
Juna pulang ke rumah dan langsung naik ke lantai atas di mana kamarnya berada. Ia menatap pintu kamar Dara yang lampunya menyala. Tadi di bawah ia tak melihat sepatu wanita itu. Entah sudah pulang atau belum ia tak tahu. Mau menghubungi Dara, gengsi.
Tapi rasa khawatir menggebu membuatnya nekat menurunkan engsel pintu kamar Dara. Terkunci dan itu artinya wanita itu belum pulang.
Bab 5
Juna pulang ke rumah dan langsung naik ke lantai atas di mana kamarnya berada. Ia menatap pintu kamar Dara yang lampunya menyala. Tadi di bawah ia tak melihat sepatu wanita itu. Entah sudah pulang atau belum ia tak tahu. Mau menghubungi Dara, gengsi.
Tapi rasa khawatir menggebu membuatnya nekat menurunkan engsel pintu kamar Dara. Terkunci dan itu artinya wanita itu belum pulang.
Ia pun berjalan ke depan rumah, mengunjungi posko satpam rumah. Pak Mukhlis sang satpam sedang menyeruput kopi dengan nikmat sembari menonton televisi.
“Pak.“
“Eh, iya Tuan.“ Pak Mukhlis gelagapan dihampiri tiba-tiba oleh sang majikan.
“Lihat istri saya pulang, gak?“
“Nyonya? Belum ada Tuan. Bukannya tadi pergi sama Tuan, ya?“
Juna berdecak, ia tak menjawab pertanyaan Mukhlis. Membuat Satpam yang rambutnya sudah memutih itu tampak tak enak. Lalu tanpa mengatakan apapun Juna kembali ke dalam rumah menuju kamarnya. Merebahkan diri di ranjang sembari menenangkan diri.
Toh bentar lagi wanita itu juga akan pulang.
Nada dering panggilan di ponselnya berbunyi. Buru-buru Juna mengangkat dan bersiap untuk meluapkan amarah karena mengira itu Dara.
“Halo, Mas, jangan coba-coba menipu saya dong.“
Mulut Juna terkatup, ia yang semula hendak bersuara mendadak mengurungkan niat saat menyadari yang ada di sebrang teleponnya bukan Dara. Melainkan suara laki-laki berumur yang sepertinya tampak kesal.
Salah sambung atau bagaimana?
Juna menatap layar ponselnya, sesaat mengernyit saat nomor supir taksi yang ia pesan untuk Dara tertera di sana.
“Halo, Pak!“
“Ah, iya, maaf Pak, gimana?“
“Saya udah sampai di lokasi, tapi orang yang Mas bilang untuk saya jemput gak ada di sana. Gimana, sih? Niat nipu, ya? Jangan gitu dong, saya berusaha cari nafkah buat keluarga dan baru dapat dua penumpang hari ini. Bensin saya habis buat muter-muter dari tadi.“
“Loh, Pak, memangnya di sana tidak ada wanita dengan pakaian warna salem berdiri di pinggir jalan? Namanya Dara Amira.“
“Saya udah telusuri jalanan ini, Mas, tiga kali bolak-balik malahan. Tapi gak nemuin yang Mas maksud. Kalau gak percaya bisa datang ke sini.“
Juna menggaruk alisnya. Berarti Dara telah pergi tanpa taksi pesanannya.
“Mas, gimana, ini? Masuk orderan fiktif loh. Nanti Mas saya viralkan.“
“Iya, iya, Pak maaf mungkin orang yang saya maksud udah pergi pakai kendaraan lain. Nanti saya transfer uang ongkos buat ganti rugi Bapak, ya!“
“Nah, gitu, dong! Ya sudah beneran transfer, ya, Mas.“
“Iya, Pak, maaf, ya!“
Tut …
Panggilan itu terputus. Tepat setelah Juna menyelesaikan masalahnya dengan supir taksi ia bangkit dan berjalan menuju balkon. Menatap tak ada tanda-tanda taksi masuk ke pekarangan rumah.
“Sebenarnya ke mana kamu pergi?“ tukas Juna dengan tangan terkepal.
***
Dara masuk ke dalam apartemennya. Apartemen miliknya yang diberikan oleh sang Papa saat ia berkuliah dahulu. Sejak menikah ia tak tinggal di sana lagi.
Dara memutuskan untuk tak pulang ke rumah malam ini. Perlakuan Juna membuatnya muak dan ia seperti tak punya lagi harga diri. Meski enam hari lagi kontrak mereka akan berakhir, Dara berniat untuk mempercepat proses perceraian itu dan melakukannya esok hari.
Ia sudah tak bisa lagi hidup bersama Juna.
“Halo.“
“Halo Mel,” ucap Dara begitu panggilan telepon yang ia tujukan pada sang sahabat mulai terdambung.
“Kenapa, Ra?“
“Mau titip izin, besok mungkin aku bakalan gak masuk ke sekolah.“
“Kenapa?“
“Mau ngurus sesuatu. Bakalan butuh waktu lama kemungkinan gak bisa masuk.“
“Kamu … ada masalah? Mau aku bantu? Atau aku temenin. Kamu mau urus surat perceraian, kan?“
Dara menggigit bibir. Suaranya tercekat tak bisa ke luar. Melisa mengenalnya lebih dari siapapun. Walau ia tak menceritakan perihal masalah yang ia alami saat ini. Namun sahabatnya itu bisa mengetahui dengan baik.
“Ra, kamu baik-baik aja, kan?“
“Mel,” Dara terisak seketika. Ditanya begitu justru air matanya malah tumpah. Ia memeluk bantal yang ada di sisinya dan menumpahkan tangis di sana.
“Sekarang kamu di mana? Biar aku ke sana.“
“Aku di apartemen, Mel. Jalan kucai.“
“Oke, tunggu aku dan jangan ke mana-mana. Aku segera ke sana.“
“Iya.“ Dara mengangguk. Panggilan itu tetutup begitu saja. Ia menenggelamkan wajahnya dan mulai menangis.
***
Juna bangun di pagi hari dan menatap sekeliling ruangan yang gelap. Ia menghidupkan lampu lalu melangkah ke luar dari kamar.
Dara masih belum pulang juga. Pintu kamarnya terkunci dan kondisi kamar itu dalam keadaan gelap gulita.
Juna menggeleng, ia mencoba mencari di dapur dan di segala ruangan. Namun, nihil, Dara tetap tak ada di mana pun.
Ia mengecek ponselnya, kali saja wanita itu menghubunginya. Namun sama sekali tak ada pesan dari Dara. Padahal, biasanya wanita itu rajin mengirimnya pesan walau ia tak pernah balas satu kalipun.
Entah pergi ke mana wanita itu.
Atau jangan-jangan pulang ke rumahnya dan mengabarkan perlakuan Juna padanya kemarin pada kedua orang tua Dara? Kalau benar begitu tak bisa dibiarkan. Juna dan Dara punya kesepakatan. Apa wanita itu mau melanggarnya?
Tiba-tiba saja Juna merasa kesal kalau yang ia pikirkan benar-benar terjadi. Ia bergegas masuk kembali ke dalam kamarnya untuk bersiap pergi ke kantor. Rencanya akan memgunjungi rumah orang tua Dara dahulu untuk melihat apakah Dara benar-benar ada di sana.
Beberapa menit berlalu, Juna sudah akan bergegas masuk ke dalam mobil saat dilihatnya sebuah taksi masuk ke pekarangan rumah.
Ia menunggu dan melihat siapa.yang datang. Kenapa Pak Mukhlis mengizinkan taksi tersebut masuk tanpa persetujuannya.
Pupil matanya melebar saat tahu Dara ke luar dari sana. Penampilan wanita itu sangat berantakan. Dengan langkah terseok berjalan melewatinya.
Juna yang terlanjur kesal menahan tangan Dara hingga langkah wanita itu terhenti. Kini berdiri di hadapannya.
“Kau darimana, hah?“ sengit Juna intonasi tinggi, membuat Dara sekejap memejamkan mata saat mendengar suara keras laki-laki itu.
“Apa kau pulang ke rumah orang tuamu dan mengadukan pada mereka perlakuanku padamu kemarin?“ Juna mengatakan dugaannya.
Dara yang berdiri di hadapannya dengan masih mengenakan pakaian seragaman pernikahan sepupu Juna kemarin, tampak menghela nafas dengan wajah lelah.
Dara sama sekali tidak menjawab pertanyaan Juna. Wanita itu malah berjalan melewati Juna hingga membuat laki-laki itu murka.
“Kau tuli? Tidak mendengar perkataanku?“ Juna menahan tangan Dara kembali hingga wanita itu berbalik dan menepis tangannya. Baru dilihatnya dengan jelas mata Dara membengkak dengan kilatan amarah di sana.
“Seharusnya kau menyadari perbuatanmu yang keterlaluan hingga membuatku muak dan tak pulang kemarin malam,” seru Dara dengan suara bergetar. Berusaha menahan air matanya karena teringat kejadian tadi malam. Saat Juna dengan tega meninggalkannya di jalanan.
“Aku? Apa yang kuperbuat?
“Kau meninggalkanku begitu saja di jalanan dan kau masih bertanya?“
“Aku sudah pesankan taksi untukmu, kau memangnya mengharapkan apa? Mengantarmu pulang sementara Diandra dalam keadaan gawat saat itu. Harusnya kau sadar posisimu!"
"Kau juga tak mengabariku kalau kau tidak menaiki taksi yang kupesan. Kau menyebabkan aku dianggap tukang tipu oleh si sopir taksi. Kau tahu itu? Tidak, kan? Kau terlalu mementingkan dirimu sendiri.“
Dara menggigit bibirnya kuat seraya memejam. Menahan untuk tak membalas perkataan Juna meski ia ingin. Karena Dara tahu hal itu akan memperkeruh suasana.
“Aku sudah putuskan,” ucap Dara kemudian. “Kita akan bercerai lebih cepat dari kontrak yang sudah diajukan. Aku tidak ingin tinggal bersamamu. Aku akan pergi dan membawa barang-barangku hari ini,” ucap Dara penuh penekanan.
Setelah mengatakan itu ia berbalik dan meninggalkan Juna yang terpaku. Menatap punggung Dara yang perlahan menghilang di balik pintu. Masih berusaha mencerna maksud perkataan wanita itu.
Cerai?
Bab 6
Cerai?
Sepanjang jalan sembari mengendarai mobil Juna terus memikirkannya. Seharusnya ia senang, tapi kenapa saat melihat Dara mengatakan hal tersebut dengan tatapan terluka membuat ia sedikit … iba?
Gila! Gila! Ia pasti sudah tidak waras?
Lagipula ini keinginannya, kan. Mempercepat waktu perceraiannya dengan Dara bukankah semakin mempercepat Juna menikah dengan Diandra, wanita yang ia impikan untuk ia nikahi selama ini.
Ya, seharusnya Juna memang senang. Kepergian wanita itu dengan barang-barangnya menggunakan taksi tadi adalah awal yang baik, kan? Juna sendiri tak tahu ke mana tujuan wanita itu pergi.
Namun, itu bukan urusannya sekarang ….
Ciiiit!
Juna ngerem mendadak. Pikirannya membuat Juna tidak fokus. Ia hampir menabrak seorang nenek-nenek yang sedang menyebrang jalan sembari membawa bakul dagangan.
Jantung Juna berdebar keras. Meski tak menabrak, namun keberadaan mobilnya membuat sang Nenek mungkin terkejut dan menjatuh semua dagangan yang sedang wanita tua itu panggul.
Juna meringis kala teriakan dan sumpah serapah terdengar saat ia ke luar dari mobil untuk melihat keadaan sang Nenek. Ini memang salahnya dan ia harus tanggung jawab walau mendapat ujaran kebencian.
“… makanya kalau nyetir yang fokus, Mas ….“
“… iya nih, mentang-mentang naik mobil ….“
“… percuma ganteng wae tapi akhlak minus ….“
Juna hanya bisa membungkuk sembari mengucapkan kata maaf saat bisik-bisik itu terdengar di telinganya. Sampai akhitnya ia sampai di tengah kerumunan dan menatap sang Nenek yang sedang memunguti dagangannya.
“Maaf, Nek. Nenek tidak apa-apa?“
Nenek tua dengan songkok di kepalanya itu menggeleng. Juna ikut membantu, walau begitu ia tahu sang Nenek tampak tak baik-baik saja. Mata sang Nenek menatap nanar ke arah bakul jualan yang sudah berserakan di tengah Jalan.
Juna membantu sang Nenek dan dagangannya melipir ke pinggir jalan setelah mengamankan mobilnya agar tak menjadi penyebab kemacetan.
Sang Nenek masih terdiam sembari sesekali mengusap sudut matanya dengan ujung kain jarik lusuh yang ia kenakan.
“Saya akan ganti, Nek. Berapa kerugian yang harus saya bayarkan?“ tanya Juna sembari mengeluarkan dompet dari dalam saku celananya.
“Tidak usah, Nak.“
“Saya serius Nek. Ini salah saya karena menyetir tidak hati-hati. Maaf, saya sedang banyak pikiran hingga tidak melihat nenek tengah menyebrang tadi. Jadi, saya harus bertanggung jawab atas kesalahan yang saya perbuat.“
Nenek itu memandang Juna lekat. Kemudian menepuk pundak Juna dengan pelan.
“Kau mengerti arti tanggung jawab dengan baik anak muda.“
“Terima kasih, Nek. Maka dari itu saya harus membantu Nenek.“
“Kau serius ingin membantuku?“
“Ya.“
“Sebenarnya kau tak perlu melakukan itu karena sekarang aku sepertinya akan menyerah saja. Saat ini anakku sedang terbaring di rumah sakit dan dia butuh biaya perawatan yang begitu banyak.
Hari ini adalah jadwal operasinya dan jualanku ini adalah usahaku yang terakhir karena setelahnya aku tak punya uang lagi. Saat kau menabrakku aku sudah pasrah. Mungkin memang jalannya anakku tidak bisa ….“
“Saya akan membantu.“
“Tidak usah, Nak. Biaya kerugian yang kau berikan juga tak akan cukup untuk membayarnya. Aku yang tak tahu diri, seharusnya orang miskin sepertiku menyerah saja pada takdir.“
Sang Nenek berkata dengan pandangan menerawang. Tatapannya kosong dengan mata berkaca. Guratan-guratan kecewa saat menatap dagangannya yang rusak membuat rasa bersalah Juna kian menjadi.
“Jangan begitu, Nek. Selama hidup dan masih mau berusaha Nenek punya kesempatan kedua. Mungkin bertemu dengan saya adalah kesempatan itu. Saya akan membayarkan semuanya. Semua biaya yang Nenek perlukan untuk operasi anak Nenek. Berapa uang dibutuhkan untuk itu.“
“Banyak Nak, itu akan merepotkanmu.“
“Saya memang sengaja ingin direpotkan, Nek. Jangan sungkan, katakan saja berapa biayanya.“
“Mereka bilang biayanya sepuluh juta,” ucap Sang Nenek dengan mulut bergetar.
“Saya akan membayarnya. Saya akan membantu Nenek dan mengurus semuanya. Jika dengan begitu saya bisa menebus kesalagan yang saya perbuat pada Nenek.“
“Terima kasih, terima kasih banyak, Nak.“
“Kalau begitu Nenek ikut dengan saya untuk membawa saya ke sana. Di mana rumah sakitnya, Nek?“
“Nenek lupa namanya, tapi Nenek ingat dengan jalannya.“
Juna mengangguk, baginya itu sudah cukup. Membereskan dagangan sang Nenek dan membawanya masuk ke dalam mobil. Ia dan Nenek itu berangkat menuju rumah sakit yang di maksud.
***
Juna menepati janji, ia menandatangani berkas administrasi untuk perawatan anak sang Nenek juga memindahkannya ke unit ke unit perawatan khusus dan membiayai seluruh administrasi itu sampai selesai.
Hal itu begitu saja ia lakukan karena melihat anak sang Nenek dengan kondisi yang begitu memprihatinkan. Tubuh kurus bak tulang dan dikelilingi berbagai macam selang di tubuhnya.
Juna pikir, anak itu juga tak pernah mendapat gizi yang baik selama ini mengingat biaya perawatannya juga tak mampu untuk dibayarkan.
Tepat setelah Juna menyelesaikan semua administrasi yang diperlukan. Anak sang Nenek dibawa menuju ruang operasi untuk ditangani.
Semua masalah akan cepat diproses jika uang sudah turun tangan.
“Kalau nanti Nenek butuh bantuan saya lagi. Nenek bisa menghubungi saya di nomor ini!“ Juna menyerahkan kartu namanya yang diterima dengan tangan bergetar oleh sang Nenek.
“Terima kasih, Nak. Terima kasih atas bantuanmu. Kau orang paling baik yang pernah Nenek temui selama ini.“ Nenek itu berucap dengan mata berkaca-kaca sembari menggenggam tangannya. Orang-orang yang berlalu lalang di sekitar rumah sakit memperhatikan keduanya dengan tatapan heran.
Juna tersenyum canggung juga merasa malu. Sang Nenek memperlakukannya secara berlebihan. Perlahan melepaskan genggaman tangan itu.
“Sama-sama, Nek. Sudah kewajiban saya sebagai bentuk tanggung jawab.“
“Nenek tak tahu dengan apa Nenek harus membalasmu. Sebagai ucapan terimakasih Nenek, terimalah ini!“ sang Nenek memegang lehernya. Melepaskan sebuah benda dari sana. Meletakkannya di tangan Juna.
Laki-laki itu menatap kalung liontin bulat kecil di tangannya dengan lekat. Kalung itu tampak antik walau sedikit lusuh di beberapa sisi.
“Ini jam liontin, pemberian ibu Nenek. Karena kamu orang yang baik kamu pantas mendapatkannya.“
“Ah, tidak. Saya tidak bisa memilikinya, ini memiliki nilai sejarah. Saya tak bisa menerimanya, Nek.“
“Terimalah, aku mohon. Hanya ini benda berharga satu-satunya yang aku punya. Kamu akan membutuhkan benda ini suatu saat nanti.“
Juna merasa bimbang. Walau menolak beberapa kali sang Nenek tetap memaksa. Akhirnya mau tidak mau ia menerima kalung tersebut dan mengantunginya.
Kalau dipikir untuk apa kalung itu padanya. Ia tak bisa memakainya juga. Hanya saja bernilai sejarah bagi sang Nenek. Untuk menghargainya, Juna menerima walau berulangkali menolak.
“Semoga takdir baik selalu menyertaimu!“ ucap sang Nenek setelah kalung dengan liontin jam itu berpindah tangan ke Juna.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
