Misteri Kematian Istriku ~ Bab 1-5

0
0
Deskripsi

Pesan ini telah dihapus

Radit menautkan alis, baru saja ia membuka aplikasi chat dengan lambang telepon hijau itu untuk membaca pesan yang Dita, istrinya kirimkan satu jam lalu. Namun belum sempat ia membacanya pesan itu malah dihapus begitu saja….

Bab 1


Pesan ini telah dihapus

Radit menautkan alis, baru saja ia membuka aplikasi chat dengan lambang telepon hijau itu untuk membaca pesan yang Dita, istrinya kirimkan satu jam lalu. Namun belum sempat ia membacanya pesan itu malah dihapus begitu saja.

“Duluan Pak Radit!“

Radit menoleh sembari tersenyum, salah satu karyawan yang lembur bersamanya malam ini tampak berjalan melewatinya.

Langkah Radit membawa ia masuk ke dalam mobil di parkiran. Resah yang timbul dikepala membuatnya menekan panggilan pada nomor Dita. Apalagi pesan belum sempat ia baca namun terlanjur dihapus itu semakin membuatnya kepikiran.

“Gak diangkat?“ ucapnya lirih sembari menatap layar ponselnya. Alis Radit bertaut, ia mencoba mengirim pesan pada sang istri, sayangnya hanya ceklis satu yang ia dapatkan.

Ponsel Dita tak aktif, bahkan pesan yang Radit kirimkan hanyalah ceklis satu, hal itu menunjukkan kalau Dita sama  sekali tidak mengaktifkan data ponselnya.

Entah kenapa, detak jantung Radit yang semula normal kini bertambah ritme menjadi sedikit cepat. Tangannya yang sedang memegang kemudi mulai berkeringat. Perasaan tak enak mulai menjalar ke seluruh tubuh, rasanya sangat tidak nyaman sekali.

Biasanya, tak pernah-pernah Dita menonaktifkan data seluler ponselnya. Istrinya juga tak pernah men-silentkan ponsel miliknya. Hal yang sangat jarang terjadi, bahkan mungkin tak pernah semenjak Radit menikahi Dita.

Namun hari ini, hal yang terasa janggal itu benar-benar terjadi hingga membuat Radit tanpa sadar melajukan kendaraan dengan kecepatan penuh.

Ia sampai di rumah lima belas menit kemudian, padahal jika dengan kecepatan normal menggunakan mobilnya ia butuh waktu lima menit lebih lambat.

Tanpa sadar Radit mengemudikan mobilnya begitu cepat dan menyalip seperti pembalap. Hal itu hanya karena satu hal, ia mengkhawatirkan istrinya.

Radit masuk dengan langkah buru-buru ke dalam rumah. Pandangannya beradu dengan sang Mama yang sedang membaca buku di ruang tamu.

“Kenapa Dit? Kok kelihatan buru-buru gitu?“

Radit mengatur nafas, melihat sang Mama yang tampak tenang perasaannya sedikit lega. Setidaknya ia tahu kalau perasaan tak enaknya tak berarti. Keadaan di rumah juga tampak damai tanpa kurang suatu apapun.

“Gak apa, Ma, istriku mana?“

“Ada di kamarnya, sejak makan malam tadi belum ada keluar sama sekali.“

“Loh kenapa? Perutnya sakit lagi?“ tanya Radit dengan wajah khawatir, sejenak membuat sang Mama terdiam sesaat.

Dita, istrinya memang satu minggu ini selalu mengeluhkan perutnya sering sakit. Radit sudah mengajaknya ke rumah sakit untuk diperiksa, namun Dita selalu menolak karena berpikir itu adalah masuk angin biasa.

“Mama gak tahu, coba lihat saja sana!“ ucap Sri dengan wajah ketus sembari membuka bukunya kembali.

Radit mengangguk, melanjutkan langkah menuju tangga tempat di mana kamarnya berada. Namun, ia berhenti sesaat.

“Kalau Ridho kemana?“ tanyanya tentang keberadaan sang  adik. Dilihatnya tadi tak ada motor Ridho di garasi.

“Pergi sama teman-temannya tadi, kalau Mama gak salah dengar katanya mau reunian.“

Radit melirik arloji di tangannya, pukul sebelas malam lewat. Ia menggelengkan kepala, adiknya memang selalu keluyuran setiap malam bahkan pernah tidak pulang satu harian.

Memilih menghiraukan hal itu lebih dahulu. Radit melanjutkan langkah kembali. Berdiri di depan pintu kamarnya, sejenak ia mendekatkan telinga ke pintu. Tak ada suara sama sekali dari dalam kamar.

Dita suka keheningan, kebiasaannya kala menunggu Radit pulang adalah membaca buku. Mungkin, Dita sedang melakukan hal itu.

Radit menarik knop pintu kamar, sembari mengintip keadaan di dalam sana. Alisnya bertaut dengan wajah bingung karena perkiraannya meleset jauh. Tidak ada Dita yang sedang membaca buku di atas ranjang.

Tiidak ada siapapun di sana.

“Sayang!“ panggilnya pelan karena takut Dita ternyata sedang tidur di sebuah sofa di sudut ruangan yang biasanya istrinya gunakan untuk duduk-duduk santai. Namun saat dilihatnya di sofa itu tidak ada siapapun.

Radit kini beralih ke arah lain. Mengitari seluruh ruangan bahkan hingga ke luar balkon. Namun, Dita masih belum ia temukan.

“Sayang, kamu di mana?“ Radit berteriak kembali sembari duduk di atas kasur untuk melepaskan kaus kakinya. Tak ada sahutan sama sekali dari istrinya.

Seharusnya kalau Dita memang berada dalam kamar, istrinya paling tidak akan menyahut. Lalu, apakah mamanya berbohong mengatakan Dita di kamar? Rasanya itu agak mustahil.

Radit mulai berdiri dan melangkah menuju kamar mandi yang berada di dalam kamar. Pintu yang tertutup membuat Radit yakin kalau istrinya ada di dalam sana. Hanya aneh saja karena tidak menyahut panggilannya tadi.

Tok, tok, tok.

“Sayang, kamu di dalam?“

“Dita!“

“Perutnya masih sakit, ya? Mau ke dokter gak?“

Hening.

Tak ada sahutan sama sekali dari dalam sana meski Radit sudah mengetuk pintu dengan sangat keras. Tangannya meraih knop pintu dan menurunkannya. Dikunci.

Perasaan tak nyaman yang tadi ia rasakan di parkiran kantor saat pesan yang dikirim istrinya dihapus membuatnya muncul kembali.

“Sayang! Dita!“ teriaknya sembari menggerakkan knop pintu kamar mandi dengan keras. Mencoba mendobrak pintu tersebut namun sama sekali tak terbuka.

Radit berdecak, ia beranjak dari posisinya di depan kamar mandi menuju lemari kaca di samping ranjang. Seingatnya ia dan Dita menyimpan setiap kunci cadangan dari semua pintu yang ada di rumah.

Radit membuka setiap laci yang ada di lemari. Mendadak ia lupa tepatnya di mana ia menyimpan kunci tersebut.

Brak!

Radit menutup laci lemari terakhir dengan keras karena tak menemukan apa-apa. Tindakannya membuat lemarinya bergoyang sedikit keras dan menjatuhkan kumpulan kunci yang berada di atas lemari.

“Astaga! Sejak kapan kuncinya ada di sini?“ tukasnya kesal sembari berbalik pergi menuju kamar mandi.

Ceklek.

“Sayang!“ teriak Radit sembari membanting pintu dengan keras. Namun, matanya terbelalak dengan pandangan nanar demi melihat apa yang ada di hadapannya saat ini.

Istrinya, Dita, wanita yang ia cintai dan baru ia nikahi enam bulan lalu itu tergantung dengan tali yang terikat di atas plafon kamar mandi.

Bagaimana bisa?

Radit terduduk lemas di depan pintu tak mampu mengatakan apapun. Ia terlalu shock sampai tak bisa bergerak dengan mata menatap wujud istrinya yang tergantumg bebas.

Pantas saja Dita tak menyahut saat ia memanggil.

Pantas saja Dita tak membalas pesannya.

“Sayang, apa yang kau lakukan?“ ucap Radit lirih dengan air mata mengalir.

“Kau sedang menjahiliku? Tolong turun dari sana!“

Radit bangkit dari posisinya dan melangkah mendekat ke arah istrinya, tangannya terulur melepaskan ikatan yang melilit leher Dita hingga terlepas.

Ia menyentuh wajah Dita yang sudah dingin dan membiru  dengan tangan gemetar, tubuh wanita itu sudah kaku.

“Sayang bangunlah! Aku sudah pulang.“

“Sayang jawablah! Seharusnya kau menyambutku dengan senyuman manis.“

“Kenapa kau harus melakukan hal ini?“ bisiknya sembari memeluk tubuh Dita dengan bahu berguncang. 
 

Bab 2


Radit terpaku menatap jasad istrinya yang terbujur kaku dan ditutupi kain. Air matanya kini mengalir tanpa ia sadari, dengan cepat ia menghapus sembari menggigit bibir, berusaha menahan perasaannya.

Radit bangkit dari duduknya, meninggalkan orang-orang yang duduk di setiap sisi jasad sang istri. Ia pergi ke halaman belakang rumah, di mana tak ada banyak orang dan menangis di sana.

Bahunya berguncang keras, ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan dan menangis tanpa suara. Tak menyadari suara langkah kaki mendekat dan mengusap punggungnya.

“Aku turut berduka cita.“

Radit menoleh dengan sisa air mata di pipi. Wanita yang mengusap punggungnya itu menyodorkan tisu. Ada sisa air mata juga di pipinya.

Hana, wanita yang menjadi sahabatnya dan juga istrinya. Radit menerima uluran tisu tersebut dan mengusap air matanya.

“Dita juga sahabatku, tapi dibandingkan dengan kesedihanku, itu lebih berat saat berada di posisimu, kan? Dita istrimu, orang yang kau cintai.“

Radit tak menanggapi, tapi air matanya kembali mengalir. Ia mengalihkan pandangan dan mengusapnya.

“Jangan menahan perasaanmu Radit, menangislah dan anggap aku gak ada di sini.“

“Seharusnya kau tak menyusulku kemari.“

“Maaf.“

“Aku hanya sangat bingung, hubungan kami baik-baik saja tak ada alasan penting yang membuat Dita bunuh diri. Ia tak bermasalah dengan siapapun.“

“Menurutmu begitu? Yakin tak ada yang disembunyikan Dita mengenai sesuatu?“

Radit mengangguk. “Bahkan sekedar surat wasiat juga tidak ditinggalkannya, Hana.“

“Kau yakin Dita bunuh diri?“

Radit tersentak, ia menatap Hana dengan alis bertaut.

“Maksudmu.“

“Maksudku, sebelumnya apakah Dita pernah mengeluhkan sesuatu atau melakukan perbuatan yang menurutmu mencurigakan?“

Radit terdiam sejenak, sembari berpikir keras mengenai keadaan Dita akhir-akhir ini.

“Tidak ada hal yang serius, hanya saja dia sering mengeluhkan perutnya sakit satu minggu belakangan ini, aku sempat khawatir, tapi Dita bilang itu hanya masuk angin biasa.“

Hana menghela nafas, matanya mulai berkaca.

“Ini alasan kenapa aku menyusulmu. Mau kuberitahu fakta  mengejutkan, Dit?“

Radit menoleh ke arah Hana yang sedang menatap sembari menyilangkan tangan. Raut wajahnya tampak sangat serius.

“Soal apa?“

“Istrimu sepertinya tidak bunuh diri.“

Radit terbelalak, menatap Hana tak percaya. Namun belum sempat ia menanggapi, perkataan yang keluar dari mulut wanita itu selanjutnya membuat ia terkejut.

“Kemungkinan ….“ Hana menghentikan ucapannya dengan ragu sebelum melanjutkan. Ia menatap Radit sembari menghela nafas berat. “Ada yang membunuhnya,” ucap Hana lirih.

“Itu gak mungkin!“ Wanita itu tersentak, ia tak cukup kaget. Sudah merasa Radit akan merespon demikian.

Laki-laki itu kini bangkit dari duduknya dan berdiri tepat di hadapan Hana dengan nafas memburu.

“Jelas-jelas istriku tergantung di kamar mandi dengan tali yang melilit lehernya. Jangan main-main dengan ucapanmu Hana!“ tukasnya sembari menunjuk wajah wanita berambut sebahu itu.

“Radit tenanglah dahulu!“

“Bagaimana aku bisa tenang!  Kau seolah mengatakan bahwa ada pembunuh yang mengincar nyawa istriku. Di   rumah ini? Konyol sekali, bahkan Dita, dia tak pernah bermasalah dengan siapapun.“

“Aku … juga tidak yakin dengan hal ini sebelum melihat jasad Dita secara langsung Radit. Tapi, aku seorang dokter, beberapa kejanggalan yang ada pada tubuh Dita bisa kudiagnosa bahkan tanpa kuperiksa.“

“Bintik merah di tubuhnya, walau samar dan hanya di beberapa titik tertentu membuat aku yakin kalau dia telah mengkonsumsi sesuatu seperti racun dalam jangka waktu yang cukup lama. Apalagi setelah kau mengatakan kalau Dita selalu mengeluhkan sakit di bagian perutnya selama satu minggu ini, itu membuatku sedikit yakin.“

Radit terdiam, pikirannya mulai berkelana, saat menatap Hana, ia mulai menggeleng sembari memijat pangkal hidungnya.

“Tidak mungkin Hana! Ini gila! Diagnosa macam apa ini? Siapa orang gila yang berani membunuh istriku dan apa alasannya melakukan hal demikian?“

“Aku juga tak tahu pasti, sekali lagi, ini masih diagnosa dan belum terbukti. Maka dari itu, kalau kau ragu kita harus melakukan autopsi pada jasad Dita, Radit. Juga agar membuktikan kalau diagnosaku ini tidak benar.“

“Aku juga tidak ingin kalau sampai apa yang kukatakan ini adalah kebenaran, Dita dibunuh? Itu memang konyol. Selama bersahabat dengan kalian berdua, dia adalah wanita yang sangat baik. Tapi daripada bunuh diri, bukankah itu hal yang memilukan?“

Hana menatap Radit yang tampak kacau. Sebenarnya ia tak ingin mengatakan hal ini tadi saat melihat keadaan Radit. Tapi, ia merasa harus saat melihat keadaan jasad Dita yang memang tidak normal menurutnya.

Beberapa bagian tubuh Dita yang menghitam dan samar-samar bintik merah di berbagai sisi tubuh sahabatnya itu. Diam-diam saat ingin melihat wajah Dita tadi ia memperhatikan dengan detail.

Dikabarkan bahwa sahabatnya telah bunuh diri, Hana tentu tak langsung percaya. Ia juga yakin Radit memikirkan hal itu. Namun sekarang laki-laki itu begitu rapuh dan harus ada orang yang menguatkannya. Maka, ia merasa perlu ada di samping Radit saat ini.

Kalau tidak begitu, kebenarannya tak akan pernah terungkap dan yang membunuh Dita tak akan pernah tertangkap. Bisa saja orang itu malah berkeliaran di rumah ini.

“Dit,” panggil Hana saat melihat laki-laki itu lagi-lagi terdiam dengan tatapan kosong. Ia menghela nafas dengan tangan terulur mengusap punggung Radit guna menenangkannya.

“Apa kau tidak penasaran kenapa Dita tiba-tiba bunuh diri walaupun tak punya masalah denganmu? Atau kalian punya masalah di hari sebelumnya?“

“Tidak pernah, kami tidak pernah bertengkar Hana. Hubungan kami sangat baik-baik saja dan a—aku ….“ Radit tak mampu melanjutkan ucapannya. Ia mengalihkan pandangan dengan mata berkaca. Melakukan otopsi akan menyakiti jasad istrinya, tapi ia juga menginginkan kebenaran.

Terpengaruh oleh kata-kata Hana, mungkin saja itu benar. Lagipula menerima kenyataan kalau istrinya telah bunuh diri  lebih menyakitkan dari pada dibunuh. Setidaknya, Dita tidak mengakhiri nyawanya sendiri. Tapi dibunuh, juga lebih mengerikan karena Radit tak bisa memastikan siapa pelakunya.

Sejak menemukan mayat Dita yang tergantung diplafon  kamar mandi, ia juga terus berperang dengan batin dan terus memikirkan alasan kenapa istrinya berbuat demikian, jika memang bunuh diri, kenapa nekat berbuat hal seperti itu. Karena yang Radit tahu selama ia mengenal Dita, wanita itu adalah sosok yang ceria dan tak pernah menunjukkan keputusasaan dirinya.

Atau, selama ini Dita sebenarnya mengalami banyak masalah, hanya saja tidak mau bercerita padanya?

Raditmengusap wajahnya dengan kasar, perasaan sesak yang menguap membuat bulir air matanya menetes kembali.

Ah, suami macam apa dia?

“Radit,” panggil Hana kembali.

“Bisakah kau tinggalkan aku dulu!“

“Tapi ….“

“Aku perlu berpikir untuk hal ini, Hana. Tinggalkan aku sebentar saja.“

“Baiklah kalau itu maumu, aku tahu ini berat dan aku tak akan memaksa. Apapun keputusanmu nanti aku akan tetap mendukungmu.“ Hana berlalu setelah menepuk pelan punggung Radit. Meninggalkan laki-laki itu yang lagi-lagi terisak dalam diam.

Bab 3


“Radit, dari tadi di sini Mama cariin. Ayo masuk! Jenazah istrimu akan dishalatkan setelah dzuhur nanti. Kita mesti mengurus tempat untuk memandikannya sekarang.“

Radit menghela nafas, ia hanya mengangguk saja tanpa menoleh pada sang Mama. Namun perlahan walau tubuhnya berat untuk digerakkan, ia mulai bangkit dan mengikuti langkah Isti menuju ruang depan tempat orang-orang berkumpul dan mengaji di sekeliling jasad Dita.

Radit berjalan menunduk sembari sesekali mengusap wajahnya, sejenak langkahnya terhenti sebelum benar-benar keluar dari halaman belakang.

Di atas rerumputan hijau dekat pintu matanya memicing menatap satu benda yang tampak familiar. Ia memutuskan mengambil dan memungut benda yang sudah tertimbun sedikit tanah tersebut.

Kening Radit berkerut, bahkan tanpa susah payah berpikir ia tahu benda milik siapa itu. Sebuah mainan kunci dengan tulisan timbul berinisial Y di atasnya. Radit sangat mengenali siapa pemiliknya.

Entah kenapa malah membuat pikirannya menjadi terbuka. Tentang perkataan Hana yang beberapa menit lalu menghampirinya. Kebenaran atas tingkah laku sang istri yang tiba-tiba bunuh diri tanpa sebab.

Yasmin.

Radit yakin sekali gantungan kunci di tangannya kini adalah milik wanita itu. Ia pernah melihatnya beberapa kali karena Yasmin sering memakai di tasnya.

Yasmin adalah wanita yang dahulu sempat ingin dijodohkan sang Mama dengannya sebelum ia memberontak dan menikah dengan Dita.

Yasmin adalah wanita agresif yang bahkan masih mengejarnya kala ia sudah menikah dengan Dita. Bahkan yang ia tahu sendiri wanita itu pernah mengancam Dita beberapa bulan sebelum pernikahannya dengan Dita terjadi.

Dita menganggap itu angin lalu bahkan tak memberitahunya. Radit mengetahui itu saat tak sengaja membaca chat yang diarsipkan Dita di ponselnya.

Namun Yasmin sudah tak pernah lagi mengganggunya sejak ia memberi peringatan keras pada wanita itu satu bulan yang lalu. Sementara mainan kunci milik wanita itu, kenapa bisa ada di sini?

Atau jangan-jangan pelakunya adalah wanita itu?

Tidak!

Radit menggeleng, itu asumsi sementaranya sebelum ada bukti yang jelas akan pengakuan wanita itu.

Tapi, jika memang benar ….

“Ma!“ panggil Radit pada Isti. Wanita paruh baya yang sudah berjalan lebih dulu darinya itu menoleh dan berhenti melangkah.

“Kenapa?“

“Aku ingin bertanya sesuatu, ini mengenai Yasmin. Apa … dia datang ke sini kemarin malam?“

“Yasmin? Enggak tuh, memangnya kenapa kamu tiba-tiba nanyain dia?“

Radit terdiam sejenak, ditatapnya lagi mainan kunci di tangan. Pikirannya berkecamuk, entah kenapa merasa yakin akan satu hal.

“Beberapa hari sebelumnya ada gak, Ma?“

“Kamu ini kenapa sih? Kok tiba-tiba nanyain Yasmin? Kalian bukannya udah lama gak ketemu?“

“Jawab dulu pertanyaanku, Ma!“

Isti berdecak, menghadapkan diri sepenuhnya pada Radit sembari menyilangkan tangan. Anaknya benar-benar bertingkah aneh.

“Ada, tapi satu minggu yang lalu. Dia datang nganterin baju yang Mama pesan pada temannya. Memangnya kenapa sih, Radit?“

Ia tak menjawab, ingin memperteguh keyakinannya. Radit berjalan cepat keluar dari halaman belakang menuju pos satpam yang ada di halaman depan rumahnya.

Pak Sapto, laki-laki tua itu tengah tak ada di tempat. Sedang membuka pagar guna mempersilahkan beberapa tamu masuk untuk berduka cita.

Radit masuk ke dalam ruangan cctv. Mengecek video cctv satu minggu lalu dan memutarnya. Persis seperti yang dikatakan sang Mama tadi, Yasmin datang ke rumah.

Tapi tak ada yang aneh, karena Radit hanya melihat Yasmin datang berkunjung untuk mengantarkan sesuatu pada mamanya. Keduanya lalu mengobrol sebentar di halaman belakang dan tak lama kemudian wanita itu pergi.

Berapa kalipun Radit mengulang, hanya adegan itu yang terputar di sana.

Tidak! Bukan ini yang ia cari.

Radit kembali mengulik video di hari-hari selanjutnya sampai tiga hari terakhir. Namun sama sekali tidak menemukan kedatangan Yasmin ke rumah.

“Den Radit, sedang cari apa?“ Pak Sapto muncul dari pintu, Radit hanya menoleh sekilas. Setelah itu ia mengalihkan pandangannya kembali ke arah monitor yang menampilkan layar cctv.

“Pak Sapto tahu kalau Yasmin datang ke sini satu minggu lalu?“ tanya Radit pada lelaki yang rambutnya hampir memutih semua itu.

“Non Yasmin?“ Pak Sapto terdiam sejenak. “Ah, iya, bahkan kemarin juga ke sini. Memangnya kenapa, Den?“

“Kemarin?“ tukas Radit yang sedikit terkejut mendengar penuturan satpamnya itu.

“Untuk apa dia datang ke sini Pak? Bapak tahu dia menemui siapa?“

“Ehm … kalau itu kurang tahu saya, Den.“

Radit mengangguk, wajar saja, Pak Sapto selalu di pos satpam dan jarang masuk rumah. Lelaki tua itu tak akan tahu apa yang terjadi di dalam sana jika tak ada yang berteriak.

Hanya saja ini aneh buatnya. Istrinya bukan orang yang cenderung mengurung diri di kamar. Tidak ada satupun yang sadar kalau wanita itu telah meregang nyawa padahal mereka tinggal satu atap.

Bukan hanya ia dan Dita saja yang tinggal di sini. Mamanya, adiknya Ridho, juga pembantunya Yani dan Mbak Tati juga ada di rumah ini. Dan masing-masing dari mereka satupun tak ada yang menyadari.

Kepala Radit serasa mau pecah saat mencoba menyusun kepingan-kepingan adegan yang mungkin terjadi malam itu. Hal itu membuatnya kini mencari dan memutar video cctv kemarin malam.

Matanya menatap awas ke dalam layar. Dari pagi sampai siang tidak ada siapapun yang datang kecuali mamanya dan Ridho yang berulangkali keluar dari rumah.

Lalu, sore harinya, lima jam sebelum ia pulang ke rumah. Tampak mobil merah milik Yasmin memasuki pekarangan rumah. Radit menunggu dengan tidak sabar saat Yasmin masuk ke dalam rumah dan menemui … Dita?

Dita? Bukan mamanya?

Radit mengulang-ngulang video tersebut. Benar saja, keduanya bertemu dan terlibat percakapan yang begitu serius. Sayangnya cctv ini tak merekam suara, Radit tak tahu apa yang keduanya tengah bicarakan.

Yang membuat ia lebih terkejut adalah saat Yasmin dan Dita masuk ke dalam kamarnya secara bersamaan. Entah apa yang dilakukan wanita itu di dalam sana dan beberapa menit kemudian Yasmin keluar dengan terburu-buru.

Apa yang terjadi?

“Pak Sapto apakah tidak ada akses cctv dalam kamar?“

“Bukannya Den Radit yang meminta untuk tidak memakai cctv di area kamar?“

Radit menepuk jidatnya, ia lupa, bahkan ia yang meminta hal itu sendiri. Sekarang ia menyesali keputusannya tersebut. Sudah lama sebenarnta cctv dalam kamar tidak lagi dipakai seperti dulu guna menghargai privasi tiap pemilik kamar walau seringkali dimatikan dan tak digunakan.

Sekarang, apa yang ia lakukan? Menuduh Yasmin adalah pelakunya? Ia tak punya cukup bukti untuk itu.

Satu-satunya cara adalah … otopsi jenazah Dita dan melakukan penyelidikan ulang atas kematian istrinya itu. Hal ini semakin membuat Radit yakin sekaligus menguatkan spekulasi Hana kalau Dita memang tidak bunuh diri.
 

Bab 4


"Autopsi? Kamu sudah gak waras Radit? Menurutmu apa yang orang-orang pikirkan saat jenazah Dita yang diketahui bunuh diri kini malah akan dilakukan autopsi? Menurutmu ada yang salah dengan  kematiannya? Dia dubunuh? Itu gak masuk akal!"

Radit hanya diam mendengar ucapan mamanya yang tengah emosi. Tepat setelah ia menemukan video Yasmin yang mendatangi rumahnya kemarin sore, Radit langsung menghubungi Hana untuk mengangkut jasad Dita untuk dibawa ke rumah sakit. Ia menginginkan autopsi pada jasad istrinya untuk membuktikan sesuatu. Tentang kecurigaannya pada Yasmin.

"Yang dikatakan  Mama benar, Kak Radit gak berpikir serius? Memangnya kakak pikir apa sebab kematian Kak Dita  selain   bunuh diri? Kenapa mau menyelidikinya lagi? Tidak kasihan   melihat jasad Kak Dita yang akan rusak jika melakukan autopsi?" Ridho angkat bicara, laki-laki yang berusia tiga tahun lebih muda dari Radit itu tampak terkejut saat tiba-tiba petugas forensik dari rumah sakit datang dan membawa jasad Dita.

Tadi Ridho sempat menahan karena berpikir itu kesalahpahaman. Lalu saat Radit mengatakan kalau itu atas perintahnya. Ia dan sang Mama langsung membawanya ke halaman belakang, jauh dari tetanggan untuk membicarakan hal ini.

"Setidaknya beritahu kami, Radit, kenapa bertindak sendirian. Kenapa kamu mau melakukan autopsi? Kamu tidak menyayangi istrimu? Rela jasadnya diacak-acak  demi penyelidikan yang belum tentu benar adanya."

"Ma!" Radit bersuara keras, sedikit memberi penekanan hingga mamanya dan  Ridho terkejut. Ia menatap kedua orang itu bergantian dengan mata merah, mati-matian menahan tangisnya yang akan tumpah.

"Radit juga gak mau melakukan hal ini. Radit sangat menyayangi Dita. Siapasuami yang rela merusak jasad iatrinya demi autopsi yang tidak ada arti. Mama pikir Radit melakukan hal ini tanpa berpikir terlebih dahulu? Mama pikir, Radit melakukan hal ini karena ego semata? Enggak, Ma, Radit punya alasan."

"Alasan? Alasan apa yang kamu maksud? Kamu mencurgai kematian Dita bukan bunuh diri? Hal itu bahkan kamu lihat dengan mata kepala kamu sendiri. Bagaimana kamu bisa memutuskan kalau kematian Dita memiliki kejanggalan Radit, katakan pada Mama!"

Radit diam, ia mengalihkan pandangan sembari menahan emosinya yang menggebu. Ia tak ingin mengatakan kalau ia mencurigai Yasmin. Hal itu pasti akan membuat masalah lebih besar lagi karena Yasmin dekat dengan sang Mama bahkan pernah jadi bakal calon maantu yang tidak jadi karena Radit mwnikah dengan Dita.

Meski mengatakan hal itu, Radit yakin mamanya akan membela Yasmin mati-matian tak peduli berapa keras usahanya untung meyakinkan sang Mama. Sampai kebenaran itu terungkap, ia tak bisa mengatakan kecurigaannya pada siapapun.

"Kamu lihat  wajah tetangga-tetangga tadi saat jasad istrimu diangkut? Mereka pasti sedang  bertanya-tanya dan merasa keheranan. Lalu mulai timbul praduga bahwa  ada yang tidak beres dengan kematian istrimu Radit. Padahal Mama mati-matian menutupi kenyataan kalau Dita bunuh diri."

"Kamu tahu bunuh diri itu aib, ditambah sekarang kamu melakukan penyelidikan atas kematiannya.  Sebenarnya apa yang kamu lakukan? Apa yang kamu tahu? Kenapa melakukan sesuatu tidak merundingkan dulu dengan keluarga? Kamu menganggap mama ini orang tuamu atau tidak?"

Radit lagi-lagi tak menjawab perkataan sang Mama, membuat wanita paruh baya itu sedikit kesal karena Radit tak mengatakan apapun dan pergi meninggalkannya begitu saja disusul oleh Tidho yang menatap Radit drngan kecewa.

Ia duduk dengan lemas di kursi, mengusap wajahnya dengan kasar sembari menatap langit-langit yang agak mendung hari ini.  Semilir angin berhembus menjatuhkan dedaunan kering di atas pohon. Radit menatap nanar pemandangan itu hingga tak terasa pandangannya mulai mengembun.

"Sayang, yang kulakukan ini, sudah benar, kan?" ucapnya lirih dengan satu bulir air mata jatuh ke pipinya.

***

Hujan deras turun malam ini, suara gemuruh dan kilat saling bersahut-sahutan. Tempias hujan dari luar menerpa wajah dan tubuh Radit. Sejak kejadian tadi siang ia belum beranjak dari halaman belakang.

Sebenarnya, sempat tadi ia akan pergi ke kamarnya, namun sampai di depan kamar mandi ia malah terbayang wajah Dita yang tengah tergantung di plafon. Membuat rasa  sesak dan sedih itu kian menyeruak ke permukaan. Radit belum sanggup memakai kamarnya kembali untuk saat ini. Ia memilih kembali ke tempat semula dan duduk di sana berjam-jam lamanya tanpa melakukan apapun.

Ting!

Suara dari notifikasi pesan di ponselnya membuat ia tersentak kaget. Pandangannya yang tadi hanya lurus ke depan, kini menunduk menatap layar ponselnya yang menyala.

Pesan dari Hana.

[Radit kau baik-baik saja?]

Radit meletakkan ponselnya kembali, tak ada niatan untuk membalas pesan dari Hana. Pandangannya  kembali lurus ke depan, menatap tiap bulor air hujan yang turun, sesekali tempiasnya memercik di wajah. Radit mengusap sembari menghela nafas pelan.

Ting!

Lagi-lagi notifikasi pesan di ponselnya berbunyi, Radit melirik, pesan dari Hana lagi.

[Maaf, aku tahu kau sedang tak ingin diganggu. Aku hanya khawatir padamu]

Radit lagi-lagi menghela nafas, ia tahu tak baik mengabaikan orang yang sudah berusaha menghiburnya. Apalagi Hana sudah membantunya banyak hal selama ini.

[Terima kasih Hana, aku tahu niatmu baik, tapi untuk sekarang tolong jangan ganggu aku dulu]

[Aku hanya ingin mengabarkan hasil pemeriksaan jasad Dita, Radit. Berdasarkan pemeriksaan eksternal, Dita memang benar-benar mengkonsumsi racun secara rutin. Belum tahu jenis racun apa namun dugaan sementara adalah arsenik. Kemungkinan Dita dicekcoki arsenik dalam tahap wajar namun secara rutin dikonsumsi. Aku akan memeriksa lebih lanjut dan memberitahukan padamu setelahnya]

Tangan Radit bergetar demi membaca pesan tersebut. Diagnosa Hana ternyata benar Dita keracunan.

[Kau sedang tidak main-main Hana? Jadi benar Dita meninggal karena mengkonsumsi racun?]

[Ya, Radit, sudah kuperiksa, nanti setelah aku mendapatkan data tentang racun jenis apa yang dikonsumsinya aku akan memberitahumu]

Tangan Radit bergetar hebat, ponselnya terjatuh di atas lantai. Radit tergugu dengan bahu berguncang. Suara tangisnya teredam suara hujan yang deras. Radit merasa tak bisa menerima hal ini.

Diracun? Secara rutin? Pasti ada orang yang sengaja melakukannya secara diam-diam di makanan istrinya. Kecurigaan Radit  hanya mengarah pada  satu orang, Yasmin. Tepat satu minggu lalu wanita itu datang ke rumahnya. Mungkin saat itu ....

Radit menggeleng, menggigit bibirnya kuat dengan air mata mengalir deras. Menerima kenyataan kalau istrinya bukan bunuh diri, melainkan dibunuh, entah kenapa juga menyakitkan hatinya.

Bab 5

Pagi itu di meja makan, hanya ada Isti dan Ridho. Keduanya duduk saling berhadapan tanpa suara sedikitpun. Hanya ada suara dentingan sendok dan garpu yang saling beradu di atas piring.

Isti berulangkali menatap ke arah tangga menuju lantai dua tepat ke arah kamar anak sulungnya Radit. Bahkan sampai nasi di piringnya hampir habis, Radit juga tak kunjung turun dari sana, membuatnya sedikit khawatir.

"Dho!" panggil Isti  pada anak keduanya yang tampak sibuk dengan ponsel di tangan. Ridho mendongak, menatap sang  Mama.

"Kenapa Ma?"

"Kakakmu mana? Kenapa dia gak turun dan makan bersama kita?"

"Gak tahu, masih tidur mungkin," jawab Ridho acuh sembari mengangkat bahu.

"Coba samperin sana, bangunin suruh turun buat sarapan."

"Ck  ... kenapa gak Mama aja, sih?"

"Ridho!" Isti menatap anaknya itu dengan mata melotot. Ridho yang awalnya tak acuh kini bangkit dari duduknya dengan kesal. Sedikit menghentak kursi sehingga menimbulkan bunyi derit yang agak berisik.

Ridho naik ke atas tangga dengan langkah menghentak, sampai di depan kamar kakaknya, ia buru-buru mengetuk pintu dengan keras menggunakan tangan kiri, sementara tangan kanannya  sibuk memainkan ponsel.

"Kak Radit!" teriaknya untuk ke sekian kali, tak kunjung ada sahutan membuat ia menggeram marah. Ridho mencoba menggoyangkan engsel pintu. Dahinya berkerut saat menyadari pintu kamar sang kakak tak dikunci.

Ia mengintip, meski tampak kesal ia sedikit segan  dengan kakak laki-lakinya itu.

"Kak Radit, aku masuk, pintunya gak dikunci soalnya. Disuruh Mama turun buat sarapan," ucapnya sembari melangkah masuk dengan hati-hati."

Matanya menelisik ke seluruh ruangan. Ranjang, balkon, bahkan kamar mandi. Radit tak ada di manapun. Ridho keluar dari kamar sang kakak sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Mana Radit?" tanya sang Mama begitu Ridho duduk kembali di meja makan.

"Gak ada di kamarnya, Ma. Udah pergi kerja mungkin."

"Masa, sih? Mama gak ada lihat dia keluar kamar dari tadi."

"Mama lihat sendiri, deh, kamarnya kosong tuh."

Isti berdecak, menatap Ridho dengan mata memicing. Mencoba berpikir positif, mungkin saja yang dikatakan anaknya itu benar, ia mulai menyuap nasinya kembali.

"Nyonya! Nyonya!" Mbak Tati lari tergopoh-gopoh dari halaman belakang. Wajahnya tampak panik.

"Kenapa Mbak? Kok lari-lari gitu?" tanya Isti dengan wajah bingung.

"I--itu ...." Mbak Tati terengah-engah karena lari kencang tadi. Membuat suaranya hilang timbul di antara helaan nafasnya.

"Tarik nafas dulu kalau mau ngomong! Gak jelas yang Mbak omongin apaan kalau kayak gitu."

"Itu, Den Radit ada di belakang, demam tinggi dan gak sadarkan diri."

"APA?" Isti bangkit dari duduknya, sedikit menggebrak meja membuat Ridho keheranan. Ia yang sedari tadi terlalu fokus dengan ponselnya kini menatap sang Mama dan Mbak Tati, pembantunya lari tergopoh-gopoh menuju halaman belakang.

Isti menggeleng begitu melihat Radit terbaring di atas kursi. Ada Yani di samping Radit yang sedang berusaha menyadarkan majikannya itu.

"Sejak kapan dia di sini?" tanya Isti sembari memberikan isyarat pada Yani untuk menyingkir. Asisten rumah tangga yang masih berusia dua puluh satu tahun itu sadar diri hingga melipir ke sebelah Mbak Tati.

"Tadi begitu saya ke sini, Den Radit sudah ada di sini Nyonya."

Isti berdecak, tak percaya. Pasti Radit telah tidur di sini satu malaman. Tangannya terulur menyentuh kening sang Putra. Panasnya tinggi sekali. Apalagi tadi malam hujan deras dan Radit tidur di sini tanpa selimut.

"Yani, suruh Udin buat siapin mobil. Mbak Tati, panggil Pak Sapto kemari untuk membawa Radit, cepat!"

"Baik Nyonya."

Kedua asisten rumah tangga berbeda usia itu segera pergi dari hadapan Isti. Sementara Isti berusaha menepuk-nepuk pipi Radit guna menyadarkannya, namun laki-laki berusia dua puluh tujuh tahun itu tak kunjung bergerak, membuat perasaan cemas Isti semakin menjadi.

Ridho yang tadinya acuh dan tetap berada di tempat, kini mulai tertarik untuk mencari tahu saat dilihatnya Yani lari bersama Mbak Tati menuju halaman depan.

Tangannya sigap menahan Yani dan membuat langkah gadis muda itu berhenti, ia ditinggalkan Mbak Tati yang lebih cepat berlari darinya.

"Ada apa?" tanya Ridho sembari menatap Yani intens. Gadis muda itu tampak terkejut hingga memundurkan tubuhnya. Menghentak tangan Ridho hingga lepas dari tangannya.

"Den Radit Demam tinggi dan tak sadarkan diri," ucap Yani sembari melangkah mundur kembali, matanya tak fokus dan terus menunduk. "Mbak Tati tungguin Yani!" Yani berteriak keras hingga Mbak Tati yang hampir berbelok kini menoleh dan menunggunya."

"Ayo cepat, Yan, nanti Nyonya marah."

Yani mengangguk, bahkan tanpa menoleh ke arah Ridho ia berlari meninggalkan majikannya itu.

"Gadis itu benar-benar tak tahu diri," ucap Ridho lirih sembari memutar langkah menuju halaman belakang.

***

Radit mengerjap-ngerjap, pandangannya yang tak fokus dan  silau karena cahaya di atasnya membuat ia memejam sebentar untuk membiasakan diri.

Kepalanya pusing luar biasa, Radit berusaha bangkit dari tidurnya. Mulai membiasakan diri dengan cahaya, ia menatap sekeliling ruangan dimana ia berada saat ini.

Kamarnya.

Kening Radit berkerut, ia berada di kamarnya saat ini. Benar-benar kamarnya hingga membuat ia terbelalak kaget dengan tubuh gemetar. Seolah kehilangan keseimbangan ia jatuh dari atas ranjangnya dengan posisi berlutut.

Ingatannya berputar tentang kejadian saat ia menemukan mayat Dita tergantung di plafon kamar mandi. Radit memegangi kepalanya yang terasa sakit. Berada di tempat yang sama saat istrinya meregang nyawa membuat ia ketakutan.

"Ya Ampun Mas Radit, kenapa bisa di bawah gini?"

Radit terbelalak, tubuhnya gemetar hebat. Suara ini, suara yang sangat dikenalnya. Perlahan ia menoleh ke asal suara. Cahaya lampu menyorot sosok itu hingga ia sedikit memicing.

"Dita," ucapnya lirih. Wanita itu tersenyum, mengulurkan tangan padanya.

"Kenapa bisa jatuh? Mas mimpi buruk?" tanya Dita sembari menatapnya dengan mata berbinar.

Radit menggeleng, menjatuhkan tubuhnya hingga terduduk di atas lantai. Perlahan memundurkan tubuh.

"Istriku, Dita?" ucapnya diiringi anggukan dari wanita di hadapannya. Mata Radit berkaca, tangannya terulur hendak menyentuh pipi sang istri.

Terasa hangat.

Tidak dingin seperti yang ia temui di kamar mandi hari itu. Istrinya ... masih hidup.

"Dita! Istriku!" Radit menarik tubuh Dita ke dalam dekapannya.
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Misteri Kematian Istriku ~ Bab 6-10
0
0
Radit mengalihkan pandangan sembari menghela nafas, sementara di sampingnya ada Hana yang menatapnya dengan khawatir….
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan