Bunga Padang Liar

1
0
Deskripsi

Dimuat di majalah Kartini

“Hai!” Barra melambai dari bawah jurang, tempat itu memang terlalu curam untuk disebut tebing. Aku melongok. Kami tengah menyusuri lereng bukit yang agak sulit, karena tak ingin melewati jalan umum daerah M. Itu piknik namanya.

“Lihat sini deh!” serunya lagi. Arin bergegas, ia turun dengan berpegang pada akar-akar pohon, aku mengawasi dari ekor mata.

“Saski! Maya! Lihat deh indah banget!” giliran Arin yang teriak-teriak. Kali ini Saski yang melongok sambil berguman kesal.

“Apaan sih.” Saski menoleh “Yuk, May,” ajaknya mendahuluiku.

“Bunga apa itu. Bagus banget!” Aku terpekik tabjuk, 

“Bunga padang liar.” Barra yang menyahut. Aku melirik Barra yang juga melirikku. Aku segera memalingkan wajahku.

            “Jangan!” seruku refleks melihat tangan Saski terulur membuat gerakan seperti ingin memetik. Saski menoleh sebal, tak menghiraukan seruanku.

“Kenapa Maya? Nggak suka? Bunga tumbuh emang untuk dipetik sayang,” katanya cuek.

“Bunga lebih indah bila berada  di rumpunnya,” sahutku.

Aku lalu mengambil beberapa angel, mengabadikannya dengan kamera Smartphone.

“Mau dong difoto juga dengan latar bunga indah padang liar.” Arin mengambil posisi, merusak acara potret memotretku.

“Ayo Barra fotoin kami pake kamera beneran,” pintanya manja.

Aku berhenti sebentar memandang Barra yang segera melakukan permintaan Arin. Saski pasang senyum, turut berpose.

“May, nggak ikutan?” tawar Barra. Aku menggeleng.

“Nggak bagus foto bertiga.” Aku berkilah.

Barra tertawa.

“Kata siapa?”

“Mitos.”

“Percaya begituan?”

“Beberapa. Iya!” Aku melepas ransel, mengambil aqua dan meminumnya beberapa teguk. Bersikap seolah tak perduli.

“Udahan yuk, kita gabung lagi ama David, nanti mereka kuatir lagi.” kata Arin, semua berkemas, aku yang terakhir.

Sebelum pergi, aku menatap rumpun bunga itu dengan sepenuh hati, seolah ingin mematrinya dalam benakku, untuk memindahkannya dalam sebuah coretan.

Crekkk! Sekelebat lampu blits menyambar wajahku. Aku menoleh kaget.

“Lihat saja nanti, hasilnya pasti bagus.” Barra tersenyum.

“Kamu lancang!” Aku mendesis. 

***

Tetapi aku merasa, gadis di dalam foto itu seperti kehilangan.

“Menurut kamu, Arin bagaimana?” tanya Barra.

“Kalo maksud kamu dia itu cantik atau nggak. Ya, dia cantik.”

“Terus?”

“Baik.”

“Terus lagi?”

“Apaan sih, Bar?” Aku tersenyum enggan, merasa kesal ditanya seperti itu.

“Cuma minta pendapat, boleh dong.”

Aku melihatnya sekilas. 

“Apa untuk taruhan seumur hidup, kamu akan terus bertanya pada orang lain?” 

“Justru itu,” katanya.

“Hanya kau yang tahu apa yang terbaik untukmu, kau yang berhak memutuskan!”

“Karena ketika wanita dipilih, dia ingin para pria itu yakin dengan pilihannya. Bukan dari pendapat orang lain, atau karena alasan yang lain.”

Sekarang aku benar-benar keluar.

***

“Tahu gosip ternyar?” Saski datang sambil membawa secangkir kopi, harum kafein merebak.

“Apa?”

“Barra dan Arin akan bertunangan!” Aku menatap Saski lekat, mencari celah canda di mata itu, tapi yang kudapatkan adalah wajah sungguh-sungguh.

“Secepat itu?” tanyaku tergugu. Saski tak menjawab, ia sibuk mengulik-ulik koran pagi ini.

“Yah. Tentu saja, Arin tentu tak mau meyia-nyiakan ini. Doa terlalu lama menunggu Barra.”

“Padahal ...” sambungnya, melihatku hati-hati, seperti ingin mengatakan sesuatu yang sangat rahasia.

“Padahal?” tanyaku penasaran.

“Barra tak pernah menyukai Arin.” Saskia tersenyum misterius, “Sebagai seorang wanita.”

“Oh ya?” mataku membulat, nafasku memburu “tetapi  ...” Aku pura-pura terkejut.

“Barra pernah suka pada gadis lain!”

“Siapa?” tanyaku tergetar, tiba-tiba aku merasa, lebih mencemburui perempuan itu. Saski mengedikkan bahunya. Ia kini menatapku. 

“Tapi mereka akan segera bertunangan,” kataku cepat, mengalihkan perhatian Saski.

“Yah segera bertunangan. Arin berhak mendapatkannya. Menurutmu bagaimana?” Aku mengangguk-angguk, berusaha menghalau galau yang tiba-tiba menyerangku lagi. 

Saski benar, misalnya ada orang kurang kerjaan mengadakan voting di perusahaan ini, apakah Arin berhak mendapatkan Barra, pasti hasilnya akan sama, sebagian besar setuju dengan pendapat itu.. 

Siapa yang tak kenal perjuangan gadis manja nan gigih itu. Menjadi salah satu alasanku menyimpannya seteguh itu dalam kalbu yang tak terjamah. Hanya bisa berharap, Barra melihatnya dan menyadarinya, menawarkannya sendiri! Tanpa perlu kuminta. Supaya  perasaan Arin yang bertahun-tahun kutahu penuh harap itu tak tersakiti.

Tapi penyamaranku terlalu sempurna, Barra tak pernah tahu, atau tak mau tahu!

***

“May!” Aku yang tengah melangkah cepat-cepat menaiki tangga berhenti dan menoleh. Barra!

“Ya.” Aku menatapnya, wajah kami hanya berjarak sepuluh centi, hal yang jarang, berani aku lakukan, biasanya aku selalu menghindar, tapi kali ini aku membiarkan. Karena aku tahu, mungkin kesempatan seperti ini tak akan pernah lagi terjadi.

“Sini sebentar.” Ia menarik tanganku. Ini juga, biasanya aku selalu menepis saat tangannya menyentuh lenganku, baik sengaja ataupun tidak. Aku membiarkannya, entahlah!

Mungkin aku tengah menikmati detik-detik terakhir kedekatan terhadap Barra. Setelah ini dia akan jadi milik orang, pastinya aku tak akan punya kesempatan lagi. Arin terlalu protektif untuk hal yang menyangkut Barra, pun dengan alasan persahabatan!

Saat Barra bukan siapa-siapanya saja, dia tak segan menunjukkan rasa cemburu dan bersaingnya, apalagi sekarang dengan status calon Nyonya Barra.

Kami memasukki ruangan Barra, mataku jatuh pada sebuah foto, aku tersenyum!

“Kamu menyimpannya juga,” kataku, seraya meraihnya.

“Iya. Aku yang pertama kali menemukan bunga itu, ingat. Hm, kalau benar bunga ini belum ada nama, mestinya aku berhak mematenkan namanya dengan namaku.” 

Barra sengaja berdiri di sampingku, turut mengamati foto yang kupegang. Bahu kami hampir bersentuhan, tetapi Barra terlalu tahu, aku tak pernah suka dengan sentuhan bentuk apapun.

“Huhh.” Aku mencibir, Barra tertawa.

“Kamu benar,” kata Barra “bunga itu memang lebih indah bila berada di rumpunnya.”

Dia memandangku, Aku berdebar, Aku merasa belum pernah melihat cara menatapnya yang seperti itu. Aku jadi gugup sendiri.

“Tetapi apa ...?”

“Rasanya terlalu egois kalau membiarkannya. Tumbuh dan gugur sendirian. Tersembunyi jauh dalam lereng bukit, siapa yang perduli?”

“Itu memang takdirnya.”

“Tetap saja tak adil!”

“Dipetikpun ia akan layu, apa kau pikir kau bisa memajangnya dalam vas. Bisa bertahan berapa lama?”

“Mungkin benar begitu.” Barra tersenyum “merasa tak adil saja, ia terabaikan.” 

Aku diam. Suasana jadi sunyi, hanya embusan nafas kami yang terdengar berlomba.

“Besok aku mau keluar kota, menemani Pak Bastian. Mau titip apa?” ujar Barra kemudian.

Tak aneh, itu memang kebiasaannya kalau dia punya agenda pergi kesuatu tempat. Barra pasti menawarkan sesuatu pada kami. Aku, Arin termasuk Saski. Tetapi sekarang, suasananya tak sama lagi, dia sudah jadi milik orang lain dan akhir dari pertemanan ini akan semakin jelas. Arin tak akan membiarkan seorangpun berdiri sejajar dengannya, di  sebelah Barra. Dalih persahabatan pun. Aku sudah bilang kan. Kenapa Barra masih menawarkan hal itu?

“Aku tak mau apa-apa. Aku hanya ...”

“Barra!” Arin masuk, memotong bicaraku. Kami berpandangan!

Aku bergerak menjauh, serasa ke-gap.

“Maya ngapain di sini?” tanyanya ketus. Ia tak berusaha menyembunyikan cemburunya.

“Aku pamitan.” jawab Barra. Arin kini memandang Barra, tatapan matanya seolah mengatakan,

‘cuma ngasih tahu itu, berdiri sedekat itu, lalu apa pentinganya sih ngasih tahu dia!’

Membela diri pun percuma, Aku pasti kalah. Jadi kenapa pula bertahan.

“Maya!” panggil Barra! Aku tak menoleh.

Aku hanya ingin kamu pulang dengan selamat, Bar, meski saat kamu pulang nanti, kamu akan jadi milik orang. Meski kita tak akan lagi leluasa bersama-sama. Meski aku juga tak bisa lagi memandangmu dalam jarak sepuluh centi.

“Pokoknya, setelah kerjaan kamu selesai, kamu harus pulang. Mama Bilang kita harus cepat ngurus pernikahan, Aku nggak mau ketika hari H nya malah berantakkan bla bla bla!”

***

Arin pingsan. Aku saja hampir mati berdiri mendengar kabar itu. Kecelakaan antara jalan daerah S itu memang kerap terjadi, dan kini korbannya adalah kamu Barra. Kami menatap mayat yang telah ditutupi kain itu dengan nanar. Arin berkali-kali pingsan. sesenggukan di pelukan Saskia.

 

‘Rin. Kau tahu, aku sangat sayang padamu, tapi itu bukan cinta! Bebaskan dirimu dari terus menerus menyiksa diri! Kamu akan terus terintimidasi dengan perasaanmu.’

 

Maya ...

‘Sangat tidak adil bila bunga itu terabaikan.’

‘May, kenapa kau sangat keras kepala menyimpannya sendirian!

 

David membacakan buku catatan kecil itu pada kami.

***

“Seolah dia tahu. Dia akan pergi. Seolah dia tahu. Dia tak akan pernah pulang.” Arin telah lama menghentikan tangisnya, Saski masih setia merengkuhnya.

“May, sudah sore.”

“Biarkan aku sendirian. Rin, Sas. Pulanglah. Aku tak apa-apa.”

“May.” suara Saski khawatir.

“Aku baik-baik saja!” Aku berbalik. Menatap Arin lekat!

“Sekali ini aku mohon, izinkan aku bersama Barra beberapa saat.” Arin balas memandangku.

Saski menggandengnya untuk menjauh. Perlahan Arin mundur. Aku menatap sampai mereka hilang di barisan pekuburan senja itu.

“Apa rasanya di bawah sana, Bar? Dingin? Sepi? Seperti apa? Kenapa, kenapa tidak beritahu aku?”

Aku meraup bunga di keranjang, warna putih kemerahannya telah layu, karena telah dipetik dari kemarin, tapi wanginya masih sesegar ketika ia masih di rumpunnya.

“Kamu bilang, kamu ingin memilikinya kan?” kataku basah “Lihat Barra sekarang kamu memlikinya. Wanginya akan menebar di pembaringanmu. Tenanglah. Dia tak terabaikan, kini ia senang hati dengan membagi harumnya di sini.”

-End-

Lubuklinggau, 22 August 2020

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
CintaSahabat
Selanjutnya Istana Biru
0
0
Antologi Pertama, tahun 2009/2010
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan