga badannya cocok menggunakan outfit apapun. Itu juga menjadi poin plus saat mulutnya kadang-kadang nggak ada sopan santunnya kepada orang lain.

Aku hanya menatap malas gerakan tangannya yang mengeluarkan sebuah kotak dari kantong belanja itu.

Well, aku tengah berakting untuk tengah menetralkan suasana hatiku yang membuncah.

"Apa nih?"

"Tiramisu. Gue ingat lo tiramisu addict. Jadi gue mau lo bantu gue beri penilaian untuk dessert ini."

Aku mengambil sendok plastik yang telah disediakan Rian dan langsung memakan dessert itu. Rian juga melakukan hal yang sama.

"Manis banget," protesnya sambil menyipitkan mata.

Aku mengernyitkan dahi dan mengambil alih box kecil itu ke tanganku. "Enak dan manisnya pas, Rian. Tapi ini memang kemanisan buat orang-orang yang nggak suka manis kayak lo," komentarku santai, menatap televisi yang ada di depan kami dengan gugup.

"Ayas juga bilang pas," mendengar nama itu, mataku sedikit melirik ke arahnya. Dari sudut mataku, dia bergerak untuk kakinya dan benar-benar menghadapku. Matanya kini memperhatikanku yang tengah melahap suapan kelima atau keenam dessert ini.

"Kenapa sih lo? Galau lagi?" tanyanya tiba-tiba.

Aku mendelik ke arahnya dan menggelengkan kepala. "Galau apa?" aku bingung, "Siapa yang galau?"

"Diam banget dari tadi?"

Nah kan perhatiannya mulai membuatku deg-degan. "Gue capek habis beres-beres, mau mandi trus tidur ... ehhh ada tamu nggak diundang. Gimana nggak diam?"

Rian tergelak. "Gue mau welcoming sohib gue yang sembuh dari pelariannya setelah tiga tahun! Lagian... besok lo udah kerja, kan?"

Aku menganggukkan kepala. Sudah pasti dia menghubungi Fadila sebelum datang ke sini.

"Tapi tenang aja ..."

Perasaanku mulai tidak enak.

"Gue minggu depan ada di sekitar sini kok."

"Maksud lo?"

"Kantor baru gue ada di lantai dua."

Aku menghentikan suapanku karena terlalu kaget. "Gimana?"

Rian menganggukkan kepala semangat, berbanding terbalik dengan perasaanku saat ini. "Akhirnya gue pindah juga dari ruko sempit itu! Bangga banget gue, Ris! Minggu depan lo wajib datang ya buat syukuran."

Aku belum bisa mencerna kata-kata laki-laki yang ada disampingku ini.

"Maksud lo apaan?"

Rian menjitak kepalaku, nggak sakit memang tapi tetap saja itu nggak sopan. "Oon banget sih lo! Kantor gue disini juga."

Maksudnya? Wait ...

"Gue nyewa unit di sini buat office. Outlet baru gue kan, ada di lobby ini." Senyum Rian makin sumringah, "Ris, nanti gue boleh mandi dan istirahat di sini ya kalau capek? Bagi dong gue aksesnya!" dia melanjutkan dengan semangat yang luar biasa, bahkan mungkin lebih semangat dari pemuda saat menculik soekarno-hatta sebelum kemerdekaan

Aku masih terpaku karena ucapannya. A...artinya aku akan selalu bertemu dengannya? Begitu?

Aku berdeham. "Kenapa lo nggak bilang kalau kantor lo di sini juga?"

"Kita nggak ada komunikasi. Lo juga sombong beberapa bulan ini! Lagipula, gue sibuk mempersiapkan banyak hal," Dia merebahkan dirinya ke sandaran sofa dan memandang sekeliling apartemenku. Senyumnya merekah dan mengangguk-anggukkan seolah dia tengah menemukan ide baru.

"Bagi gue kartu akses lo ya?"

"Sanggup bayar berapa lo?"

Rian mengacak rambutku brutal. "Banyak. Gue bisa bayar banyak!"

Aku tertegun. Padahal, aku sudah berusaha mengenyahkan apa yang kurasakan padanya selama beberapa bulan ini. Aku menggigit bibir gelisah. Artinya ... dia akan berada di sekitarku? Dia akan selalu muncul dan membuat perasaanku kacau?

Sialan.

Rian sialan!

Jakarta dan patah hati memang perpaduan yang pas.

 

Dua : Nyaman

 

Kalau ada yang bilang bahwa aku menikmati perasaan naksir dengan temanku sendiri ... tentu aja salah! Aku bahkan nggak tahu mana yang lebih baik : berkabung karena mantan terindah telah menikah (atau istilah sekarang ditinggal nikah?) atau menaruh harapan pada sahabat sendiri.

Menurutku, justru jauh lebih rumit ketika merasakan menyukai teman sendiri. Kita nggak bisa mengontrol apa yang akan dilakukannya. Kadang sikapnya membuat kita merasa spesial, namun kita sadar bahwa itu hanyalah gesture persahabatan.

Aku dan Rian selalu bertengkar setiap berkumpul dengan yang lain. Hanya ada dua alasan kenapa kami selalu bertengkar. Pertama karena dia menyebalkan, kedua karena dia sangat menyebalkan. Dia nggak akan segan menghinaku di depan teman-temanku yang lain. Padahal, harus diakui juga selain Fadila, teman paling dekatku adalah Rian.

Kami memang punya love-hate relationship dari kuliah. Bertengkar tapi aku tetap nebeng kepadanya saat akan ke kampus. Beradu argumen tetapi dia tetap mengajakku makan malam dengan santai. Hanya pada Rian dan Fadila aku bebas memperlihatkan seluruh sifat asliku, dulu. Tapi, sejak kami memiliki pacar masing-masing, persahabatanpun mulai renggang. Lebih tepatnya, sudah waktunya merenggang. Hubungan percintaan pasti akan membuat persahabatan semakin berjarak karena intensitas pertemuan mulai berkurang karena lebih sering menghabiskan waktu bersama pasangan kami masing-masing.

Kedekatan kami yang rumit itu sebenarnya mendatangkan perasaan nyaman yang kemudian kebablasan seperti yang kurasakan padanya beberapa bulan terakhir. Salahku memang, nggak bisa mengontrol harapan padanya. Nyaman akan kehadirannya dan berharap bahwa dia selalu memberikan perhatian padaku, juga sebaliknya. Padahal tidak bisa dipungkiri bahwa Rian itu baik pada semua orang. Tidak hanya padaku saja. Dia tipe laki-laki yang diidamkan oleh mertua. Tampan, mapan dan sopan—meski itu sebuah topeng. Usaha kecilnya yang dirintis bersama Kelvin dulu saat kami mendapat tugas mata kuliah kewirausahaan berkembang pesat hingga hari ini. Kelvin memilih bekerja di FMCG, sedangkan Rian melanjutkan usaha mereka.

Passion katanya.

Aku tahu alasan yang sebenarnya ... Rian bukan laki-laki yang suka mengikuti perintah atasan. Dia sedikit nyeleneh akan hal ini dan paling nggak bisa bekerja secara struktural, apalagi yang bosnya berlapis-lapis. Karena itulah dia selalu merasa tidak cocok bekerja kantoran apalagi di pemerintahan. Saking seringnya dia mengomentari kebijakan pemerintah, kami selalu menyebutnya buzzer pemerintah. Aku yakin kalau dia gabut, dia akan bergabung dengan orang-orang yang menghujat kebijakan yang baru saja berlaku dan melontarkan kalimat kebencian di media sosial.

Saat dia membangun bisnisnya, kami semua mendukungnya secara penuh dan nggak meragukan kemampuannya sama sekali. Sekarang kedai kopinya mulai dikenal banyak orang dan berkembang secara cepat, banyak yang bekerjasama melalui franchise juga.

Butuh sepuluh tahun bagi Rian membangun kesuksesan ini. Jadi ketika dia benar-benar menjadi orang paling makmur secara keuangan diantara kami saat ini, kami tentu saja maklum.

Dulu saat awal-awal membangun bisnis, Rian pernah rugi ratusan juta karena salah pilih partner yang hampir membuatnya drop out dari kuliah karena selalu absen. Dia pernah dimarahi habis-habisan oleh Papanya karena bisnis kopinya gagal. Aku juga masih ingat dulu dia meminjam uang padaku hanya untuk membeli ayam penyet. Dia juga nggak segan menumpang makan ke kosku karena uangnya benar-benar habis.

Meski menyebalkan—apalagi saat kami berada di sekitar orang lain, aku harus mengakui bahwa aku nggak akan kehabisan topik jika membicarakan Rian. Sia sosok pekerja keras yang sesungguhnya. Karena itulah aku mengaguminya dari dulu dan nggak segan meminta pendapatnya untuk hal apapun. Dia menjadi sosok yang terlalu realistis meski dilontarkan dengan kata-kata yang menyakitkan. Dari semua hal itu, satu hal yang membuatku begitu kagum padanya ... dia nggak pernah meninggalkan kami semua dan mengusahakan untuk sellau ada.

Kuusap wajah dengan frustrasi.

Dulu, aku hanya memandang Rian sebagai salah satu temanku yang sukses. By the way, Kelvin dan Umbar saat ini sudah menjabat sebagai manager dengan gaji diatas rata-rata. Aku nggak pernah menganggapnya lebih dari teman. Namun setelah dia datang ke Seoul saat hatiku benar-benar kosong kemarin ... semua terasa berbeda.

Aku bukan lagi hanya kagum padanya tetapi mulai menunggu kehadirannya.

Sialan! Harusnya aku mengutuk dia karena berhasil membuatku baper dalam satu hari taruhan. Harusnya aku nggak memiliki pandangan seperti ini padanya.

Benar-benar merepotkan sekali memiliki perasaan seperti ini.

Ah. Sudahlah. Kenapa aku repot-repot memikirkan percintaan?

Lagipula ada hal yang harus kupikirkan selain jodoh saat ini. Adikku, Izam, bulan kemarin mengalami patah tulang dan harus dirawat di rumah sakit. Mobilnya masuk ke jurang karena ngebut-ngebutan dengan temannya. Mereka masih hidup namun harus diakui biaya hidupnya nggak lagi murah. Sialnya, mobil lain yang bertabrakan dengan mereka harus mengalami kemalangan karena semua penumpangnya meninggal dunia.

Mama dan Papa sudah lama shock. Karena tulang punggung keluarga hanya aku dan Papa, aku dituntut untuk segera mendapatkan pekerjaan agar bisa membantu membiayai adikku.

Awalnya, aku mengamuk dan naik darah. Namun pada akhirnya aku sadar semua ini adalah hal yang harus kami lewati. Aku nggak lagi menyalahkan Izam dan hanya memutar otak untuk mendapatkan uang tambahan. Selain menutupi biaya rumah sakit kami juga harus membayar biaya pengacara.

Aku sedikit bersyukur Om Frans mau meminjamkan apartemennya untukku dan tidak benar-benar menjualnya. Jika pengeluaranku sudah pasti setiap bulannya, aku akan menyicil apartemen ini langsung pada tanteku. Aku nggak mau hidup dengan menumpang.

Om Frans dan Tante Sisca tau kondisi keluarga kami yang sedang susah-susahnya. Belum lagi masalah Izam, kantor Papa juga harus melewati kondisi keuangan yang buruk dengan merumahkan banyak pekerja. Keluarga kami bukan keluarga yang kaya, hanya berkecukupan. Tapi sejak kasus Izam, semuanya terasa berbeda.

Semuanya terasa terenggut begitu saja. Uang, waktu dan bahkan kehangatan di dalam rumah.

Mama lebih banyak memilih diam dan Papa yang hanya pulang saat malam hari. Saat ini, segalanya terasa kosong. Saat dua minggu berada di rumah kemarin—sebelum berangkat ke Jakarta, hari-hari di rumah benar-benar membuat mentalku tersiksa. Semua orang stres, Izam juga nggak menunjukkan tanda-tanda yang waras.

Aku tahu ini adalah jalan yang harus kami tempuh.

Namun entah kenapa, kondisi ini begitu membuatku tertekan.

Aku bahkan nggak punya waktu untuk memikirkan patah hati yang kurasakan.

***

Hal yang paling kusadari sepenuhnya dengan bekerja untuk pemerintahan adalah ... semua menjadi tanggung jawabmu. Aku baru saja selesai rapat —iya, hari pertama aku sudah rapat dengan pihak supervisi untuk mengetahui capaian yang harus dikerjakan dalam beberapa tahun kedepan. Dokumen RPJMN* yang baru saja diketuk palu, ada beberapa peraturan dari kantor tempatku bekerja yang harus goal tahun ini.

Pekerjaanku.

Mbak Wulan sebagai supervisi tersenyum tipis padaku saat kepalaku mulai pusing merinci satu persatu capaian kantor ini. Dia memang menyeretku untuk berada di unit pemerintahan ini karena kualifikasiku yang sudah menamatkan pendidikan master kebijakan publik bersama beberapa orang yang lain.

Sebagai tenaga ahli yang ditunjuk dengan penunjukan langsung proyek pemerintahan dan harus bekerja on site, aku harus melaporkan segala bentuk pekerjaan setiap bulan dengan koordinasi di seluruh unit kerja. Background Study beberapa kebijakan akan disusun melibatkan banyak pihak. Bukan hanya internal tapi juga eksternal. Jadwal pekerjaanku sudah sangat padat dalam beberapa bulan ke depan.

"Gimana Ris? Udah siap?" Matanya mengecil saat tertawa di balik kacamatanya. Selain supervisiku, sebenarnya Mbak Wulan salah satu seniorku di kampus.

"Siap nggak siap, ya pasti siap, Mbak."

Mbak Wulan makin terkekeh. "Kamu pasti bisa," dia mengedipkan matanya sebelah dan kami melanjutkan makan siang kami. Tugas utamaku adalah menyusun dua topik background study terkait kebijakan ekonomi, yang membandingkan kawasan indonesia barat dan kawasan indonesia timur. Tugas tambahanku lain adalah turut serta dalam koordinasi legalisasi beberapa peraturan. Bisa dikatakan, pekerjaanku adalah koordinasi dan koordinasi. Yang artinya, akan selalu ada rapat di dalam hari-hariku.

"Ris, kamu udah submit surat keterangan ahli, kan?"

Aku menghentikan makanku. "Udah, Mbak tadi pagi."

Mbak Wulan menganggukkan kepalanya cepat. "Berarti nggak ada masalah administrasi lagi, kan?" Mbak Wulan mengangguk-angguk. "By the way, kenapa kamu ambil Public Policy di Seoul?"

Aku tersenyum. "Se-simple beasiswanya buka di Seoul, sih, Mbak."

Seniorku itu tersenyum. "Kupikir kamu ke Singapura. Sekolah Public Policynya bagus. Oh iya, dulu kamu juga pernah kerja setahun di Ambon, kan?"

Aku menganggukkan kepalaku cepat.

"Pemerintahan juga?"

"NGO, Mbak. Anaknya UN. Harus on site juga."

Aku kemudian menjelaskan terkait pekerjaanku yang mendapatkan dana hibah dari UN untuk masalah sanitasi. Aku mengambil pekerjaan itu akibat patah hati dan tidak kuat harus tinggal di Jakarta. Orangtuaku nggak lagi tinggal di Jakarta karena tujuh tahun yang lalu Papa diangkat sebagai Kepala Cabang di Gunung Putri, Bogor. Awalnya keluargaku memang menentang keinginanku yang ingin kabur, tapi karena aku keras kepala dan tidak bisa dibantah, aku tetap pergi.

Lucu sekali rasanya membayangkan bagaimana patah hati bisa mengubah hidupku. Dulu, aku hanya ingin kabur dan nggak ingin dikenal dan mengenal siapapun. Berharap setelah aku kembali aku malah menjadi pribadi yang lebih kuat.

Setidaknya aku tahu patah hati kemarin nggak ada apa-apanya dibanding masalah keluargaku saat ini.

Kapan-kapan aku akan berterima kasih kepada Agam karena telah memberikanku pelajaran hingga aku tahu aku bisa melalui rintangan-rintangan hidup selanjutnya. Meskipun sampai saat ini aku masih takut untuk patah hati lagi.

Mbak Wulan turut menceritakan atmosfir pekerjaan kami dan timeline dan capaian kami setiap bulan, juga laporan demi laporan yang harus diselesaikan. Mulai dari capaian progress yang harus dilaporkan pada supervisi, laporan bulanan, laporan pendahuluan, laporan antara hingga laporan akhir.

Astaga. Aku benar-benar nggak memiliki waktu untuk memikirkan hal lain.

Setidaknya, sampai aku kembali ke apartemen.

***

Aku baru menutup telepon Mama saat sampai di depan unit. Kami membicarakan beberapa hal terkait Izam dan apartemen Om Frans yang seharusnya kurawat ini. Mama mengatakan ... akan berbicara langsung dengan Tante Sisca terkait pindah tangan—tepatnya memohon agar tidak menjualnya sampai keuangan keluarga kami kembali normal.

Aku sangat lega ... setidaknya, Mama sudah mulai berbicara dan nggak hanya diam seperti saat aku di rumah. Dua minggu aku di rumah, aku hanya mendapati mata sayu mama hanya menatap Izam dengan penuh penyesalan dan kekecewaan yang siap mengeluarkan tangis. Seolah-olah telah gagal menjadi orang tua. Kesedihan mama juga merupakan kesedihanku. Jadi ketika mama sudah mulai pulih dari perasaan sedihnya, aku benar-benar lega.

Saat membuka unit, dua orang sahabat karibku sudah ada di ruang tengah sambil memakan kacang. Benar-benar bak putra raja dan tuan putri. Fadila melambaikan tangannya santai berlagak seperti tuan rumah. Sedangkan Kelvin duduk di lantai sembari memegang remote TV.

Kok ada yang kurang ya?

"Rian lagi di kantornya, bantuin pindahan. Udah dari tadi sih." Fadila melapor sebelum aku bertanya, paham dengan pandangan mataku. Aku menarik napas panjang dan masuk ke dalam kamarku. Aku mengganti pakaian kemeja dengan kaos oblong yang lebih santai dan bergabung bersama kedua temanku di luar.

"Seragam lo kemeja terus tiap hari?"

Aku menganggukkan kepalaku. "Kecuali jumat, gue pake batik."

Kelvin menggeleng-gelengkan kepalanya takjub. "Gila gila. Gue aminkan lo jadi ibu pejabat."

"Stafsus presiden aja cukup," aku mulai ngawur.

Fadila langsung tergelak. Andai ada Umbar di sini kami pasti sudah lengkap. Sahabatku yang satu itu memilih untuk bekerja di kota asalnya dibandingkan meneruskan perjuangan di ibukota. Kami semua telah menghargai pilihannya, meskipun sulit. Memang pada akhirnya, hidup hanya tentang kehidupan sendiri-sendiri bukan?

"Katanya bulan lalu lo mau daftar NGO lagi?" tanya Kelvin.

Aku mengangguk. Sebenarnya aku memang mendapat tawaran bekerja di NGO tempatku bekerja dulu, namun karena adanya kasus Izam aku menolaknya.

"Penempatannya Afrika."

"Jauh banget!" Protes Fadila. Dia memelukku dari samping. "Lo jangan pergi-pergi lagi dong!"

Aku hanya tersenyum. Mungkin kalau nggak ada masalah keluarga, aku akan mengambil kesempatan itu. Aku memang belum menceritakan permasalahan keluarga kami karena merasa mereka nggak perlu tahu bahwa keluargaku sedang berada di titik terlalu bawah.

"Sebenarnya ... gue masih kerja freelance sih di sana, masih bantu-bantuin cari data."

"Uhh ... kerja keras banget lo?"

Bola mataku spontan memutar mendengar suara itu. Aku nggak perlu melihat siapa yang datang karena dari suaranya saja, aku sudah tahu siapa pemiliknya.

"Nggak usah rese deh," sungutku nggak terima.

"Gue memuji kerja keras lo."

Aku mengap-mengap nggak jelas untuk menyindirnya. Mataku menangkap satu keanehan yang terjadi, Kelvin yang tadi duduk sembarangan langsung mengubah posisinya dengan sangat sopan. Aku terkesiap mendengar suara langkah kaki menyusul masuk ke dalam apartemenku ini.

Saat aku membalikkan badan, aku terdiam melihat sosok Ayasha berdiri di belakang Rian dengan dress flower selutut, rambut coklat bergelombang dan heels lima sentinya. Tangannya menggamit tangan Rian sebelum mendekati kami.

Aku berusaha untuk tersenyum menyambut tamuku itu.

Seperti ada yang runtuh di dalam diriku.

Ah ya, harapanku.
 

Tiga : Ujian Patah Hati

Karena ada tamu yang nggak diundang ... baiklah, aku terlalu kejam mengatakan Ayasha tamu nggak diundang, Fadila langsung menggerutu. Dia nggak pernah suka dengan Ayasha sekalipun mereka telah lama damai. Waktu awal sekali pacaran dengan Rian, Ayasha sempat mencemburui Fadila karena sering curhat lewat chat dengan Rian. Ayasha sampai hari ini nggak pernah tahu bahwa dia sebenarnya salah sasaran, yang paling dekat dengan Rian bukan Fadila atau Umbar. Tetapi aku. Namun karena aku selalu bertengkar dengannya dan jarang sekali chat saat itu dengan Rian, dia nggak pernah menaruh curiga padaku.
 

Fadila-lah sasarannya. Padahal kami semua tahu bahwa yang paling sering ditemui Rian adalah aku. Meskipun kami telah terpisah jarak saat mereka jadian. Ayasha nggak pernah tahu Rian dua kali ke Ambon untuk liburan dulu, juga tahun kemarin ke Seoul untuk menemuiku.

Namun, aku dan Rian tipe orang yang sama-sama bungkam. Lagipula, tidak perlu orang lain tahu bahwa kami sedekat itu selama ini karena ada hari-hari kami nggak berkomunikasi juga (meskipun sangat jarang).

Aku bergabung dengan Kelvin untuk duduk lesehan di lantai. Kuambil toples kacang dari tangan Kelvin dan membiarkan Fadila dan Ayasha duduk berdua di sofa yang hanya muat untuk tiga orang itu. Lucu juga memandangi mereka yang enggan menatap satu sama lain ini, perang diantara mereka tentu belum selesai.

Rian bergabung bersamaku dan Kelvin.

"Duduk di atas sana," bisiknya sembari mengambil kacang dari tanganku. Aku langsung berdesis menanggapinya dan nggak melakukan apapun, selain meneruskan acara makanku.

Rian hanya menunduk sambil memakan kacang dengan tenang. Aku memperhatikan Rian dan Kelvin bergantian, baru menyadari bahwa raut wajah Rian sama sekali nggak menunjukkan mood yang baik. Lalu, pandanganku beralih pada Ayasha yang sedang memainkan ponselnya.

Mataku kembali menatap Rian yang masih santai dengan aktivitasnya. Dengan gerakan cepat, aku beranjak dari mereka berdua dan berjalan menuju dapur. Kukeluarkan botol sirup dan nata de coco dari dalam kulkasku. Aku berniat membuatkan mereka semua minuman. Sembari mengeluarkan semua gelas, aku kembali mengamati mereka berempat yang sibuk dengan aktivitas masing-masing.

Kuhela napas berat karena kejanggalan benar-benar sedang terjadi.

Sudahlah bukan sama sekali urusanku.

Aku tetap sibuk dengan aktivitasku sampai nggak menyadari seseorang menyusulku. Fadila membantu mengatur posisi gelas di atas nampan sebelum menuangkan sirup dari teko.

"Muka lo nggak bersahabat banget, Dil," komentarku sedikit berbisik yang ditanggapi Fadila dengan tak acuh.

"Lo udah mau nikah Dil. Udah dong ... nggak enak tau sama Rian," tambahku lagi, jika Ayasha menikah dengan Rian tentu saja mereka akan bertemu satu sama lain.

Fadila menggelengkan kepalanya. "Dia tuh ngintilin Rian mulu tau, dih ... gemes gue!"

Aku dengan cepat meletakkan telunjuk di depan bibir. Ucapan Fadila bukan sesuatu yang membuat nyaman telinga apabila di dengar orang lain. Apalagi Rian. Bagaimanapun, Ayasha tetap pilihan Rian dan kami semua harus tetap menghargai itu.

Yah, semoga saja apa yang kupikirkan benar. Kadang, Rian bisa terlihat santai namun sebenarnya dia sedang ingin meledakkan sesuatu. Aku bisa melihat raut wajahnya yang cukup cuek tadi dan mata sayunya. Jika dugaanku benar, mereka sedang bertengkar hebat.

Aku adalah saksi hidup beberapa kali pertengkaran Rian dan Ayasha serta bagaimana tanggapan laki-laki itu. Tetapi bukan berarti aku berharap mereka bertengkar sekarang bukan?

Setelah semua gelas terisi penuh, aku membawanya ke meja dan menawarkan mereka satu persatu. Aku memperhatikan wajah Fadila yang masih masam dan mengambil duduk di samping Kelvin.

"Gimana kabar lo, Yas?" Tanyaku ramah. Rian sedikit melirik padaku sebelum kembali cuek.

Ini bagaimana sih pacarnya? Tidak bertanggung jawab sekali! Padahal dia yang membawa Ayasha ke tongkrongan kami.

"Baik, Kak Iris baru banget balik dari Seoul?"

Aku mengangguk dan bertanya tentang pekerjaannya. Fadila tengah ribut dengan Kelvin masalah kacang sedangkan Rian hanya diam saja. Kemudian pembicaraan kami mulai serius terkait acara pesta bujang Fadila sebelum resmi jadi istri sampai akhirnya pertemuan itu bubar.

Sebelum mereka pulang, aku menahan sebentar lengan Rian yang paling terakhir keluar dari pintu. "Lain kali lo jangan cuekin Ayasha gitu dong." Aku menegur dengan sangat pelan sampai tidak ada yang mendengarnya sama sekali. "Atau lain kali, nggak usah lo ajak kalau akhirnya lo cuekin."

Rian hanya menatapku datar dan menganggukkan kepalanya. "Pulang dulu, ya," pamitnya lemas yang semakin membuatku bingung. Aku melambaikan tangan ke arah teman-temanku dan memerhatikan mereka satu persatu.

Aku sedikit menelan ludah saat menatap tangan Rian yang kembali digandeng mesra Ayasha sembari mengobrol. Kuatur deru napasku yang tiba-tiba terasa sesak dan menggelengkan kepala.

Sudahlah. Memang seharusnya harapan itu nggak pernah muncul di dalam hatiku.

***

Dulu, aku pernah bertanya pada Fadila dan Umbar ... jika memang harus memilih diantara Kelvin dan Rian, mereka akan memilih siapa untuk dijadikan pasangan? Dua-duanya memilih Rian sedangkan aku cenderung pada Kelvin. Alasannya jelas, Kelvin lebih hangat dibanding Rian dan untuk mengimbangi diriku yang kaku, aku membutuhkan seseorang yang hangat. Meskipun mereka berdua sama-sama pekerja keras dengan caranya masing-masing.

Tentu aku nggak menyukai Kelvin atau Rian pada saat itu. Itu hanya pertanyaan iseng antar sahabat yang pada kenyataannya nggak ada satupun diantara kami akhirnya menjadi pasangan. Tanpa kuduga, saat sedang mengobrol dengan Rian, dia dan Kelvin pernah menanyakan hal yang sama.

Dua-duanya tentu saja memilih Fadila, tepatnya Kelvin memilih Fadila sedangkan Rian pada saat itu nggak terlalu gamblang menjawab meski aku sudah mendesak. Sebenarnya aku juga nggak terlalu peduli dengan jawabannya karena saat itu aku sedang masa pendekatan dengan Agam, Kakak laki-laki Fadila. Aku hanya menduga-duga dia memilih Fadila. Secara kepintaran, Fadila jauh lebih unggul diantara aku dan Umbar. Ayasha dipilih Rian juga karena dia pintar, selain fisik yang cantik tentunya.

Sayangnya, perempuan-perempuan dengan kepintaran diatas rata-rata memiliki sifat dominan dan Rian nggak begitu menyukai hubungan yang terlalu mencekik. Aku selalu tergelak mendengar curhatan Rian yang satu itu. Ya memang! Dia memang rule breakers sejati. Dia nggak cocok didikte A, B dan C. Satu hal yang Rian inginkan adalah kebebasan, tapi aku pernah menyelutuk :

"Ekspektasi lo akan kebebasan itu gimana? Kalau dua orang lagi menjalin hubungan, tetap harus ada rules untuk menghargai satu sama lain!"

Aku begitu paham kenapa perempuan ingin memastikan semuanya baik-baik saja. Kami nggak terbiasa menghadapi hal yang tiba-tiba terjadi. Aku pun memiliki sifat dominan yang sama. Meskipun nggak diakui Rian sama sekali. Rian berpendapat, meskipun aku keras kepala, aku tetap memiliki sifat ngemong karena terbiasa ada adik di dalam hidupku. Itu yang membuatku kadang tampak lebih sering mengalah.

Aku dulu nggak mengerti dengan ucapannya, tapi saat ini aku akhirnya bisa mengartikannya dengan tindakanku sendiri. Seberapapun aku selalu menelan ludah melihat Ayasha tadi, aku tetap mengedepankan kenyamanan semuanya dibandingkan kenyamananku sendiri. Aku bisa saja langsung bergabung dengan keseruan obrolan Fadila, Kelvin dan Rian, tapi aku nggak tega melihat dia merasa asing.

Dan aku selalu seperti itu.

Bahkan sepertinya, aku selalu seperti itu di dalam hidupku. Ketika Agam mengatakan dia bosan denganku, aku langsung mengalah dan pergi tanpa perlawanan apapun. Meskipun aku keras kepala, toh nggak ada gunanya aku mempertahankan sesuatu yang memang sudah nggak bisa lagi dipertahankan. Aku masih nyaman dengannya sedangkan Agam sudah nggak nyaman denganku.

Pertanyaannya ... aku bisa apa?

Aku nggak bisa melakukan apapun.

Oleh karena itu aku memilih patah hati dan melarikan diri. Memang pengecut.

Memikirkan masa-masa patah hatiku membuatku gamang sendiri. Aku mencari aktivitas dengan membereskan sisa-sisa makanan, mencuci piring dan gelas dengan pelan, sembari memikirkan selain percintaan. Tentang Izam, Mama dan Papa. Seberapa banyak uang yang dibutuhkan sebenarnya?

Selesai melakukan semua pekerjaan beberes, aku memilih istirahat di sofa. Kubuka ponsel dan mengamati foto-foto perkembangan Izam yang dikirimkan Mama di grup keluarga.

Masih di gips, masih nggak mau berbicara, bahkan mungkin harus ada operasi sekali lagi.

Aku mengusap pelan wajahku dan menarik napas panjang.

Lelah sekali rasanya.

Tapi semua pasti terlewati. Aku yakin seburuk apapun keadaan, pada akhirnya semesta akan tetap membawanya pada titik keseimbangan, titik dimana aku terbiasa. Mungkin saat ini, terasa berat untukku dan keluarga, namun ada akhirnya ....

Semua pasti akan berlalu. Tidak ada yang berlangsung selamanya di dunia ini, semuanya memiliki timing masing-masing, termasuk ... masalah rumit ini.

Aku hanya perlu berusaha keras tuntuk nggak memikirkannya sama sekali dan tetap fokus dengan pekerjaanku agar tetap waras menjalani semua ini.

Baru akan beranjak ke kamar, seseorang mengetuk pintu unit dan diiringi suara bel yang berbunyi. Aku berpikir sejenak sebelum beranjak, saat kulihat sosok yang kukenali berada diluar ... aku segera membuka pintu.

"Ini udah jam berapa Bapak Rian?" Aku menyambuatnya sembari menguap.

Rian terkekeh dan dengan tidak sopannya masuk ke dalam unitku.

"Gue abis pindahin lemari tadi, numpang minum ya?" Rian menyelonong masuk.

Aku menguap lebar-lebar dan mengawasi Rian yang masuk ke dapurku.

"Lo udah cuci semua piring-piring? Gue niatnya bantuin tadi," basa-basinya membuatku berdecak.

Laki-laki yang lebih tinggi lima belas senti dibanding diriku itu terlihat menjulang di depanku. Kulitnya yang kuning cerah dengan garis wajah yang jelas membuatnya begitu tampan saat dengan santainya dia membuka kulkasku dan mengambil air dingin. Aku terpesona seraya menyandarkan diriku di dinding, seolah tengah menyaksikan iklan air mineral di depanku.

"Gue heran deh sama perempuan. Diajak ke tongkrongan salah, nggak diajak salah."

Aku sedang tidak bisa menerima energi negatif apapun. "Sumpah gue lagi capek banget dengerin curhatan lo," tanggapku langsung dan kembali menguap.

Rian memberikanku segelas air yang langsung kuterima dengan baik. Aku mengalihkan pandangan saat dia menatap mataku, tiba-tiba rasa kantuk yang kurasakan tadi hilang entah kemana.

Aku beranjak dari hadapannya dan duduk di sofa, menatapnya tidak suka. "Lo mau sampai kapan di sini? Gue udah ngantuk banget," ujarku asal.

Rian hanya diam dan mengikutiku duduk di sofa. "Ris, gue butuh pendapat lo."

"Saran apa?"

"Gue sama Ayasha."

"Yang jalani hubungan lo, yang ngasih saran gue? Yang mana lo nyaman aja, sih, Rian. Lo yang rasain, lo yang jalani. Kalau nyaman, suka, ya lanjut aja," aku menonton siaran berita yang dari tadi kuabaikan.

Aku mendengar suara helaan napas dari sampingku. Aku menoleh, "tumben banget lo galau karena cewek?"

Rian berdecak pelan. "Gue ragu."

Aku melongo. "Kenapa?"

Rian menarik napas panjang. "Ada hal yang membuat gue ragu dan Ayas nggak memberi gue waktu untuk berpikir."

Aku berpikiran pendek. Paling-paling juga karena Rian yang nggak perhatian. "Yaudah, jangan lo gantungin anak perempuan orang. Itu emak bapaknya susah gedein dia."

Rian berdercak.

"Gue serius, Rian. Hanya karena lo ragu sama dia, bukan berarti lo bebas menggantung hubungan sama dia begitu. Kalau akhirnya lo putusin juga, ya kasih kepastian aja. Ngapain lo tunda-tunda?"

Rian hanya menatapku yang tanpa sadar sudah mengomel.

"Ya, kan?" Tambahku cepat, seolah menanyakan pendapatnya.

Laki-laki disampingku itu tidak menjawab sama sekali. Dia mengusap wajahnya pelan dan menarik napas panjang. "Gue rasa gue udah nggak suka sama dia."

Aku semakin merebahkan diriku ke sandaran sofa dan menatapnya. "Nggak usah jadi brengsek, Rian. Lo yang ngejar dia karena rasa suka. Lo nggak bisa seenaknya putusin dia karena nggak suka."

"Lo nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, Ris."

"Apa memangnya?"

"Gue nggak bisa dipaksa siapapun dan apapun, termasuk perasaan. Gue bukan people pleaser kayak lo, yang bisa ngelakuin hal-hal nggak lo nyaman karena lo nggak enak."

Aku nggak terima dengan judgment-nya. "Sekarang lo ngomentarin sifat gue?"

"Kenyataannya lo memang begitu, kan?"

"Trus apa hubungannya sifat gue sama rasa bosan yang lo rasain sekarang?"

"Gue nggak bosan, gue bilangnya ragu mau lanjut atau nggak."

Aku masih ingin berdebat. "Pendengaran gue tetap menerjemahkan hal yang sama."

Rian nggak menanggapi lagi, memilih bersabar karena mengetahui aku sudah terbawa emosi. Ia malah fokus dengan pikirannya sendiri. Kubiarkan kekosongan terjadi diantara kami. Pelan aku menatap garis wajah Rian yang membuatku berdebar-debar di dalam sana. Aku langsung mengalihkan pandangan agar perasaan itu tidak langsung rekah.

Tidak boleh.

Tidak boleh sama sekali.

"Apa yang lo rasain pas putus dari Agam?"

Ada rasa kosong yang kurasakan saat mendengar pertanyaan itu. Aku menelan ludah dengan susah payah. Kualihkan pandangan menatap langit-langit. "Udah lupa."

"Hancur?"

Aku mengangkat bahuku. "Gue udah lupa, kayaknyaa ... it was a mess. Gue nggak mau ingat-ingat juga. Kenapa?"

Rian hanya menggelengkan kepalanya dan tetap menatapku. Aku hanya balas menatapnya selama beberapa detik dan mengalihkan pandangan ke arah televisi. Aku tahu Rian masih menatapku, akan tetapi ... aku hanya tidak bisa menatapnya lebih lama lagi.

Dua perasan berkecamuk di dalam diriku. Satu detik aku merasakan perasaan cinta siap mekar untuk laki-laki di sampingku, satu detik kemudian dia menanyakan sesuatu yang membuatku nggak bisa bernapas lega hingga detik ini.

Aku benci patah hati.

Karena hal itu juga ... aku nggak ingin lagi jatuh cinta.

Seharusnya, aku juga nggak pernah jatuh pada pesona sahabatku ini.

 

TBC

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Tetap Teman
Selanjutnya Tetap Teman : Bab 4-6
14
0
Setelah melarikan diri dari kota yang membesarkannya, Iris Amaira kembali ke Jakarta. Bukan hanya memulai kehidupan baru, dia juga mulai terjebak akan perasaannya sendiri kepada sahabat baiknya, Rian.Di antara kenangan-kenangan masa lalu, Iris kembali menyelami hatinya sendiri. Hingga suatu hari ia membuat keputusan agar tak terjebak dalam patah hati lagi. Patah hati begitu mengerikan, dia enggan merasakannya lagi.Meski Rian menyambut baik perasaannya ... tetap teman saja sudah cukup.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan