Istana Biru

0
0
Deskripsi

Antologi Pertama, tahun 2009/2010

Suatu ketika, apakah kamu pernah berjalan di antara guguran cemara. Gerimis yang turun perlahan, sepanjang siang dan malam. Kamu pernah? 

Aku pernah! Aku pastikan tak ada suasana yang lebih menyedihkan dan menakutkan kecuali itu.

Aku berdecak.

“Sungguh mengerikan. Tapi itu dulu, saat aku masih mengira Barra akan datang menemuiku.” Sosok tampan di depanku itu terseyum. Ariyant memandangku sabar. Kami tengah melakukan dinner, sebuah kafe yang cukup terkenal.

“Ah, penantian yang bodoh,” kataku getir. Jika tidak ada Ariyant, cekat itu kupastikan akan berubah tangis lagi. Bagaimanapun, aku harus terlihat bahagia di depannya, aku harus merasa bahagia dengannya.

 “Tapi sekarang aku mengerti,” kataku lagi “Tuhan terlalu sayang padaku untuk terus membiarkan aku bersama laki-laki seegois Barra. Bukan aku yang tak berharga, tapi dia yang terlalu tak pantas untukku. Benar kan, Ariyant?” Lelaki di depanku itu hanya mengangguk.

“Tuhan benar-benar adil, -Dia ganti kesetiaan perasaanku dengan mengirimkan malaikat-Nya. Anugerah yang luar biasa.” Mataku berkaca-kaca.

“Ada apa?”  tanyanya bingung, wajahnya terlihat khawatir.

“Tidak. Bukan apa-apa.” Suaraku gemetar. 

“Aku hanya terharu. Tuhan terlalu baik padaku,” kataku lagi parau, Ariyant tersenyum penuh pengertian.

***

Lampu di ruang tengah seketika menyala. Para penghuni kost-an telah berdiri di pintu kamar masing-masing. Aneh, seolah mereka sengaja menungguku.

“Nala! Kamu dari mana?” Mbak Andri, penghuni kost paling dewasa, melontarkan pertanyaan. 

“Ma-maaf, Mbak, aku ...” Aku gugup.

“Oalah, Mbak, kalo dandan gitu ya darimana lagi.” Lissa si centil nyeletuk.

“Kamu kencan, ya?” tanya Angel. Aku mengangguk malu.

“Sama siapa?” tanya Mbak Andrie terdengar cemas. Dia tahu tentang Barra.

“Ariyant,” jawabku pelan.

“Ariyant?” Mbak Andrie mengerutkan kening, “kami kenal?” 

Aku menggeleng.

“Tidak. Dia baru satu bulan di sini, kami bertemu baru dua minggu yang lalu.” Mbak Andrie menatapku dengan pandangan aneh. Pandangan yang tidak memercayai.

“Baru ketemu dua minggu, terus langsung pacaran? Kencan?” 

“Seperti bukan Nala deh,” kata Lissa ragu.

***

“Aku memuja air,” desisku sambil merendam kakiku sebatas lutut ke dalam air. Mengerjap senang saat melihat riaknya menggelembung setiap melewati kaki-kaki kami.

“Kenapa begitu?” tanya Ariyant. Ini kencan kami yang ketiga, aku memilih tempat wisata Air Terjun.

“Aku suka kehidupan seperti air, mengalir, indah, tenang. Walau beriak, selalu menuju muara dengan pasti. Sebuah akhir yang bahagia, meski harus beriring rintangan, kesedihan bahkan kesepian.” Aku tersenyum manis.

“Betapapun sepi dan menyakitkan, itu hanya sebagai piranti, agar dia jauh lebih kuat, begitu kuat hingga badai atau tsunami sekalipun, dia tak mudah terguncang.” 

Kami memperhatikan air terjun yang bergerak turun dengan irama tertentu dan pasti. Suara anak-anak kecil yang bermain di bawahnya terdengar begitu riang. Menyenangkan dan terasa sedih.

“Angel dan Lissa sangat ingin berkenalan denganmu. Tapi tenang, aku sudah bilang, kamu sibuk. Kita bisa kenalan kapan-kapan.”

***

 “Nay, tadi kamu pergi ke Air terjun ya?” Angel dan Lissa tengah di teras saat aku tiba di rumah kost-kostan kami.

“Ya. Kok tahu?”

“Aku juga di sana tadi, mengantar teman,” jawab Angel.

“Aku agak buru-buru jadi nggak sempat negur kamu. Dengan siapa? Kamu nggak sendirian kan?” Angel bertanya dengan nada khawatir.

“Tentu saja tidak. Aku tak seberani itu.” Aku tertawa “Aku bersama Ariyant, laki-laki sebelahku itu, Ariyant.”

Angel memandang dengan agak heran,“T-tapi aku tak melihat siapa-siapa?”

“Oh, itu mungkin saat Ariyant beli kelapa muda,” sahutku enteng.

***

Tempat itu lagi. Aneh rasanya, seperti sering melewatinya, tapi lupa kapan, hanya aku yakin, aku kenal tempat ini. Kiri kanan jalan tumbuh pohon-pohon besar, jalan yang lurus dan panjang, tinggi, ada sebuah danau di ujung jalan. Suasana muram dan temaram. Seperti tidak ada sinar matahari, terasa mengerikan. Seseorang berendam di danau itu. 

Aku melangkah semakin dekat menghampiri sosok itu, sesosok perempuan. Perempuan itu berbalik dan memanggil. “Hai!” 

Dan detik itu pula aku terperangah! WAJAHKU sendiri di sana!

Mataku terbuka. Melihat jam di dinding sebelah kiri ranjang, jarum menunjukkan pukul lima lebih sedikit. Aku gelisah, kenapa bermimpi seperti itu. Menyeramkan!

“Mau pergi dengan Ariyant lagi?” tanya Angel bersama yang lain. Mereka duduk di teras. Ini hari libur. Aku hanya mengangguk.

“Kapan nih, Nay. Kenalin sama kita?” timpal Mbak Andrie, menggoda.

“Iya nih. Masa’ sibuk terus,” sambar Lissa cerewet.

“Pasti aku kenalin kok!” kataku sengit. Agak kesal, mereka riweh banget deh.

Aku mengaduk-aduk tas, memeriksa kalau ada yang kelupaan. Aduh, ponsel. Aku membuka sepatu dan berlari ke dalam. Segera menemukan benda kecil itu di atas ranjang.

“Psst, kayaknya ada yang aneh deh, Mbak.” suara Lissa.

“Aneh kenapa?”

“Sudah beberapa kali Nala jalan, kok kita nggak sekalipun bertemu yang namanya Ariyant itu.”

“Kan, kita sama-sama sibuk?”

“Bukan itu,” sela Lissa, “kami dua kali ngegap Nala jalan, tapi ia selalu sendirian, nggak ada ...”

Aku keluar. Kata-kata Lissa mendadak berhenti.

“Aku pamit dulu, Mbak,” pamitku. Masih menatap tajam Lissa. Dia seperti bergidik. Aku merasa kesal dan marah sekali. Mereka sepertinya tak suka melihatku bahagia.

***

“Nala, benar tadi kamu pergi dengan Ariyant?” gelas yang tengah kuayunkan, berhenti di udara. Hening, semua yang di situ tiba-tiba berhenti bergerak seakan dunia berhenti sejenak berputar.

“Iya. Tentu--tentu saja.” Pertanyaan Mbak Andrie terdengar aneh di telingaku.

“Kamu pergi ke taman kota kan?”

“Kalian mengikuti aku?” Aku balik tanya. Tak suka.

“Iya.” suara Lissa, agak gemetar.

“Kenapa? Kenapa nggak biarkan aku punya dunia sendiri? Mbak pikir ...”

“Stop. Nala!” bentak Mbak Andrie. “Kami mengikutimu, karena kamu memang aneh. Kami khawatir padamu.”

“Lalu ...?” teriakku sinis

“Perasaan khawatir kami benar, Nay.” Angel menatapku aneh.

“Maksud kalian?” Beberapa saat tak ada yang bicara, tapi mata mereka berkaca-kaca.

“Kamu berteriak-teriak seperti orang gila, kamu marah-marah dan seakan berbicara pada seseorang, padahal ...” Mbak Andrie yang bicara. “Kamu sendirian.” 

“Tak ada siapapun, tak ada orang lain, tak ada Ariyant.” 

Aku tertegun.

“Kenapa, Nala?” Suara Mbak Andrie pecah juga. Sesaat aku merasa gamang.

“Kalian, kalian hanya mengarang cerita. Ariyant itu benaran ada.” Aku tersenyum. Seraya berdiri. “Ariyant itu ada. Aku akan buktikan!” Aku berteriak.

“Plakk!” Terdengar sebuah bunyi tamparan. Aku merasa tubuhku terjatuh, pandangan mataku berkunang-kunang.

“Seharusnya kami sadar, saat melihat perubahanmu. Tiba-tiba suka menjerit, tiba-tiba mahir bicara. Liar, berubah kasar.”

“Nala yang pendiam, yang tak banyak tingkah. Alim. Harus menjalani ini.” Mereka bicara lirih dan perlahan.

***

Aku menatap wajah-wajah itu kosong. Ada rasa sedih saat ditinggalkan mereka. Perasaan yang sama ketika tahu, aku ditinggalkan Ibu. Menelan kekosongan demi kekosongan itu, tak seorangpun mencintaiku, menerimaku. Bahkan orang-orang yang kupikir paling tulus pun. 

Ah, biar saja aku di sini, di istana biru rekaanku, yang tidak memberi rasa kosong mengerikan. Tidak membuatku merasa takut untuk tidur. Istana yang lebih indah dari rumah manapun.

Ada Ariyant di situ. Dan aku bahagia!

--End--

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Bab 1: Pesta Lampion, Sebuah Surat
0
0
“Dirimu di usia hampir kepala tiga seperti tidak punya masa depan sama sekali. Kau masih saja khawatir, apa hidupmu terus akan baik-baik saja. Apa kau bisa mengatasi hal yang tak bisa kau atasi ... apa kau punya sedikit gambaran tentang masa depan?”Cerita ini tentang gadis yang bernama Dewi Amalia, berkelindan dengan hidup yang menurutnya tidak adil. Juga persoalan-persoalan dari dalam dirinya sendiri. Apakah akhirnya dia memperoleh kebahagiaan?  
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan