
Bagian 4. Jurang Setan
Sekitar setengah jam, mungkin lebih mungkin juga kurang, seluruh pekerjaan mengganti ban akhirnya selesai juga. Untungnya, semua terselesaikan sebelum daya baterai hape Mas Ganteng habis. Kulihat tadi tinggal 6% dan Mas Ganteng bilang kalo powerbank yang dia bawa sudah tidak bisa dipakai buat nge-charge karena kehabisan daya.
“Aku masuk duluan ya, Mas Ganteng! Hapenya sekalian kubawain masuk ke mobil nggak apa-apa, kan,” kataku.
“Iya!” jawab Mas Ganteng sambil membereskan alat-alat yang tadi dipakai buat beresin ban.
Udara di luar lumayan dingin, biarpun hujan udah berhenti. Masih untung nggak ada nyamuk yang nakal gangguin. Tapi tetap aja aku nggak kuat lama-lama di luar. Jadi, aku pun segera balik ke tempatku semula di dalam mobil.
Mas Ganteng kayaknya udah selesai membereskan semua peralatan dan memasukkan ban pecah tadi ke bagian belakang mobil. Heran juga sih kok dia bisa tahan ya mengerjakan semuanya tanpa pake baju. Padahal kan dingin banget tuh udara di luar. Apalagi celananya kan basah tuh.
‘Tok tok tok!’
Mas Ganteng mengetuk kaca jendela di sebelahku. Aku pun langsung membuka pintu mobil.
“Ada apa Mas Ganteng?” tanyaku. Mas
“Jon, kamu ada bawa pakaian lebih, nggak?” tanyanya.
“Ada sih, Mas mau pinjam?” tanyaku.
“Iya, kalo boleh,” jawabnya.
“Memangnya Mas Ganteng nggak bawa sama sekali pakaian ganti, kah?” tanyaku heran. Soalnya kan dia tadi bilang udah menempuh perjalanan jauh buat jemput aku. Masak nggak ada bekal pakaian ganti satu pun sih. Aneh!
“Ada bawa. Cuma saya simpan di ransel, dan ranselnya sekarang tertinggal di mobil saya,” jawabnya.
“Mobil Mas Ganteng? Mobil jeep ini maksudnya?” tanyaku heran.
“Nanti saya jelasin. Mana pakaian yang mau kamu pinjamin ke saya?” tanyanya.
“Ntar aku ambil. Tapi kayaknya bakal sempit nih, Mas. Badan Mas ganteng kan kekar gitu.” kataku sambil membuka kembali ranselku.
“Bahan yang longgar aja, Jon, kalau ada,” katanya.
“Ada nih, baju kaos sama celana training. Agak longgar kalo aku yang pake. Tapi kalo Mas Ganteng yang pake kayaknya tetap sempit lah nih,” kataku.
“Udah, nggak apa-apa. Kan yang penting ada dulu. Soalnya celana saya basah banget, Jon.” katanya.
“Iyaa. Kan gara-gara Mas Ganteng yang buru-buru pengen betulin mobilnya. Sampai hujan lebat aja dihantam,” kataku sambil menyerahkan baju dan celanaku buat dipinjemin ke Mas Ganteng.
“Memang mesti buru-buru, Jon,” Mas Ganteng langsung mengambil pakaian yang kuberikan.
“Celana dalamnya nggak pinjam juga? Punya Mas pasti basah juga tuh,” tanyaku iseng.
“Nggak usah, Jon. Celana dalam nggak perlu. Nanti penyakit kelamin kamu bisa nular ke saya,” katanya sambil menutup pintu mobil.
Bangkee!
Nggak sampai tiga menit, Mas Ganteng pun kembali duduk di tempatnya semula. Dia ganti pakaian pun kayaknya pake jurus buru-buru.
“Cepat banget?” tanyaku.
“Apanya?” tanyanya.
“Ganti bajunya, lah,” jawabku.
“Memangnya cewek, ganti baju pake lama. Jangan samakan saya dengan kamu lah, Jon,” katanya lagi.
“Aku kan bukan cewek, Mas,” kataku protes.
“Iya. Tapi kan setengah cowok setengah cewek. Pasti kalo pake baju bisa lama banget kayak cewek,” kata Mas Ganteng sambil menghidupkan mesin mobil.
Sungguh menyebalkan!
Mobil kembali berjalan pelan membelah hutan rimba. Menyusuri jalan berbatu yang seolah nggak selesai-selesai. Tapi, Mas Ganteng terus menyetir dengan cekatan, meskipun mobil sama sekali nggak bisa dibawa ngebut.
“Jadi Mas Ganteng udah nyetir selama lima hari buat jemput aku?” tanyaku .
“Memang kenapa?” tanya Mas Ganteng balik.
“Yah. Ditanya malah balik nanya. Langsung jawab aja susah amat,” kataku.
“Kalau iya, kenapa?” tanyanya lagi.
“Ya enggak. Kok Mas Ganteng kayak masih berstamina gitu. Apa nggak capek?” kataku.
“Ya capek lah, Jon. Paling di kampung depan sana kita istirahat dulu,” jawabnya.
“Kampung mana? Air Hitam?” tanyaku menyebut salah satu kampung yang akan kami lewati setelah melewati hutan adat ini.
“Bukan,” jawab Mas Ganteng.
“Terus?” tanyaku.
“Simpang,” jawab Mas Ganteng.
“Simpang? Bukannya masih sananya lagi. Apa nggak kejauhan, mas?” tanyaku.
“Kalau jauh ya relatif…” jawab Mas Ganteng seadanya.
Kampung Simpang mungkin berjarak dua jam lebih perjalanan dari Air Hitam. Nah, untuk ke Air Hitam aja mesti melewati hutan Adat selama satu jam perjalanan lagi, terus lanjut melewati kebun sawit selama setengah jam.
“Masih empat jam lagi dong, Mas Ganteng,” kataku setelah menghitung-hitung.
“Iya,” jawab Mas Ganteng sambil terus menyetir.
“Tadi katanya capek, mau istirahat. Kok masih mau nyetir sampe 4 jam lagi?”
“Tanggung lah kalo di Air Hitam. Saya pinjam mobil ini sama orang Simpang. Mobil saya juga dititip di sana. Jadi, sekalian aja nginap di Simpang,” jawab Mas Ganteng.
“Di Air Hitam banyak temanku, Mas. Selain aku, anak buah pak Bos semuanya orang situ. Jadi kalo mau nginap di Air Hitam, bisa numpang di rumah temanku aja,” kataku.
“Nggak usah. Saya sudah janji juga sama yang punya mobil mau mengembalikannya malam ini,” kata Mas Ganteng.
“Jadi mobil jeep ini memang bukan mobil Mas Ganteng, ya?” tanyaku.
“Bukan!” jawab Mas Ganteng singkat.
“Oh. Ngerti lah. Jadi, abis dari Simpang, lanjut perjalanannya pake mobil Mas Ganteng lah ya,” kataku.
“Iya. Tapi nginep dulu di Simpang. Istirahat.” katanya.
“Iya. Atur aja Mas Ganteng. Tapi kalo Mas Ganteng udah capek atau ngantuk, jangan dipaksain ya…” kataku sok peduli sambil tangan kananku menyentuh bahu Mas Ganteng dalam kegelapan.
Bahu lelaki yang kuat dan kekar...
“Ngapain pegang-pegang?” kata Mas Ganteng sambil menggoyangkan bahunya tanda buat menepis sentuhan tanganku di situ.
“Pegang dikit aja gak boleh,” kataku.
“Ganggu saya nyetir! Nanti mobil bisa masuk jurang!” jawab Mas Ganteng sambil terus mengemudi pelan.
“Jurang? Eh…!”
Jurang Setan!
Aku baru sadar, kami baru saja memasuki kawasan Jurang Setan. Jalan yang kami lalui melewati celah bukit yang menanjak dan menurun, dengan sisi kanan berupa tebing dan sisi kirinya merupakan jurang yang dalam. Kalo lewat sini mesti hati-hati. Apalagi dalam kondisi gelap dan habis hujan. Salah perhitungan dikit, kendaraan bisa tergelincir masuk ke dalam jurang.
“Area berbahaya nih, Mas,” kataku mengingatkan.
“Iya, tau. Kan waktu perginya tadi juga lewat sini, jadi udah hapal jalan,” katanya.
“Kondisinya beda lah Mas. Sekarang kan gelap dan Mas Ganteng pasti juga lebih capek juga, kan?” kataku.
“Kalo capek ya lumayan. Mau pijitin?” kata Mas Ganteng. Wah serius nih Mas Ganteng minta dipijitin. Kalo iya, berarti itu kesempatanku buat sentuh-sentuh bodinya secara gratis.
“Memangnya Mas Ganteng mau?” tanyaku.
“Enggak!” katanya lagi. Sialan!
“Nggak mau ngapain tanya?” kataku.
“Basa basi lah, Jon,” jawab Mas Ganteng.
“Halah, tumben banget pake basa-basi. Dari awal kayak cool banget gitu,” kataku.
“Kan sebelumnya saya masih belum kenal kamu, Jon,” jawab Mas Ganteng menjelaskan.
“Sekarang udah kenal?” tanyaku.
“Lumayan. Saya sudah bisa mengetahui kamu itu tipe orang yang seperti apa,” jawab Mas ganteng.
“Memangnya seperti apa?” tanyaku lagi.
“Paling tidak, saya sudah pastikan kamu memang 100 persen homo dan nekat,” kata Mas Ganteng.
“Nekat gimana maksudnya, Mas Ganteng?” tanyaku lagi.
“Nekat godain saya. Padahal sudah saya kasi aturan untuk nggak melakukan itu,” jawab Mas Ganteng.
“Aku nggak godain kok, Mas. Cuma ngetes aja. Sapa tau Mas Ganteng bisa nafsu sama aku, hehe,” kataku sambil nyengir sendiri.
“Jangan berpikiran saya bakal tergoda dan nusuk kamu ya, Jon. Lubang pantat cewek saja saya tidak doyan, apalagi punya kamu,” kata Mas Ganteng serius.
“Bercanda aja kok, Mas. Lagian siapa juga yang mau ditusuk. Aku sih nggak mau,” kataku.
“Kok tidak mau? Kan kamu homo,” jawab Mas Ganteng.
“Aku top, Mas,” kataku.
“Top? Maksudnya?” tanya Mas Ganteng.
“Nggak gaul. Masak nggak tau,” kataku.
“Itu istilah homo ya. Wajarlah kalo saya nggak tau,” katanya.
“Kalo laki sama laki lagi main, salah satunya nanti akan nusuk laki-laki yang satunya. Nah yang nusuk itu nyebutnya TOP, sedangkan yang kena tusuk itu nyebutnya BOT,” jelasku.
“Kamu top?” tanya Mas Ganteng.
“Iya. Jadi kalo Mas Ganteng mau main sama aku, Mas Ganteng mesti jadi Bot!” kataku.
“Bot?”
“Iya, Mas Ganteng yang saya tusuk,” kataku.
“Anjing! Bahas yang lain saja, Jon! Saya tidak berminat bahas kehomoan kamu!” katanya.
“Kan Mas Ganteng sendiri yang banyak tanya,” kataku protes.
“Iya, mulai sekarang bahas yang lain saja!” katanya.
“Bahas apa?” tanyaku.
“Terserah. Asal bukan yang berbau seks. Atau kalau memang nggak ada bahan pembicaraan, diam aaja atau kamu tidur saja!” jawab Mas ganteng.
“Kalo aku diam, nanti Mas Ganteng nggak ada teman ngobrol kan bakal lebih mudah ngantuk,” kataku.
“Saya nggak nyuruh kamu diam. Itu hanya salah satu pilihan. Kalau kamu mau ngobrol ya silahkan, terserah kamu. Asal jangan yang berbau seks aja!” jawab Mas Ganteng.
“Mas Ganteng nggak suka seks ya? Atau nggak punya nafsu seks gitu ya?” tanyaku mancing. Kalo ditanggapi syukur, kalo nggak juga nggak apa-apa sih.
“Nafsu pasti punya lah, Jon!” jawab Mas Ganteng singkat.
“Nah itu, sesuai lah kalo gitu. Badan gagah gitu kan aneh aja kalo gak punya nafsu sama sekali,” kataku.
“Nafsu saya sama perempuan, Jon. Jadi, membahas masalah itu dalam kondisi saat ini sama sekali tidak berguna!” katanya.
“Yaa, penyaluran kan gak mesti pake berhubungan seks,” jawabku membela. “Pake tangan juga bisa, kaan,” lanjutku lagi.
Mas Ganteng diam aja nggak menanggapi komentarku.
“Mas!” panggilku.
“Ya!” sahutnya.
Kulirik ke arah Mas Ganteng. Pantulan cahaya dari lampu depan nggak cukup kuat buat menerangi sosok tubuh kekarnya. Tapi bayangan samar pria atletis masih bisa kulihat. Jadi pengen menyentuhnya.
Perlahan kucondongkan badanku ke arahnya. Lalu kusentuh lagi paha Mas Ganteng pelan-pelan. Kuletakkan telapak tangan kananku ke paha kirinya.
Paha yang cukup berotot dan terlatih. Pasti sering dipake buat maraton, nih
“Tanganmu, Jon! Mengganggu!” kata Mas Ganteng sambil terus menyetir.
“Gini aja masak ganggu sih?” kataku protes. Tapi kutarik juga akhirnya tanganku dari situ.
“Mengganggu! Lagian, ngapain kamu sentuh-sentuh saya?” tanyanya sewot.
“Kan cuma dikit aja nyentuhnya,” jawabku. Sombong banget sih mas Ganteng masak disentuh dikit gitu aja dia marah. Galak!
“Tetap tidak boleh!” kata Mas Ganteng tegas.
“Aku cuma mau memastikan, apa celanaku muat apa nggak dipake sama Mas Ganteng,” kataku beralasan. Padahal kan memang pengen nyentuh dia.
“Udah saya pake. Artinya muat!” jawab Mas Ganteng. “Aturan saya tetap berlaku ya, Jon!” kata Mas Ganteng lagi.
“Iya, tau,” jawabku sambil merebahkan kembali kepalaku ke sandaran kursi.
“Kalo sudah tau kenapa masih dikerjakan?” tanya Mas ganteng. “Seperti kurang pelampiasan aja,” katanya lagi.
“Ya kan memang kurang pelampiasan. Mas Ganteng aja yang baru 5 hari juga udah sange, kan? Apalagi aku yang udah 5 tahun,” kataku.
“Sok tau,” sahut Mas Ganteng.
“Tadi aku sempat lirik-lirik. Makanya tau,” kataku.
“Lirik? Lirik apa?” tanya Mas Ganteng penasaran.
“Lirik punya Mas Ganteng, lah. Tegang tuh kayaknya,” kataku.
Memang tadi aku sempat curi-curi pandang pas Mas Ganteng ganti celana. Aku pura-pura menghidupkan senter hape Mas Ganteng, dan keliatan banget tonjolan Mas Ganteng yang begitu menantang. Terus sepanjang perjalanan, beberapa kali kulihat tangan Mas Ganteng membetulkan posisi celananya yang bagian depan. Udah pasti lah dia tegang. Aku cukup yakin.
“Homo sialan!” Umpat Mas Ganteng.
“Mas Ganteng nggak kasian sama punyanya?” tanyaku dengan nada menggoda.
Mas Ganteng diam aja. Dia tetap menyetir seolah nggak mau menghiraukanku. Yang jelas sih dia nggak nyinggung - nyinggung soal aturan dia. Jadi, kayaknya masih aman lah buat aku lanjut godain dia lagi.
“Mau dibantuin nggak, Mas?” kataku lagi. “Dikeluarin isinya,” sambungku.
Mas Ganteng tetap diam dan tampak terus konsentrasi menyetir. Melihat dia nggak respons begitu, aku pun pelan-pelan kembali meletakkan tanganku di atas pahanya yang hangat dan kokoh.
Mas Ganteng tetap diam dan terus menyetir dengan pelan. Jantungku terasa berdegup kencang. Perlahan, aku bisa merasakan desiran hangatnya darahku membanjiri selangkanganku, membuat kejantananku semakin mengeras hingga memenuhi setiap sudut ruang celanaku. Aku tegang maksimal.
“Mas…” panggilku. Mas ganteng masih mengabaikanku.
Ujung jariku pun perlahan mulai menelusuri paha berotot Mas Ganteng, inchi demi inchi. Terus bergerak ke tengah. Ke area kejantanan milik Mas Ganteng, dan kudapati benda itu terasa begitu besar dan keras.
“Anjing!”
Begitu kira-kira kudengar umpatan yang keluar dari mulut Mas Ganteng, sementara mobil semakin bergerak pelan dan akhirnya berhenti di sisi kanan jalan.
“Singkirkan tanganmu dari situ!” perintah Mas Ganteng.
Bukannya mengindahkannya, aku malah nekat mulai meremas benda kokoh di genggamanku itu.
“Aku isep ya, Mas!” kataku tanpa ragu.
‘Kalau itu maumu, lakukan aja, Jon…’ begitu kira-kira kalimat yang kuharapkan keluar dari mulut Mas Ganteng, sebelum sebuah tinju tiba-tiba berkelebat dalam gelap dan langsung menghantam hidungku tanpa bisa kuhindari.
“Aaagh!” erangku sambil memegang hidungku yang terasa mengembang seketika. Sakitnya minta ampun. Bangsat!
“Homo tidak tau diri! Keluar kamu dari mobil!” kata Mas Ganteng kasar. Kayaknya dia marah besar.
“Nggak mau!” jawabku.
“Keluar! Saya nggak mau membawamu. Cukup sampai di sini!” kata Mas Ganteng masih dengan nada penuh amarah.
“Ya terserah lah kalo nggak mau membawaku pulang. Tapi balikin lagi dong aku ke rumah pak Bos. Enak aja main turunin aku di Jurang Setan,” kataku nggak mau kalah sambil masih memegangi hidungku yang ngilu parah.
“Oke!” katanya singkat sambil kembali menyetir.
Aku terus saja memegangi hidungku yang terasa sakit sekali. Bayangin aja kena tinju di hidung oleh kepalan tangan berotot Mas ganteng. Bisa melesak ke dalam hidungku dibuatnya.
Nafsuku yang tadi sempat menggebu-gebu langsung hilang seketika. Batang kemaluanku yang tadi udah terasa keras maksimal, sekarang kayaknya udah menciut mengkerut kayak limau purut. Bangsat!
“Kok lanjut? Katanya mau anterin aku balik ke pak Bos?” tanyaku setelah menyadari mobil terus bergerak maju.
“Saya nggak mau ambil risiko memutar mobil di area ini. Tunggu aja bentar lagi jalan udah bagus, baru nanti putar balik,” jawab Mas Ganteng.
“Oh, kirain nggak jadi balik,” kataku.
“Jadi!” jawabnya.
Sekitar 10 menit, mobil pun sudah tidak bergoncang lagi. Jalan sudah terasa mulus dan lurus. Artinya, kami mulai memasuki areal perkebunan sawit yang membentang sampai beberapa kilometer ke depan sana. Mas Ganteng menghela napas agak panjang, kayaknya lega banget dia setelah melewati jalanan sulit di sepanjang hutan Adat. Dia bisa lega gitu, sementara aku ngerasain bogem di hidungku, dasar bajingan tengik!
“Kok nggak muter balik?” kataku menyadari mobil tetap bergerak lurus dengan kecepatan yang semakin tinggi, membelah kebun sawit.
“Mau balik kemana?” tanya Mas Ganteng.
“Ya ke rumah pak Bos, lah. Kan tadi katanya nggak mau bawa aku lagi,” kataku.
“Saya berubah pikiran,” jawab Mas ganteng.
“Ya udah kalo gitu. Nanti kalo aku pegang-pegang lagi, jangan salahkan aku,” kataku.
“Coba aja, selama kamu berani ambil risiko saya binasakan, lakukan aja!” jawab Mas Ganteng penuh ancaman.
“Sok! Padahal ngaceng gitu,” sindirku.
“Terserah saya mau ngaceng atau nggak. Itu bukan urusan kamu. Tapi kalau kamu mulai berani macam-macam, silakan tanggung sendiri akibatnya,” katanya.
“Kejam!” balasku.
“Sudah semestinya,” jawabnya sambil terus menyetir.
“Padahal kan nggak ada ruginya juga kalo aku isep atau aku kocokin punya kamu, Mas. Malah enak. Bukannya terimakasih, malah nonjok,” kataku.
“Mau enak atau tidak, yang jelas saya tidak mau berurusan sama homo. Paham!” kata Mas Ganteng tegas.
“Ya, tapi jangan pake nonjok, lah,” balasku.
“Sudah saya peringatkan, tapi kamu tetap lanjut. Itu nekat namanya,” kata Mas Ganteng.
“Eh, tadi waktu aku elus-elus, Mas Ganteng diam aja. Tau-tau aja langsung nonjok. Peringatan dari Hongkong,” balasku.
“Saya lagi konsentasi penuh karena di depan ada longsoran. Saya tidak mau masuk jurang bareng homo kayak kamu, Jon! Peringatan sudah saya sampaikan berupa aturan-aturan yang saya buat. Harusnya kamu ingat!” jelas Mas Ganteng nggak mau kalah.
“Oke. Kalo gitu aku bakal nggak pedulikan kamu lagi, Mas. Aku akan diam aja di sepanjang jalan!” kataku.
“Baguslah kalau begitu.!” Jawabnya singkat.
Sialan!
Sebetulnya iya juga sih, akunya aja yang nekat meraba-raba pahanya, terus pegang batangnya yang besar dan kokoh itu. Benda yang begitu jantan dan mendebarkan. Tapi kalo ingat sesudah itu aku kena tonjok, rasanya benci banget sama Mas Ganteng.
Tak lama, kecepatan mobil mulai melambat. Tampak di kejauhan sana, lampu-lampu bertebaran seakan menandai peradaban di tengah kegelapan malam. Sebentar lagi kami akan tiba di pemberhentian berikutnya, Kampung Air Hitam.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
