
Ia tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya lagi. Dengan gerakan cepat Jaka membuka kain jarik yang menutupi wajah anaknya.
Oee … oee ….
Bayi kecil itu menangis seketika. Wajahnya memerah dengan bibir terbuka. Suara tangisan itu terdengar sangat menyayat hati.
Bab 3 : Kabar Burung
Ia tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya lagi. Dengan gerakan cepat Jaka membuka kain jarik yang menutupi wajah anaknya.
Oee … oee ….
Bayi kecil itu menangis seketika. Wajahnya memerah dengan bibir terbuka. Suara tangisan itu terdengar sangat menyayat hati.
Pegangan tangan Asih melemah. Wanita itu melirik sinis ke arah Jaka. Laki-laki itu menggaruk kepalanya yang tak gatal karena merasa bersalah.
“Kan, sudah Asih bilang jangan! Kenapa Mas ngeyel, sih?“ tukas wanita itu sembari mengambil bayi mereka dan mendekapnya. Menimang-nimang bayi kecil itu agar menghentikan tangisannya.
“Maaf, Asih. Mas hanya tidak enak melihat anak kita berbaring ditutupi seluruh tubuhnya begitu.“ ucap Jaka lirih. Namun, meski begitu ada kelegaan di hatinya karena kecurigaannya tak berarti.
Lagipula mikir apa dia tadi? Tidak mungkinkan bayinya sudah….
“Memang begini Yusuf tertidur, Mas. Lagipula ini jadi kerjaan Asih lagi. Susah mendiamkan tangisan Yusuf. Mas, kan, tidak merasakan jadi tidak tahu."
Dada Jaka serasa dihantam sesuatu. Ia menyadari kesalahannya karena tak ada di samping Asih kala wanita itu mengurus anak mereka.
Tapi semua sudah terlanjur. Toh, dia pergi juga untuk mencari nafkah. Dan sekarang sudah kembali lagi ke sini. Ia bertekad dalam hati untuk memperbaiki dan menjalani hal-hal yang sempat tertinggal karena telah pergi merantau.
Dan … ia juga berjanji tak akan meninggalkan Asih dan anak mereka untuk yang kedua kali. Karena rasa rindu selama berada di perantauan benar-benar menyiksanya.
Karena kontrak kerjalah makanya ia bertahan. Sebab kalau tidak, saat ponselnya hilang dan Jaka putus komunikasi dengan Asih. Ia akan balik ke Desa saat itu juga.
Jaka mendekat Asih dengan netra berembun. Ia mengelus pipi anaknya yang berada dalam dekapan istrinya itu. Namun, seketika alisnya bertaut saat pipi itu terasa dingin menyentuh kulit tangannya. Sama seperti kulit Asih tadi.
“Kulitnya dingin, Asih. Anak kita kedinginan. Tambahkan saja selimutnya!“ Jaka mengambil satu buah kain dan memberikannya pada Asih. Wanita itu menatap kain pemberiannya dengan wajah datar.
“Tidak usah, dia baik-baik saja, Mas.“
“Tapi …”
“Lebih baik Mas keluar dulu! Jangan ganggu aku! Yusuf itu sensitif, dia tidak akan mau tidur kalau ada suara berisik.“
Jaka mengerjap, dilihat anaknya yang sudah tak menangis namun masih bergerak-gerak gelisah. Ia meletakkan kembali kain di tangannya.
“Baiklah kalau begitu. Maafkan Mas, Asih, karena menambah kerjaanmu.“
“Ya, tak masalah, Mas.“
Jaka menghela nafas, keluar dari kamar. Ia melangkah menuju dapur karena perutnya sedikit melilit karena rasa lapar yang mendera. Tadi, Asih mengajaknya keluar untuk memasakkannya makanan. Namun, apa daya hal itu tertunda sejenak.
Dan itu semua sebab kecurigaannya.
Lagipula siapa yang tak akan merasa aneh jika melihat bayi malam-malam tidur dengan kain menutup seluruh tubuh. Jaka sempat ketakutan tadi saat melihat hal itu.
Ia menelisik ruangan di dapur. Membuka kendi yang menjadi tempat persediaan beras. Dahinya berkerut saat melihat beberapa kutu merayap di sana. Beras-beras yang sudah tak layak untuk dimasak, apalagi dikonsumsi.
Jaka menyiduk isi beras yang sudah berjamur dan menghitam itu. Membuangnya ke dalam kantung plastik. Membersihkan isi kendi itu dari kutu-kutu yang meraya.
Sejenak, ia menoleh ke arah pintu masuk dapur.
“Sampai berjamur seperti ini. Apakah Asih tidak memasak nasi selama beberapa bulan?“ ucapnya lirih. Kini pandangannya tertuju pada meja makan.
Baru disadarinya ada beberapa lalat yang berkerubung di sana. Sontak, ia berjalan mendekat. Bau busuk memenuhi indra penciumannya.
Beberapa makanan itu sudah basi dan berlendir. Menimbulkan bau busuk yang amat sangat. Jaka mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah.
Sebenarnya kenapa lauk ini sampai basi. Apa Asih juga tidak makan? Apa dia tidak sadar kalau beras sudah membusuk dan lauk tak bisa dikonsumsi.
Kalau alasannya karena mengurus bayinya Yusuf, bukankah ada Mak Ida di rumah ini?
Entahlah, Jaka bingung. Sejak pulang banyak sekali keanehan yang terjadi di rumah ini. Sangat tidak lazim.
Ia mengurungkan niat akhirnya. Membuang makanan itu ke dalam kantung plastik di tangan. Lantas melangkah keluar dari rumah tanpa sepengetahuan Asih. Ia berniat untuk membeli beberapa kebutuhan pokok di warung.
Mengingat keadaan memprihatinkan di rumah ini juga karena ulahnya yang tak kunjung pulang ke rumah.
Jaka menyusuri jalanan berbatu Desa yang lengang. Posisi rumah yang renggang antara satu dengan lainnya membuat keadaan sangat sunyi di tambah pohon-pohon getah di segala sisi.
Warga Desa pada malam hari tak ada yang keluar. Agak membingungkan Jaka karena dahulu, saat habis maghrib masih banyak anak-anak yang keluar untuk bermain atau berlarian menuju surau terdekat.
Kali ini sepi seperti Desa Mati. Bahkan Jaka ragu jika satu dua rumah di Desa ini ada penghuninya.
Ia sampai di sebuah warung yang ternyata lumayan dekat dari rumahnya. Tadi saat ia berjalan ia tak melihat ada warung ini. Mungkin saja sedang tutup karena maghrib. Lagipula ini mesti warung baru. Karena dahulu, warung susah di dapatkan di sini. Tunggu berjalan agak jauh sampai ke tugu Desa, baru menemukan warung.
“Assalammu'alaikum, Mbak.“ Jaka berucap pada seorang gadis dengan hijab lebar yang sedang merapikan jajanan. Gadis itu menoleh seraya tersenyum ramah.
“Mau beli apa, Kang?“
“Berasnya dua kilo, ada?“
“Oh, nggeh, tunggu sebentar, ya!“
Jaka mengangguk, memperhatikan seisi warung itu. Ia mengambil beberapa kerupuk yang menarik selera.
“Ada lagi, Kang?“ tanya gadis hijab lebar itu dengan satu kantung plastik berisi beras di tangannya.
“Sama mie instan, mbak, lima bungkus dan telurnya lima butir.“
Gadis hijab lebar itu dengan cekatan memasukkan pesanan Jaka ke dalam kantung plastik.
“Ada lagi?“
“Ehm… sama kerupuk yang ini. Totalnya berapa?“
“Empat puluh tujuh ribu.“
Jaka merogoh kantung celananya. Mengeluarkan beberapa lembar uang merah. Meraihnya satu lembar dan memberikannya pada gadis itu.
“Sebentar kembaliannya, ya, Kang.“ Gadis itu masuk kembali ke dalam warungnya, mengambil duit kembalian Jaka.
“Tri, Wak beli telur tiga butir!“
Suara dari belakang Jaka. Ia menoleh untuk melihat sosok dari suara tersebut. Begitu bertemu pandang, ia tersenyum ramah.“
“Apa kabar Mak Ita.“
“Astaghfirullahal'adzim!“ seru Mak Ita sembari mundur ke belakang. Ia bahkan hampir jatuh karena bertubrukan dengan meja yang digunakan untuk meletakkan sayuran.
“Ya Allah, Mak, hati-hati!“ Jaka mendekat hendak membantu. Namun, Mak Ita mundur-mundur menjauhinya.
“K—kamu siapa? Kenapa mirip sekali dengan Jaka?“ tanya Mak Ita dengan bibir bergetar dan wajahnya pucat pasi.
“Saya memang Jaka, Mak. Siapa lagi?“ ucap Jaka heran melihat perilaku sahabat ibunya itu.
Gadis dengan hijab lebar yang tadi mengambil kembalian juga penasaran dengan apa yang terjadi. Ia buru melangkah ke depan setelah menghitung uang kembalian Jaka.
Suara Mak Ita yang keras dan keributan itu mengundang beberapa warga Desa keluar dari rumahnya.
“Jaka? Jaka anaknya Ida?“
“Iya, Mak.“
“Allahu Akbar!“ Mak Ita memegangi dadanya, sembari terduduk lemas.
“Mak, Mak kenapa, Mak?“
“Ya Allah Jaka!“ seru seseorang dari salah satu warga desa, yang penasaran dengan keributan di warung gadis hijab lebar itu.
Mak Sri, kawan maknya Jaka sekaligus kawan Mak Ita juga. Wanita tua dengan songkok di kepalanya itu menunjuk Jaka sembari menutup mulut.
“B—bukannya kamu udah meninggal?“
Bab 4
Jaka terpaku dengan wajah melongo.
Meninggal?
Ia masih ada di sini, kenapa orang-orang menyatakannya begitu.
Maka, dalam sekejap saja. Berita tentang Jaka menyebar dan warung itu semakin ramai. Banyak orang-orang dengan wajah yang Jaka kenal maupun tidak ia kenal mulai berdatangan. Mereka bisik-bisik sembari menatapnya.
“Saya masih hidup, Mak. Kalau tidak saya tidak mungkin ada di sini. Mak Ita, Mak Sri, kalau tidak percaya bisa pegang tangan saya,” ucapnya sembari mengulurkan tangan.
Mak Ita dan Mak Sri saling berpandangan. Keduanya saling dorong untuk menyentuh tangan Jaka. Hingga Mak Sri terbelalak saat menyentuh kulitnya yang hangat.
“Manusia Mbak Yu,” tukasnya pada Mak Ita. Wanita tua itu juga ikut menyentuh.
“Akang ini memang manusia, Wak. Duit yang dikasi sama Tri juga asli, gak berubah jadi daun.“ Si gadis berhijab lebar itu menjelaskan.
" ... pantas maghrib tadi bertemu di jalan, memang Jaka toh .... "
" ... iya sempat takut, kirain hantu tadi .... "
" ... beneran Jaka ternyata .... "
Jaka mendengar bisik-bisik itu dengan raut bingung. Sejenak tahulah ia kenapa orang-orang berlari menghindarinya saat ia memasuki kampung tadi. Mereka mengira ia sudah tiada sama seperti Mak Ita.
Dari dalam kedai muncul seorang laki-laki berkopiah karena mendengar keributan yang terjadi.
“Ada apa ini?“
Jaka sontak tersentak melihat laki-laki itu. Guru ngajinya dahulu—Ustadz Ahmad—yang tinggal di Desa sebelah. Mungkin satu tahun lalu saat Jaka merantau, laki-laki yang rambutnya sudah memutih itu pindah ke sini.
Kalau begitu, berarti gadis hijab lebar yang melayaninya membeli tadi adalah putri bungsu Ustadz Ahmad. Gayatri.
Dahulu sembari mengajar ngaji, gadis itu sering ditimang-timang. Maka dengan takzim karena bertemu, Jaka mengulurkan tangan untuk menyalam gurunya itu.
“Assalammu'alaikum Abah, apa kabar?“ tukasnya membuat Ustadz Ahmad terkejut. Laki-laki itu menatap Jaka dengan alis bertaut.
“Loh, sampeyan ini Jaka?“
“Nggeh, Abah.“
Ustadz Ahmad menatap warga yang berkerumun. Tahulah dia apa yang telah terjadi hingga menimbulkan keributan seperti ini.
“Kamu sehat Jaka?“ ucap Ustadz Ahmad kemudian. Bisik-bisik dari para warga terdengar kembali.
“Sehat Abah, alhamdulillah.“
“Bukannya kata Gito kamu udah meninggal, Jaka!“ cetus salah satu warga membuat alis Jaka bertaut. Ia menatap Ustad Ahmad bingung.
“… iya kata Gito ….“
“… udah meninggal katanya ….“
“… kecelakaan di tempat kerja ….“
“Betul Jaka, Gito bilang kamu kecelakaan di kota,” ucap Mak Ita masih dengan wajah tak percaya. Ia menatap warga lain yang juga mengangguk-angguk setuju
“Saya gak pernah kecelakaan, Mak. Alhamdulillah masih sehat walafiat. Satu tahun lalu saya memang hilang komunikasi dengan Gito. Karena ponsel saya hilang saat di perantauan. Mungkin saat itu dia mengira saya hilang kabar dan sudah tiada. Bahkan satu tahun juga saya sudah tak berkomunikasi dengan Asih.“
Mendengar nama Asih disebut. Makin ribut warga Desa, angin semilir berhembus membuat mereka berbisik-bisik persis dengungan lebah.
“Sekarang Gito di mana, Mak? Biar Jaka meluruskan padanya, takut salah paham.“
“Gito sudah merantau ke luar kota setelah satu bulan sejak dia mengatakan kamu telah meninggal dunia….“
“Ya, sejak saat itu istri, anak dan Mak mu juga menghilang, Jaka,” sambung Mak Ita menyambung perkataan Mak Sri.
“Menghilang, Mak?“ ucap Jaka tak percaya. Dahinya berkerut. Menghilang bagaimana yang dimaksud?
“Iya, satu bulan sejak kamu dinyatakan meninggal. Istri kamu menghilang, pergi dari rumah dan gak ada yang tahu dia ada di mana. Dan sejak saat itu….“
Ucapan Mak Ita berhenti saat Mak Sri menyenggol tangannya. Mak Sri melotot ke arahnya, memperingatkan.
“Tapi istri saya gak menghilang, Mak. Istri saya ada di rumah sama anak saya,” tukas Jaka semakin tak mengerti.
“Di rumah?“ seru Mak Ita dengan mata melebar. Wanita itu melirik Mak Sri.
“Sudah pulang mungkin,” bisik Mak Sri.
“Terus yang kita lihat selama ini…?
“Sst!“ Mak Sri menempelkan telunjuk di bibir. “Jangan diucapkan! Gak enak sama Jaka kalo istrinya ternyata benar-benar sudah pulang.“
“Iya Mak, kalau Mak mau, Mak bisa datang ke rumah.“ Jaka meyakinkan.
Kedua wanita tua itu saling berpandangan. Menggelengkan kepala, menatap ustadz Ahmad yang juga tercengang mendengar penjelasan Jaka.
Satu tahun sejak kepindahannya ke Desa ini banyak desas-desus yang beredar pasal muridnya itu. Tak terkecuali istri Jaka, Asih.
“Boleh kami ke rumahmu Jaka?“ tanya Ustadz Ahmad pada akhirnya. Demi memastikan sesuatu juga seolah sadar apa yang sedang dirisaukan para warga Desa saat ini.
“Boleh Abah, silahkan!“ Ia menganggu dengan yakin.
Jaka pergi menuntun jalan. Mak Ita, Mak Sri, Ustadz Ahmad, dan para warga juga ikut di belakang. Mereka menyusuri jalanan berbatu Desa yang sunyi.
Sesekali Mak Ita mengusap tengkuknya.
“Kok, aku merinding ya Mbak, yu!“
“Sama, Mbak, aku juga. Aku takut kita jumpa Asih.“
“Jangan keras-keras! Nanti Jaka dengar.“
Rombongan itu tiba di depan rumah Jaka. Laki-laki itu melangkah menuju pintu.
“Asih!“ panggil Jaka keras pada daun pintu.
Semuanya menunggu dengan jantung berdebar. Pasalnya, sejak desas-desus meninggalnya Jaka di perantauan.
Asih serta anak dan Ibu Jaka menghilang begitu saja tanpa jejak. Rumah mereka terkunci dalam keadaan kosong dan tak ada siapapun.
Para warga Desa pikir kedua orang dewasa itu telah pergi dari Desa karena sangat terpukul oleh kepergian Jaka. Membuat mereka tak lagi curiga ataupun mencari.
Namun setelahnya.…
Desa Bagan Batu menjadi Desa yang mencekam. Setiap maghrib atau menjelang ufuk merah mulai timbul dan langit mulai kemerahan. Akan ada suara tangisan wanita sampai maghrib menghilang. Menggema ke seluruh Desa.
Saat malam hari, akan ada sosok perempuan yang mirip sekali dengan Asih sedang menimang bayi di depan rumah Jaka. Jika di datangi maka sosok itu akan menghilang tak berbekas.
Malah terkadang sosok Mak Ida yang beberapa kali kedapatan mengetuk pintu rumah warga untuk mencari Jaka kemudian hilang tak berjejak saat dilihat.
Hilangnya Asih, anaknya dan Mak Ida menjadi teror menakutkan bagi para warga Desa. Bahkan kabar itu juga sampai ke Desa sebelah. Hingga orang-orang mulai takut berkeliaran di Desa pada malam hari karena sering diganggu.
Masih jadi misteri, bagaimana kabar kehilangan tiga orang itu menjadi arwah yang menakuti warga. Beberapa memiliki kesimpulan kalau mereka sudah … mati.
Namun, tak pernah ditemukan mayat Asih, Mak Ida atau anaknya di manapun. Sehingga para warga hanya bisa berspekulasi. Pun gangguan itu membuat orang-orang tak ada yang berani mendekati rumah itu lagi.
“Asih!“ panggil Jaka kembali. Namun tetap tak ada sahutan. Kali ini ia berjalan membuka pintu dan masuk ke dalam.
Para warga termasuk Ustadz Ahmad melongok untuk melihat apa yang ada di dalam sana. Terdengar suara Jaka bercakap-cakap dengan sesuatu.
Kemudian, laki-laki itu keluar … seorang diri. Tak ada siapapun yang mengikuti di belakangnya padahal warga berharap memang ada Asih di sana.
“Abah, Mak Ita, Mak Sri dan yang lainnya. Ini istri saya, Asih. Dia masih ada di rumah dan tidak pernah menghilang.“
Para warga ribut seketika. Yang ditunjuk Jaka adalah ruang kosong di sampingnya. Tidak ada siapapun di sana selain dirinya sendiri.
Rumah itu juga tampak kumuh dengan rumput liar tumbuh di beberapa sisi.
Namun, laki-laki itu bertingkah seolah benar-benar ada seseorang yang berdiri di sisinya.
Gila! Jaka sudah benar-benar gila!.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
