Bab 3 dan 4 ~ Panggilan Tak Terjawab

1
0
Deskripsi

Jessica memijit keningnya yang terasa pusing. Masih memikirkan sumpah Riani yang entah kenapa terus terngiang-ngiang di kepalanya.

Padahal dulu, setelah ia ulpload  gambar Riani di mading sekolah yang berujung gadis itu dipanggil ke ruang BK. Jessica tenang-tenang saja walau Riani mengadu itu ulahnya.

Karena ia tahu, ia tak akan pernah dihukum sebesar apapun kesalahan yang ia perbuat di sekolah itu.

Tapi kali ini …

Jessica menggeleng, entah kenapa ia merasa takut. Apa karena sang korban sudah mati?...

Bab 3

Jessica memijit keningnya yang terasa pusing. Masih memikirkan sumpah Riani yang entah kenapa terus terngiang-ngiang di kepalanya.

Padahal dulu, setelah ia ulpload  gambar Riani di mading sekolah yang berujung gadis itu dipanggil ke ruang BK. Jessica tenang-tenang saja walau Riani mengadu itu ulahnya.

Karena ia tahu, ia tak akan pernah dihukum sebesar apapun kesalahan yang ia perbuat di sekolah itu.

Tapi kali ini …

Jessica menggeleng, entah kenapa ia merasa takut. Apa karena sang korban sudah mati? Atau merasa sumpah Riani akan terjadi?

Bagaimana jika … gadis itu jadi arwah gentayangan dan  terus datang ke mimpi untuk mrnghantuinya?

Ciiit ….

Jessica refleks ngerem mendadak saat menyadari sesuatu telah menyebrang tepat di depan mobilnya. Dan sepertinya ia menabrak sesuatu itu. Jantungnya berdebar tak karuan. Lampu mobilnya menyorot jalanan yang lumayan sepi.

“Apa itu tadi?“ ucapnya lirih memegang erat kemudi. Ia mendongak, namun tak tampak apa-apa. Hanya jalanan yang tersorot lampu. Sesekali satu atau dua motor melewatinya.

Tapi … ia memang merasakan mobilnya membentur sesuatu tadi.

Turun, jangan? Turun, jangan?

Keputusan terakhir Jessica turun dari mobilnya demi menuntaskan rasa penasaran. Ia menunduk, menyelipkan rambutnya di belakang telinga sebelum melongok ke bawah mobil.

Pupil matanya seketika melebar saat melihat sesuatu yang juga tengah melotot padanya. Bola mata itu hampir keluar, entahlah apa ia menabraknya terlalu keras.

Seekor kucing hitam dan ada banyak darah berceceran yang mengenai ban mobilnya.

“Astaga!“ rutuk Jessica kesal. “Apa yang harus gue lakuin sekarang?“ Ia menyurai rambut ke belakang sembari memperhatikan jalanan.

Sepi.

Ia segera berlari masuk ke dalam mobilnya kembali. Memundurkannya, lalu tancap gas meninggalkan binatang berwarna hitam itu begitu saja.

Jessica bergidik seraya menoleh ke belakang.

“Semoga saja tidak ada yang melihatnya tadi,” tukasnya khawatir sembari menatap kaca tengah mobil.

***

“Gimana Cup, lo udah dapat?“ tanya Jo pada seseorang di sebrang telepon. Ia memasukkan satu tangannya ke dalam kantung celana sembari menatap beberapa bunga yang tertanam di halaman rumah.

“ …. “

Jo mengerutkan alis. “Warung intrnet? Lo serius, kan?“

“ …. “

“Oke, kalau gitu kasih gue alamatnya sama nomor rekening lo. Biar gue transfer duitnya sekarang.“

“ …. “

Jo memutus panggilan tanpa menjawab ucapan terimakasih Ucup. Ia segera melihat alamat yang diberikan Ucup padanya dan mentransfer uang yang ia janjikan pada sahabatnya itu.

Lalu beranjak pergi menaiki motornya menuju tempat yang tertera  di alamat tersebut. Sesampainya di sana, dari kejauhan Jo membuka helm dan mengacak rambut.

Beberapa gadis lewat dan mulai menggodanya. Bahkan ada yang terang-terangan mengajaknya berkenalan, namun tak ada yang Jo tanggapi. Ia sedang fokus pada satu hal.

Gadis yang sedang duduk di kasir warnet dengan komputer di hadapannya. Gadis tak bersuara yang menarik perhatiannya akhir-akhir ini.

Gadis satu-satunya yang tidak memujanya bahkan menolak saat ia ajak berkenalan. Diantara banyak gadis yang berlomba-lomba mendekatinya.

Gadis itu adik kelas Jo, namanya Nana. Gadis bisu belagu yang banyak dijauhi orang-orang karena kekurangannya  namun malah membuat Jo tertarik.

Bukan hanya karena gadis itu cantik, tapi dia punya segudang kelebihan yang membuat Jo terpana. Di balik kekurangannya itu. Nana sering menjuarai olimpiade sekolah dan juga jago komputer.

Makanya, walaupun banyak yang tak suka dan gadia itu cenderung dijauhi. Orang-orang di sekolah banyak yang segan padanya terutama para guru.

Membuat Jo penasaran hingga ia nekat meminta bantuan Ucup untuk mencari tahu tentang gadis itu.

Jo turun dari motornya, melangkah masuk ke dalam warung internet tersebut. Ia berdiri di depan kasir menatap wajah Nana yang tampak berseri. Sangat berbeda dengan yang ia lihat selama ini di sekolah. Gadis itu selalu berwajah murung.

“Ehm …. “ Jo berdehem memecah konsentrasi Nana yang sedang menatap komputer di hadapan. Gadis bisu itu mencopot headphone dari telinganya sembari tersenyum saat menyadari ada yang berdiri di depannya.

Nana tersenyum, melalui gerakan tangan dan mulut terbuka ia mulai bertanya.

“Mau apa kak?“

Entah sejak kapan, Jo mulai belajar bahasa isyarat. Dan sekarang ia merasa bangga karena mengerti semua ucapan Nana.

“Mau main warnet,” ucapnya kemudian.

Nana mengangkat alis, menatap Jo dengan tatapan tak mengerti. Ia sangat paham laki-laki yang menjadi kakak kelasnya itu adalah orang kaya. Mungkin punya banyak komputer di rumah. Tapi kenapa memilih main komputer di tempat seperti ini?

“Aku mau ruangan yang ini!“ Jo menunjuk bilik nomor tiga. Bilik yang berhadapan langsung dengan meja Nana.

“Sudah ada orangnya,” ucap Nana dengan gerakan tangannya.

“Aku akan menunggu, berapa lama lagi?“

“Lima belas menit. Tapi di sana ada bilik yang kosong nomor tujuh, tidak mau?“

Jo menggeleng, satu-satunya alasan ia mau main komputer di tempat ini karena Nana. Untuk apa ia datang kalau tak bisa lihat wajah gadis itu.

Jo menggeleng.  “Aku tetap mau nomor tiga.“

“Oke, kalau gitu tunggu sebentar!“

“Aku akan tunggu di sini, kamu tidak masalah, kan?“ Jo menggeser kursi dan duduk tepat di sebelah Nana. Awalnya gadis itu sempat tersentak kaget. Namun memilih mengangguk sembari fokus pada layar komputer di hadapannya.

Jo tersenyum samar, memperhatikan apa yang tengah dilakukan Nana di komputernya. Gadis itu sedang bermain game. Ia kemudian mengulurkan tangannya di hadapan Nana sebagai percobaan kedua.

Rasanya aneh saat ia tahu banyak tentang gadis itu namun Nana tak tahu banyak tentangnya.

Nana menautkan kedua alis, membuat wajahnya terlihat lucu di mata Jo. Gadis itu mengangkat tangan di depan dahi dengan mulut terbuka.

“Apa?“

“Namaku Jo.“

“Sudah tahu, waktu itu kakak ajak aku kenalan saat di kantin.“

Jo mengangkat satu alisnya.

“Tapi kamu gak balas memperkenalkan diri.“

Nana tertawa, sejenak membuat Jo terpana. Ada dua lesung di pipi gadis itu dan matanya menyipit saat ia tersenyum. Jo mengalihkan pandangan, sekarang jantungnya berdebar keras.

“Saat itu, kan, saya bawa nampan makanan. Saya jawab kok pertanyaan kakak. Tapi, suara saya, kan, tidak ada jadinya kakak tidak tahu dan buru-buru pergi. Maaf kalau saya jadinya seperti mengabaikan kakak.“

Jo terpaku, astaga selama ini ia sudah salah paham pada gadis manis di depannya ini. Tunggu! Gadis manis?

“Kalau begitu untuk menebus rasa bersalah saya.“ Nana mengulurkan tangannya. “Nama saya Nana.“ Menyambut tangan Jo.

Jo tersenyum, ia mengusap tengkuknya. Menatap Nana yang tak seperti perkiraannya. Gadis itu cukup ramah, namun tak mengubah pandangannya karena Nana tak sama dengan gadis lain.

Karena ia yang lebih dahulu mengejar gadis ini.

Tiba-tiba ponsel Nana berdering, ia mengangkatnya. Sejenak Jo dapat melihat raut wajah gadis itu yang berubah secara drastis. Lalu bangkit dan berlari dari tempat duduknya.

“Na, kamu mau ke mana?“ tanyanya namun tak mendapat jawaban. Gadis itu berlari masuk ke dalam warnet dan kembali dengan satu orang wanita dewasa yang sepertinya adalah pemilik warnet itu.

Jo bangkit dari duduknya. Menatap Nana yang tengah mengobrol cukup serius dengan si wanita dewasa. Mata gadis itu memerah dan … Nana menangis.

Ya, Jo tidak salah lihat.

Jo dapat melihat obrolan itu berakhir. Nana lalu berjalan keluar dan melewatinya begitu saja. Jo sempat menahan tangan gadis itu. Sejenak mata mereka saling pandang. Ada air mata yang mengalir di pipi Nana.

Namun gadis itu dengan cepat menepis tangannya dan berlari jauh meninggalkan Jo. Ia langsung berlari hendak menyusul Nana.

“Eh, dek gak jadi main warnetnya?“

Langkah Jo terhenti. “Gak jadi, Bu,” ucapnya cepat melangkah keluar dari warnet. Bayangan Nana terlihat mengecil di ujung jalan sana. Gadis itu menaiki sepeda dan terlihat sangat buru-buru.

Jo naik ke atas motor dan menyalakannya. Mencoba untuk menyusul, namun sebuah mobil yang tiba-tiba lewat di hadapan menghentikan motornya.

“Argghhh sial!“ tukasnya sembari memukul tangki motor. Ia mencoba mengebut. Namun Nana tak kelihatan di mana pun.

Baru saja hendak mencoba untuk dekat. Ia sudah kehilangan jejak gadis itu.

 

 

#####

Bab 4

Tiga hari berlalu sejak hari itu. Tepatnya sejak kabar Riani bunuh diri dan setelah ia menabrak kucing hitam dan meninggalkan bangkai hewan itu begitu saja di jalan raya.

Entah kenapa membuat Jessica tak berani datang ke sekolah. Perasaan tak enak mulai menggelayutinya, apalagi saat ia membaca berita di internet kalau kucing hitam itu membawa kesialan. Jangan sampai menabraknya dan kalau itu terjadi lekas menguburkannya dengan benar.

Sialnya, Jessica melakukan kedua hal itu dan pulang ke rumah. Berniat ingin kembali tapi ia tak berani karena saat itu hampir tengah malam. Biasanya nyalinya tak pernah seciut ini. Ia juga jarang percaya hal-hal mitos seperti itu.

Tapi faktanya ia benar-benar sangat takut, hingga kepikiran. Membuatnya sakit dan tak mampu bergerak dari tempat tidur.

“Akhirnya lo datang juga. Kita-kita udah ada rencana buat jenguk lo pulang nanti. Sakit apa, sih, lo Jess?“ tanya Kate duduk di bangku depan Jessica setelah mengusir Linda. Gadis berkacamata dengan rambut kempang dua itu ketakutan saat Kate memelototinya.

“Muka lo pucat banget, kalo masih sakit harusnya gak usah datang dulu.“ Airin, gadis berambut pendek itu mengecek dahi Jessica dan punggung tangannya. Sedikit hangat.

Anna dan Gisele yang sedang duduk di bangku masing-masing kini datang mendekat ke arah Jessica yang sedang menelungkupkan kepala di atas meja.

“Pulang aja Jess, ngapain lo datang?“ seru Anna lebih seperti mengusir daripada petintah. Lengannya disentuh Gisele. Gadis dengan gingsul itu tergelak setelahnya.

“Gue bercanda, lagipula benar kata Airin. Kalo masih sakit gak usah datang dulu.“

Jessica rak menggubris perkataan Anna. “Tiga hari yang lalu gue nabrak kucing hitam,” ucap Jessica pelan. “Terus gak gue kuburin. Gue takut dan kepikiran, jadinya gini deh.“

“Lo percaya mitos?“ tanya Airin tak percaya.

Jessica mengangkat bahu. “Kucing hitam itu bawa sial. Dan gue takut itu ada kaitannya dengan Riani,” ucap Jessica lirih takut ada orang lain selain mereka mendengar hal tersebut.

“Ya ampun Jess, ke mana gadis pemberani yang selama ini gue kenal. Lo cupu! Baru gitu aja udah takut. Jangan percaya mitos. Itu cuma cerita leluhur yang dibuat-buat sebagai peringatan untuk kita agar lebih berhati-hati saat berkendara.“

“Gila! Cakep bener ucapan lo Kate.“ Anna mengulurkan tangannya. Keduanya bersalaman seiring dengan senyum mengembang Kate yang jumawa.

“Kate bener, santai aja kali, toh gak ada yang terjadi sama lo sampai hari ini, kan?“ ujar Anna kemudian.

“Iya Jess, lo terlalu parno, apa sih yang lo takutin? Kalo pun jadi masalah toh kita juga gak bakalan terlibat. Dia bun— hmphh ….“ Perkataan Gisele terputus ia melotot ke arah Airin yang menutup mulutnya tiba-tiba.

“Pelanin suara lo!“

“Iya, bawel amat.“ Gadis itu menepis tangan Airin kemudian.

“Gisele bener, Riani itu bunuh diri, ingat! Bu-nuh di-ri. Kita gak bunuh dia, jadi apa yang mesti lo takutin.“ Airin memperjelas dengan suara sangat pelan.

Jessica menghela nafas, perkataan Airin ada benarnya. Kalau dipikir juga percuma. Itu cuma mitos dan ia percaya begitu saja apa yang dikatakan internet berikut menelannya bulat-bulat.

“Terus tiga hari ini apa gak ada yang datang ke sekolah?“ Jessica  menegakkan punggungnya. Mendengarkan penjelasan teman-temannya ia merasa jauh lebih sehat.

“Maksud lo?“ tanya Anna.

“Orang tua Riani.“

“Dia dah gak punya orang tua Jess. Kita, kan, udah pernah bahas ini. Udahlah gak usah bahas orang yang udah gak ada.“ Gisele berucap gemas.

Topik tentang Riani tak henti-hentinya dibahas dan terus berlanjut. Lagipula meski satu kelas tahu kalau mereka berlima sering membully Riani, tak ada yang perlu ditakutkan. Hal ini akan menghilang dengan sendirinya mengingat berbagai macam permasalahan cukup mudah di taklukan karena privilege dari orang tua masing-masing.

Contohnya saat mereka berlima  ketahuan merokok satu bulan yang lalu di belakang sekolah. Guru baru yang menemukan mereka tak berkutik bahkan melapor perbuatan mereka. Karena resikonya, sang guru akan dipecat dari sekolah.

“Bagus kita bahas sesuatu yang lebih menarik. Bolos misalnya!“ usul Kate dengan senyum lebar. “Gue gak suka pelajaran matematika.“

“Ya ampun sama, gue juga gak suka kalo Bu Ine masuk. Cara ngajar dia membosankan. Lo mau ikut gak Jess? Lo lagi sakit, nanti makin parah lagi gara-gara belajar matematika.“ Airin mengajak.

“Ikutlah, enak aja kalian senang-senang tanpa gue.“

“Yaudah yuk capcus!“ seru Anna bersemangat. Ia mengambil tas dan menyandangnya.

Kelima gadis dengan jaket warna-warni itu beranjak pergi dari kelas. Tak ada yang berani menegur bahkan ketua kelas sekalipun. Sekali lagi karena pengaruh orang tua kelima gadis tersebut yang begitu besar pada sekolah ini hingga tak ada yang benar-benar berani mengusik.

Bahkan beberapa menit setelahnya saat Bu Ine masuk ke dalam kelas ia hanya bisa menggeleng menyadari kelima  anak muridnya itu sudah tak ada di bangku masing-masing.

Bu Ine tak akan bertanya, jawabannya pasti akan tetap sama. Ia lebih menganggap kelima anak itu tak ada dan memulai pelajaran seperti biasa. Mau sebanyak apapun protesnya pada kepala sekolah. Wanita yang merupakan ibu dari salah satu lima gadis tersebut pasti akan membela mereka.

Dan ia harus menurut kala memberikan nilai tinggi walau kelima gadis itu jarang masuk ke dalam kelas.

Benar-benar pengaruh uang dan kekuasaan mengalahkan segalanya.

***

Kelima gadis itu asik tertawa sembari bernyanyi. Lampu warna-warni yang terus berkerlap-kerlip di atas plafon dan suara nyanyian keras Anna menambah rius suasana di ruang karaoke tersebut.

Bahkan Jessica yang tadinya tidak enak badan kini sudah mulai bersenang-senang.

“Capek banget,” keluh Jessica  sembari menyeruput minuman dan meluruskan kakinya di atas meja. Ia baru saja bernyanyi satu lagu dan kerongkongan kering karena itu.

“Tapi lo jadi gak sakit, kan?“ tukas Airin disertai gelak tawa Jessica.

“Gak kebayang Jess kalo lo tadi tetap di kelas. Bisa-bisa lo tambah sakit karena dengerin penjelasan Bu Ine,” celetuk Kate.

“Hahaha bener-bener!“ ujar Jessica sembari menunjuk Kate. “Makasi banget buat kalian yang udah nyaranin buat bolos sekolah. Kalian memang teman-teman terbaik gue. Kalo gini gue jadi malas pulang,” ucap Jesica sembari merebahkan diri di atas kursi dengan kaki masih terangkat di atas meja.

“Gue bosan,” ucap Gisele tiba-tiba duduk di antara mereka berempat. Anna masih bernyanyi di depan sana.

“Tinggal nyanyi, Sel!“ Airin menyarankan.

“Udah, capek yang ada. Ke tempat lain, yuk! Cobain permainan di time zone atau ke mana kek.“

“Males, Sel, lagian ini udah malam,” tukas Jessica.

Ctak.

Kate menjentikkan satu jari hingga keempat temannya menatap ke arah gadis itu secara bersamaan. Anna juga telah bergabung dan duduk di samping Kate

“Gue punya ide menarik.“ Kate tersenyum misterius membuat keempat temannya penasaran.

“Apa?“ tanya Jessica.

“Lo punya nomornya Riani, gak?“ tanya Kate pada Gisele. Membuat gadis itu sontak menegakkan punggung sembari menatap Kate dengan alis berkerut.

Anna, Airin dan Jessica juga kini menatap gadis beriris mata coklat itu.

“Lo mau ngapain, Kate?“ tanya Airin penasaran.

“Lo punya, gak?“ Kate tak menggubris perkataan Airin. Ia menodong Gisele dengan pertanyaan yang sama.

Diantara mereka hanya Gisele yang rajin menyimpan nomor. Bahkan kalau soal mengganggu Riani dari ponsel dia yang selalu diandalkan. Terkadang malah menakut-nakuti gadis itu dengan pesan-pesan menyeramkan.

“Punya, tapi buat apa, sih, Kate?“

Kate tersenyum. “Gimana kalau kita coba telpon nomornya. Kali aja diangkat!“ usul Kate.

“Lo gila? Gak!“ seru Jessica menentang habis-habisan usul Kate.

“Ide bagus itu.“ Perkataan Anna membuat Jessica mendelik.

“Anna!“ seru Jessica tapi gadis itu hanya cengengesan.

“Ih, iya, coba aja seru tahu.“

“Airin.“ panggil Jessica pada teman sebangkunya itu dengan suara memelas

“Ini! Kali aja kita bisa lihat isi kuburannya gimana.“ Gisele tertawa terbahak-bahak.

Tak ada yang mendengar suara Jessica kali ini. Semuanya menanggapi dengan baik usul Kate yang terdengar mengerikan itu.

“Guys gak usah aneh-aneh deh. Nanti ada yang angkat beneran bisa berabe loh.“ Jessica memperingatkan teman-temannya. Entah kenapa usul Kate membuat perasaannya tak enak.

“Alah Jess. Riani itu dah mati! Ingat, mati! Orang mana yang udah mati bisa angkat telpon. Lagian ini cuma seru-seruan aja, kok. Gak bakal ada apa-apa. Kalaupun diangkat bisa kita kontenin, kita malah jadi viral habis itu.

“Tapi Kate!“

“Jess.“ Airin memanggilnya, memegang pundak gadis itu hingga membuat Jessica menoleh. “Ketakutan lo itu berlebihan tahu. Lo kebanyakan nonton film horor kayaknya.“

“Gue cuma ingetin, Rin. Kalau lo semua tetap nekat gue bakalan pergi.“ Jessica bangkit berdiri sembari menyandang tasnya.

Tut ….

Ponsel yang ada di tangan Kate berdering. Langkah Jessica seketika terhenti seketika. Sontak Jessica berbalik, menatap keempat temannya yang sama tegang. Menunggu apa yang terjadi selanjutnya.

Tut ….

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Bab 5 dan 6 ~ Panggilan Tak Terjawab
1
0
Tut ….“Lo melakukan panggilan Sel?“ seru Jessica tak percaya. Matanya mengerjap saat Gisele menjawab pertanyaannya dengan anggukan.Jantung Jessica  berdebar keras, wajahnya berubah pucat. Ia menatap keempat temannya yang juga berwajah tegang.“Ponselnya aktif,” lirih Airin.“Mungkin dipegang sama keluarganya gak sih?““Tapi dia gak punya keluarga, Na.“Seketika kelimanya terdiam, sementara ponsel di tangan Gisele masih berbunyi nyaring.“Bisa jadi paman atau bibinya. Coba berpikir positif deh. Mungkin aja mereka pikir kita aneh-aneh karena hubungin nomor orang yang udah mati. Benar kata Jessica mendingan matiin aja panggilannya.““Sst!“
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan