
Sinopsis : Kumpulan cerita horor
Blurb :
Ini tempatnya?" Ucap Tiara setelah keluar dari mobil. Memandang rumah sakit yang cukup horor. Apalagi di datangi saat malam hari seperti ini. Ia melirik arlojinya. Sebelas lewat lima puluh lima menit.
"Yakin mau masuk ke dalam?" Tanya Hana memandang horor tempat tersebut. Di antara yang lain ia yang paling penakut.
"Udah datang jauh-jauh masa balik sih. Gak asyik tahu," cetus Eka. Memandang rumah sakit itu dengan mata berbinar. Ini kesukaannya. Menjelajah destinasi...
Bab 1 : Sebelum Cerita Dimulai
"Ini tempatnya?" Ucap Tiara setelah keluar dari mobil. Memandang rumah sakit yang cukup horor. Apalagi di datangi saat malam hari seperti ini. Ia melirik arlojinya. Sebelas lewat lima puluh lima menit.
"Yakin mau masuk ke dalam?" Tanya Hana memandang horor tempat tersebut. Di antara yang lain ia yang paling penakut.
"Udah datang jauh-jauh masa balik sih. Gak asyik tahu," cetus Eka. Memandang rumah sakit itu dengan mata berbinar. Ini kesukaannya. Menjelajah destinasi horor terbaru.
"Kalau gitu ayo masuk!" Ajak Karin tidak mau kalah.
"Memang mesti ya datang ke tempat begini?" Ucap Putri memandang bangunan kusam yang sudah hancur di beberapa bagian bahkan ditumbuhi lumut.
"Biar greget tahu. Udah ah ayo masuk!" Ajak Eka.
"Kita kayak gak ada kerjaan deh," ucap Tiara sembari tertawa samar. Ia membuka kembali pintu mobil. Mengambil tas hitam dari dalam sana. Lantas berjalan lebih dulu daripada teman-temannya hingga ia yang memimpin.
Krieeet...
Pintu terbuka dan berbunyi cukup nyaring. Engselnya bahkan hampir patah karena sudah karatan. Tidak seperti bangunan rumah sakit pada umumnya yang pintunya terbuat dari kaca. Bangunan rumah sakit ini pintunya terbuat dari kayu jati yang hampir rapuh.
"Hiii..."
"Apa sih Han?"
"Tikus," lirihnya takut. Ia mendekat ke arah Eka. Gadis itu hanya menggelengkan kepala. Berhati-hati melangkah agar tidak terinjak banyak paku dan benda tajam berserakan.
"Di mana nih?" Tanya Tiara bingung. Ia berhenti melangkah. Sekarang suasana tampak semakin gelap. Tiga senter yang dibawa Tiara, Eka, dan Karin. Hampir tampak sia-sia.
"Kamar mayat gimana?" Usul Putri. Ia menatap keempat sahabatnya.
"Put, kita datang ke tempat ini aja sebuah kesalahan apalagi ke kamar mayat. Enggak ah aku gak mau," keluh Hana, ia meraba-raba lehernya.
"Aku ikut," ucap Eka. Membuat Hana yang berdiri di sampingnya mendelik.
"Aku juga," ucap Karin.
"Aku setuju," ucap Tiara.
"Yah kok gitu sih?" Ucap Hana memelas. Kini keempat sahabatnya memandangnya meminta jawaban. Gadis itu menghela nafas, pasrah. "Kalau gitu aku ikut deh. Daripada balik sendiri."
"Yaudah ayo! Put pimpin jalan!" Perintah Tiara. Gadis berambut sebahu itu mengangguk. Lantas maju ke depan. Menerima senter yang diberikan oleh Tiara.
Lantas kelimanya melanjutkan perjalanan masuk lebih dalam ke rumah sakit. Dengan urutan Putri, Tiara, Eka dan Hana lalu Karin dibelakangnya.
Sampai di sebuah pintu ruangan mereka berhenti. Sebuah papan nama bertuliskan kamar mayat di atasnya membuat Putri menolehkan kepalanya ke arah teman-temannya.
"Masuk!" Ucap Tiara mengangguk, meyakinkan sahabatnya.
Putri mengangguk, ia membuka pintu tersebut. Aroma tidak sedap menguar dari dalam sana.
"Ish Hana, jangan injak sepatuku!" Gerutu Eka.
"Maaf, habis gelap sih jadi tidak tampak," elak Hana. Padahal ia tengah ketakutan hingga menempelkan tubuhnya semakin dekat ke Eka.
Karin menyinari ruangan itu dengan senter yang ia bawa. Meski beraroma tidak sedap, tapi di antara ruangan yang mereka lewati. Kamar mayat ini cukup bersih. Dan yang lebih baik tidak ada benda tajam yang berserakan di bawah.
"Yaudah masuk!" Ucap Putri ia yang sudah berada di dalam ruangan tersebut. Memberi isyarat dengan tangannya pada teman-temannya.
"Pintunya jangan ditutup ya!" Ucap Hana.
"Tutup Rin!" Perintah Eka pada Karin. Gadis itu cengengesan saat melihat wajah takut sahabatnya. "Biasa aja kali Na, kan ada kita-kita," ucapnya lagi.
Hana hanya melirik kesal, ia ingin membantah. Tapi dibanding empat temannya suaranya tidak terlalu berarti. Maka ia memilih diam dan memandangi seluruh ruangan tersebut. Beberapa tempat tidurnya masih berserakan ditutupi kain putih.
Tiara membuka resleting tas hitam yang ia bawa. Ia mengeluarkan lilin putih yang cukup besar dari dalam sana, juga dengan korek apinya.
"Matikan senternya!" Ucap Tiara. Sontak ketiga temannya yang membawa senter langsung mematikan senter yang mereka bawa. Kini tidak ada pencahayaan di dalam sana. Udara cukup dingin karena atap dari ruangan tersebut banyak yang berlubang.
Wushh.
Korek api di tangan Tiara menyala. Ia mendirikan lilinnya dan mendekatkan korek api tersebut ke lilin. Seketika ruangan terang benderang kembali.
Tiara duduk tepat di hadapan lilin tersebut. Putri mengikuti dan duduk tepat di sebelah gadis berkuncir kuda itu. Hana yang tidak lepas dari Eka duduk di sampingnya. Dan yang terakhir Karin mengisi ruang yang kosong. Mereka berlima mengelilingi lilin tersebut.
"Jadi... siapa yang mau mulai lebih dulu?" Tanya Karin memulai pembicaraan.
"Kamu aja gimana Rin?" Ucap Tiara memberi usul. Ia melirik arlojinya. Dua belas lewat sepuluh menit.
"Boleh, gak masalah." Karin memperbaiki duduknya. Ia bersila mempersiapkan diri.
"Pasang telinga baik-baik ya dan jangan ada yang mencela!"
Keempatnya mengangguk dalam diam. Memajukan tubuh mereka. Angin bertiup pelan membuat api di lilin sedikit berkibar.
"Kalau gitu aku mulai..." Karin menatap satu persatu temannya. "Diantara kalian pasti sudah banyak yang mendengar cerita tentang keseraman rumah sakit." Keempatnya mengangguk. Karin juga mengangguk, ia menatap sekeliling ruangannya.
"Kebetulan kita berada di rumah sakit saat ini, dan sekarang aku akan menceritakan pengalaman seseorang yang tidak kalah menyeramkan. Dia bekerja sebagai office boy di sebuah rumah sakit yang cukup besar. Sebut saja namanya, Sandi."
#####
Bab 2 : Hantu di Rumah Sakit
"Selamat pagi Bu," ucap Sandi ramah. Menyapa seorang dokter yang lewat di hadapannya.
"Oh iya, selamat pagi."
Sandi mengangguk, dokter tersebut melewatinya. Ia bersenandung sembari mendorong alat tempurnya. Berbagai alat kebersihan yang senantiasa menemaninya saat bekerja.
Ia melewati lorong-lorong kamar rumah sakit. Agak sepi karena para pasien masih ada yang istirahat dan keluarga pasien belum banyak yang berkunjung. Bunyi roda dari alat kebersihan yang ia bawa. Bergema di seluruh lorong.
Sandi berjalan menuju toilet. Beberapa ruangan telah ia bersihkan. Kini giliran toilet rumah sakit. Saat melewati lorong. Dari kejauhan Sandi melihat seorang wanita bergaun putih berdiri di depan kamar pasien yang paling ujung. Sendirian.
Sepertinya cukup lama berada di situ. Dan beberapa orang yang lewat tidak menghiraukannya. Penasaran Sandi berjalan mendekat. Kali saja, wanita bergaun putih itu butuh bantuan darinya.
"Mbak!" Panggilnya.
Wanita itu tidak menoleh. Tetap bergeming dan hanya menatap kaca di pintu kamar pasien. Sandi mengikuti arah pandangnya. Seorang pasien tengah tertidur di sana. Dengan peralatan selang di seluruh tubuhnya.
"Mbak!" Panggil Sandi kembali.
Hening.
"Mbak!" Panggilnya lagi.
Tetap Hening. Angin semilir berhembus menggerakkan rambut hitam wanita bergaun putih itu dengan lembut. Rambut yang menutupi hampir seluruh wajahnya.
Sandi menggaruk kepalanya, bingung. Ia membuka mulut, namun sekejap menutupnya lagi. Sembari menghembuskan nafas kasar. Sandi memutuskan untuk pergi. Beberapa kali menolehkan kepalanya ke belakang. Menatap wanita bergaun putih yang masih berdiri tegak di tempat semula. Tidak bergerak, seinci pun.
"Mungkin, dia memiliki masalah pendengaran," ucap Sandi asal.
Tanpa ia sadari, di belakangnya. Wanita bergaun putih itu menoleh secara perlahan. Menggerakkan kepalanya. Kemudian berhenti tepat ke arah Sandi berjalan. Sampai pemuda itu hilang di kelokan.
Sesampainya di toilet pria. Sandi mengeluarkan alat-alat kebersihannya. Dan mulai menyikat kerak membandel di lantai.
Srakk srakk srakk
Bunyinya menggema ke seluruh toilet yang sepi. Tidak ada yang berkunjung ke ruangan ini di jam segini. Saat ini, hanya ada pemuda itui. Sendirian.
Hiks hiks hiks
Ia menghentikan gerakan menyikatnya, celingukan. Melihat ke seluruh toilet yang kosong. Tidak ada siapa-siapa.
"Apa aku salah dengar?" Lirihnya pelan. Melongok ke seluruh bilik toilet yang tertutup. "Baru saja ada wanita yang menangis," ucapnya lagi dengan pelan.
Sandi menajamkan telinganya. Cukup lama tapi suara yang ia dengar tidak terdengar lagi. Sandi mengangkat bahunya. Mulai bersiul dan menyikat lantai kembali.
Hiks hiks hiks.
Srakk...
Baru saja mulai menyikat, Sandi berhenti. Kali ini suara itu terdengar sangat jelas. Dari pintu bilik toilet yang berada tepat di depannya.
Ia menelan ludah dengan susah payah. Keringat sebesar biji jagung di pelipisnya mulai turun. Perlahan ia berjalan maju mendekati pintu bilik tersebut. Ia mengangkat sapu sikatnya. Sehingga ujung gagangnya mengarah ke pintu bilik tersebut.
Sandi menghembuskan nafasnya perlahan. Dengan tangan gemetar ia mulai mendorong pintu tersebut.
Krieeet.
Brak!
"Huh!" Teriak Sandi keras. Saat melihat di dalam bilik tersebut tidak ada siapa-siapa. Jantungnya berdegup dengan keras. Ia menyentuhnya dan berusaha menetralkannya.
Agak lama, Sandi mulai menguasai dirinya. Ia mulai menyikat kembali. Hingga selesai sampai toilet itu benar-benar bersih. Suara tangisan yang ia dengar tidak terdengar lagi sampai Sandi keluar dari toilet.
Jam sepuluh lewat, pekerjaan Sandi sudah selesai. Rumah sakit mulai ramai dikelilingi dokter, pasirn dan pengunjung. Ia kembali melewati lorong kamar rumah sakit. Beberapa kali menyapa. Tapi perhatiannya tertuju pada pintu kamar salah satu pasien.
Wanita bergaun putih itu masih berdiri di sana. Dengan posisi yang yang sama. Sandi terus menerus menatapnya sembari mendorong alat kebersihan. Tidak di sangka, kepala wanita itu bergerak perlahan. Menoleh ke arah Sandi.
Bruk
"Astaga!" Ucap Sandi kaget. Pandangan matanya beralih ke seorang laki-laki tua yang ternyata telah ia tabrak. "Maaf Pak, saya tidak sengaja."
"Lain kali hati-hati ya dik!" Ucap Bapak tua.
Canggung, Sandi mengangguk sembari menunduk sampai Bapak tua itu melewatinya.
Sandi bernafas lega. Setelahnya ia kembali menatap ke arah wanita bergaun putih itu kembali. Ternyata wanita itu sudah tidak berada di tempatnya. Sandi celingukan. Wanita bergaun putih itu tidak ada dimanapun.
"Mungkin masuk ke dalam kamar itu?" Batin Sandi menatap pintu kamar tersebut. Lalu mengalihkan pandangan dan berjalan menuju tangga rumah sakit.
Sandi membuka pintu menuju tangga. Meletakkan alat kebersihannya di sudut ruangan lalu turun ke lantai bawah. Namun saat berbelok ia sedikit terpaku. Melihat wanita bergaun putih itu berdiri di tengah tangga. Membelakanginya.
Agak lama ia berpikir. Sandi memilih berjalan dan melewati wanita itu. Melalui ekor matanya ia melihat wanita itu juga tidak bergerak sedikitpun. Sama seperti yang ia lihat tadi pagi, barusan dan saat ini.
"Kamu..."
Sandi berhenti melangkah. Suara yang sangat lirih itu membuatnya menoleh, menatap wanita bergaun putih yang wajahnya tertutup oleh rambut hitamnya. Ia celingukan, hanya ada dirinya sendiri di situ.
"Y-ya," jawabnya.
"Bisa melihatku?"
Rambut wanita itu bergerak lambat. Entah angin darimana. Membuat wajahnya tampak jelas. Sandi bisa melihat rupa itu. Wajahnya yang cantik namun sangat-sangat pucat. Matanya yang tajam menatap Sandi tanpa berkedip.
Tiba-tiba saja Sandi merasa merinding. Suhu di sekitarnya turun. Udara dingin mulai terasa. Sandi mengerjapkan matanya.
Tanpa mengatakan apa pun ia berbalik dan menuruni tangga dengan cepat. Mungkin bisa dikatakan ia tidak sopan. Tapi berada di depan wanita itu terlalu lama Sandi merasa tidak sanggup. Entah karena apa.
"Astaga!" Ucapnya kala membuka pintu menatap Leo yang berdiri di hadapannya.
"Hei San! Kenapa? Kok kamu kayak kaget gitu?" Tanya Leo.
"Ha? Ah tidak," elak Sandi. Ia mengatur nafasnya yang tidak beraturan.
"Minggir-minggir!" Teriak beberapa dokter dan perawat tiba-tiba dari arah depan Sandi dan Leo. Tergesa menuju lift rumah sakit.
"Ruang kenanga, pasien kritis," teriak salah satu dari mereka.
Mata Sandi terbelalak kaget. Ia menolehkan kepalanya ke belakang. Tepat ke arah pintu tangga yang tadi ia lewati. Sandi membuka pintu tersebut dan menaiki tangganya. Ia sedikit celingukan melihat ke seluruh tangga.
Tapi wanita bergaun putih itu sudah tidak ada.
Jantungnya bergemuruh. Ia kemudian berlari secepat kilat. Menghiraukan panggilan Leo untuknya. Yang ia pikirkan hanya satu. Kamar yang sedari tadi pagi dilihat oleh wanita bergaun putih adalah kamar yang dituju para dokter dan suster.
Dan Sandi merasa penasaran.
Ia menyusuri lorong kamar rumah sakit. Sampai matanya terpaku pada perawat yang mendorong pasien. Muncul dari kamar kenanga. Beberapa tangisan mulai terdengar berasal dari sana. Beberapa dokter yang Sandi lihat berlari tadi mulai keluar satu persatu.
Seluruh tubuh pasien telah tertutup oleh kain putih. Itu tandanya pasien tersebut sudah meninggal dunia. Sandi memperhatikan. Tiba-tiba saja kain putih itu tersingkap. Wajah dari pasien yang sudah meninggal itu tampak.
Sandi membelalakkan matanya. Apalagi saat ia melihat wanita bergaun putih berdiri tepat sepuluh langkah di depannya. Sedang menatap pasien yang di dorong menuju kamar mayat. Lalu mengalihkan pandangan, menatapnya.
Dan yang paling mengerikan adalah... keduanya berwajah sama.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
