Sh0rtcut! Bagian 2: Agatis

4
0
Deskripsi

Sekitar jam 19.00, aku dan Waldi akhirnya sampai di kost Agatis, tempat tinggal Rendy. Kamar-kamar kost di situ tersusun memanjang, dan di antara kamar terdapat sekat pembatas untuk privasi penghuni.

"Kamarnya sebelah mana, Res?" tanya Waldi saat mobil mulai masuk ke halaman kost.

"Nomor dua paling ujung," jawabku sambil menunjuk ke salah satu kamar yang terletak agak ke ujung.

Saat sampai di depan kamar itu, tampak Rendy udah menunggu di teras depan, duduk di salah satu kursi.

"Ganteng banget kamu,...

Cerita selanjutnya: Angsana

Sesaat sebelum memasuki jalan pintas yang telah direncanakan akan dilewati, Ares dan kawan-kawan terlebih dulu singgah di sebuah cafe. Bagian ini mengungkap lebih jauh latar belakang, hasrat, dan erotisme Ares terhadap Rendy.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Sh0rtcut! Bagian 3: Angsana
3
0
Mobil yang kami kendarai semakin lama semakin menjauhi keramaian. Jalan raya yang menuju ke arah luar kota tampak lengang. Waldi tampak santai menyetir mobil. Katanya dia gak bisa ngebut kalo jalan malam. Alasannya, karena faktor penglihatannya yang kurang tajam dalam kondisi gelap. Tapi, pas tadi aku tawarin buat nyetir, Waldi menolak. Dia bilang, pengemudi pertama mestilah yang punya mobil, biar gak terjadi kenapa-kenapa di jalan. Anggapan yang aneh, tapi aku iyakan aja.“Kalo udah ngantuk, bilang aja bro. Ntar aku gantikan nyetir,” kataku lagi sambil mengamati Waldi yang masih tampak semangat menyetir mobil. “Santai aja, Res. Aku masih konsentrasi tingkat tinggi kok ini,” jawab Waldi.“Iya, bang Waldi. Betul tuh kata bang Ares. Aku juga bisa kok gantikan nyetir,” sahut Rendy yang duduk di barisan tengah, bersama Ririn.“Santai aja, Rend. Ntar kalo aku ngantuk, kukasi tau,” jawab Waldi santai.“Siap, bang Waldi!” jawab Rendy semangat.“Ngomong-ngomong urusan kuliah kamu gimana, Rend?” tanya Waldi.“Bentar lagi selesai, bang. Udah semester akhir,” jawab Rendy.“Lancar dong,” kata Waldi.“Sedikit tersendat-sendat juga, bang. Tapi, sejauh ini masih aman terkendali,” jawab Rendy.“Skripsinya udah selesai kan?” tanyaku.“Udah bang Ares. Kalo masalah skripsi udah selesai semester lalu. Dibantuin Ririn,” jawab Rendy. Aku kurang suka dia menyebut Ririn sebagai orang yang seolah-olah hanya dia yang berjasa besar dalam kelancaran kuliahnya. “Tapi, support dari bang Ares juga sangat berperan. Kalo gak ada bang Ares, pasti aku masih terancam gak lulus tahun ini,” tambahnya lagi. Saat dia menyebut namaku, aku langsung bahagia sekali rasanya.“Waduh gawat nih. Kok aku mulai ngantuk, ya,” kata Waldi tiba-tiba.“Katanya tadi belum ngantuk, bang,” kata Rendy.“Iya, tadi sih belum. Sekarang mulai terasa,” jawab Waldi. Padahal waktu dia bilang nggak ngantuk itu baru beberapa menit yang lalu.“Nah, kalo udah ngantuk gitu, mesti digantikan nyetir tuh, bro,” kataku menanggapi.“Tanggung nih, bentar lagi masuk ke jalan pintas,” jawab Waldi.“Lah, memangnya kenapa kalo sampai ke jalan pintas? Bukannya malah makin besar risiko ngantuknya kalo udah masuk ke situ?” tanyaku.“Satu kilometer sebelumnya kan ada kafe, Res. Kita ngopi dulu aja ya, sebentar. Biar gak ngantuk,” jawab Waldi.“Tinggal gantian nyetir aja kan bisa, bang Waldi,” sahut Rendy.“Bisa aja sih. Tapi baiknya sih kita ngopi dulu. Takutnya nanti kita ngantuknya barengan, kan malah problem tuh,” jawab Waldi.“Oke bro. Kayaknya ngopi ide yang bagus. Rendy dan Ririn gimana?” tanyaku menoleh ke belakang.“Kami ikut aja, bang Ares,” jawab Ririn.“Aku juga ikut aja. Ntar boleh lah minta traktir sama bang Ares buat belikan segelas kopi,” kata Rendy.“Kalo itu sih, gampang. Aku bandarnya nanti,” jawabku.“Nah, itu lah sukanya aku kalo bawa Ares. Ringan tangan kalo masalah dompet dan segala isinya,” sahut Waldi.“Ngomong-ngomong kafenya kayaknya udah dekat, bro,” kataku sambil mengamati jalan.“Iya, tuh di depan sana ada lampu terang. Itu kafenya,” jawab Waldi. “Ntar semua turun, ya. Kita nyantai dulu 15 menitan. Kalo udah seger, baru lanjut lagi lewat jalan pintas,” tambahnya.Tak lama, kami pun tiba di kafe yang dimaksud. Sebuah neon box besar berwarna kuning tampak berdiri gagah menerangi gelapnya jalanan. Cahaya lampu neonbox ini lah yang tadi sudah tampak dari kejauhan saat mobil kami menuju kemari. Tulisan ‘KAFE ANGSANA’ berwarna gelap tampak kontras dengan warna lampu kuning yang terang benderang itu. Mobil langsung masuk menuju halaman parkir. Beberapa mobil dan motor masih tampak terparkir di situ. Meski lokasinya agak jauh dari pusat kota, tapi kafe ini selalu ada pengunjungnya.  “Sudah sampai di kafe, nih!” kata Waldi saat selesai memarkir mobil.“Berapa menit perkiraan waktu kita di sini?” tanyaku sambil melihat jam tangan.“Paling lama setengah jam. Kalo bisa lebih cepat, itu lebih bagus. Yang penting kondisi kita udah segar, kita lanjut,” jawab Waldi.“Siap, bro!” jawabku sambil membuka pintu mobil, lalu keluar dari mobil diikuti Rendy dan Ririn.Kami mengambil duduk yang agak berjauhan dengan pengunjung kafe yang lain. Sebagian besar dari mereka adalah pasangan muda-mudi. Beberapa tampak juga sekelompok laki-laki yang lebih dewasa dengan tampilan pegawai kantoran. Mungkin mereka habis pulang lembur. Sekilas, tidak ada satu pun dari pengunjung kafe yang kukenali.Seorang waiters mendatangi kami sambil membawa beberapa daftar menu, secarik nota, dan pulpen, segera setelah kami berempat duduk.“Selamat malam, ini daftar menunya. Silakan nanti pesanannya ditulis di kertas ini ya, kak.” katanya sambil menyerahkan daftar menu, kertas, dan pulpen kepada kami. “Kalo nanti sudah selesai, daftar pesanannya bisa diantarkan langsung ke kasir,” jelasnya.“Baik, terima kasih,” sahutku.“Terima kasih kembali,” jawab waiters itu ramah sambil meninggalkan meja tempat kami duduk.Masing-masing dari kami langsung mengambil kertas daftar menu tadi, sambil mengamati deretan menu yang tertulis di situ. Beberapa menu tampak biasa, kecuali bagian daftar minumannya yang memakai istilah tidak umum.“Ririn yang catat pesanan kita, ya,” kata Waldi.“Siap, bang Waldi,” jawab Ririn yang sudah siap dengan pulpen dan kertas menunya.“Ada yang mau pesan makanan, gak?” tanyaku.“Minuman aja lah, bang Ares. Kalo makanan nanti malah makin ngantuk,” sahut Rendy.“Oke, aku pesan kopi plus bang jago, biar gak ngantuk,” kata Waldi.“Kalo aku pesan air sirup aja, ya,” sahut Ririn sambil menulis pesanan.“Kamu pesan apa, Res?” tanya Waldi.“Aku pesan jamu bang jago,” jawabku.“Wah, boleh juga tuh buat nambah stamina pria,” kata Waldi dengan nada bercanda, lalu pandangannya beralih ke arah Rendy. “Kalo kamu pesan apa, Rend?” tanyanya kepada Rendy.“Aku juga pesan yang sama dengan bang Ares,” jawab Rendy.“Yakin kamu mau pesan jamu bang jago. Ntar gak bisa tidur lho,” kata Waldi.“Kan tujuannya memang supaya gak ketiduran, bang,” jawab Rendy.“Maksudnya, yang bawahnya yang gak bisa tidur,” canda Waldi.Kami berempat spontan tertawa mendengar candaan Waldi.“Tapi gak masalah kan, bang. Kalo yang minumnya masih 24 tahun?” tanya Rendy.“Santai aja, Rend. Itu yang kamu dan Ares pesan semuanya berbahan dasar alami. Aman lah,” jelas Waldi.“Oke lah kalo gitu, semua pesanan sudah siap. Ririn bawa ke kasir, ya,” kata Ririn setelah selesai mencatat.Aku buru-buru mencegah. “Aku aja yang ke kasir, Rin. Kan aku yang jadi bandarnya,” kataku sambil meminta catatan pesanan kami dari Ririn.Setelah selesai menyerahkan pesanan dan membayar, aku kembali ke tempat duduk kami.“Berapa lama pesanannya siap, bang Ares?” Tanya Ririn.“Katanya sepuluh menit. Memangnya kenapa, Rin?” tanyaku sambil memandang cewek yang udah bikin aku iri itu, karena dia bisa memikat lelaki pujaan hatiku, Rendy.“Ririn mau ke belakang sebentar, ya,” katanya.“Oh, kirain apaan. Toiletnya ada di belakang sana,” kata Waldi sambil menunjuk ke satu arah di bagian belakang tempat barista sana. “Ntar kalo takut, minta temenin Rendy aja,” kata Waldi.“Duh, kan cuma ke toilet. Gak usah ditemenin ga apa-apa,” jawab Ririn.“Yakin?” kata Rendy.“Iya, yakin dong sayang,” kata Ririn dengan nada manja sambil meninggalkan kami bertiga.Melihat Ririn bertingkah manja begitu, sepertinya aku kalah satu langkah dari cewek itu. Aku gak mungkin bersikap manja seperti itu kepada Rendy. Meskipun aku tahu Rendy tampak suka dengan kemanjaan yang ditampilkan oleh Ririn. Tak lama setelah Ririn pergi ke toilet, Waldi kemudian bangkit dari duduknya.“Mau kemana, bro?” tanyaku.“Ke barista bentar. Mau liatin pesananku dibuat,” jawab Waldi. Kemudian dia beralih ke Rendy. “Kamu mau ikut gak, Rend?” tawarnya.“Gak usah, bang. Aku mau temenin bang Ares aja biar gak sepi,” jawab Rendy. Itu jawaban yang sangat kusuka. Aku merasa jadi orang yang spesial seketika.Setelah Ririn dan Waldi pergi, tinggallah aku dan Rendy berduaan saja. Jujur, aku serasa seperti sedang pacaran. Beberapa kali Aku dan Rendy beradu pandang yang diikuti dengan saling senyum. Rasanya bahagia banget aku berada dalam situasi seperti ini.“Bang Ares!” panggil Rendy pelan.“Kenapa, Rend?” tanyaku. Jantungku mulai berdetak kencang lagi. Apalagi sambil menatap wajah tampan milik Rendy itu.Rendy bangkit dari kursinya, lalu pindah duduk mendekatiku. Sebelumnya dia duduk berhadapan denganku.“Bang Ares,” panggilnya lagi saat sudah pindah duduk di sampingku.“Iya, kenapa?” tanyaku lagi dengan suasana hati yang tidak karu-karuan saking excited nya.“Kalo ngeliatin bang Ares, aku tuh kadang jadi iri, bang,” kata Rendy.“Iri kenapa?” tanyaku.“Pengen kayak bang Ares,” kata Rendy lagi.“Kayak aku? Maksudnya?” tanyaku.“Bang Ares tuh bagiku bisa dibilang sebagai laki-laki yang sempurna,” jawab Rendy. “Udah punya pekerjaan yang mantap. Udah keren gitu. Jadi berpikir pasti beruntung sekali orang yang bisa menjadi pasangan bang Ares,” tambahnya.“Ah, kamu terlalu memuji. Kan si Waldi lebih mantap tuh secara finansial dibanding aku,” kataku.“Beda, bang,” jawab Rendy.“Kok beda?” tanyaku.“Lebih mantap bang Ares dong. Kan bang Ares polisi, lebih berwibawa,” jelas Rendy.Aku hanya bisa tersenyum mendengar penjelasan Rendy yang tampak polos itu.“Sama bang Ares, jujur aku lebih nyaman, bang,” kata Rendy.“Lebih nyaman gimana, Rend?” tanyaku deg-degan. Suka dengar dia ngomong gitu.“Yaa…, lebih merasa nyaman aja. Gak tau juga alasannya,” jawab Rendy sambil menatapku lagi. Aku jadi salah tingkah dibuatnya. Rasanya aku juga ingin membalas ucapan Rendy dengan: ‘Aku juga merasa nyaman bersamamu, Rend!’. Tapi tentu saja aku gak mampu mengatakan itu. Masih gugup.“Bang Ares,” panggil Rendy lagi.“Ya,” jawabku singkat.“Kalo liat badan bang Ares, aku juga jadi pengen punya badan kayak bang Ares juga. Gagah dan kekar gitu,” kata Rendy sambil menyentuh lenganku. “Berotot sekali bang, lengannya,” katanya lagi sembari meremas pelan otot-otot lenganku yang terlatih.“Aku kan nge-gym, Rend. Makanya kalo diajakin nge-gym bareng harusnya kamu mau ikut,” kataku. Beberapa kali aku pernah mencoba menawarkan Rendy untuk nge-gym barengan denganku. Tapi dia selalu menolak dengan alasan sibuk tugas kuliah. Termasuk tawaran terakhir pas di kost nya barusan tadi.“Sama dada bang Ares yang paling aku suka,” katanya lagi sambil tangannya beralih dari lenganku ke dadaku. Dia kembali menyentuh dadaku persis seperti apa yang sebelumnya dia lakukan di kost nya.“Nggh!” spontan aku mengerang pelan.“Kenapa, bang?” tanya Rendy saat mendengar suara erangan spontanku itu.“Nggak, Rend. Agak geli aja,” jawabku.“Maaf ya bang Ares,” kata Rendy sambil cepat-cepat menarik tangannya dari dadaku.Aku masih diam beberapa saat, menyadari reaksi tubuhku yang sama seperti waktu di kost Rendy tadi, saat dia juga menyentuh dadaku. Terasa sekali batangku memenuhi seluruh ruang celana jeans-ku. Aku ereksi maksimal lagi.“Kalo mau pegang, santai aja Rend. Asal kamu suka aja melakukannya,” kataku berharap Rendy kembali menyentuh dadaku. Jujur aku juga suka sekali dia mau melakukan  itu. Bisa dibilang, selama ini, baru hari ini dia mau menyentuh dadaku sampai dua kali di moment yang berbeda.Rendy tersenyum, kemudian kembali meletakkan tangannya di dadaku.“Dada bang Ares menurutku keren banget lho,” katanya sambil meremas pelan dadaku lagi.“Nggh!” aku kembali mengerang pelan.“Gak sakit kan, bang?” tanyanya memastikan.“Nggak, Rend. Tapi sentuhnya pelan-pelan aja,” kataku menahan sensasi gairah yang kembali menguat di dalam diriku.“Montok berotot dada kamu bang, bikin gemes,” kata Rendy masih meraba-raba dadaku.“Kok montok sih?” kataku.“Soalnya gede banget ototnya, bang. Jadinya dada bang Ares gedenya mengalahkan punyanya Ririn,” jawab Rendy dengan nada bercanda. Tak lama dia melepaskan sentuhan tangannya dari dadaku. Membuatku sedikit lega dari sensasi birahi yang sempat menyeruak barusan.“Selain rajin nge-gym, aku juga minum suplemen, Rend,” jelasku.“Suplemen apa, bang?” tanya Rendy.“Susu tinggi protein. Tambah kreatin juga. Tapi intinya sih di latihan yang rutin,” jelasku.“Harganya pasti mahal tuh bang, suplemen kayak gitu,” kata Rendy.“Lumayan sih harganya,” kataku.“Wah, kalo udah berurusan dengan harga, kayaknya nyerah deh,” kata Rendy. “Ntar aja kalo aku udah lulus kuliah, udah punya kerjaan, dan duit sendiri, kayaknya baru bisa ngerjain apa yang bang Ares lakuin sekarang. Biar badan aku berotot juga kayak bang Ares,” tambahnya.“Ya, kan gak harus nunggu sampai nanti. Mulai nge-gym aja dulu buat pembiasaan. Kalo masalah suplemen, aku bisa bantuin kok,” kataku. Meski harganya lumayan, tapi buat lelaki yang kusuka, apa pun bisa kulakukan.“Ntar aja lah bang. Sementara aku jogging ama push up aja. Sama main bola aja dulu. Nge-gymnya nanti kalo finansial udah oke, hehe,” balas Rendy.“Sebetulnya aktivitas yang kamu kerjakan udah lumayan banget lho, Rend. Untuk sehat kan gak mesti harus bodi sampe berotot. Apalagi yang namanya laki-laki, urutan fisik yang nomor satu itu bukan dari bodinya berototnya,” kataku.“Terus? Dari mananya dong yang nomor satu?” tanya Rendy.“Ah kayak kamu gak tau aja maksud aku,” jawabku.“Udah ada pikiran ke sana sih jawabannya. Tapi siapa tau ternyata maksudku berbeda dengan yang dimaksud bang Ares,” kata Rendy.“Udah pasti sama lah, pikiran kita. Coba sebutkan apa yang kamu pikirkan!” kataku.“Ukuran kontol ya, bang!” jawab Rendy lugas.“Sudah saya duga. Jawaban kita pasti sama,” kataku. “Ukuran batang itu salah satu yang paling utama dalam menilai kejantanan seseorang,” kataku lagi.“Jadi kalo makin panjang dan besar, makin jantan dong, bang,” kata Rendy.“Iya. Jadi, menurut aku sih, kamu udah termasuk grup laki-laki jantan, Rend,” kataku jujur.“Karena ukurannya gede ya, bang,” kata Rendy.“Iya. Karena gede,” kataku membenarkan.“Kok bang Ares bisa tau gede dari mana?” tanya Rendy.“Kan kelihatan tonjolannya, Rend. Apalagi kalo kamu pake outfit yang agak slim kayak sekarang,” jawabku.“Jadi bang Ares sering perhatikan, dong?” kata Rendy blak-blakan.Aku merasa pertanyaan itu seolah menelanjangi perbuatan memalukanku yang memang selama ini sering kali mencuri-curi pandangan ke bagian selangkangan Rendy yang sangat menonjol itu.“Tapi memang lumayan sih bang, ukuran punyaku,” kata Rendy lagi tanpa menunggu jawabanku. “Kalo punya bang Ares, berapa cm panjangnya, bang? Kalo boleh tahu. Gak mungkin kan kalo gak pernah ukur,” lanjutnya.“16 cm, Rend,” jawabku spontan. “Wow, di atas rata-rata tuh,” sahut Rendy.“Kalo punya kamu, Rend?” tanyaku penasaran.“20 cm, bang!” jawab Rendy. “Gila, Rend! Panjang banget,” kataku spontan. Aku langsung membayangkan betapa jantannya Rendy memiliki ukuran kontol segede itu.“Tapi kurang kuat, bang,” katanya lagi.“Kok kurang kuat?” tanyaku.“Kalo main, gak pernah sampai 1 jam. Rekornya cuma 50 menit,” kata Rendy.“Lama lah itu. Normalnya kan 10 sampai 20 menit,” kataku. “Sama Ririn?” tanyaku lagi.“Iya,” jawab Rendy yang semakin membuatku iri terhadap Ririn. Beruntung sekali cewek itu udah merasakan kejantanan milik Rendy yang 20 cm itu.“Mantap kamu, Rend. Udah sering kah kalian?” tanyaku.“Gak juga sih, bang. Sebulan paling dua kali. Tapi jangan bilang siapa-siapa ya, bang. Soalnya aku belum pernah ceritain ini ke siapa pun. Baru sama bang Ares,” kata Rendy.“Iya lah, Rend. Masalah beginian jangan sampai orang lain tau,” jawabku.“Ngomong-ngomong, bang Ares sama ceweknya bisa berapa lama rekornya?” tanya Rendy balik.“Rekor apa?” tanyaku agak kurang nyambung.“Lama ngentotnya, bang,” jelas Rendy.“Oh, kalo itu sih, aku pernah sampai 1 jam,” kataku bohong. Padahal, jangankan sejam, semenit aja gak pernah aku bercinta sama cewek. “Tuh kan. Bang Ares memang gagah bener,” sahut Rendy “Udah mau nikah dong, bang?” tanyanya lagi.“Belum, Rend,” jawabku.“Kok belum, bang? Tunggu apa lagi. Bodi udah sip. Pekerjaan dan finansial udah sip. Kejantanan juga udah sip banget. Pasti cewek bang Ares udah nunggu-nunggu tuh,” kata Rendy.“Iya sih. Tapi kan perlu minta restu juga sama calon mertua, Rend. Kalo udah siap semua, baru lanjut nikah,” kataku bohong. Mana ada cerita tentang calon mertua, orang ceweknya aja gak ada.“Ah, pasti setuju lah tuh calon mertua bang Ares dapat menantu gagah perkasa gitu,” kata Rendy dengan nada yakin.“Mudah-mudahan aja, Rend,” jawabku.“Tapi udah sering main juga ya, bang, sama ceweknya?” tanya Rendy.“Gak juga lah, Rend. Gak sesering kayak kamu dengan Ririn,” jawabku.“Biasa pake dildo yang tadi lah, bang?” tanya Rendy.“Iya, Rend,” jawabku bohong. Dildo itu udah jelas buat nyodok lubangku. Bukan lubang cewekku yang fiktif itu.“Keenaakan kah bang kalo pake dildo?” tanya Rendy. Sepertinya dia masih penasaran dengan dildo itu. “Berapa cm tuh panjang dildonya bang. Kok kayaknya gak terlalu panjang, ya?” tanyanya lagi.“Sekitar 15 cm, Rend. Masih kalah panjang sama punya kamu,” jawabku.“Kalo ukurannya segitu sih, sama punya bang Ares juga masih kalah panjang, kan,” katanya.“Lebih besar dan panjang punya aku, Rend,” jawabku.“Nah itu dia. Aku kok mikir kayaknya bang Ares aneh deh sama ceweknya, ya,” kata Rendy.“Aneh gimana, Rend?” tanyaku. Entah apa maksud Rendy.“Soalnya, kalo ukuran bang Ares lebih gede, ngapain masih pake dildo?” tanya Rendy.“Oh, soal itu….” Beberapa detik aku terdiam memikirkan jawaban. “Itu cuma variasi aja, Rend. gak selalu dipake juga,” akhirnya aku menjawab begitu.“Oh, gitu ya. Baru paham,” kata Rendy. “Tapi kenapa gak beli yang lebih panjang, bang?” tanyanya kemudian.“Aku asal beli aja, kebetulan dapat yang ukuran 15 cm,” jawabku.“Iya itu makanya. Dengan punyaku aja masih kalah panjang,” sahut Rendy dengan nada bangga.“Tapi serius, Rend? 20 cm kok kayaknya gede banget ya,” tanyaku.“Bang Ares gak percaya?” tanya Rendy.“Percaya aja sih, Rend. Kamu kan kalo ngomong sama aku jarang bohong,” kataku. “Cuma…” kataku gak melanjutkan perkataanku.“Cuma apa, bang?” tanya Rendy“Kalo kamu gak keberatan, boleh gak aku liat punya kamu, Rend?” tanyaku.“Ih, Bang Ares kok mau liat kontolku sih,” kata Rendy bereaksi. Aku jadi malu.“Nggak sih, Rend. Aku cuma penasaran aja kalo 20 cm itu bentuknya gimana,” kataku beralasan buat mengurangi rasa malu akibat kebelet pengen liat batang kontol Rendy.Rendy memandangiku sesaat.“Tunggu bang Waldi atau Ririn balik aja, bang,” katanya.“Maksudnya?” tanyaku.“Kalo mereka berdua udah datang, gantian kita berdua yang ke toilet,” kata Rendy.“Ke toilet?” tanyaku.“Iya. Aku mau liatin punyaku ke bang Ares,” jawab RendyMendengar jawaban dari Rendy, aku rasanya senang bukan main. Sekaligus deg-degan.“Tapi nanti bang Ares juga liatin punyanya ke aku, ya,” kata Rendy.“Siap, Rend. Kita gantian aja nanti,” kataku senang.Beberapa saat kemudian, Waldi datang lebih dulu, sementara Ririn masih belum tampak. Kayaknya cewek Rendy itu masih di toilet.“Bro, aku mau ke toilet nih, kamu tunggu bentar di sini, ya,” kataku saat Waldi baru saja duduk kembali ke kursinya.“Iya, tapi jangan lama-lama. Pesanan udah siap diantar,” kata Waldi.“Oke, siap bang,” jawab Rendy.“Lho, kamu mau ke toilet juga, Rend?” tanya Waldi. “Kok kompak banget kalian berdua mau pipis bareng?” tanyanya lagi.“Sebetulnya udah dari tadi nahannya, bang. Bang Ares juga gitu,” jawab Rendy. “Iya, tanggung juga kalo nanti udah masuk ke jalan pintas kan susah cari tempat buat kencing,” jelasku.“Oke deh. Jangan lama-lama, ya. Gak enak nih sendirian di sini,” kata Waldi.“Iyaa,” jawabku sambil berlalu bersama Rendy.Area toilet terletak di bagian belakang, dan terpisah dua antara toilet laki-laki dan toilet wanita. Begitu mau masuk melewati pintu toilet laki-laki, seorang cewek keluar dari pintu toilet wanita yang tak lain adalah Ririn. “Lho, kalian berdua mau ngapain tuh?” tanya Ririn.“Mau buang air dong, sayang,” jawab Rendy“Kok barengan?” tanya Ririn.“Kan sekalian mau bercinta sama bang Ares di toilet,” jawab Rendy yang membuat aku ser-seran saat mendengar dia ngomong begitu. Seriuskah dia?!“Ih, ngaco, ah!” Kata Ririn dengan nada biasa saja. Kayaknya dia udah terbiasa dengan sikap Rendy yang suka bercanda.“Udah jelas mau pipis dong, sayang. Namanya juga ke toilet,” jawab Rendy lagi.“Ya udah deh, aku duluan balik ya,” jawab Ririn. “Oke, Ririn sayang,” jawab Rendy tersenyum.Setelah Ririn pergi, kami berdua pun masuk ke dalam toilet. Di dalamnya terdapat 2 bilik yang diperuntukkan buat orang yang mau buang air besar. Untuk yang cuma pengen kencing aja, disiapkan juga urinal sebanyak 2 unit. Satu wastafel dengan cermin besar diletakkan dekat pintu masuk utama. Toilet kafe ini menurutku sangat bersih dan nyaman.“Kamu kok ngomong kayak gitu ke Ririn?” tanyaku saat kami sudah di dalam ruang utama toilet. “Ngomong apa?” tanya Rendy balik.“Yang barusan tadi itu, yang mau bercinta segala itu,” jelasku.Rendy hanya tertawa mendengar pertanyaanku. “Bercanda aja lah itu, bang. Kan gak mungkin banget kita melakukan itu, haha.”“Tapi Ririn takutnya nanggapin serius,” kataku.“Kan tadi bang Ares liat sendiri responsnya biasa aja. Udah sering dibecandain sama aku soalnya,” kata Rendy.“Tapi malah aku yang kira serius lho, Rend,” jawabku.“Ah bang Ares. Itu kan mustahil. Kita kan sama-sama berbatang, haha,” kata Rendy sambil tertawa. “Ya udah yok, bang. Kita show off aset lelaki kita,” katanya lagi.“Ayo!” kataku semangat. Rasanya udah gak sabar melihat benda keperkasaan milik Rendy yang Gede itu. Semoga aja Rendy gak bohong soal ukurannya. Aku udah sangat berdebar sekali untuk menyaksikan langsung wujud kejantanan milik lelaki kesayanganku itu.Kami berdua pun langsung memasuki salah satu bilik yang paling ujung. Begitu berada di dalam, pintu langsung kami kunci.“Aku duluan ya, bang. Baru habis itu giliran bang Ares,” kata Rendy.“Ok, siap, Rend!” kataku.Kami berdiri berhadap-hadapan dengan jarak yang sangat dekat. Jantungku berdetak semakin kencang dan cepat. Aku belum pernah berada dalam situasi yang seperti ini sebelumnya, yang mana lelaki kesayanganku berdiri tepat di depanku untuk mempertontonkan alat kelaminnya.Rendy mulai membuka pengait celananya, lalu menurunkan resletingnya secara perlahan. Mataku tidak berkedip sama sekali. Terus mengawasi setiap gerakan tangan Rendy melucuti celananya. Rendy memakai celana dalam berwarna biru. Celana dalam itu tampak melekat ketat, menutupi sebuah tonjolan besar di baliknya. Dari penampakan luarnya, aku tau Rendy tidak berlebihan soal ukuran kontolnya.“Belum ngaceng tapi, bang. Masih tiduran,” kata Rendy.“Gak apa-apa,” jawabku tak sabar melihat benda itu.Begitu celana dalam Rendy tersingkap, tampak lah benda paling mendebarkan yang selama ini aku nanti-nantikan untuk kulihat langsung. Batang kontol Rendy tampak gemuk berurat, terkulai lemas di selangkangannya. Bahkan, untuk ukuran ‘tertidur’ pun benda itu sudah tampak besar dan garang.Aku semakin ser-seran. Detak jantungku tetap berdetak cepat. Aku sama sekali tidak mampu memalingkan mukaku. Indah sekali benda itu.“Bantuin lah, bang!” pinta Rendy.“Eh, hah. Bantuin apa, Rend?” tanyaku gugup.“Disentuh-sentuh, bang. Biar berdiri,” jawab Rendy sambil meraih tanganku.Aku serasa mandi keringat dingin. Lututku serasa lemas saat tangan Rendy membawa tanganku menyentuh alat kelaminnya yang menggairahkan itu. Kusentuh pelan benda itu. Dan perlahan, kurasakan benda itu semakin lama semakin membesar disertai denyutan beberapa kali. Tidak sampai semenit kemudian, batang kontol milik Rendy pun mencapai ukuran maksimalnya. Betul-betul panjang, besar, dan kokoh. Rendy tidak berbohong. “Besar sekali, Rend!” gumamku.“Iya, bang. 20 cm,” ulang Rendy mengingatkan soal ukuran batangnya itu.“Indah sekali, Rend!” kataku kagum, masih tetap memegang dan meremas pelan benda itu.“Nggh, apaan sih bang pake remas gitu. Geli..” kata Rendy. Tapi dia sama sekali tidak berusaha melepaskan pegangan tanganku dari batang kejantanannya. Kedua tangannya malah memegang bahuku.“Kamu betul-betul jantan sekali, Rend,” kataku memuji, dan pandanganku masih tetap tidak berpaling dari benda kejantanan Rendy itu. Situasi penuh sensualitas seperti saat ini betul-betul membuatku serasa terbang. Entah berapa lama, aku sama sekali tidak menyadari betapa sesaknya celanaku akibat batangku ikut-ikutan ereksi.“Bang Ares kayaknya udah ngalah-ngalahin Ririn, deh,” kata Rendy.“Ngalah-ngalahin apa?” tanyaku, masih dengan batang Rendy berada dalam genggamanku.“Memuji punyaku. Sampe bilang indah. Bilang jantan juga,” kata Rendy.Aku akhirnya tersadar mengatakan itu semua secara spontan. Apakah Rendy udah menangkap gelagat kalo aku seorang homo yang doyan kontol?“Kan aku cuma ngomong jujur aja, Rend. Memangnya Ririn gak pernah memuji punyamu?” tanyaku. Rasa gugupku sudah mulai bisa kukendalikan. Tapi, birahi seksualku tetap masih panas. Kontolku masih terasa tegang maksimal akibat kedekatan ini.“Gak pernah sama sekali,” jawab Rendy.“Tapi kan dia tetap suka kan menikmatinya. Suka isep juga gak dia?” tanyaku memancing.“Pernah sih, bang. Tapi jarang. Katanya agak jijik gitu,” jawab Rendy. “Jadi biasanya kami langsung main aja,” tambahnya lagi.“Kok jijik. Padahal tampilannya udah menggiurkan banget tuh,” kataku keceplosan. Aku sadar kalo semakin sering ngomong dengan cara begitu, Rendy akan semakin tahu rahasiaku, kalo aku homo.“Bang Ares mau?” tanya Rendy.“Hah, maksudnya?” tanyaku balik.“Isep punyaku,” jawab Rendy.Kutatap sesaat wajah Rendy. Entah dia serius atau tidak aku nggak tahu.“Serius kamu Rend, mau kuisep?” tanyaku akhirnya. Harusnya aku gak menanyakan ini. Tapi entahlah, semua keluar spontan aja dari mulutku yang udah kelaparan akan nafsu ini.“Ya, enggak lah, bang. Bercanda. Masak aku nyuruh bang Ares isep punyaku sih. Kan bang Ares laki-laki,” kata Rendy. “Lagian gak mungkin lah laki-laki gagah berotot kayak bang Ares mau isep kontol, kan?” tambahnya.“Hehe, iya. Aku juga bercanda,” kataku salah tingkah. Padahal barusan aku udah hampir mau jongkok di hadapan Rendy buat ngemut kontolnya yang perkasa itu.“Bang Ares, sekarang giliran kamu, bang. Liatin kontol bang Ares ke aku,” kata Rendy.“Eh, iya. Tapi….” kataku agak bimbang.“Tapi kenapa, bang?” tanya Rendy. Aku malu aja sebetulnya kalo Rendy tau punyaku udah ngaceng sedari awal. Tapi karena dia meminta untuk gantian melihat. Mau gak mau aku menyanggupinya.“Nggak sih. Gak masalah,” jawabku.“Oke lah bang kalo gitu, buka aja celananya. Kontolku bisa dilepasin dulu,” kata Rendy. Aku baru sadar ternyata masih dalam posisi menggenggam batang milik Rendy. Refleks seorang homo memang agak susah disembunyikan.“Iya, Rend. Sori,” kataku sambil menarik tanganku dari batangnya, lalu mulai membuka celana jeans-ku.Rendy hanya tersenyum melihat gelagatku. Semoga aja dia gak curiga aku homo setengah mati sama dia.Perlahan kupelorotkan celanaku, menyisakan celana dalam tipisku yang sama sekali tidak bisa menyembunyikan betapa tegangnya aku sekarang.“Udah ngaceng full tuh kayaknya ya, bang?” tanya Rendy memperhatikan selangkanganku.“Iya nih, Rend. Refleks,” jawabku.“Refleks bang Ares mantap tuh. Pasti jago banget lah nih di ranjang,” kata Rendy memuji.“Tapi gak segede punya kamu, Rend,” kataku.“Ah, santai aja bang. Gede juga kok kayaknya. Beda tipis aja,” kata Rendy sambil tangannya menyentuh tonjolanku.Lututku langsung terasa lemes saat dia melakukan itu tanpa canggung. Mungkin bagi Rendy hal itu adalah bagian dari rasa penasaran dia buat melihat batangku. Tapi bagiku, sentuhan tangan Rendy serasa tersetrum jutaan voltase listrik. Napasku terasa berhenti. Spontan, kedua tanganku langsung memegang bahu Rendy.Rendy menatapku sesaat sambil berucap, “Aku bantuin buka ya, bang!” katanya, kemudian pandangannya beralih kembali ke tonjolanku.“Buka aja,” kataku akhirnya setelah sekian lama menahan napas. Jantungku berdetak lebih cepat dari yang tadi. Terasa seperti ada derap langkah kuda liar menghantam setiap relung dadaku.Dengan hati-hati, Rendy mulai membuka celana dalamku, sehingga isi dalamnya serta merta langsung keluar dari sarangnya.“Wow!” gumam Rendy. Entah apa yang dia pikirkan. “Kenapa, Rend?” tanyaku.“Gede banget bang,” katanya.“Gak sepanjang punyamu, Rend,” kataku.“Iya, tapi gemuk berurat gitu, bang. Mantap tuh punya bang Ares,” sahut Rendy. Tanpa canggung lelaki itu mulai menggenggam batang kemaluanku yang sudah dalam kondisi ereksi penuh. Berkali-kali batangku berkedut-kedut dalam genggaman tangannya. Aku yakin sekali Rendy bisa merasakan itu. Tapi tampaknya lelaki itu cuek aja. Sesekali dia menatap wajahku buat memastikan aku tidak menolak dia melakukan itu. Padahal, mana mungkin pria sepertiku menolak sentuhan lelaki pujaan hatiku. Yang ada, aku malah ingin dia melakukan lebih dari ini.“Bisa ngaceng sampe keras begini ya, bang?” tanya Rendy.“Iya, Rend. Apalagi kalo disentuh-sentuh sama orang lain. Makin keras batangnya,” jawabku.“Padahal yang pegang bukan cewek ya, bang. Apalagi cewek nih, pasti tegangnya melebihi ini,” kara Rendy.“Udah maksimal kayaknya, Rend.” kataku.“Iya, bang,” sahut Rendy sambil semakin mendekatiku. Tubuh kami berdua mungkin hanya berjarak sejengkal tangan. Situasi kayak gini betul-betul membuat dadaku terasa sesak. Entah dapat mimpi apa aku bisa dalam posisi sedekat ini dengan Rendy. Aku sangat menikmatinya.Kulihat Rendy pandangannya masih tertuju ke bawah, menatap batang kejantananku yang tegak menantang dalam genggamannya. Jaraknya cukup dekat dengan batang milik Rendy.“Kita bandingkan langsung yuk, bang,” kata Rendy sambil memposisikan selangkangannya semakin mendekatiku. Aku rasanya gak kuat kalo kondisinya begini terus. Batangku kembali berkedut-kedut. Setiap kali terjadi kedutan, Rendy langsung menatap wajahku sambil tersenyum. Spontan kubalas senyumannya dengan senyumku yang canggung.Rasa ser-seran yang kualami semakin menjadi-jadi ketika Rendy mulai mendempetkan batangku dengan batangnya yang juga mulai tegangnya. Kulit kemaluanku pun bersentuhan dengan miliknya. Aku merasakan ada aliran listrik tiap kali kedua benda perlambang kejantanan itu bergesekan.“Masih panjang punyaku nih, bang. Tapi lebih gemuk punya bang Ares,” kata Rendy.“Nggh!” Aku cuma membalas dengan mengerang. Situasi panas seperti ini rasanya sudah berada di luar kendaliku, sehingga aku hanya bisa mengerang pelan tanpa berkata-kata.“Bang Ares!” Panggil Rendy. Lelaki idamanku itu kini menggenggam batangku dan batangnya sekaligus dengan tangan kanannya. Aku rasanya semakin kesetrum.“Nggh. Rend!” akhirnya aku bisa memanggil namanya di sela-sela eranganku.Rendy menatapku. Aku juga menatapnya, beberapa saat.“Bang Ares kenapa?” tanya Rendy yang tampaknya menyadari ekspresi wajahku tidak seperti biasanya. Aku keenakan.“Rend!” aku kembali menggumam menyebut namanya sambil menatap wajahnya.“Kenapa, bang?” tanya Rendy. Kami masih saling bertatapan.“Rend. Aku…” aku gak sempat menyelesaikan kata-kataku.Tanpa bisa kucegah, rasa nikmat yang kuat mendadak menjalar ke bagian selangkanganku. Secara refleks, aku langsung menarik bahu Rendy, lalu memeluk lelaki itu kuat-kuat. Genggaman tangan Rendy di batangku pun spontan terlepas, dan seketika lelaki itu pun balas memelukku. Kudekap tubuh Rendy semakin kencang, sehingga batangku dan batangnya berhimpit tanpa celah di antara tubuh kami.“Kenapa, bang Ares?” Rendy masih sempat bertanya kebingungan dengan reaksi tubuhku. Tapi dia tetap ikut memelukku.Aku gak bisa menjawab pertanyaan Rendy. Aku gak sanggup. Kubenamkan wajahku dalam-dalam ke bagian leher Rendy. “Bang!” panggilnya lagi.“Nggh!” erangkuTubuhku bagaikan terkena sengatan listrik rasanya. Aku gak kuat lagi. Sampai sejurus kemudian, kurasakan batangku berdenyut-denyut kencang. Aku ngecrot tanpa bisa kutahan-tahan lagi. “Bang Ares!!” Rendy memanggilku lagi. Tapi kali ini tampaknya dia menyadari apa yang baru aja terjadi. Dia pasti bisa merasakan semprotan hangat air maniku terciprat di antara tubuh kami yang masih berhimpit. Beberapa kali, aku masih merasakan renjatan listrik di tubuhku, dan setiap kali itu terjadi, kurasakan batangku ikut berdenyut mengeluarkan air mani yang masih tersisa ditubuhku.“Bang Ares keluar?!” Rendy mendorong tubuhku pelan dari tubuhnya, lalu menatap ke arah batangku untuk memastikan apa yang barusan terjadi.“Rend! Aku kelepasan kontrol,” kataku akhirnya setelah rasa nikmat itu mulai hilang dan pikiran sadarku mulai pulih.“Wow, banyak banget keluarnya. Kok bisa sampe gitu ya, bang?” tanya Rendy terheran-heran.“Aku juga nggak tau, Rend. Spontan aja kejadiannya,” jawabku. Padahal itu pasti gara-gara genggaman tangan Rendy di area sensitifku, ditambah lagi aku memang dalam kondisi birahi penuh.“Badanmu kena cipratan juga tuh, Rend,” kataku menatap perut bawah Rendy hingga ke batangnya yang basah ternoda air maniku.“Kok bisa, bang?” tanya Rendy masih heran. “Padahal kan cuma dipegang aja. Gak sampe dikocok,” katanya lagi.“Gak tau juga, Rend,” kataku. Malu juga sebetulnya sampe auto ngecrot gitu hanya dengan sentuhan tangan Rendy. Tapi yang namanya cowok idaman, wajar lah kalo sentuhan tangannya aja bisa membuat tubuhku kelojotan. “Santai aja, bang. Gak usah dipikirin,” kata Rendy sambil mengambil tisu toilet yang ada di dekat kami, lalu menyerahkan sebagiannya ke aku.“Jangan bilang siapa-siapa soal kejadian ini ya, Rend,” kataku sambil membersihkan cipratan mani di perut dan batangku.“Santai, bang. Malu juga kan kalo orang lain tau soal kejadian ini,” jawab Rendy juga membersihkan cipratan air mani di tubuhnya.“Iya, Rend. Soalnya berduaan di dalam toilet aja udah kedengaran aneh, kan,” kataku.“Iya, bang. Apalagi sambil pegang-pegang kontol, terus sampe ngecrot gitu. Bisa-bisa kita dikira pasangan homo, bang,” kata Rendy sambil memandang wajahku dengan tersenyum.“Iya, Rend.” Aku spontan membalas senyuman Rendy yang manis itu. “Udah bersih nih, bang. Kayaknya kita mesti cepat-cepat keluar dari tempat ini. Takut ada yang liat kita berduaan dalam satu bilik toilet,” kata Rendy memakai kembali celananya.“Iya, Rend. Ntar dikira homo kayak yang kamu bilang tadi,” kataku. Padahal aku kan memang homo yang sedang melakukan pendekatan kepada Rendy. Syukurnya, Rendy masih belum menyadari itu semua.Hal paling membahagiakan dalam hidupku baru aja terjadi. Aku akhirnya - meski sesaat - memeluk Rendy sambil mengecup lehernya, dan Rendy juga balas memelukku. Seingatku, aku belum pernah berpelukan seintim itu dengan Rendy. Pelukan itu disempurnakan dengan kejadian aku ngecrot tanpa kendali. Sensasi yang kurasakan sangat luar biasa sekali.“Udah siap nih, bang,” kata Rendy selesai memakai celana. Aku juga udah selesai memakai celanaku.“Ayo,” kataku.Kembali kupandangi wajah tampan Rendy dengan penuh kebahagiaan. Rendy sesaat membalas pandanganku. Entah dia menyadarinya atau tidak dari wajahku, betapa aku sangat bahagia dan puas dengan apa yang baru aja terjadi di antara kami berdua, di toilet kafe Angsana ini.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan