Selanjutnya
AksaGata
AksaGata || Part 1Indonesia. Oktober 14, 2023.Suara rintik hujan yang terdengar, aroma Petrichor yang menenangkan, dan embun yang menutup kaca bening sebuah Cafe membuat seorang perempuan yang terduduk di kursi roda itu jatuh dalam lamunan. Vanilla latte yang masih mengepulkan asap panasnya tak ia hiraukan, juga kebisingan langkah kaki di dalam Cafe dan beberapa klakson mobil di luar sana ia tak perdulikan. Wajah yang terlihat datar itu, sebenarnya menyembunyikan wajah pias akan kesedihan. Hah... Hujan selalu memberikan rasa rindu dan sedih ke dalam hatinya, walau begitu ia tak pernah membenci air yang jatuh berkali-kali ke bumi itu.Perempuan dengan umur yang baru saja memasuki angka 23 tahun itu bernama Anagata Zanneta Maheswari, nama yang sangat indah, bukan? Begitu pula artinya, Bidadari yang anggun dan lembut dari masa depan. Sama seperti arti dari namanya, dia adalah wanita cantik bak bidadari, tubuh ramping dan kecilnya tentu saja menghadirkan kesan anggun dan lembut. Namun, dia bukan dari masa depan, tentu saja di benar-benar berasal dan dilahirkan 23 tahun lalu. Dia duduk sendirian menunggu Kakak bukan sedarahnya, seseorang yang sudah ia anggap kakaknya sendiri. Pria itu adalah pria berumur 26 tahun, mereka sudah selalu bersama sejak kecil. Sejak sang perempuan mencintai satu hal dalam hidupnya, walau tiga tahun lalu ia harus merelakan kecintaannya itu. Ana; nama panggilan perempuan itu, mengutak-atik ponselnya, mencoba menghubungi sang kakak yang sudah pergi meninggalkannya sejak 45 menit lalu. Ah... dia mulai merasa bosan. Apalagi melihat beberapa tatapan yang sepertinya sedang memastikan, ia merasa tak nyaman dan risih.Ish, Kak Ansel ke mana, sih? Lama banget, katanya cuma sebentar. Mana nggak bisa dihubungi! dumel Ana. Ia mengangkat tangannya, meminta waitress untuk membawakan bill makanan dan minumannya, walau semua yang tersaji di atas meja belum sedikit pun ia sentuh. Setelah melihat harganya, Ana lantas membayarnya. Ia langsung menjalankan kursi roda dengan tangan kurusnya. Tak memperdulikan berbagai macam tatapan yang mengiringi langkah kursi rodanya. “Sampai hujan berhenti bahkan Kak Ansel belum keliatan? Ke mana, sih, dia? Awas aja, aku bakal marah sama Kakak, ish!”Dia mencoba turun dari tangga depan Cafe, hanya ada lima tangga kecil, tapi ia takut. Ia takut jatuh, tapi jika tidak jalan ia semakin takut dengan tatapan orang-orang yang berdiri di sana. Dalam hatinya, Ana bersumpah ia akan marah sehari semalam pada sang Kakak. Awas saja!Ia mulai memutar kursi roda nya hingga satu tangga terlewati, ia senang. Namun, saat kembali ingin turun tiba-tiba ia merasa mulai kehilangan keseimbangan, ya ampun ia pasti akan jatuh... “Hey, nona. Tolong berhati-hatilah!”Suara berat itu menginterupsinya, bersamaan dengan kursi rodanya yang terasa berjalan melewati gundukan tangga tersebut. Ana perlahan membuka matanya, di samping tubuhnya ia melihat tubuh pria dengan setelan santai. Ya ampun, akhirnya dia bisa bernafas lega. Te-terima kasih, jawab Ana masih dilanda kegugupan. Tidak masalah. Anda mau ke mana? Saya bisa mencarikan taksi jika dibutuhkan? tanya pria manis di depan tubuh Ana. Entah kapan, tapi pria itu sudah bersimpuh mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Ana. Ana berpikir, daripada terus di sini, dia lebih baik pulang dan bersama Bundanya. Akhirnya ia mengangguk. Jika tidak masalah, apa tidak keberatan? pinta Ana, ia bingung harus memanggil apa. Rasanya aneh jika memanggil Tuan, menyamakan pria di depannya yang tadi memanggil Nona. Pria itu mendorong kursi roda Ana hingga sedikit jauh dari pinggir jalan raya, ia mencari taksi kosong untuk Ana. Hingga satu taksi berhenti di depannya, Ana sudah bersiap untuk bangkit perlahan seraya berpegangan pada kursi rodanya. Namun, belum sempat tangannya menyentuh pegangan kursi roda, tubuhnya sudah melayang di dalam dekapan ala bridal style pria tadi, membuatnya hampir saja menjerit kencang bersamaan dengan jantung yang bertalu kencang. Ana sudah duduk tenang di kursi penumpang, Maaf, jika lancang Nona. Tapi begitu lebih cepat karena saya sedang terburu-buru. Pria manis itu bicara seraya memasukkan kursi roda ke dalam bagasi. Tubuh pria itu condong masuk ke dalam mobil, “Pak, tolong antar perempuan ini ke rumahnya.Sebelum pintu penumpang di tutup, suara Ana menggaum dengan pelan, “Terima kasih....”Pria itu hanya menatapnya dan menutup pintu tersebut dan langsung saja taksi itu berjalan meninggalkan sang pria manis. Ana memegang dada kirinya, Ya Tuhan, apa ini? tanyanya dalam hati.
**********Di sisi lain, Aksata baru saja sampai di Rumah Sakit karena panggilan dari atasannya. Ia sendiri juga bingung urusan apa yang tidak bisa di tunda hingga hari esok dan mengganggu waktu liburnya karena tidak ada shift.Saat sudah sampai di depan ruangan tersebut Aksata mengetuknya beberapa kali hingga mendapatkan izin untuk masuk. Ia duduk berhadapan di depan meja sang atasan, tersenyum ramah untuk menyapa.Maaf mengganggu waktu istirahat Anda Dokter Aksata, tapi saya punya hal penting yang harus didiskusikan langsung dengan Anda, dan mungkin beberapa persetujuan? ujar sang atasan; Anthony.Aksata mengerutkan keningnya merasa heran dengan obrolan dan suasana yang terasa serius ini. Walau begitu ia tetap menjawab ramah, Ada apa Pak Anthony? Apakah ini sesuatu yang buruk?Anthony mengangguk ringan dengan senyum tak enak, Yaaa, sebenarnya ini tidak terlalu buruk, tapi mungkin sedikit sulit ditangani. Kita punya pasien dengan keluhan Fraktur Femur, yang sudah tiga tahun tidak bisa sembuh bahkan dengan terapi."Saya rasa tiga tahun bukan waktu yang lama hanya untuk menyembuhkan patah tulang di bagian tungkai atas bukan? Jikalau memang tak sembuh secara total minimal dia akan tetap akan bisa jalan walau beberapa kegiatan harus ia hentikan.Anthony kembali mengangguk, Yaa, seperti itu harusnya. Hanya saja pasien kita ini memiliki situasi yang berbeda, bahkan dia sudah ke beberapa Rumah Sakit dan menurut keterangannya ini akan menjadi tempat terakhir karena pasien kita lebih memilih menyerah pada keadaannya jika di sini juga tidak berhasil.Aksata bergumam dalam pikirannya, siapa seseorang ini, kenapa dia memiliki pikiran sedangkal itu? Hey... Kenapa bisa menyerah bahkan sebelum mencoba? Bukankah itu malah akan membuat ia semakin terpuruk dan tidak akan bangkit?Aksata memiliki banyak pertanyaan, tapi semua itu ia urungkan. Ia lebih memilih mendengar ucapan selanjutnya dari sang atasan.Pasien kita ini spesial, dan saya benar-benar ingin melihatnya kembali bangkit. Bangkit dari keterpurukan juga kembali memulai karirnya yang harus berhenti diumur semuda itu. Dokter Aksata, Anda adalah dokter spesialis tulang yang saya tahu sangat hebat, saya ingin mempercayai tugas ini kepada Anda dengan harapan besar sebelum saya benar-benar pensiun dari kursi ini saya bisa melihatnya kembali diberbagai ajang bakat yang sangat ia cintai.Anthony memajukan tubuhnya, menyatukan kedua tangannya untuk bertumpu di atas meja dan menatap serius kepada Aksata. Dokter Aksata saya tahu Anda memiliki banyak pertanyaan, tapi saya akan membiarkan pertanyaan itu terjawab jika Anda bertanya langsung kepadanya, itupun jika Anda menerima tawaran saya. Saya tidak akan pernah memaksakan apapun kepada Anda, semua keputusan ada di tangan Anda dan apapun keputusannya akan saya terima dengan senang hati.Jika Anda ingin melihat pasien ini untuk membantu mengambil keputusan saya bisa membuat janji untuk pertemuan kalian? Dokter Aksata saya mohon pikirkan dengan baik permintaan saya ini, mohon Anthony dengan setulus hati.Aksata mengangguk, Ya, saya akan memikirkannya terlebih dahulu. Semoga keputusan apapun yang saya ambil tidak akan merubah persepsi Anda tentang saya, Pak.Tentu saja, keputusan ada ditangan Anda dan saya akan terus menghargai dan menantikannya.Aksata memutar tubuhnya untuk keluar dari ruangan tersebut seraya menghembuskan nafasnya perlahan.Ia tidak menyetujui ucapan Pak Anthony tentang perjanjian dengan pasien tersebut karena tidak ingin mengambil keputusan berdasarkan apa yang ia lihat. Ia ingin mengambil keputusan berdasarkan pendapat orang ketiga yang diberikan oleh Pak Anthony.Walau keputusannya entah benar atau tidak, ia hanya akan menjalankan tugasnya sebagai dokter yang sudah mengabdikan profesionalitas nya pada Rumah Sakit ini.****Sudah seminggu dari apa yang terjadi kepada Anagata di Cafe, ia hanya terus merenung di belakang rumahnya dengan suasana asri karena begitu banyak pohon dan bunga yang tumbuh cantik.Di sebelah kanan taman itu terdapat suatu ruangan yang dulu sangat sering ia kunjungi, tempat keduanya selain rumah ini sendiri. Ruangannya untuk berlatih setelah pulang dari kelas balet nya, ruangan yang penuh akan kenangan indahnya dulu.Namun, Anagata rasa ruangan tersebut pasti sudah sangat berdebu karena sudah terlalu lama tidak lagi dikunjungi.Entah bagaimana kabar barre-nya, mungkin sudah berkarat atau bahkan sudah rapuh, Ana tidak terlalu perduli lagi. Ia terlalu takut untuk memasuki ruangan tersebut.Ia trauma pada cinta dan kesukaannya. Namun, jika diberi pilihan Ana masih ingin maju dan bangkit untuk menari lagi. Ia punya begitu banyak cerita yang hanya bisa ia ungkapkan lewat tarian nya dalam balet, ia merindukan melody halus nan merdu yang selalu mendapinginya menari, tapi dia tidak lagi memiliki kekuatan untuk mendengarkan melody tersebut.Tiga tahun berlalu ia hanya bisa mendengar kompetisi yang biasa ia ikuti setiap tahunnya dimenangkan oleh seseorang yang sudah membuatnya terduduk di kursi roda ini. Ia ingin menjerit pada dunia bahwa ini tidak adil. Kenapa seseorang yang membuatnya trauma malah bersikap biasa saja seolah tidak ada yang terjadi, kenapa dia bisa tersenyum tanpa beban di posisi yang seharusnya menjadi miliknya?Tanpa sadar air mata mengalir dari sisi matanya, ah... Ya ampun untuk apa ia menangis, semua tangisannya saat ini tidak akan berguna. Lagipula siapa yang meminta untuk menyerah pada keadannya sendiri?
Ana bukannya menyerah, hanya saja ia lelah terus berusaha selama tiga tahun ini tapi tidak ada kemajuan satu persen pun yang ia dapatkan. Daripada memberi harapan pada dirinya yang belum tentu akan terwujud, Ana lebih memilih untuk berhenti sekarang. Ana... Ana langsung baru-baru menghapus air matanya saat suara Kak Ansel memanggilnya. Ansel bersimpuh di depan kursi roda Ana dan memegang kedua tangan Ana yang berada di atas pahanya, Ana, kakak menemukan dokter tulang yang sangat kompeten untuk melakukan terapi kali ini, kita bi---- Kak! mata Ana berkaca kaca melihat keseriusan dalam mata kak Ansel. “Ana nggak bisa, Ana udah bilang Ana udah menyerah sama keadaan yang sekarang Ana jalani. Ana lelah terus berjuang tapi nggak ada perubahan, Kak.”“Ana kali ini dia benar-benar seorang dokter yang pasti bisa membantu kita. Bahkan ia pernah berada di Rumah Sakit terbesar di Inggris beberapa tahun, itu bisa jadi memberitahu kita seberapa bagusnya dia dibidang ini. Kita coba dulu, yaa?”“Kak hampir sepuluh dokter di tiga tahun terakhir kakak juga bilang seperti ini. Namun, mana? Semuanya sama aja kak, nggak ada yang berhasil. Bahkan dokter dari luar negeri sekalipun nggak ada satupun yang berhasil. Kakak mau minta dokter sebanyak apalagi untuk menangani ini?Ana melepas genggam Ansel, ia menghapus air matanya kasar. Kak stop pada anggapan setiap dokter bahwa aku bisa sembuh walau hanya dua dari sepuluh persen. Aku nggak mungkin bisa sembuh lagi, kak. Aku nggak akan bisa berjalan lagi dengan normal, dan tidak ada lagi Anagata sang Lompat Terbang. Berhenti sampe sini, Ana lelah kak....''Sakit... Ana lelah untuk terus berjuang, kenapa tidak ada yang bisa mengerti perasaannya? Ansel memeluk tubuh bergetar milik adiknya. Mereka menangis bersama pada lelahnya perjuangan selama tiga tahun ini. Namun, bagi Ansel tidak ada kata menyerah. Ia tidak ingin Ana berhenti pada cinta yang membangkitkannya 20 tahun lalu. Ia tahu seberapa besar suka dan cintanya Ana pada balet, ia dan keluarga Ana yang menjadi saksi bisu tumbuhnya Ana bersama setiap kelenturan tubuhnya. Bagi Ansel tiga tahun, lima tahun, atau bahkan sepuluh tahun ke depan ia tidak akan menyerah pada kesembuhan Ana. Ansel melepas pelukan Ana, ia menangkup wajah Ana yang basah oleh air mata dan mengusapnya. Membuat Ana melihat Ansel dengan wajah memerah khas wajah sembap. “Ana, dengar... Kakak janji ini terakhir kali kita berusaha. Bertahan selama seminggu dan lihat apa yang terjadi, jika ada kemajuan kita bisa melanjutkan, tapi jika tidak ada kita akan berhenti.”“Bunda setuju pada Ansel, Nak.”Bunda..., gumam Ana saat Bunda nya datang seraya memegang pundak nya. “Jika bukan demi dirimu, Nak. Lakukanlah demi Bunda, Ansel, dan seluruh penggemar di berbagai negara yang masih setia menunggu kabarmu, Nak.”“Untuk kali ini, kali terakhir kami meminta kamu untuk berusaha sembuh dari keterpurukan kita semua selama tiga tahun. Bunda mohon, ya sayang?”Semenjak kecelakaan tiga tahun lalu Ana memang sengaja menonaktifkan semua akun media sosialnya agar tidak melihat kekecewaan para penggemar padanya.Walau begitu ia tahu penggemarnya tidak pernah kecewa padanya, justru mereka mendoakan kesembuhannya. Ia bahkan tahu setiap hari ulang tahunnya banyak akun yang mengetag akunya untuk mengucapkan ulang tahun dan sisipan doa terbaik untuknya.Ia hanya terlalu malu untuk menunjukkan dirinya. Ia ingin sembuh untuk maju dalam setiap kompetisi lagi, lalu memenangkannya dan berbalik menghadap para penggemar yang tersenyum bahagia untuknya.Namun, apa kali ini akan berbeda? Apa akan ada kemajuan agar ia bisa sembuh? Kita coba dan berusaha bersama, ya, sayang? tanya Bunda sekali lagi membuatnya mengangguk setuju. Pelukan dari kedua orang tersayangnya mampu memberikan kehangatan bersamaan dengan rasa percaya diri yang muncul. Ia tidak tahu apa yang akan ia dapatkan, tapi ia hanya akan mencoba dan mempercayai akhirnya pada sang Maha Kuasa.
******