Sekte (Tubuh Untuk Raja Iblis) ~ Bab 1 dan 2

0
0
Deskripsi

Pertengahan Agustus 2000

Rere setengah memaksa memasukkan nasi lembek yang sudah agak berlendir itu ke dalam mulutnya sembari sesekali menyuapi sang adik.

Gejolak rasa di tenggorokan yang membuatnya ingin memuntahkan makanan berhasil ia hilangkan dengan meneguk segelas air. Di hadapannya Dika hampir menangis karena berusaha keras menelan nasi tersebut.

Bab 1 :Penjemputan

Pertengahan Agustus 2000

Rere setengah memaksa memasukkan nasi lembek yang sudah agak berlendir itu ke dalam mulutnya sembari sesekali menyuapi sang adik.

Gejolak rasa di tenggorokan yang membuatnya ingin memuntahkan makanan berhasil ia hilangkan dengan meneguk segelas air. Di hadapannya Dika hampir menangis karena berusaha keras menelan nasi tersebut.

"Sabar, ya! Bentar lagi Ayah sama Ibu pulang kita gak perlu makan nasi kayak gini," ucapnya menengkan Dika. Bocah berusia delapan tahun itu mengangguk. Mulai membuka mulut lagi saat Rere menyuap nasi padanya.

"Yang penting perut kita terisi dulu," ucap Rere lirih sembari membenarkan letak hijab di kepalanya.

Matanya kini menatap jendela tanpa tirai yang menampilkan halaman depan. Sebercak awan jingga mulai muncul, tanda maghrib hampir menjelang.

Sudah hampir tiga hari Ayah dan Ibunya pergi dan belum pulang juga sampai sekarang. Kekhawatiran timbul dalam benaknya, takut kalau kedua orang tuanya itu tak mau kembali.

Janji mereka saat pergi adalah untuk menemui hidup yang lebih baik dan terlepas dari kemiskinan yang selama dua tahun ini membelenggu.

Dahulu Farid, ayahnya adalah seorang pengusaha toko kelontong yang di jalankan bersama sang Ibu. Tak besar memang, namun mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka lebih dari cukup sampai Rere lulus SMP dan adiknya masuk SD.

Namun, pertengahan tahun 1998, di mana krisis moneter terjadi dan kerusuhan pasca penggusuran presiden waktu itu berdampak pada toko kelontong yang dijalankan sang Ayah.

Mereka muslim, namun keturunan tionghoa. Mata sipit dan kulit putih membuat pribumi membenci dan menjarah toko kelontong Farid hingga habis tak bersisa.

Sejak hari itu kehidupan Rere tak sama lagi. Keluarganya memutuskan pindah demi keselamatan hidup. Tinggal di sebuah kampung kecil dekat perbatasan kota dalam bilik bambu untuk menyelamatkan diri dari kerusuhan.

Mereka masih hidup, namun makanan sangat sulit untuk didapatkan. Jika beruntung ayahnya mendapat upah sekilo beras setelah membantu membersihkan parit-parit rumah orang kaya. Atau Ibunya yang berusaha mencari barang-barang bekas untuk dijual pada pengepul.

Jangankan sekolah, makanpun susah. Rere harus puas hanya dengan makan satu kali sehari dan selebihnya jika tidak ada makanan mereka berpuasa.

Rere tidak masalah, usianya sudah enam belas tahun. Ia bisa menahan lapar cukup lama, namun saat melihat adiknya terkadang ia menangis.

Adik lelakinya itu masih kecil, tubuh yang dulu gemuk itu kini sangat kurus sekali dengan tulang menonjol. Dika bahkan sudah tak lagi bermain dengan mainan yang bisa saja dia beli dengan mudah. Hal itu memberikan kepedihan bagi Rere tak terkecuali kedua orang tuanya.

Untuk itu tiga hari lalu, setelah meninggalkan satu kilo beras di rumah, keduanya pamit pergi untuk sementara. Ayahnya berkata seseorang memberikan bantuan pada mereka.

Ayahnya berjanji hidup mereka akan lebih baik nanti. Namun mereka harus menunggu. Ayah dan Ibunya akan melihat dulu apa yang harus mereka lakukan. Saat sudah memastikan kedua orang tuanya akan kembali untuk menjemputnya dan Dika.

Rere percaya, sampai hari ini saat beras yang ia masak sudah tak ada lagi bersisa, ia masih menunggu Ayah dan Ibunya pulang untuk menjemput mereka.

Tuk!

Rere tersentak, ia tersadar dari lamunan. Lama menatap jendela yang terbuka, baru ia sadar ada Hadi di sana sedang tertawa jahil. Batu kecil yang dilemparkan ke kepala Rere tadi pasti adalah ulahnya.

"Kebiasaan!" sungut Rere kesal sembari mengusap dahinya.

"Kau kupanggili melamun saja dari tadi. Boleh aku masuk?"

"Tumben minta izin, biasanya tanpa disuruh juga langsung masuk."

Hadi tersenyum lebar, pemuda itu masuk ke dalam rumah Rere dan duduk di sampingnya. Tak sengaja menatap nasi dalam piring yang tersisa sedikit di tangan Rere.

"Kenapa? Mau?"

"Enggaklah, di rumah juga makan, makanan yang sama. Kalau kamu lauknya ayam aku mau," ucap Hadi sembari menatap Dika yang sedang menggaruk-garuk tanah.

Tikar yang digelar di atas lantai tanah itu sudah rusak di beberapa sisi memang. Kadang kalau banjir, airnya meluap masuk dan membuat tanah menjadi becek.

Hadi, tetangga rumah Rere, tak ubahnya kehidupan gadis itu hidupnya juga tak kalah memprihatinkan. Namun untungnya, ia masih dapat kesempatan untuk bersekolah karena dibiayai sang paman baik hati yang tinggal di kota.

Bulan depan ia akan pergi merantau, sekolah di kota dan tinggal bersama sang paman untuk bantu-bantu sebagai tanda terima kasih karena membiayai sekolahnya.

"Orang tua kamu masih belum pulang?"

Rere mengeleng, menyuapi sang adik kembali. Hadi menghela nafas sembari menatap nasi tak berlauk di piring Rere.

"Aku punya kerupuk, mau, gak?"

Rere menoleh, dahinya berkerut. "Kenapa gak dari tadi?"

"Ya, kupikir kamu bakalan nolak."

"Keadaan begini, gak mungkin aku nolak, Di."

"Ya sudah aku ambilkan."

Hadi pergi sebentar, kemudian datang membawa seplastik besar kerupuk yang hanya sisa satu berikut remah-remahannya.

"Tinggal segini." Ia menyodorkan pada Rere, gadis itu menerimanya dengan mata berbinar.

"Gak apa-apa." Rere memberikan kerupuk itu pada Dikas. Adiknya begitu gembira karena ada lauk teman nasi.

"Bulan depan aku akan pergi ke kota," ucap Hadi setelah mereka lama terdiam.

"Ngapain?"

"Sekolah di sana, dibiayai paman."

Gerakan tangan Rere berhenti. Sekolah, hal yang ingin ia lakukan tapi belum ada kesempatan sama sekali.

"Baguslah, kau tidak perlu mencari barang rongsokan lagi."

Hadi menoleh, menatap Rere dengan pandangan nanar.

"Iya, tapi ...."

Perkataannya terhenti saat mendengar suara gaduh dari luar rumah. Rere dan Hadi sontak melihat ke jendela. Ayah dan Ibunya telah pulang.

"Ayah, Ibu!" teriak Dika begitu melihat kedua orang tuanya muncul di pintu. Wajah keduanya tampak segar dan sehat, Rere bisa melihat ada hal baik yang terjadi.

"Rere pikir Ayah dan Ibu tidak jadi pulang hari ini."

"Ayah sudah katakan tiga hari, Ayah menepati janji, kan?" Farid menatap Hadi yang berada di rumahnya sekilas, lalu menatap dua anaknya kembali.

"Sekarang kemasi barang kalian, kita akan pindah!"

Dika bersorak, sementara Rere terpaku.

"Pindah ke mana Ayah?"

"Ke rumah baru, di sana kamu bisa sekolah dan makan, makanan enak." Ibu yang menjawab seketika membuat Rere sumringah.

Keduanya bergegas masuk ke dalam kamar, membereskan pakaian mereka yang ala kadarnya. Sementara itu Farid dan Sundari kini menatap Hadi yang masih diam di tempat.

"Kami akan pindah, apa kamu akan tetap di sini?" tanya Sundari dengan datar. Senyumnya yang tadi merekah hilang saat menatap pemuda itu.

"Ah, iya, maaf Bibi. Kalau begitu saya pulang dulu."

"Iya pulanglah! Jangan datang ke sini lagi!"

Hadi terkesiap, ucapan yang dingin sekali dari Sundari membuatnya sedikit merasa aneh. Biasanya kedua orang tua Rere begitu ramah padanya. Tapi kali ini tidak, seperti melihat orang lain.

Keluarga dua anak itu pergi, mata Hadi mengikuti. Perasaan  bahagia Rere dijemput keluarga membuatnya lupa berpamitan pada Hadi yang memperhatikan mereka sampai ke ujung jalan.

Matanya menyipit menatap mobil yang dinaiki keluarga Rere.

"Sudah sukses rupanya," ucap Hadi lirih. Ia berbalik sembari menghela nafas, beranjak menuju surau. Suara mengaji mulai bersahut-sahutan.

"Kita gak bisa mengorbankan anak-anak."

Hadi terpaku, langkahnya berhenti. Suara seseorang yang ia kenal.

"Ayah juga tidak tega, Bu."

"Iya cukup sampai di sini, biarlah kita tetap hidup miskin."

Hadi mendongak, dari arah berlawanan ia melihat Farid dan Sundari berjalan melewatinya. Ia terbelalak kaget.

"Paman, bibi," panggilnya pada kedua orang itu.

"Loh, Hadi, mau ke surau?" tany Sundari ramah. Namun itu membuat Hadi terpaku.

"Bukannya tadi paman dan Bibi pergi bersama Rere dan Dika?" tanyanya bingung.

"Kamu bicara apa, Di? Paman baru saja pulang dari kota."

Hadis terpaku, jadi, yang menjemput Rere dan Dika tadi siapa?

Bab 2 : Apa Itu?

Rere menatap jalanan yang sisinya dipenuhi pohon-pohon besar itu. Beberapa kali guncangan sedikit terasa saat mobil yang ia naiki melewati jalan berlubang.

Hening mencekam seiring gelapnya langit menuju malam, ia menatap Dika yang sudah terlelap dalam mobil ber ac ini. Tadi adiknya sangat senang sekali saat tahu Ayah dan Ibu menjemput mereka menggunakan mobil. Tak terkecuali Rere, ia begitu bahagia sampai lupa memakai logika.

Sekarang ia baru memikirkan hal ini, mobil yang ayahnya kendarai dan ibu yang duduk di samping ayah. Darimana mereka mendapatkannya?

Dalam tiga hari, kedua orang tuanya sudah menjadi kaya raya?

"Bu," panggilnya pada Sundari yang seketika menoleh.

"Ada apa?"

"Kita mau ke mana?"

"Sudah ibu bilang kita mau pindah ke rumah yang lebih bagus. Di sana kamu bisa tinggal dan makan, makanan yang enak."

"Ibu dan Ayah sudah dapat kerja?"

Tak ada jawaban dari keduanya. Sejenak Rere melihat Sundari menatap sekilas pada Farid.

"Ya, seseorang menawarkan bantuan dengan cuma-cuma." Sundari menjawab tanpa menoleh ke arahnya.

"Sekarang tidurlah dahulu! Saat sampai Ayah akan katakan padamu."

"Tapi ... ini sudah waktu maghrib," ucap Rere pelan. "Bukankah kita harus berhenti untuk shalat dulu?"

"Hutan-hutan begini memangnya kamu mau shalat di mana? Sudahlah jangan berisik, cukup ikuti saja perintah ibumu!"

Perkataan ayahnya membuat Rere terdiam. Sebenarnya merasa ada yang aneh. Biasanya sang ayah tak pernah menunda waktu shalat apapun yang terjadi, di manapun itu. Itu tumben sekali.

Rere hanya diam, mengikuti jalan mobil tanpa mengatakan apapun sampai mereka sampai di depan sebuah tugu yang terdapat banyak rumah di sana.

Rumah-rumah besar yang berjajar itu membuat Rere terpukau, bahkan rumahnya dulu tak sebesar rumah-rumah di sini. Mobil yang ayahnya setir masuk ke dalam sebuah rumah dengan ukuran yang sama seperti rumah lainnya.

Rumah-rumah di sini tidak bertingkat namun besar dan memanjang ke belakang. Memarkirkan mobil di halaman, Dika terbangun dari tidurnya.

"Sudah sampai, kak?" tanya Dika membuat Rere tersentak. Ia  sedari tadi melamun memperhatikan rumah di hadapan dengan sebuah pohon ketapang besar di depan rumah itu dalam diam dari balik jendela.

"Sepertinya, iya," ucap Rere ragu. Ia membuka pintu mobil  dan keluar dari sana diikuti Dika dan orang tuanya.

"Ibu, kita akan tinggal di sini?" tanya Dika membuat Rere menoleh. Anggukan Ibu membuatnya sontak menghampiri sang Ibu.

"Ini rumah siapa Ibu? Kenapa kita bisa tinggal di sini?"

"Ada orang baik yang memberikannya. Kita bisa tinggal di sini selama yang kita mau. Ayo masuk!"

"Asik, kita gak akan tinggal di rumah jelek lagi."

Sorakan Dika membuat Rere tersadar. Rumah besar ini, siapa orang baik hati yang dengan rela menyerahkannya untuk mereka tinggali?

"Re!"

Rere tersentak, ia banyak melamun hari ini. Ayahnya berdiri di sampingnya.

"Kenapa? Ayo masuk!"

Rere menurut, mengikuti sang Ayah yang telah berjalan lebih dulu. Memasuki rumah cukup besar dengan segala isinya cukup lengkap.

"Kalian akan punya kamar berbeda. Rere di kamar belakang dan Dika di kamar yang ini!" tunjuk Farid pada pintu di dekat ruang tv. Sementara kamar belakang berada di dekat dapur.

"Ayah, tapi Dika mungkin belum berani tidur sendirian. Apalagi di rumah sebesar ini. Biar Rere satu kamar dengannya saja."

"Tidak! Dika sudah besar, benar, kan?" Ibu menoleh ke arah Dika yang tampak ragu. Padahal seharusnya ibu yang paling tahu kalau Dika begitu penakut walau usianya sudah delapan tahun.

"Di dalam banyak mainan, kalau Dika tidur sendirian Ibu dan Ayah akan belikan mainan lainnya."

Rere terkesiap, ia menatap Dika yang matanya berbinar karena mendengar kata mainan. Tanpa perlawanan bocah lelaki itu mengangguk.

Kini Rere yang resah. Dua tahun ia tak pernah tidur sendirian. Di rumah besar yang masih terasa asing baginya ia tak akan bisa tidur sendirian. Apalagi rumah ini agak gelap dalam pandangannya, ia hanya terlalu takut untuk mengabaikan kalau ia akan punya kamar sendri sekarang.

"Ya sudah, masuk ke dalam kamar kalian sekarang! Ibu dan Ayah harus pergi dulu!"

Rere dan Dika mengangguk. Dalam perjalanan menuju kamarnya Rere merapat pada Dika untuk bertanya.

"Kau benar, berani tidur sendiri?"

"Berani dong, Dika sudah besar, kak."

Rere mengangguk. "Ya sudah kalau gitu. Nanti kalau takut pindah ke kamar kakak saja."

Dika tersenyum kecil, langkahnya riang masuk ke  dalam kamarnya. Dari celah kecil pintu yang terbuka Rere bisa melihat kalau memang banyak mainan di dalam sana. Terdengar sorakan senang dari Dika.

Sampai Rere lupa, kapan terakhir kali adiknya sebahagia itu saking sulitnya hidup mereka selama dua tahun ini. Bahkan untuk sekolah juga sangat susah.

Rere masuk ke dalam kamarnya. Begitu membuka pintu hawa dingin terasa menerpa wajah. Nuansa pink hitam menghiasi kamar tersebut namun terasa asing dan dingin menurut Rere.

"Assalammu'alaikum," ucapnya begitu masuk.

Brakk!

Rere tersentak, pintu kamar mandi yang berada dalam kamar tersebut menutup seketika begitu ia selesai mengucap salam. Ia terpaku sejenak menatap lama.

"Mungkin angin," ucap Rere menenangkan diri. Menetralkan detak kantungnya yang menggila. Ia menutup pintu kamarnya segera.

Masuk ke dalam kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Memanfaatkan waktu tersisa untuk shalat maghrib. Ia menghidupkan air keran dan mulai membasuh anggota tubuh.

Sejenak, saat membasuh kedua tangan Rere memicing, mematikan kerannya. Saat keran hidup tadi ia mendengar suara orang berbicara dari balik pintu kamar mandi. Berbisik, bergumam tak jelas.

"Siapa?" tanyanya lirih. Tak ada sahutan. Rere menghidupkan keran kembali dan suara itu terdengar lagi. Mempercepat gerakan wudhunya. Rere buru-buru mematikan keran.

Hening menyelimuti diri, hanya ada suara tetesan air yang jatuh ke lantai.

"Ibu?" panggilnya.

"Ayah?" Tak ada sahutan sama sekali.

Ia bergerak membuka pintu kamar mandi.

Wush!

Tap tap tap tap.

Sekelebat sosok bayangan hitam merangkak dengan cepat di hadapannya dari depan pintu dan masuk ke dalam kolong tempat tidur.

Ia terpaku, kaget dengan tubuh gemetaran. Menelan ludah dengan susah payah.

Apa itu tadi?

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya Bab 3 dan 4 ~ Sekte (Tubuh Untuk Raja Iblis)
0
0
Dika! panggil Rere dengan suara bergetar. Ia tak bergerak dari tempat. Berharap dengan sangat yang tadi merayap ke bawah tempat tidur adalah adiknya.Sunyi, senyap, tak ada suara apapun beberapa menit Rere menunggu. Ia belum berani beranjak. Matanya melirik ke arah kolong tempat tidur itu dan pintu yang lumayan jaraknya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan