
Jaka memicing, siang ini setelah satu minggu berusaha menenangkan diri di kota atas saran Ustad Ahmad, Berusaha berdamai dengan keadaan dirinya dan musibah yang menimpa. Jaka memutuskan untuk kembali ke Desa….
Bab 1 : Kematian Ustad Ahmad
Jaka memicing, siang ini setelah satu minggu berusaha menenangkan diri di kota atas saran Ustad Ahmad, Berusaha berdamai dengan keadaan dirinya dan musibah yang menimpa. Jaka memutuskan untuk kembali ke Desa.
Namun, bendera kuning di depan tugu masuk Desa sejenak membuatnya tertegun kala ojek yang mengantarkannya menurunkan ia di sana.
Meski teror Asih sudah tak lagi menghantui dan keluarganya sudah dimakamkan dengan layak tak lantas berita yang terlanjur menyebar tentang arwah Asih yang gentayangan itu surut. Beberapa dari tukang ojek pangkalan itu masih terlalu takut untuk masuk ke dalam Desa.
Tak sempat bertanya pada sang tukang ojek, lelaki yang mengantarnya sudah keburu pergi. Langkahnya ia percepat, sampai di beberapa rumah penduduk yang tampak sepi.
Tepat di depan sebuah rumah dengan warung di depannya para warga berkumpul. Berjejar, rata-rata menangis dalam diam sembari menggumamkan nama yang Jaka kenali.
Ia mengerjap, terdiam di tempat dengan tubuh membeku. Ucapan dukacita pada papan nama yang tertera di depan rumah itu membuat seluruh persendiannya lemas seketika.
Ustad Ahmad, tidak mungkin ....
Ia menyeruak kerumunan orang-orang yang berkumpul di depan rumah Ustadz Ahmad. Tak akan percaya sebelum melihat sendiri.
Tasnya terjatuh di lantai kala ia melihat jasad Ustadz Ahmad terbujur kaku di atas dipan. Tertutup kain jarik dengan dua kapas menutung hidung dan telinga. Wajah pucat tanpa rona itu membuat ia menggeleng dengan mata berkaca.
Tidak mungkin ....
"Abah," bisiknya lirih. Namun kehadirannya mampu menarik perhatian orang-orang yang sedang mengaji termasuk Gayatri yang sedang menangis sesenggukan hingga matanya bengkak di samping jenazah sang Ayah.
"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un," ucap Jaka dengan perlahan mendekat. Memegang jasad yang sudah kaku dan berkulit dingin itu dengan tangan gemetar.
Tidak!
Tidak lagi!
Setelah istrinya, Maknya dan anaknya. Kenapa ia harus kehilangan lagi orang-orang yang ia kasihi? Abah telah menjadi tempat bersandarnya saat ia terpuruk atas musibah yang menimpa.
Lalu, saat Jaka mulai merasa ikhlas, sudah mulai berdamai dengan keadaan. Kenapa ia harus diuji lagi dengan kehilangan orang yang ia sayang.
Apakah semua ujian yang ia hadapi tak cukup? Kenapa cobaan ini terus datang bertubi-tubi di hidupnya?
"Allah!" Jaka memejam, bahunya berguncang keras. Mati-matian berusaha ia tahan air matanya agar tidak tumpah. Semua orang yang ada di sana tak kuat saat melihatnya juga tumpah dalam tangisan.
Semua warga Desa tahu apa yang menimpa Jaka. Semua orang tahu sebesar apa bantuan Ustadz Ahmad untuk menolong dan membesarkan hati Jaka saat mendapat musibah yang tidak bisa dibilang kecil itu.
Semua warga tahu kalau Ustadz Ahmad banyak memiliki andil dalam kehidupan Jaka setelah ia pulang dari merantau dan mendapati keluarganya sudah meninggal.
Semua warga desa juga tahu, karena kekhawatiran Ustadz Ahmad dan pertolongan Allah Jaka masih selamat sampai sekarang. Kalau tidak ia pasti sudah mati karena jatuh di tepi jurang malam itu.
Semua orang juga tahu bagaimana kepedihan hati Jaka saat ditinggal pergi Ustadz Ahmad. Tak cuma Gayatri, seolah semua orang juga mengalami kesedihan yang sama. Kepergian Ustadz Ahmad yang tiba-tiba seolah luka.
Lelaki yang gemar mengisi cermaah dan menjadi imam shalat di surau itu telah banyak meninggalkan kenangan bagi warga. Jasanya sangat banyak di Desa ini.
"Lantas ... apa yang sebenarnya terjadi Abah? Kenapa meninggalkan Jaka dan semua orang tiba-tiba seperti ini?" ucapnya dalam hati dengan nada tak rela.
***
Semua berlalu begitu saja. Pemakaman Abah dilaksanakan ba'da shalat dzuhur. Begitu ramai yang datang hingga para jamaah meluber sampai ke teras surau. Tak cuma penduduk Desa ini, tapi penduduk Desa sebelah juga banyak yang sudah berdatangan.
Abah banyak dikenal orang memang. Sewaktu kecil Jaka sering mengaji dengan Abah sampai ke Desa sebelah. Hingga Abah pindah ke Desa tempat Jaka tinggal tak ada satu orang pun yang melupakan kebaikannya.
"Tri masih tidak percaya."
Jaka menoleh, tak jauh dibelakangnya setelah jenazah Abah selesai dikuburkan. Gadis bernama Gayatri itu masih menangis sesenggukan di pelukan seorang wanita yang Jaka ketahui sebagai Adik Abah, Bibi Gayatri.
Sedari tadi Gayatri tampak rapuh, berulangkali mencoba mendekati makam Abah tapi ia selalu tersungkur jatuh karena tak kuat melihat Abah dikuburkan. Jadi, sang Bibi yang merupakan keluarga dekat Gayatri yang sedari tadi berusaha menenangkan sang keponakan.
"Tri begitu terpukul, Abah memang sangat baik. Kepergiannya terlalu tiba-tiba hingga menyesakkan dada."
Kali ini Jaka menoleh ke depan, seorang pemuda dengan baju koko berwarna coklat tengah menatap makam Abah dengan mata berkaca. Sorot matanya penuh kepedihan, namuk ia tampak tegar.
Guratan wajah yang hampir sama dengan Abah, keduanya memiliki kemiripan di bagian mata. Namun Jaka tidak tahu siapa lelaki ini meski tadi ikut membantunya menurunkan jenazah Ustadz Ahmad ke liang lahat.
"Abah ... sakit apa memangnya?" tanya Jaka pelan. Entah kenapa instingnya mengatakan pemuda itu tahu sesuatu.
Pemuda itu menoleh, menatap Jaka dengan mata memicing. Lalu setelahnya menghela nafas dengan berat.
"Abah tidak sakit apa-apa."
"Lantas?"
"Saya juga tidak tahu. Tapi robekan diperutnya membuat saya berpikir Abah diserang binatang buas pada awalnya saat berjalan-jalan di hutan."
"Robekan perut?"
Pemuda itu mengangguk. "Apa Akang tidak tahu?"
Jaka menggeleng. "Saya baru pulang dari kota. Satu minggu yang lalu bertemu dengan Abah, beliau masih sehat wal'afiat. Bahkan membantu saya di tengah keterpurukan setelah ditinggal istri, anak dan Mak saya. Makanya saya sangat terkejut mendengar kabar ini. Seolah mimpi di siang bolong, terlalu mengejutkan dan tiba-tiba. Saya tidak ingin percaya sebenarnya."
"Akang ini ... Kang Jaka?"
"Benar sekali? Kamu tahu nama saya?"
"Ya Allah tidak mungkin saya lupa. Saya Maulana Kang, sepupunya Gayatri. Yang sering bermain dengan akang dan teman-teman akang waktu kecil, dengan Kak Gayatri juga."
Maulana juga tidak mungkin lupa. Kisah Jaka yang cukup fenomenal tentang kematian keluarga lelaki itu sudah tersebar sampai ke Desa sebelah di mana Maulana tinggal.
Jaka terdiam sesaat, setelahnya mengingat sesuatu. Dahulu saat ia masih kecil, selain Gayatri yang selalu ditimang-timang Ustadz Ahamd sembari mengajar mengaji. Ada seorang bocah lelaki yang selalu duduk di samping Ustadz Ahmad dengan ingus meler dan meleber ke sana ke mari. Ia belum bisa bicara dengan jelas. Tapi tiap kali Jaka mengaji, mulut bocah itu selalu mengikuti suara yang ia keluarkan.
Dialah bocah itu, yang kini berdiri di hadapannya dengan tampang berbeda hingga Jaka sama sekali tak mengingatnya. Maulana tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan gagah tubuhnya. Membuat Jaka nyaris tak percaya.
"Kamu beneran Maulana?"
"Tentu saja, Kang. Sudah lama tidak jumpa dengan Akang, saya memang jarang ke tempat Abah. Tidak menyangka pertama kali jumpa setelah bertahun lamanya malah di tengah kabar duka seperti ini."
"Saya baik Lana, saya juga satu tahun yang lalu pergi merantau saat Ustadz Ahmad pindah kemari."
"Ah, pantas saja. Tapi menurut saya, kematian Abah terlalu janggal Kang. Saya ingin sekali menyelidiki ini namun tidak ada bukti yang kuat."
"Maksudmu?"
"Bekas robekan dan luka Abah menghitam. Banyak lebam-lebam kebiruan di tubuh Abah. Entah kenapa saya yakin kalau Abah bukan diserang binatang buas. Saya yakin ada seseorang yang menyerang Abah dengan sengaja. Dan orang ini punya ilmu hitam. Bekas luka itu, bukan bekas luka biasa."
Bab 2 : Siapa Itu?
Tiga hari berlalu dengan satu kejanggalan tersisa. Sementara perkataan Maulana terus terngiang di pikiran Jaka. Kematian Ustad Ahmad juga menjadi misteri aneh yang belum terpecahkan di kepalanya atau ini hanya sekedar ketidakrelaan Jaka semata.
Kali ini, senja di ufuk barat sana tampak lebih sendu dari biasanya. Sayup-sayup suara adzan maghrib mulai terdengar dari surau.
Adzan maghrib tanpa Ustadz Ahmad. Biasanya juga lelaki itu yang sering adzan di surau. Kali ini, panggilan adzan tampak berbeda dari biasanya. Tak cuma Jaka, semua warga Desa turut merasakan hal yang sama.
Kehilangan? Sudah pasti. Kali ini shalat maghrib menjadi yang paling panjang karena imam dan makmum yang melaksanakan sama-sama menangis karena merindukan lelaki paruh baya itu.
Usai shalat isya, Jaka beranjak dari surau bersama Maulana. Surau dikunci karena jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Keduanya adalah jamaah terakhir yang masih berada di sana.
Maulana yang memegang kunci, jika itu biasanya yang Ustadz Ahmad lakukan. Kini Maulana yang bertanggung jawab sementara pengganti ustadz Ahmad akan ditetapkan.
"Kak Tri sangat memprihatinkan, dia tidak mau makan dan keluar dari kamar. Ibu terus membujuknya untuk keluar, tapi sangat susah. Aku sangat khawatir padanya," ucap Maulana mengawali percakapan mereka setelah keluar dari surau beberapa saat lalu.
"Dia kehilangan ibunya saat masih kecil, lalu sekarang Abah meninggalkannya, wajar ia sangat terpukul sekarang."
"Entah kenapa Lana masih belum rela, Kang. Bagi saya sosok Abah itu sangat berarti, tiba-tiba meninggalkan kami seperti ini, rasanya saya masih tidak bisa ikhlas."
"Kematian itu takdir, Lana, gak akan ada yang bisa mengubahnya. Sejak kamu diciptakan, takdir kamu sudah ditentukan. Hidup seperti apa, mati bagaimana, seberapa rezeki yang kamu punya. Awalnya memang berat, ikhlas itu susah, Akang gak akan minta kamu untuk melakukan hal itu sekarang. Tapi jangan terlalu meratap, tak baik untuk Abah yang sudah berada di sana."
"Masih belum percaya saja, Kang."
Jaka menghela nafas saat menatap wajah sendu Maulana. Ia merangkul pundak lelaki itu dengan erat, memberikan sedikit kekuatan yang ia punya.
Jaka pernah kehilangan, ia tahu rasanya. Tak cuma satu, tapi tiga sekaligus dan Ustadz Ahmad yang membantunya untuk bangkit dan berusaha ikhlas merelakan hal itu.
Kini, Jaka merasa ia juga harus berkewajiban untuk melakukan hal yang sama pada keluarga Ustadz Ahmad, mereka sedang membutuhkan dukungan saat ini.
Bugh!
Keduanya tersentak kaget bersamaan. Terdiam beberapa saat setelah mendengar suara itu. Saling pandang kemudian.
Suara benda berat jatuh dari sisi sebelah kiri, tempat di mana banyak pohon kelapa yang tumbuh. Maulana sudah hendak menoleh, namun Jaka dengan cepat menahan pergerakan pemuda itu.
"Kenapa Kang?"
"Jangan lihat!"
"Kenapa? Cuma kelapa jatuh, kan?"
Jaka mengerjap, beberapa saat diam karena bingung untuk menjelaskan hal ini. Sebenarnya mitos dari jaman dahulu, dan itu terngiang-ngiang sampai sekarang.
Kalau malam hari ada bunyi kelapa jatuh atau yang lainnya jangan pernah datangi atau melihat karena penasaran.
"Gundul pringis," bisik Jaka pelan pada Maulana. Pemuda itu terbelalak, keduanya lalu berjalan cepat meninggalkan tempat itu tanpa menoleh kembali ke belakang.
Sementara sesuatu bergerak cepat melesat dari balik pohon yang satu ke pohon yang lain. Dengan tatapan tajam memperhatikan langkah keduanya yang semakin lama semakin cepat.
****
"Kenapa ngos-ngosan begini?" tanya Sumiah yang kebetulan sedang berada di luar rumah saat melihat Jaka dan Maulana tengah terengah-engah di depan rumah.
"Tadi ada bunyi kelapa jatuh saat di jalan, Bu," ucap Maulana sembari menjelaskan pada ibunya.
Sumiah terdiam sejenak, ia menatap Jaka yang tersenyum samar. Mitos antar desa itu tak sekedar mitos belaka. Sumiah mengerti, kelapa jatuh pada malam hari bisa berarti memang kelapa jatuh atau malah kepala yang sedang menggelinding iseng.
"Oh pantas saja, ya sudah masuk ayo! Nak Jaka ayo mampir dulu!"
"Tidak Bi, saya pulang saja."
"Gak mau masuk dulu, Kang?" tanya Maulana.
"Tidak, Lana, lain kali saja. Yuk Bi, Lana, saya pulang dulu."
Maulana dan Sumiah mengangguk. Keduanya masuk ke dalam rumah sesaat setelah Jaka berbalik badan. Hari ini warung Ustad Ahmad masih tutup. Hal itu membuat jalanan juga lebih sepi dari biasanya.
Suasana kampung di malam hari juga sangat sepi setelah isya. Sebenarnya teror Asih sudah tak ada lagi dan juga tak ada alasan warga desa untuk tak berani keluar di malam hari.
Namun, karena sudah menjadi kebiasaan. Para warga desa kini terbiasa tidak keluar malam hingga membuat desa terasa lebih sunyi dari biasanya.
Sesekali bunyi binatang malam yang bersahut-sahutan mengiringi langkah Jaka. Angin malam berdesir pelan, entah kenapa selain dirinya tak ada lagi warga yang lewat. Pelan membelai tengkuk, membuat sensasi merinding.
"Mas Jaka!"
Jaka berhenti melangkah. Sayup-sayup suara yang terbawa angin itu membuat ia menoleh ke belakang seketika. Ia berbalik badan, menatap sekeliling jalanan yang tampak kosong. Tak ada siapapun di belakangnya, di depannya ataupun di sampingnya.
Jaka mengusap tengkuk, mulai berjalan kembali. Entah kenapa kali ini terdengar bunyi langkah mengikuti di belakangnya.
Jaka berhenti, ia terdiam sejenak di tempatnya berdiri. Suara langkah kaki itu juga berhenti. Alisnya bertaut bingung, seketika menoleh ke belakang kembali.
Wush!
Angin berdesir pelan, berhembus mengenai wajah Jaka. Sekujur tubuhnya sekarang terasa merinding luar biasa. Tak ada siapa-siapa di belakangnya.
Apa ini?
Bukankah Asih sudah tenang? Bayi dan Maknya juga sudah dikuburkan dengan layak. Kenapa ia malah mendapatkan gangguan seperti ini?
Perlahan Jaka berbalik kembali, kali ini melangkah lebih cepat. Suara langkah kaki yang mengikutinya di belakang mulai terdengar kembali.
Jaka berjalan semakin cepat, bahkan setengah berlari sekarang. Tubuh bagian belakangnya terasa dingin seolah memang ada sesuatu yang memang mengikuti.
Suara langkah kaki di belakangnya juga semakin cepat sekarang. Maka, Jaka tak lagi berpikir lambat, ia berlari sebisa mungkin menuju rumahnya. Firasatnya terus mengatakan sesuatu yang buruk akan terjadi jika ia menoleh ke belakang.
Jaka bergegas mengeluarkan kunci dari kantung setelah tiba di halaman rumah. Lalu membuka pintu dengan cepat dan segera menguncinya tanpa sempat menoleh ke belakang kembali.
Nafasnya terengah, bersandar ke pintu. Hening menyelimuti, tak ada suara langkah kaki yang membuatnya ketakutan seperti tadi.
Jaka bernafas lega sembari mengurut dada. Mungkin karena ia terlalu takut dan yang ia dengar tadi hanyalah halusinasinya belaka. Entahlah.
Jaka beranjak dari pintu, sudah hendak melangkah pergi masuk ke dalam kamarnya. Namun, sesuatu yang terdengar samar mengusik indra pendengarannya.
Sontak Jaka berbalik, engsel pintu rumahnya bergerak pelan. Lubang kunci pintu rumahnya juga berbunyi seperti di otak-atik.
Jaka menahan nafas, ia mundur beberapa langkah. Karena sekarang suara engsel yang dinaikturunkan itu semakin kuat.
Tak! Tak! Tak!
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
