
Bagian 7. Cerita Adit
ADIT POV
"Dit, kamu ada di kost, ga? Aku mau ke situ," kata mas Dimas di telepon.
"Ada perlu apa, mas?" tanyaku sambil tiduran di ranjang kecilku yang empuk.
"Nggak sih, cuma mau main aja, dah kangen sama kamu, Dit," katanya.
"Halah, pasti ada maunya nih?" kataku.
"Aku ke sana, ya!"
"Mas..!" panggilku.
"Kenapa, Dit..?"
"Nggak jadi..."
"Ah, udah ah. Aku ke sana ya," katanya.
"OK!"
Aku masih baring-baring di ranjang sore itu. Ini kebiasaan baruku semenjak diberlakukannya sistem FDS alias full day school membuat badan harus beradaptasi karena mesti mengajar selama 8 jam per hari. Tiap hari pulang jam 3 sore lewat. Meski sering nge-gym dan makan makanan tinggi protein, tetap aja terasa banget capeknya mengajar 8 jam. Tapi ambil positifnya, aku libur 2 hari seminggu.
Aku seorang guru mata pelajaran biologi. Udah tiga tahun aku mengajar di kota ini. Untungnya di sini tinggal pula kakakku, mbak Yayuk, dan suaminya yang super ganteng itu, mas Dimas. Aku akrab banget sama mereka berdua. Dalam seminggu bisa dua atau tiga kali aku main ke rumah mereka meskipun jaraknya lumayan jauh dari kos-kosan ku.
Pada tahun-tahun pertama aku pindah tugas ke kota ini, mbak Yayuk dan mas Dimas masih tinggal dan tugas di kabupaten sebelah. Baru setahun ini mereka pindah ke sini.
Waktu awal pindahan dulu, aku biasa numpang tidur di rumah mereka. Sering diminta nemenin mbak Yayuk kalo pas mas Dimas lagi dinas malam, atau sebaliknya, biasa juga nemenin mas Dimas kalo pas mbak Yayuk dinas malam. Tapi lebih seringnya sih nemenin mbak Yayuk. Kalo mas Dimas biasa juga ditemenin sama anak tetangganya yang bernama Dedi terutama bila malam minggu.
Mas Dimas itu orangnya asyik, humoris tapi serius, ganteng, terbuka dan gak biasa bohong. Jadi kalo dia bohong pasti ketahuan karena ucapannya jadi terbata-bata. Tapi yang paling bikin nggak kuat, dia paling suka pake pakaian ketat. Seragam polisinya ketat banget, belum lagi celana jeans nya, baju kausnya, bahkan kemejanya pun ketat. Katanya sih buat bikin penampilan dia lebih macho.
Sambil menunggu kedatangan mas Dimas, pikiranku kembali ke kejadian malam Minggu 2 bulan yang lalu. Tadinya aku mau menanyakan itu di telepon sewaktu mas Dimas mengabarkan akan datang ke sini. Tapi kupikir itu kurang etis, jadi mungkin nanti saja aku membahas itu setelah mas Dimas datang.
Kejadian di malam Minggu itu masih jelas melekat di benakku. Saat itu, seperti biasa aku sudah berada di rumah mas Dimas lebih awal dan mbak Yayuk kebetulan sudah berangkat dinas malam. Rencananya malam itu aku menemaninya tidur seperti biasa.
"Dit..." tanya mas Dimas.
"Kenapa, mas?" tanyaku.
"Kamu beneran homo kah, Dit?" Mas Dimas balik nanya.
Tentang orientasi seksualku yang gay pertama kali diketahui oleh mbak Yayuk. Itu kejadiannya udah lama banget waktu aku masih kuliah. Untungnya mbak Yayuk bisa menerima kondisi seksualitasku. Setelah mbak Yayuk menikah, suaminya -mas Dimas- akhirnya pun tahu tentang ke-gay-an ku juga. Pasti mbak Yayuk yang cerita.
"Homo tulen, mas. Gak ada tertariknya sedikitpun sama cewek. Pure male homosexual. Lagian kan dulu mas Dimas udah pernah nanya," jawabku.
"Iya. Aku cuma masih penasaran aja. terus kalo sama cewek gak bisa berdiri dong terongnya," katanya.
"Iya, mas. Udah aku coba dulu sama cewek. Gak berhasil. Tetap lembek terongnya kayak terong goreng," jawabku.
"Terus kalo sama cowok?" Mas Dimas bertanya lagi. Kupikir mancing nih mahluk. Mau bahas itu lagi. Kayaknya harus kuceritakan dengan sedikit lebay.
"Wah kalo itu sih bisa 3 kali sehari itu," kataku.
"Gila kamu, Dit. Aku sama mbak kamu aja gak pernah sampe segitu. Nggak sakit Dit, digituin terus pantat kamu?"
"Oh, nggak dong mas. Kan aku yang nggenjot. Kalo istilahnya sih aku ini top."
"Oh, kirain kamunya yang jadi 'cewek'nya, Dit."
"Nggak mas, aku malah belum pernah sama sekali di 'tusuk'. Nggak tau kenapa kok aku nggak tertarik jadi 'cewek'nya."
"Dia macho gak, Dit ?" tanya Dimas.
"Siapa?"
"Pacar kamu."
"Mantan, mas.!"
"Oh ya."
"Dia macho dan ganteng, kayak kamu, mas," kataku.
"Kalo sama aku, kamu pernah mikir yang enggak-enggak kah?" tanyanya.
"Mas takut ya tidur bareng aku?"
"Hahaha... buat jaga-jaga, Dit," jawabnya bergurau
"Sekali-sekali, mas. Kalo kamu pake baju seksi," jawabku.
"Haha..bisa bahaya nih aku," katanya bercanda.
Waktu itu, jam udah pukul 9 malam itu. Aku dan mas Dimas masih nyantai sambil ngopi dan nonton televisi.
"Acara sekarang banyak yang nggak mendidik ya," gumam mas Dimas.
"Iya mas, padahal masih jam segini belum jam tidur anak-anak. Apalagi malam Minggu kayak sekarang. Tapi untung nggak ada adegan panasnya, ya, mas," kataku ikut berkomentar.
"Iya, udah disensor semua kalo yang itu," kata mas Dimas sambil berdiri dari duduknya di sofa.
"Mau kemana, mas?"
"Ganti baju tidur dulu," jawabnya.
"Aku pinjam punya mas ya. Aku nggak bawa baju ganti," kataku.
"Tumben, biasanya bawa."
"Iya, mas. Tadi udah disiapin di tas tapi malah lupa bawanya," jawabku.
"Pake celana training sama kaos aja, ya," kata mas Dimas sambil menuju kamarnya.
"Terserah, mas. Yang penting nyaman di pake."
Tak lama, mas Dimas udah balik dengan penampilan andalannya kalo mau tidur - boxer pendek plus singlet putihnya.
"Nih baju tidur kamu." Mas Dimas nyerahin baju kaus plus celana training yang kuminta.
"Aku ganti baju di sini aja ya, mas"
"Terserah kamu, Dit. Di kamar juga boleh." Mas Dimas kembali duduk di sofa dan mengganti Channel TV.
"Di sini aja, mas." Aku segera menanggalkan bajuku dan menggantinya dengan baju tidur pinjaman mas Dimas.
"Agak sempit nih bajunya, mas. Kamu masih sering pake ini mas?"
"Jarang sih. Nggak enak dipakai kah. Mau aku ambilkan yang lain?" Mas Dimas bertanya untuk memastikan apakah setelan yang diambilkannya tadi cukup membuatku tidak nyaman.
"Nggak usah mas. Aku pake yang ini aja. Lumayan enak kok," kataku sambil kembali duduk di samping mas Dimas.
"Dit," panggilnya pelan.
"Kenapa, mas?" tanyaku.
"Kamu nggak risih kan kalo mas pake boxer sama singlet begini?"
"Ya, enggak lah, mas."
"Nggak terangsang juga, kan?"
"Eeeh, mulai nih mas Dimas. Ya enggak lah, mas. Kan udah biasa, mas pake setelan itu," kataku.
"Siapa tau," sambung mas Dimas dengan nada bergurau.
"Lagian aku bisa dipecat mbak Yayuk jadi adik kalo berani godaan kamu, mas."
"Becanda kok, Dit. Bercanda..."
"Iya, tau.." jawabku.
Beberapa saat kami saling terdiam. Sampai kemudian mas Dimas mendekatiku.
"Dit..." panggilnya pelan.
"Ya.."
"Aku boleh minta penilaian nggak, Dit?"
"Penilaian apa?" tanyaku heran.
"Menurut kamu, aku paling keliatan macho kalo pake setelan yang mana?"
Kirain nanya apaan.
"Ah, kamu itu pake karung pun udah macho, mas," jawabku asal.
"Serius ini, Dit," kata mas Dimas.
"Emang kamu nggak pernah nanyain mbak Yayuk, mas?"
"Udah sih, cuma pandangan cowok sama cewek kan pasti beda," katanya beralasan.
"Kalo versi mbak Yayuk yang seperti apa, mas?" tanyaku ingin tahu.
"Ya, ntar kamu niru lagi, Dit."
"Nggak bakalan. Aku udah punya jawaban," kataku mantap.
"Kalo mbak kamu itu paling suka kalo aku pake jeans biru muda plus kemeja putih yang kamu kasi itu," kata mas Dimas menjelaskan.
"Hadiah buat ultah kamu yang itu, mas? Bukannya kekecilan?" kataku sambil mengingat-ingat.
"Nggak kok, pas malah. Kamu lihai banget milih yang itu untuk aku," kata mas Dimas.
"Hehe..siapa dulu dong.."
"Kalo versi kamu, Dit?" tanyanya.
"Versi aku sepertinya beda, mas," kataku.
"Oh ya!"
"Aku pernah sekali liat kamu pake setelan itu. Udah lama tapi,"
"Setelan yang mana?"
"Kamu keliatan seksi dan macho banget kalo pake itu. Aku sampe terangsang lho mas," tambahku lagi.
"Hah, sampai segitunya kah, Dit. Setelan yang mana ya?" Mas Dimas bertanya dengan bersemangat.
"Yang baju kaus Playboy putih itu lho mas, sama celana seragam kamu yang ada robekan dikit di ujungnya itu," kataku menjelaskan.
"Oh, itu celana seragam lama, Dit. Udah sempit banget. Warnanya juga udah lusuh. Makanya jarang banget pake itu," kata mas Dimas.
"Iya, tapi kamu supermacho mas, kalo pake itu," kataku.
"Iya, terakhir pake, jahitannya ada yang lepas,"
Sedang asyik-asyik ngobrol, tiba-tiba terdengar bunyi ketuk pintu.
"Dedi kali tuh, mas," kataku menebak. Dedi biasanya menginap di rumah mas Dimas setiap malam Minggu bila mbak Yayuk dinas malam. Berhubung ini malam Minggu, kayaknya dia bakal ikut meramaikan rumah mas Dimas.
Beberapa kali aku, mas Dimas, dan Dedi pernah tidur bertiga pas mbak Yayuk dinas malam Minggu. Mungkin 3 atau 4 kali lah. Lebih sering Dedi sendiri yang nemenin, karena malam Minggu aku sering ngerjain tugas.
"Iya, ntar aku buka pintu dulu ya, Dit." Mas Dimas beranjak menuju pintu depan.
Sesuai tebakanku, ternyata memang Dedi yang datang.
"Eh, ada pak Adit. Udah lama pak?" sapa Dedi begitu masuk.
"Enggak, baru sejam. Tadi abis ngantar mbak Yayuk dinas," jawabku
"Bukannya pak Dimas yang ngantar?"
Dedi langsung duduk di sampingku sedangkan mas Dimas duduk di sebelah Dedi.
"Tadi bapak agak pusing, mas Dedi, jadi bapak minta tolong Adit yang ngantar bu Yayuk kamu," kata mas Dimas menjelaskan sebelum aku sempat menjawab pertanyaan Dedi.
"Oh, pak Adit bobok di sini juga kan? Asyik nih kalo ramai-ramai. Kita main game bareng lagi ya!"
"Ah, ga usah main game. Nonton DVD aja kali ya. Koleksi mas Dimas banyak tuh," kataku.
"Katanya kamu mau ngerjain tugasmu di sini, Dit," kata mas Dimas menyela.
"Astaga, mas.!!"
"Kenapa, Dit?"
"Lupa aku mas, bawa laptopnya. Waduh, mesti balik nih aku," kataku. Aku baru ingat kalo aku lupa bawa laptop. Tadinya aku mau nginap di rumah mas Dimas sambil ngerjain tugas laporanku yang masih seabrek. Semua data ada di laptop, dan laptopnya lupa ku bawa.
"Ya udah, kamu pulang aja dulu gih ambil laptopnya, atau besok aja ngerjainnya. Kita nyantai aja dulu di sini," usul mas Dimas.
"Ga bisa nih mas. Soalnya udah ada jadwal lain besok," jawabku.
"Terus?"
"Aku balik ya, mas. Kayaknya aku batal nginap di sini. Jauh soalnya kalo mau balik lagi." Aku bergegas memakai jaketku, lalu mengambil tas dan kunci motor di atas meja TV.
"Ya, udah. Hati-hati ya, Dit. Jangan ngebut!"
"Iya, mas. Ga apa-apa kan ku tinggal?"
"Ah, ga masalah, Dit. Lagian ada Dedi yang nemenin tuh," katanya.
"Ok, aku cabut dulu ya, mas," kataku pamit.
Aku bergegas menuju garasi. Setelah mengeluarkan motor, aku langsung cabut. Mas Dimas dan Dedi mengantar sampai teras.
Sekitar 15 menit, aku belok ke ATM buat ngambil uang. Tadinya aku berencana ngambil uangnya besok pagi. Tapi berhubung sekarang udah pulang, jadi ya sekalian aja pikirku.
Pas masuk ke dalam ruang ATM, ku rogoh-rogoh saku celanaku...
"Eh!"
Astaga, aku kan masih pake celana training mas Dimas. Dompetku pasti masih ada di celanaku yang ku taroh di dekat TV.
Aaargh! Kenapa hari ini aku jadi sering banget lupa ya. Lupa bawa celana tidur, lupa bawa laptop, sekarang malah lupa ganti celana. Sialan.
Aku mesti balik lagi nih ke rumah mas Dimas. Untung aja HP ku taroh di tas, jadi gak ikut ketinggalan.
Kutelepon mas Dimas beberapa kali tapi nggak diangkat. Maksudnya aku mau mengabari supaya mereka ga usah tidur dulu. Soalnya aku mau balik ke sana ngambil dompet. Tapi, berhubung gak diangkat-angkat, aku lanjut balik ke rumah mas Dimas.
Sekitar 10 menit-an aku udah sampai di depan pagar rumah mas Dimas. Kutaroh aja motor di luar. Kata mas Dimas sih di sini aman, gak pernah ada kasus maling. Lagian, aku cuma bentar aja ngambil dompet.
Kuketuk pintu rumah beberapa kali tapi nggak ada sahutan atau tanda-tanda orang di dalam. Ruang TV juga nampak gelap ketika kuintip dari jendela kaca depan. Keluar kah mereka?
Satu-satunya suara yang terdengar hanya suara percikan air. Barangkali mas Dimas sedang mandi. Terus Dedi? Mungkin pulang kali ya...Ah entah lah.
Beberapa saat menunggu, aku mulai gelisah. Soalnya udah 10 menit belum ada tanda-tanda pintu akan dibuka. Kuketuk lagi lebih keras, tetap tidak ada sahutan.
Atau jangan-jangan mereka udah tidur di kamar nih dan lupa matikan air. Harus gedor lewat jendela kamar nih.
Aku bergegas ke samping rumah. Tampak cahaya keluar dari jendela kamar mas Dimas.
Tirai jendela tampak belum ditutup. Tapi kaca jendelanya udah di tutup.
Aku baru nyadar kalo kaca kamar mas Dimas pake kaca nako. Jaman sekarang ternyata masih ada kaca model gini.
Suara gemericik air dari kamar mandi lebih jelas terdengar dari kamar mas Dimas. Pasti pengaruh jendelanya yang tetap bercelah meski ditutup, sehingga suara dari dalam rumah terdengar jelas dari luar.
Kamar tampak kosong, tidak ada siapa-siapa. Tadi waktu di depan juga ruang tamunya kosong. Jangan-jangan mereka jalan ke luar nih.
Kecurigaanku hilang seketika saat pintu kamar terbuka dan seseorang yang kukenal masuk.
Aku mundur beberapa langkah, takut kelihatan dari dalam kamar. Ntar dikira maling lagi, kan repot!
Tampak mas Dimas masuk hanya mengenakan handuk. Pasti habis mandi dia. Badannya kekar seperti badan binaraga, lengkap dengan otot-otot perut sixpack-nya. Keren. Ganteng. Gagah. Aku membatalkan niatku untuk langsung memanggilnya. Soalnya jarang-jarang liat bodi mas Dimas setengah telanjang gitu.
Pak Dimas tanpa malu dan ragu langsung mencopot handuknya dan melemparkannya seenaknya ke tepi ranjang. Di celah selangkangannya yang berotot itu, bergantung kontol kudanya yang berurat-urat, tampak layu dan gemuk.
Degh !
Jantungku berdegup cepat menyaksikan mas Dimas dengan gagah berjalan menuju lemari pakaian. Bongkahan pantat mas Dimas tampak montok, bergoyang-goyang saat dia berjalan.
Gila, montok berotot banget tuh pantat. Keren abiss body suami mbak Yayuk. Aku kalah jauh nih....
Pada saat sedang memilih-milih pakaian, tiba-tiba pintu kamar kembali terbuka.
Astaga!
Kulihat ternyata Dedi yang masuk ke kamar mas Dimas. Dengan santai dia berjalan menghampiri mas Dimas tanpa mengenakan sehelai pakaian pun. Telanjang penuh. Kemaluan anak itu tegak mengacung sempurna. Ukuran yang besar untuk anak seusianya.
"Udah, ntar aja milih bajunya." Dedi berjalan menghampiri mas Dimas.
Oh!! Apa yang mereka berdua lakukan?!!
Bersambung.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
