Sh0rtcut! Bagian 3: Angsana

3
0
Deskripsi

Mobil yang kami kendarai semakin lama semakin menjauhi keramaian. Jalan raya yang menuju ke arah luar kota tampak lengang. Waldi tampak santai menyetir mobil. Katanya dia gak bisa ngebut kalo jalan malam. Alasannya, karena faktor penglihatannya yang kurang tajam dalam kondisi gelap. Tapi, pas tadi aku tawarin buat nyetir, Waldi menolak. Dia bilang, pengemudi pertama mestilah yang punya mobil, biar gak terjadi kenapa-kenapa di jalan. Anggapan yang aneh, tapi aku iyakan aja.

“Kalo udah ngantuk, bilang...

Bersambung

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Sh0rtcut! Bagian 4: Dewandaru
3
0
Setelah beberapa saat aku dan Rendy berada di toilet melakukan aktivitas tak wajar— saling mempertontonkan alat kelamin yang berujung pada klimaks di luar rencana— kami berdua pun akhirnya memutuskan segera menyudahi aktivitas itu. Begitu sampai di luar, suasana keramaian kafe tampak sama saja seperti saat kami masuk ke toilet. Sepertinya belum ada pengunjung kafe yang pulang. Waldi tampak menyadari kami udah keluar dari toilet dan sedang menuju ke arahnya. Dia langsung memberi kode kepada Ririn yang duduk bersebelahan dengannya, bahwa kami udah keluar dari toilet.Kok lama banget ke toiletnya? Ngapain aja kalian berdua? Bercinta nih jangan-jangan, kata WaldiIya nih kok lama banget, sambung Ririn.Biasa lah, urusan di toilet kan susah ditebak, jawabku sambil duduk di kursi. Tampak minuman kami semua udah siap.Sori ya, Res. Kami udah minum duluan. Nunggu kalian berdua kelamaan, kata Waldi santai.Kan memang gak perlu ditungguin, bro. Santai aja, jawabku.Iya sih. Tapi sejujurnya kalian berdua ngapain aja sih kok bisa lama banget, ya. Katanya cuma pipis aja, kata Ririn.Seperti yang bang Waldi bilang tuh. Kami bercinta, haha jawab Rendy dengan nada bercanda.Ngaco, ah! Masak bercinta sih? kata Ririn sambil mengalihkan pandangan ke arahku, seolah ingin meminta jawaban juga dariku.Iya, betul tuh kata Rendy. Kami berdua bercinta di toilet, haha, jawabku dengan nada yang sebisa mungkin kubuat bercanda. Padahal aku masih agak canggung, karena memang kenyataannya apa yang kami lakukan di toilet tadi bisa dikategorikan 'bercinta'.Ih, kalian berdua sama aja. Lagian kalo bercinta, terus siapa yang jadi ceweknya? tanya Ririn.Kalo aku yang jadi ceweknya, kamu iri gak, Rin? tanyaku. Aku jujur sedikit deg-degan saat mengatakan itu. Karena secara otomatis otakku langsung membayangkan Rendy yang perkasa itu sedang menggagahiku dengan pedang kejantanannya.Bang Ares ceweknya? Ngaco, ah! Gak cocok banget, kata Ririn.Kok gak cocok? tanyaku.Masak ceweknya berotot dan gagah sih, kata Ririn.Kan yang penting ada lubang buat dibuahi, betul gak, Rend, kataku asal. Rendy hanya senyumNah, itu kode tuh Rend buat kamu, kata Waldi.Kode apaan, bang? tanya Rendy.Kode si Ares minta dibuahin sama kamu, jawab Waldi.Ih, jorok ah. Udah ah, ngomongin yang lain, sahut Ririn.Aku cuma tersenyum. Kulihat Rendy juga tersenyum.Entah kenapa, hanya dengan pembicaraan seperti ini pun udah bisa membuat aku kembali ngaceng berat. Padahal belum lama aku sudah memuncratkan seluruh persediaan air maniku.Udah segar nih kayaknya kita, kata Waldi. Udah siap lanjut, kah? tanyanya.Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 9 kurang.Kayaknya udah siap, kataku menyelesaikan minumanku. Rendy dan Ririn juga segera menghabiskan minumannya, sebelum akhirnya kami menyudahi acara santai kami di kafe, dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan kembali.Sampai di mobil, kami segera masuk. Posisi kami di dalam mobil tidak berubah. Aku duduk di depan, di sebelah Waldi yang menyetir. Sementara Rendy dan Ririn duduk berduaan di belakang. Aku masih aja iri melihat kedekatan Rendy dan Ririn yang duduk berhimpitan satu sama lain. Andaikan aku yang ada di posisi Ririn...Mobil mulai berjalan pelan meninggalkan halaman parkir kafe Angsana. Tidak jauh dari kafe tempat kami minum tadi, terdapat sebuah pohon dengan dedaunan yang rimbun dengan cabang-cabang yang melebar. Itu pohon dewandaru, sekaligus menandai jalan masuk pintasan yang akan kami lewati malam ini.Begitu hendak berbelok, tampak sebuah palang kayu menghalangi jalan itu.Lho, kok ditutup jalannya? tanyaku.Gak tau juga, Res. Kemarin kayaknya belum ada tuh palang, kata Waldi. Dia juga tampak kesal.Terus gimana nih? tanyaku lagi.Kalo udah dipalangin kayak gitu, artinya jalannya gak layak buat dilewati, kan, bang, sahut Rendy di belakang.Jadi gimana? Aku ikut pendapat masing-masing kalian nih. Mau lanjut lewat jalan pintas atau lewat jalan biasa, kata Waldi.Bedanya jauh gak sih, bang? tanya Rendy.Lumayan, Rend. Sekitar lima jam selisihnya. Kalo lewat jalan pintas, paling cuma 3 jam udah sampe. Tapi kalo lewat jalan biasa, paling cepat delapan jam, jelas Waldi.Waduh, lumayan juga tuh, bro, sahutku.Jadi, lewat mana? tanya Waldi lagi.Lewat pintasan aja lah, dekat, jawabku. Menurutku kalo selisihnya sampai 5 jam, lumayan banget buat berhemat waktu, biaya bensin, dan tenaga juga.Kalo Rendy dan Ririn, gimana? tanya Waldi.Kalo aku sih, lewat jalan biasa aja lah, lebih aman, jawab Ririn. Lagian, kalo jalan masuknya aja udah dipalangin gitu, pasti jalannya udah nggak layak dilewatin, kan, jawab Ririn.Iya juga sih, masuk akal juga pendapat Ririn, kata Waldi memaklumi.Jadi, kamu setuju lewat jalan biasa? tanyaku ke Waldi. Soalnya dari nada suaranya, dia kayak mendukung pendapat Ririn.Sejujurnya sih aku lebih suka yang pasti-pasti aja, Res. Pendapat Ririn sangat masuk akal dan aku suka. Tapi, mengingat rasanya udah gak sabar mau nyampe ke kampung, untuk saat ini aku lebih memilih menerobos jalan pintas, jawab Waldi.Kalo kamu, Rend? tanyaku ke lelaki pujaanku itu.Aku ikut bang Ares aja, lewat jalan pintas, jawab Rendy.Lho, kok ikut aku? tanyaku.Iya dong, bang. Soalnya kalo terjadi kenapa-kenapa, kan bang Ares bisa diandalkan, jadi lebih tenang, jawab Rendy. Aku sangat senang dengan jawaban Rendy. Rasanya aku ingin memeluknya saat itu juga.Oke lah, kalo gitu, kita sepakat lewat jalan pintasan, ya, kata Waldi.Oke, jawabku dan Rendy bersamaan.Waldi kemudian menjalankan kembali mobil, melewati bahu jalan yang berbatu untuk menghindari palang yang sengaja diletakkan menghalangi badan jalan. Tampak nama jalan Dewandaru terpampang di pinggir jalan, persis di bawah pohon Dewandaru. Aku menduga, Jangan-jangan nama jalannya terinspirasi dari pohon besar itu.Serius kalo lewat sini lebih cepat, bang? tanya Rendy beberapa saat setelah mobil mulai memasuki jalan Dewandaru yang gelap tanpa penerangan sama sekali.Iya, serius. Aku beberapa kali udah lewat sini. Jalannya relatif lurus. Kecuali di kaki gunungnya, ada beberapa kelokan yang mesti hati-hati kalo lewat situ, jelas Waldi.Kok hati-hati? Memangnya ada apa di situ, bang? tanya Ririn dengan nada cemas.Ya, karena disitu berkelok-kelok. Kan, kalo lewat jalan berkelok-kelok kita mesti lebih berhati-hati, jawab Waldi bercanda.Iya, tau. Ada alasan lain gak selain itu? Itu maksud Ririn, kata Ririn.Gak ada sih. Cuma kelokan biasa. Sebetulnya ada banyak kelokan di jalan pintas ini. Tapi sebagian besar hanya kelokan ringan aja. Dari seluruhnya, ada 3 kelokan utama. Kalo orang-orang menyebut kelokan pertama sebagai letter G, lalu sesudah itu ada letter A, dan yang terakhir letter Y. Jarak tiap kelokan sekitar 1 jam. Di masing-masing kelokan itu ada persimpangan.Itu aja? tanya Ririn lagi.Iya, cuma itu. Plus gak ada listrik dan sinyal selama sejam, jawab Waldi singkat.Aneh juga, ya. Kalo memang jalan ini gak ada masalah serius, kok sampe ditutup gitu, ya? tanya Ririn bingung.Pasti ada sesuatu lah, cuma gak tau itu apaan. Mungkin terkait dengan hal-hal mistis, kali. jawabku.Mistis gimana maksudnya, bang? tanya Rendy.Gak tau juga. Cuma berandai-andai aja, jawabku.Bisa juga karena peralihan peruntukan lahan. Atau bisa juga karena sengketa, jawab Waldi.Kalo kejadian-kejadian aneh gitu, pernah terjadi gak bang di jalan ini? tanya Rendy.Beberapa kali sih ada aku dengar, jawab Waldi.Ririn langsung mencondongkan badannya ke depan. Kejadian aneh apaan tuh, bang? tanya Ririn. Kayaknya dia yang paling khawatir mengenai jalan pintasan ini. Maklumlah, soalnya jalannya memang sangat gelap dan pekat. Bahkan bulan dan bintang juga gak kelihatan karena terhalang pohon-pohon tinggi dan awan tebal.Beberapa kali ada kecelakaan di jalan ini. Kejadiannya semuanya di letter A. Ada juga kejadian orang hilang setelah melewati jalan ini, gak balik-balik. kata Waldi.Waduuh. Udah tau gitu kenapa mesti lewat sini, sih? kata Ririn.Santai aja, Rin. Aku udah sering lewat sini, aman aja kok. Kalo soal kecelakaan dan orang hilang, dimana-mana juga bisa kan kejadian. Lewat jalan raya utama juga gak menjamin kita aman dari kecelakaan. Yang penting ekstra hati-hati aja, jawab Waldi.Iya, Rin. Aku sebetulnya juga pernah lewat jalan ini. Tapi udah lama sekali. Aman aja kok, meskipun lumayan seram suasananya, kataku.Serius pernah lewat sini, bang? Tadi kok masih tanya-tanya mengenai lama perjalanannya? tanya Rendy.Iya, jawabku. Kan udah lama, Rend. Aku udah lupa."Tapi waktu itu aman aja, kan, bang? tanyanya lagi.Aman, Rend, jawabku.Iya, Rend, Tenang aja. Aman kok. Kalo lancar, perkiraan sampai di kampung kira-kira tengah malam, tambah Waldi.Lumayan kan, Rend, dari pada lewat jalan biasa, bisa pagi baru nyampe, kataku.Iya, bang, Setuju. Lebih cepat sampai, lebih baik, jawab Rendy.Udah mau sampai letter G nih, kata Waldi mengingatkan.Belokan pertama itu, ya, sahut Ririn.Iya, Rin. Belokannya berbentuk huruf G. Sambil berbelok, sambil menanjak memutar. Kalo pas di kelokan itu, kita akan melihat jalan yang sebelumnya kita lewati akan berada di bawah kita. Waldi menjelaskan dengan antusias.Mobil mulai menanjak perlahan. Sambil menanjak sambil memutar.Mana jurangnya, bang? tanya Ririn. Kulihat dia berusaha fokus menatap ke luar jendela.Ya nggak kelihatan lah, Rin. Gelap banget di luar. Kalo lewatnya pas siang baru bisa kelihatan, jawab Waldi. Tapi jurangnya juga nggak dalam-dalam amat kok. Paling dalamnya cuma 6 meter. Lagian ada pembatasnya juga, biar mobil gak nyemplung ke jurang dan terguling ke jalan sebelumnya, tambahnya.Oh. Untunglah gelap. Jadi nggak seram kalo nggak kelihatan, kata Ririn. Tapi, amit-amit banget kalo sampe jatuh, lanjutnya.Rin, itu gak terlalu ekstrim kok. Gak kayak kelokan waktu aku naik mobil dari Aimere ke Bajawa.Memangnya kenapa dengan... apa tadi yang ada Bajawa-nya? tanyanya.Jalur Aimere-Bajawa. Itu banyak yang nyebut 'Jalan seribu tikungan'. Dibandingkan itu sih, tikungan di letter G gak ada apa-apanya, kata Waldi. Cetek!Dibandingin dengan yang lebih parah bukan berarti jalan di sini jadi jalan yang aman kan, bang! Gimana sih bang Waldi! sahut Ririn.Cuma mau bilang, jalan di sana aja lewat. Apalagi jalan di sini, kata Waldi. Sombong juga dia. Atau mau pamer keahlian menyetir ke cewek??Iya, Rin. Kita serahkan aja semua ke Waldi, kataku.Mobil masih meliuk melewati kelokan G. Tepat di bagian akhir kelokannya, ada pertigaan.Ada persimpangan tuh, Bang. kita ambil yang mana? tanya Rendy.Aku baru sadar dari tadi dia diam aja. Jadi pas dengar suaranya, hatiku pun jadi senang. Sesaat, aku menoleh ke belakang. Pas banget aku liat dia, dia pun sedang menoleh ke arahku sambil tersenyum. Tampak samar dalam suasana temaram di dalam mobil.Deg! Aku berdebar. Manis sekali senyumnya!Kenapa, bang Ares? tanyanya saat aku membalas senyumnya.Nggak kenapa-kenapa, Rend. Aku mau memastikan kamu masih belum tidur. Soalnya dari tadi nggak kedengaran suara kamu, kataku.Oh...belum tidur dong, bang. Malah masih kondisi bangun seratus persen nih, jawabnya.Waldi tampak fokus mengendarai mobil, lalu dia membanting setir ke kanan, memasuki salah satu persimpangan jalan ke kanan.Betul kah bang ngambil jalannya? tanya Rendi lagi.Sangat betul. Kamu tenang aja, Rend! jawab Waldi yakin.Kalo salah, gimana? tanya Ririn.Itu kan ada larangan belok ke kiri, Rin. Jadi, jalan satu-satunya yang paling mungkin ya belok ke kanan, jawab Waldi.Kalo ke kiri itu ke mana? tanya Ririn penasaran.Nggak tau juga, Rin. Nggak pernah belok ke sana soalnya. Tapi pernah dengar kalo itu juga menuju jalan balik ke simpang jalan sebelum letter G. Pas jalan lurus yang tadi udah kita lewati. Bisa nembus juga ke letter A. Cuma, di pertengahannya ada jembatan yang putus. Jadi jalannya di tutup, jelas Waldi.Anjir, seram banget kalo salah belok, sahut Ririn.Tapi itu juga masih 'katanya', belum pasti, jawab Waldi. Dan kemungkinan salah belok itu peluangnya hampir nol, karena jalannya kan ada tanda dilarang masuk, kata Waldi.Hampir nol itu tetap masih ada kemungkinan dong, bang, sahut Ririn menanggapi. Dan kalo patokannya ada tanda dilarang masuk, dari awal kita lewat jalan Dewandaru ini juga peluangnya hampir nol. Kan ada larangan masuknya juga. Tapi peluang hampir nol itu malah kita ambil, anjiir!Itu kan peluang supaya lebih cepat sampai, Rin. Beda! balas Waldi nggak mau kalah.Mobil bergerak sedikit laju karena sudah memasuki jalanan yang relatif lurus. Aku menatap ke depan, ke arah jalan yang diterangi lampu mobil. Tampak membosankan. Sesekali, kulirik ke arah belakang. Ke arah Rendy pujaan hatiku. Dan di beberapa lirikanku, dia balas menatapku dengan senyuman lelakinya yang sangat menawan.Oh, Rendy. Mengapa ada lelaki seindah dan semenarik dia. Andaikan aku duduk di sebelahnya saat ini, aku pasti akan menghimpit tubuhnya terus sepanjang jalan, dan...Bang Ares! panggil Ririn membuyarkan imajinasiku.Kenapa, Rin? tanyaku.Kita tukaran tempat duduk boleh nggak? Ririn pengen juga liatin jalan. Soalnya udah mulai ngantuk, katanya.Aku langsung bahagia seketika. Kayak tau aja si Ririn kalo aku udah dari tadi kebelet pengen duduk dekatan sama calon suaminya.Boleh! kataku singkat padat jelas dan penuh antusiasme.Kalo ngantuk kan tinggal tidur aja, Rin! Lagian kamu juga nggak kebagian jatah nyetir, kan? sahut Waldi.Waldi, aku nggak masalah pindah ke belakang! kataku. Sialan si Waldi. Apa maksudnya dia mau menggagalkan imajinasiku yang hampir menjadi nyata.Iya nih bang Waldi. Stop aja dulu sebentar mobilnya. Ririn mau pindah duduk ke depan. Boleh, ya! kata Ririn.Boleh dong, Rin, jawab Waldi langsung memperlambat laju mobil dan menepikannya.Aku dan Ririn pun bertukar posisi. Ririn sekarang duduk di depan, menggantikan posisiku tadi. Sedangkan aku menggantikan posisinya, duduk di surga dunia. Dan ketika Rendy menggeser duduknya mendekat ke arahku. Terasa sekali surga itu semakin mendekat.Gimana, Rin. Udah hilang ngantuknya? tanya Waldi.Udah! jawab Ririn singkat.Cepat banget, Rin? tanya Waldi lagi sambil memulai menjalankan mobil kembali.Iya, kan kalo duduk di depan bisa lihat pemandangan, jawabnya.Rendi yang sejak tadi lebih banyak diam, menyahut Pemandangan apa, sayang. Gelap kan?Tapi masih mending lah, ada penerangan lampu mobil. Kalo duduk di belakang, liatin jendela samping, nah itu baru gelap gulita, jawab Ririn.Mau diputerin lagu, nggak? Biar rame, tanya Waldi. Dari tadi aku duduk di depan kayaknya Waldi nggak ingat sama sekali buat nawarin begituan. Atau dia lupa?Boleh lah, bang. Lagu dangdut boleh, keroncong boleh. Pop klasik juga...Ririn tampaknya lebih ceria setelah duduk di depan. Mungkin memang karena ngantuknya berkurang. Sementara dia dan Waldi sibuk merencanakan lagu apa yang akan mereka pilih buat di putar, aku melirik ke Rendy. Lelaki itu ternyata juga tengah menatapku sambil tersenyum tipis.Bang Ares! panggilnya pelan. Duduknya sedikit beringsut semakin mendekatiku. Aku juga sebetulnya ingin balas menggeser dudukku mendekatinya. Tapi entah kenapa, tubuhku kayak membeku dan gemetar...Kurasakan tangan kiri Rendy jatuh di pahaku yang terbalut celana jeans ketat. Kehangatannya terasa menembus kain, menerpa kulit pahaku yang sensitif akan sentuhan darinya.Bang! panggilnya lagi. Aku tersadar.I..iya, Rend. Kenapa? tanyaku berusaha mengeluarkan suaraku dengan normal.Rendy kemudian mengangkat tangan kanannya, dan memegang lengan atasku. Tangan kirinya masih di pahaku. Posisi dia sangat dekat. Dan apa yang barusan dia lakukan, apa pun motifnya, semakin membuatku sesak napas.Kuat sekali otot bang Ares!' katanya sambil meremas pelan otot bicepsku. Pengen punya otot kayak gini, tambahnya lagi.Ah kamu, diajakin nge-gym berkali-kali kan nggak mau, kataku. Suaraku terdengar bergetar meski udah aku usahakan senormal mungkin. Efek mabok Rendy terlalu kuat. Batangku kurasakan mulai membesar di balik celana jeansku. Terasa sekali aliran darah mengisinya dengan deras dan hangat.Pinjam boleh kah, bang? tanya Rendy. Pelan setengah berbisik.Tanpa menunggu jawabanku, tangan kanan Rendy yang tadinya memegang-megang biceps-ku langsung menarik lenganku, melewati kepalanya, dan...Kayak gini lebih enak, bang. Nggak bikin sakit leher kalo nyandar, katanya sembari merebahkan kepalanya di lenganku yang melingkar di belakang lehernya.Aku sangat gugup sekaligus merasa sangat nyaman. Belum pernah aku di posisi sedekat ini dengan Rendy. Dan entah kenapa Rendy juga mau. Malah dia yang berinisiatif begitu.Karena beberapa ruas jalan aspalnya tidak rata, goncangan mobil semakin menggeser kepala Rendy menggelincir ke arah bahuku. Anehnya, Rendy tampak enggan menjauhkan kepalanya yang sudah terlanjur sangat dekat dengan kepalaku. Kepalanya praktis menyandar di bahuku, menyentuh leherku. Lalu, secara refleks, tangan kananku pun merangkulnya erat.Tangan kiri Rendy masih tetap di tempat semula - di paha kananku - masih meremas-remas pelan. Aku nggak bisa pastikan itu refleks atau kesengajaan. Keintiman sesaat itu sukses membuatku tegang menyeluruh. Batang lelakiku rasanya sangat pegal karena harus mendesak dengan kuat celana jeans ketatku. Seakan meronta untuk mewujud ke dalam bentuk maksimalnya dalam kondisi terhimpit. Kupikir, jika keadaan ini terus berlanjut, bisa-bisa aku ngecrot dalam celana!Bang Ares melamun apa? tanya rendy tiba-tiba dengan suara pelan. Dia pasti sadar aku melamun. Kalau dia tahu aku ereksi. Maka dia akan dapat menebak isi lamunanku yang kotor dan nista.Nggak melamun, Rend. Cuma lagi mikirin sesuatu, jawabku.Apa tuh, bang, yang dipikirin? tanyanya lagi menggali lebih dalam.Aku berusaha keras mencari jawaban yang pas. Tapi keburu Rendy kembali melanjutkan kata-katanya.Aku suka, bang. Bau tubuh bang Ares enak! kata Rendy setengah berbisik. Mungkin dia juga nggak mau Ririn atau Waldi mendengar perkataan barusan yang membuatku mabok menggelepar itu. Nggak sia-sia aku memakai parfum yang aromanya sangat dia sukai. Aku udah jelaskan di awal cerita ini mengenai parfum itu.Momen terbaiknya, Rendy memalingkan wajahnya ke arahku. Karena sebelumnya dia bersandar di bahu kananku, maka ketika dia memutar kepalanya ke arahku, wajahnya otomatis langsung menyentuh dada kananku. Aku langsung menggigil. Batangku berkedut-kedut tanpa terkontrol ketika kurasakan hidung Rendy menyentuh dada bidangku dan kurasakan hembusan napasnya yang hangat menembus kain bajuku.Memangnya bau tubuh bang Ares tuh kayak gimana, sayang? Tiba-tiba Ririn menyahut sambil menyembulkan kepalanya dari sisi kursi depan.Ternyata Ririn mendengar.Untung saja, sebelum Ririn menyembulkan kepalanya menatap kami, Rendy buru-buru mengangkat kepalanya dari dadaku dan menggeser sedikit posisinya dariku. Pasti dia juga sadar, posisi kami sebelumnya udah sangat intim dan Ririn pasti berpikir yang enggak-enggak kalo sampai sempat melihatnya.Parfumnya enak, sayang. Dulu bang Ares pernah kasi tau apa mereknya. Tapi aku udah lupa. Yang jelas aromanya segar, maskulin, dan ... pokoknya enak lah, jawab Rendy dengan suara yang tenang tanpa rasa bersalah.Mungkin dia pikir, perkataan barusan merupakan perkataan yang biasa aja. Spontan. Tanpa maksud apa pun. Kalo aku jelas beda melihatnya. Mungkin karena aku homo, aku jadi melihat semua perkataan dan perbuatan seseorang terhadapku mengandung unsur homoseksualitasnya. Contohnya senyuman Rendy yang membalas tatapanku, atau saat dia menggeser duduknya mendekat, atau saat dia meletakkan tangannya di pahaku, atau saat dia berbisik menyukai bau tubuhku, atau saat dia menghirup aromanya dari dadaku.Menurutku sih bodo amat. Mau Rendy sengaja atau nggak, yang penting aku menikmatinya. Aku menikmati berdekatan dengan dia saat ini. Aku menikmati momen-momen yang jarang terjadi seperti saat ini. Kalo nanti dia jadi nikah sama Ririn, kemungkinan besar momen duduk berdekatan dengannya pasti semakin kecil peluangnya. Aku bakal sengsara jika itu terjadi.Aigner, Rin. Aigner Man 2, jawabku menjelaskan merek parfum yang kupakai.Oh, parfum yang itu. Memangnya masih ada yang jual? tanya Ririn.Aku beli di toko parfum di mall, Rin, jawabku.Aku punya teman yang punya usaha jualan parfum. Kayaknya parfum bang Ares dia juga ada jual. Kalo mau, ntar beli sama dia aja. Ririn bisa bantu hubungi dia, kalo bang Ares mau, kata Ririn. Tapi..."Tapi kenapa, sayang? tanya Rendy.Menurutku sih aromanya biasa aja, jawab Ririn.Kan kalo parfum juga menyesuaikan sama orangnya, Sayang. Nah, kalo ketemu sama badan bang Ares, aromanya kayaknya jadi lebih pas, jawab Rendy.Aku sangat suka sekali dengan jawaban Rendy. Aku menekankan bahwa intinya Rendy menyukai aroma tubuhku. Andai Aigner man2 itu manusia, aku akan menjabat tangannya sebagai ucapan terima kasihku telah membuat malam ini menjadi sangat indah dan menyenangkan.Jadi nanti gimana? Waldi tiba-tiba bertanya, setelah selesai menyetel lagu pop lama dengan volume sedang. Lagu Kasih Jangan Kau Pergi dari band Bunga. Aku ingat dulu belajar main gitar pake lagu itu dengan kunci pamungkas G-D-Em-C.Apanya yang gimana, bang? tanya Rendy.Waldi mengecilkan volume lagu, lalu memperjelas suaranya. Ntar seminggu di kampung nanti mau ngapain aja masing-masing. Ceritakan dong! Mulai dari kamu, Res! kata Waldi tanpa menoleh.Kok mulai dari aku? Mulai dari kamu dong! kataku protes.Oke, mulai dari aku ya. balas Waldi. Ini pertanyaannya biar kita nggak ngantuk aja, katanya menjelaskan mengapa tiba-tiba dia nanyain itu. Jadi, rencanaku setelah sampai di kampung, aku mau menemui mantanku, jawabnya.Mantanmu yang mana, bang? tanya Ririn.Ada dong, Rin. Nanti kamu bakal tahu, jawab Waldi.Tapi mau ngapain ketemu mantan? tanyaku heran.Buat difungsikan rahimnya dong, Res, jawab Waldi sambil tertawa.Jorok! sahut Ririn.Kalo kamu, Res? Mau ngapain? tanya Waldi balik. Mau memfungsikan rahim seseorang juga, kah?Ih, bang Waldi jorok, ah! sahut Ririn.Kalo aku sih, sebelum melakukan itu ya mesti nikah dulu, jawabku.Ada calon? Siapa, bang? Ririn antusias. Matanya sampai membelalak saking menariknya topik ini baginya. Tapi bagiku malah jadi ancaman. Aku kan nggak selera sama perempuan.Ada dong... jawabku.Ih, siapa, bang? Kok nggak pernah kasi tau? tanya Ririn.Aku berpikir keras berusaha menciptakan tokoh fiktif 'calon istriku'.Nggak enak ngomongnya, Rin. Soalnya dia sebelumnya udah nikah, kataku akhirnya. Sosok fiktif mulai mewujud di otakku.Janda? tanya Ririn.Aku mengangguk.Ih, siapa? Aku pasti kenal kalo statusnya Janda. Sebut mereknya dong, bang! Ririn merintih manja. Penasaran sekali tampaknya dia.Ada deh. Nanti kamu bakal tahu kok, kataku meyakinkan. Aku bohong. Tapi yang penting saat ini aku udah aman dari pertanyaan brengsek seputar calon istri, kapan nikah, jomblo, dan sebangsanya.Bang Ares sama Bang Waldi sama aja jawabannya. Template! kata Ririn. Nanti kamu bakal tahu, Rin, tambahnya lagi menirukan jawaban kami berdua. Aku dan Waldi tertawa.Kalo kamu, Rin? tanya Waldi. Seminggu mau ngapain aja rencananya?Ririn tersenyum. Nanti biar sayangku, Rendy, yang menjawabnya, katanya manja sedikit mendesah.Lho kok Rendy? tanyaku.Iya, kok jadi Rendy. Ada apa memangnya, Rend? tanya Waldi.Rendy duduk semakin dekat denganku. Menghimpit erat. Tangannya mencengkeram pahaku. Sepertinya dia tegang. Meski aku suka dia semakin erat menyentuhku, tapi pada saat yang sama aku juga penasaran apa yang akan Rendy katakan.“Rendy mau bawa orang tua Rendy ke rumah Ririn, bang. Rendy mau melamar Ririn...”
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan