
Hatinya seperti baja, meski pada kenyatannya seperti kaca.
Jiwanya terlihat bebas, meski pada kenyataannya terpenjara.
Terkadang dia ingin seperti angin laut yang berembus kencang menyapa layar kapal.
Terkadang dia ingin seperti air hujan yang jatuh berkali-kali menyapa bumi.
Terkadang juga dia ingin seperti burung yang terbang bebas membumbung tinggi di udara.
Hanya sekadar keinginan, tidak pernah ada kesempatan untuk mewujudkan karena dia sadar hidupnya tak akan seperti itu.
Di belakang counter...
Part 1 : Cinderella is me!
Di suatu malam bunda pernah mendongeng tentang Putri Cinderella, kala itu aku berbaring di tilam empuk yang berada di kedai. Aku masih ingat betul saat itu pukul delapan malam, suara bising orang-orang bercakap, tertawa, berteriak terdengar tak begitu keras dari balik pintu. Bohlam berwarna kuning redup menjadi penerangan satu-satunya, terletak di sudut kiri tilam, di atas nakas.
Aku suka bohlam itu, ayah yang membuatnya terpasak di sebuah balok kayu yang diplistur cokelat tua, cahayanya memancar ke langit kamar. Jika aku meletakkan tanganku diatas balok, di langit kamar akan muncul siluet tanganku. Seperti malam itu, aku memain-mainkan tangan diatas balok sambil mendengarkan bunda mendongeng.
“Putri Cinderella hidup bahagia bersama pangeran di dalam istana untuk selama-lamanya.”
“Nah, sudah, yuk tidur.” Bunda menarik tanganku di atas balok untuk masuk ke dalam selimut tipis yang lembut.
“Aku tidak suka dengan Putri Cinderella!” cetusku yang langsung ditanggapi wajah terkejut bunda.
“Kenapa tidak suka, Sayang?”
“Menurutku, Putri Cinderella itu penipu. Dia menjadi orang lain dengan berdandan bak putri untuk memikat pangeran.”
“Haish, haish, anak bunda belajar dari mana kata-kata itu, hm?” bunda menarik daguku.
“Hanya saja, aku lebih suka jika pangeran harusnya bertemu kali pertama dengan apa adanya Putri Cinderella. Dengan begitu, cinta yang dia miliki bukan karena fisik Putri Cinderella yang disulap Ibu Peri, tetapi karena sebuah ketulusan.”
Bunda tersenyum, “Tetapi dari Putri Cinderella kita harus bisa belajar bahwa kita harus yakin akan porsi bahagia kita nanti. Selalu bersabar dalam setiap tekanan dan ujian, menjadi baik kepada siapapun, termasuk orang yang pernah berbuat jahat kepada kita.”
Aku mengangguk waktu itu, menangkap pesan disampaikan dari sudut pandang positif untuk menghargai bunda yang suka membacakan dongeng untukku dikala sibuknya mengurus kedai yang sedang ramai-ramainya.
“Yang pasti Sabella tidak akan menjadi Putri Cinderella, yang lemah dan mau ditindas ibu tirinya. Juga, tidak mau menjadi orang lain untuk disukai. Bella akan menjadi perempuan yang berani dan percaya diri.”
Sepuluh tahun sejak ulang tahunku yang ke-tujuh belas menjadi titik balik kehidupanku. Aku yang pernah berkata tidak akan menjadi Cinderella yang lemah, nyatanya aku hanya bisa pasrah ketika istri baru ayah menguasai rumah dan menjadikanku pembantu. Bunda meninggal tepat sehari sebelum ulang tahunku yang ke-tujuh belas, kemudian ayah menikah lima tahun kemudian dengan janda anak dua, lalu meninggal tiga tahun kemudian di usiaku yang baru menginjak 25 tahun.
Dan inilah aku, Sabella si Cinderella yang bertahan hidup di neraka kehidupan.
***
Kriiing!
Mataku terbuka dengan perlahan, tanganku meraba-raba jam bekker kemudian menekan tombol off untuk menghentikan bunyi yang memekakan telinga itu. Aku menggeliat sejenak, kemudian bangkit dan bergegas menuju kamar mandi. Hari ini hari minggu, aku harus menyelesaikan pekerjaan rumah sebelum membuka kedai hingga malam.
Setelah mencuci muka, aku mendirikan salat subuh. Setelah itu aku keluar kamar menuju setiap jendela, membuka gorden-gorden. Tampak di luar sana masih pagi buta, mungkin matahari akan muncul dalam waktu satu jam lagi. Tak ingin membuang waktu, aku melangkah menuju dapur mengolah bahan-bahan dapur untuk dijadikan sarapan untuk Tante Celin dan dua saudari tiriku, Amara dan Fastelin.
Tatanan sarapan sudah rapi di meja makan, aku bergerak menuju ruang cuci baju, satu potong roti kulahap sembari memasukkan beberapa pakaian ke dalam mesin cuci. Sejenak aku duduk menatap baju-baju itu bergulung di dalam mesin, dalam hati aku bertanya untuk kesekian kali, sampai kapan harus begini?
“Hidup sudah ada porsinya, Sabella. Jangan khawatir.”
Suara lembut nan penuh kasih sayang itu menarik benakku untuk berporos pada bumi. Kalimat terakhir yang diucapkan Bunda sepuluh tahun silam, menyiratkan sebuah pesan yang hingga saat ini tetap ku pegang teguh sebagai prinsip, bahwa hidup sudah ada porsinya, tidak perlu menyesali apa yang tidak didapat dan tetap berkeyakinan bahwa suatu saat nanti akan mendapatkan apa yang terlewatkan. Semua sudah punya waktu dan tempatnya masing-masing.
Seperti sekarang, menerima apa yang aku dapat dengan tegar dan berkeyakinan bahwa suatu saat nanti akan mendapatkan apa yang seharusnya aku dapat yakni sebuah kebahagiaan.
Selesai menjemur baju, aku menyambar kain pel, membersihkan seluruh ruangan tamu hingga teras depan. Setelah dirasa semua sudah aku kerjakan, aku pergi ke kamar untuk mandi dan bersiap-siap pergi kerja. Pagi ini tampak mendung, sweater abu-abu dengan inner panjang berwarna kuning dengan celana jeans cocok untuk hari ini. Andalanku adalah menggulung rambut dan menyisipkan satu tusuk kecil beranting bunga di antara gulungan rambut itu. Ya, aku memang muslim, namun hatiku belum siap untuk menutup aurat dengan sempurna, mungkin suatu saat nanti saat aku sudah menikah.
Setelah siap, aku keluar dari kamar.
“Sabella! Kaos kaki gue di mana?” suara Fastelin menghentikan langkahku menuju anak tangga, kakiku berputar arah dan berjalan ke kamar gadis itu.
Aku masuk ke kamarnya, “Kaos kaki yang mana?”
“Yang panjang itu loh, pink,” katanya sambil berkacak pinggang di depan lemarinya.
Aku langsung berjalan kearah lemari yang sudah berantakan. Membuka laci lemari paling bawah. Aku sudah menata rapi lemarinya, benar-benar gadis ini membuatku ingin melempar lemari ini padanya.
“Nih.” Aku mengulurkan kaos kaki yang dia maksud, “inget inget lagi, kaos kaki di laci paling bawah, pakaian dalam di laci atasnya. Nggak ada di lemari atas, jangan mencarinya di situ. Ngerti?”
Dia mengambil kaos kaki itu, “Oke. Jangan lupa nanti beresin ini, ya.”
Aku tidak merespons titahnya karena memang aku yang selalu membersihkan tempatnya. Aku memilih memutar tubuh lalu beranjak dari kamar Fastelin. Baru saja keluar, saudara tiriku yang lain sudah berteriak.
“Korset mana korset! Gue kan sudah bilang jangan ditaruh selain di dekat tempat tidur!”
Tanpa membantah ocehan gadis bertubuh dempal itu, aku berjalan kearah tempat tidurnya. Membuka laci nakas paling bawah, memungut benda yang banyak kancingnya itu.
“Gue nggak pernah mindahin. Lonya aja yang malas nyari.”
“Apa lo bilang! Lo ngatain gue pemalas, ha!? Lo di sini cuma numpang, lalu kalau bukan tugas lo, tugas siapa lagi?”
Aku menumpang? Padahal ini adalah rumahku. Aku melempar korset itu ke atas tempat tidur, lalu beranjak tidak memperdulikan ocehan Amara yang tidak jelas. Mereka seperti bayi yang setiap hari minta diladeni. Bukannya tidak sadar bahwa saat ini mereka hanya memperalatku dan menganggapku pembantu. Hanya saja ada alasan lain yang membuatku bertahan di neraka ini.
Prank!
“Sabelaaaaa!!!” suara Tante Celin menggelegar dari arah dapur. Mendengar namaku dipanggil seperti toa masjid, aku mengembuskan napas berat. Drama apa lagi sih?
“Iya, Tante.” Mataku membulat saat mendapati makanan yang kumasak pagi ini berserakan di lantai. “Loh, kok?”
“Apa-apaan kamu, ha! Kamu mau membunuhku?” pertanyaan Tante Celin membuat keningku berkerut. “Cepat masak lagi! Makanan racun, asin gini.”
Aku menghela napas berat. Padahal hari ini sudah semaksimal mungkin untuk menyiapkan semua agar bisa datang lebih pagi ke kedai. Nyatanya, ibu tiri pemilik alis segaris itu membuat drama lagi hanya gara-gara makanan terlalu asin.
“Harusnya Tante itu bilang kalo makanannya terlalu asin. Nggak perlu numpahin makanan ke lantai. Lantainya udah aku bersihin,” protesku tidak terima dengan perlakuan Tante Celin.
“Terserah dong! Kamu, kan tinggal bersihin lagi, beres!” ucapnya enteng.
Dadaku seolah penuh, ingin rasanya menumpahkan makanan itu ke muka Tante Celin. Tetapi, aku rasa tindakan itu tidak akan menyelesaikan masalah. Akhirnya aku mengalah dan membuat makanan lagi. Setelah selesai memasak, aku bergegas pergi sebelum drama terjadi lagi. Namun, harapanku pupus saat melihat sepatu putihku sengaja dikotori dengan lumpur, padahal sepatu itu baru saja aku cuci kemarin.
Aku menyambar sepatu itu, menentengnya ke ruang makan. Ini pasti kerjaanya dua saudari tiri itu.
“Ini pasti kerjaan kalian, kan?”
Amara langsung memasang wajah tak terima. “Apa-apaan lo nuduh kita!” dia bahkan berdiri dan mengangkat dagunya.
Fastelin, kakak Amara yang berbadan kurus itu juga berdiri. “Emang sepatu dah jelek, kalo kotor ya wajar. Ngapain lo nuduh-nuduh kita?”
“Siapa lagi kalo bukan kalian? Ini sepatu udah gue cuci kemarin.”
“Iiih, Mamih, Sabella nuduh kita tuh. Padahal kita, kan, nggak ngelakuin,” adu Amara kepada Tante Celin.
Tidak lama kemudian, Tante Celin berdiri menatap malas kearahku. “Berisik! Tinggal cuci lagi kan, beres! Ganggu orang sarapan aja!”
Rahangku mengeras, rasanya tak tahan lagi melihat tingkah tiga makhluk di rumahku ini semena-mena. Namun, aku mencoba sabar. Menghirup oksigen sebanyak mungkin, kemudian mengembuskan pelan. Tak banyak omong, aku langsung pergi ke kamar mandi, mencuci sepatu.
Terpaksa, aku berangkat kerja dengan sepatu yang basah. Karena hanya itu satu-satunya sepatu yang aku miliki. Sebelum aku keluar dari gerbang rumah, aku mendengar teriakan Fastelin.
“Mamii!!! Sabela ngumpetin sepatuku!!”
Aku tersenyum puas, impas, bukan?
Part 2 : Saat Hujan Turun
Mataku berbinar saat melihat cowok jangkung tengah berdiri di depan kedai. Cowok itu bernama Antoni, teman kampus saat aku masih kuliah. Meski aku memutuskan mengundurkan diri, cowok itu masih setia membantuku, dia berharap jika suatu saat nanti aku mau kembali ke kampus dan melanjutkan studiku sebagai mahasiswi Fashion Desain. Selain Antoni, ada lagi sahabatku yang menawarkan diri untuk menjadi pekerja paruh waktu di kedai, namanya Nania.
“Rajin amat, Bru.”
Antoni melepas kupluk hoodie-nya, menyambutku dengan senyuman. “Telat banget, Sis,” cibirnya.
Aku tertawa, “Sorry, mak lampir sama dangdedotnya drama lagi.” Aku merogoh tas mengambil kunci pintu kedai.
“Jadi, udah berapa episode sekarang?”
Aku memasukkan kunci ke slot pintu, “Ngalahin sinetron Tersanjung dah.”
“Tadi kehujanan ya?”
“Nggak, cuma lagi mendung.” Aku masuk ke dalam kedai, kemudian disusul langkah Antoni.
“Sepatu lo kok basah?”
“Ah, biasalah.” Kami masuk ke kedai.
Kedai yang sudah berdiri sejak usiaku lima tahun ini berkonsep Garden, desain interiornya nyaris menyerupai sebuah taman bunga mini. Ada pelbagai macam bunga yang menjadi properti kedai ini. Meja, kursi, kecuali meja counter berwarna cokelat tua yang diplitur mengilap. Dindingnya berwarna putih yang tertempel beberapa vas kecil bunga anggrek hiasan, lantainya dari rumput sintetik berwarna hijau. Semua bunganya buatan, namun hanya satu bunga yang menjadi ciri khas kedai ini, yakni setiap sudut ruang terdapat bunga Sedap malam asli.
Biasanya pengunjung lebih ramai ketika menjelang malam karena aroma bunga Sedap malam yang menguar. Alih-alih menyebut kedai ini kedai Sedap Malam, mereka malah menyebut kedai ini Kedai Cinderella, karena aroma Sedap Malam yang hanya tercium ketika malam hari, sama seperti Cinderella yang berubah menjadi putri di malam hari lalu menjadi rakyat biasa ketika pagi menjelang. Begitu pula, Sedap Malam, dia akan menjadi bunga biasa ketika malam telah usai.
Setiap sudutnya tak pernah berubah sejak ditinggal bunda pergi. Aku hanya mengganti bunga-bunga hidup saja.
Aku dan Antoni memulai dengan tugas masing-masing. Aku menyambar celemek andalan, menghidupkan tape tua milik mendiang ayah di atas nakas kedai dan memutar lagu Hungry Heart- Bruce Springsteen dari kaset. Alunan lagu tahun '95an itu mulai memenuhi kedai yang berdesain klasik rancangan tangan Bunda. Sedangkan Antoni menata bangku dan membersihkan debu di meja.
“Ton, mau kopi apa?” seruku yang sedang membuka botol bening berisi biji kopi dengan berbagai jenis dan aroma.
“Biasanya,” jawab Antoni di ambang pintu.
“Siap, Bru.” Aku langsung meraih cangkir, berikut dengan mesin penggiling. Tak lupa menghidupkan mesin pemanas air terlebih dahulu. Deru mesin terdengar di tengah alunan lagu. Sudah menjadi kebiasaanku, bergelut lincah menyeduh kopi tersebut.
Lagu Hungry Heart yang dilantukan Bruce Springsteen cukup membuatku bergairah untuk bersemangat setelah mood berantakan karena drama di rumah. Selain nada lagunya yang asyik, liriknya pun menarik. Semua orang butuh tempat istirahat, butuh sebuah rumah dan tidak seharusnya menjalani kehidupan sendirian, karena tidak ada orang yang suka hidup sendiri.
“Ton, kopimu sudah siap.” Aku keluar dari balik counter membawa cangkir berisi kopi hitam dengan takaran satu sendok gula pesanan Antoni.
Namun, aku tidak menangkap bayangan Antoni di segala sudut Kedai. Mungkin saja ke kamar mandi, pikirku. Aku pun meletakkan cangkir itu di atas counter dan memutuskan melanjutkan pekerjaan di belakang counter menyiapkan beberapa biji kopi.
Selain menyediakan berbagai jenis kopi Nusantara, kedai ini juga menyediakan berbagai kudapan seperti Klapertat panggang, macaroni schotel, cake in jar, mozzarella cheese stick dan kentang goreng. Khusus kentang goreng aku goreng sendiri, untuk yang lain semua kiriman dari industri rumahan.
Jam menunjukkan pukul delapan pagi, urusan kopi dan lain sebagainya sudah selesai. Kedai siap di buka. Bersamaan itu Antoni datang.
“Dari mana?”
“Gue beliin lo sepatu, nih,” Antoni mengulurkan paperbag berisi sepatu.
“Apaan sih, kenapa beliin gue sepatu?”
Antoni berjalan kearah counter, duduk di kursi tinggi. “Daripada kaki lo bau nggak enak.”
“Seharusnya nggak perlu kali, Ton. Tapi, thanks, gue hargai loh pemberian lo.” Aku tak menolak pemberian Antoni, bahkan merasa bersyukur. Aku segera mengganti sepatu setengah basahku dengan sepatu baru yang dibelikan Antoni.
Kemudian menyusul Antoni duduk di depan counter.
Kita menyesap kopi bersama, kopi kesukaanku iced coffe dengan taburan toping granul cokelat di atasnya. Menyesap es kopi di pagi hari membuat tenggorokanku merasa segar. Cukup aneh, karena hari ini mendung aku masih tetap memilih es kopi.
“Gue ngerasa hidup lo kayak dongeng Cinderella ya? Ibu tiri dan dua saudari tiri lo yang jahat,” cetus Antoni di tengah acara menikmati kopinya.
Aku tersenyum getir, “Hm. Begitulah.”
“Sampai kapan lo bakal jadi babu di rumah lo sendiri?”
Aku menyesap kopinya sejenak, “Entahlah.”
“Kenapa lo nggak pergi aja sih, Bel? Lo kan termasuk gadis yang mandiri. Buktinya lo bisa ngurus semua ini.”
“Kalo bukan karena amanah Ayah, gue pengin banget pergi jauh dari sini. Rumah dan kedai kopi ini peninggalan satu-satunya. Gue nggak ikhlas kalo Tante Celin ngejual nih kedai, makanya gue bertahan di sini.”
“Kenapa lo nggak usir aja mereka?”
Aku melirik Antoni, “Semua karena wasiat,” jeda seperkian detik, “40% harta ayah milik Tante Celin, kalo gue ngusir mereka otomatis gue harus jual kedai untuk pembagian harta. Gue nggak mau, gue nggak rela kedai ini di jual.”
“Sampai kapan? Sampai lo nikah, kan? Kapan lo nikah? Kalo lo udah nikah, gimana nasib kedai ini?” Antoni mencerca pertanyaan padaku.
“Gue nggak tahu kapan gue nikah, nikah bukan porsi gue saat ini.” Aku menyuruput es kopiku dan melanjutkan jawaban, “Sebelum gue nikah, gue mau ngumpulin duit buat beli sepenuhnya kedai ini. Jadi, gue nggak perlu ngejual kedai buat bagi harta warisan.”
Antoni mengangguk paham, tak lama dia menepuk bahuku dua kali, “Gue yakin, suatu saat nanti bakal ada pangeran yang buat lo bahagia.”
Aku tersenyum, memperlihatkan deretan gigiku mengiyakan doanya, meski itu rasanya mustahil. Meskipun hidupku bak dongeng Cinderella, di jaman sekarang mana ada pangeran yang mau dengan gadis sepertiku.
***
Sejenak aku meregangkan tubuh, hujan menjebak beberapa pelanggan di kedai. Sesuai perkiraan, hari ini akan ramai. Aku sudah menyiapkan kopi cadangan dan nyaris habis. Untung ada Antoni dan Nania yang bersedia membantu malam ini.
Dari sekian pelanggan yang terjebak hujan, hanya satu pengunjung yang membuatku penasaran. Pria berjas hitam yang duduk di pojok kedai. Dia sudah duduk lebih dari tiga jam di sana dan hanya memesan jus jeruk tanpa tambahan gula.
“Liatin siapa, Bel?” Nania yang baru saja mengantar pesanan, menghampiriku yang berdiri memandang pria di pojok kedai itu.
Aku menunjuk pria itu dengan dagu.
“Siapa? Kamu kenal?”
Aku menggeleng.
“Wajahnya kusut banget, tapi ganteng juga sih. Samperin gih!”
Aku menarik wajahnya, “Samperin?”
“Sebagai owner kedai kamu tawarin kopi spesial kita. Kali aja doi butuh kopi lagi.”
“Oke.” Aku melepas celemek, membawa daftar kopi dan berjalan ke arah pria itu.
Pria itu tengah memandang hujan yang turun melalui jendela, tatapannya kosong. Seperti ada ribuan masalah menggelayut di benaknya. Jika dilihat, pria itu cukup rapih, dia memakai setelan jas dengan sepatu pantofel berwarna hitam. Satu buah ponsel menyala karena sebuah panggilan bernama kontak 'Rumah'. Ponsel itu dibiarkan bergetar di atas meja di samping gelas jus jeruk yang tiga-tiganya sudah tandas.
“Kopi adalah sumber inspirasi, banyak penulis-penulis terkenal yang berhasil membuat novel bagus karena bantuan kopi. Apa anda butuh inspirasi? Mau saya rekomendasikan kopi yang paling top di Kedai ini?” lontarku kepadanya.
Pria itu tak mengalihkan pandangan dari hujan. Merasa tak didengar, aku memutuskan untuk beranjak dan tak ingin menganggunya. Namun, sebuah tangan besar mencegah langkahku untuk beranjak.
Tangan itu terasa dingin, aku merasa bingung apa yang sedang dilakukan pria itu? Kami saling bertabrak pandang, cukup lama.
“Apa yang Anda butuhkan? Saya pemilik kedai ini,” kataku memecah keheningan di antara kami.
“Apa kau bisa memberi apa yang aku butuhkan?” nada dingin nan datar itu terasa aneh di telingaku. Meskipun begitu, dia adalah seorang pengunjung di kedai. Aku mengangguk menghormatinya.
“Aku butuh ibu untuk anakku. Maukah kau jadi ibu dari anakku?”
Part 3 : Princess Don't Cry
Byur! Aku menyiram wajahnya dengan jus jeruk di meja. Seketika kami menjadi pusat perhatian, termasuk Nania, dia buru-buru berlari ke arahku.
“Dasar cowok gila! Emangnya gue perempuan apaan! Pergi dari sini!” usirku merasa kesal dengan ucapannya.
Pria yang kusiram itu berdiri, tidak ada ekspresi lain selain datar dan dingin. Menatapku dengan mata runcingnya itu. “Semua perempuan memang seperti itu!” cibirnya. Dia mengeluarkan dompet, mencabut uang ratusan ribu sebanyak lima lembar kemudian meletakkan uang itu di meja, setelah itu dia melangkah pergi.
Rahangku mengeras, apa-apaan pria itu? Tiba-tiba melamarku? Aku menatap kesal punggung yang beberapa detik menawariku untuk jadi ibu dari anaknya. Kenal saja tidak.
“Kenapa, Bel?”
“Dasar gila!” umpatku kesal, aku berjalan dengan gusar ke belakang counter.
Nania menyusul, “Kenapa kamu nyiram tamu kita?”
“Dia nawarin aku jadi ibu dari anaknya.”
Nania terkejut, matanya membulat. “Serius? Trus ngapain kamu pakai nyiram?”
Kini giliran aku yang terkejut, “Ya iyalah, kenal aja nggak, tiba-tiba nawarin gitu. Pasti dia itu pria nggak bener! Hidung belang!”
“Bodoh kamu ya Bel? Mana ada pria hidung belang sekeren dan setampan itu? Mana lagi dompetnya tebel, kan.”
Mendengar perkataan Nania, mulutku terbuka saking tidak percayanya dengan apa yang sahabatnya katakan itu. “Oh! bodoh? Na, logika aja deh, kita nggak saling kenal, bahkan nggak pernah ketemu sama sekali. Trus nikah gitu? Please, jangan murahan ya, jangan menilai seseorang hanya dengan melihat penampilan.”
“Ya, siapa tahu dia pria baik-baik yang nggak perlu pacaran trus nikah kan, ada.”
“Stop, okey? Aku nggak mau kamu bahas-bahas pira kurang ajar itu lagi. Hidupku sudah terlalu banyak drama, jangan tambahin episodenya. Lagian aku kan udah bilang, nikah bukan porsiku saat ini,” tegasku. Aku berjalan menyambar celemek, “satu lagi, kalo kamu lihat dia ke sini, langsung usir aja. Paham?” titahku.
Nania mengembuskan napas panjang, kemudian dia mengangguk paham.
“Tahu gitu, mending aja tadi yang nyamperin tuh cowok. Langsung said Yes I will-lah,” gerutu Nania yang terdengar oleh telingaku.
***
Kadang aku berpikir, bahwa mati lebih baik daripada hidup yang sedang aku jalani kini. Kebahagiaan apa yang bisa kuecap? Tidak ada. Bak dongeng Cinderella, Tante Celin sebagai ibu tiri yang semula terlihat seperti malaikat tak bersayap berubah drastis sepeninggal ayah. Aku harus dipaksa kerja keras, hatiku yang semula lunak harus dipaksa jadi keras seperti batu. Tidak ada tujuan lain bagiku, selain lepas dari neraka ini.
Aku menghela napas berat, tubuh yang sudah bekerja keras dari pagi hingga malam ini harus dipaksa lagi untuk membersihkan sampah-sampah tiga manusia tak punya hati itu, belum lagi cucian piring kotor yang menumpuk di dapur. Lihatlah, tanganku yang semula lembut tidak pernah melakukan pekerjaan rumah berubah menjadi kasar karena pekerjaan ini yang diulang-ulang setiap harinya.
Jika orang lain menganggap rumahnya adalah istana, berbeda denganku yang menganggap rumah ini seperti neraka. Hanya ruang 3x 4 meter dengan rak buku yang penuh dengan novel dan kertas gambar sebagai satu-satunya surga yang aku miliki. Meskipun hidupku terpenjara dalam neraka ini, berada di ruang itu aku seperti berkelana nun jauh keliling dunia. Berharap suatu saat nanti khayalanku berubah jadi nyata.
“Loh, kok?” Aku berlari ke arah meja belajar. Mataku terbelalak kaget saat melihat hasil karya tulisku di robek-robek berantakan. Desain gaun yang sudah susah payah aku gambar, rusak. Bahkan, beberapa pensil warnaku juga patah.
Rahangku mengeras, tanganku mengepal kuat. Rasa amarah dalam dada terasa meletup-letup. Terlebih lagi ketika melihat anting seseorang tertinggal di sana. Tak butuh lama untuk menebak pelakunya, aku menyambar beberapa kertas yang tersisa dan melangkah gusar keluar kamar.
BRAK! Aku membanting keras pintu Fastelin.
Fastelin yang baru saja memasang masker di wajahnya itu terlonjak kaget. Kontan dia berdiri, gulungan rambutnya terlihat bergoyang bersamaan dengan langkah kakinya menghampiriku.
“Apa-apan sih lo, Bel!”
“Ini kerjaan lo, kan?” Aku mengangkat kertas gambarnya.
Fastelin berkacak pinggang, “Enak aja lo nuduh-nuduh. Mana buktinya kalo gue ngerusakin tuh kertas?” dia mengangkat dagu, menantangku. “Hobi banget nuduh orang,” cibirnya.
Tak mau banyak bicara, aku menunjukkan anting berinisial F tepat di wajah Fastelin. Skakmat, Fastelin tidak bisa berkilah lagi. Mendadak wajahnya terlihat kelimpungan.
“See?”
“Itu kan, anting gue yang ilang. Lo nyuri ya?”
Alisku berkerut, terkejut dengan tuduhan Fastelin yang seolah memutarbalikkan fakta. “Gue nyuri? Jangan gila lo ya. Jelas-jelas ini bukti kalo lo ngerusakin gambar gue.”
“Apaan? Nggak! Tuh anting udah lama ilang.” Fastelin tak mau kalah. “Lo maling jangan teriak maling dong!” tuduhnya lagi.
Aku kehabisan kesabaran, aku mengempaskan anting dan kertas ke lantai lalu berjalan mendekat kearah Fastelin,”Gue bukan maling.” tegasku dengan tekanan nada di setiap kalimat.
“Heh.” Fastelin tersenyum kecut, dia memutar bola matanya malas menanggapi perkataanku. “Maling mana ada yang ngaku.”
“Stop bilang gue maling, gue bukan maling.” Aku terus melangkah mendekat, hingga memaksa Fastelin untuk mundur.
“Apa! Mau ngapain? Jangan macem-macem lo ya!” ancamnya, berusaha menghindar dariku. Sepertinya Fastelin merasa takut, dia tau kalau aku sudah berang, aku bisa nekat, bahkan bisa melukainya.
“Ngaku nggak lo? Lo, kan yang udah ngerusakin gambar gue?”
“Nggak, gue udah bilang nggak!”
“NGAKU NGGAK?!” Habis kesabaran, aku menarik gulungan rambut Fastelin. Begitu juga dengan Fastelin, dia juga menarik rambutku.
“NGGAK!”
Aku dan Fastelin saling tarik-menarik rambut, saling mendorong satu sama lain. Hingga terdengar keributan di tengah malam yang membuat Amara dan Tante Celin bangun dan menghampiri kami.
Melihatku dan Fastelin saling jambak rambut, kontan Tante Celin meradang. Perempuan itu langsung menarik tubuh Fastelin, sedangkan Amara menarik tubuhku.
“Sabella!” teriak Tante Celin bersamaan dengan tamparan keras ke pipiku. Aku langsung merasakan panas dan rasa nyeri menjalar sampai ke telinga. Aku terdiam seketika sembari memegang pipi.
Melihat itu, Fastelin dengan rambutnya yang acak-acakkan dan masker wajah yang berantakan, tersenyum menang. Kemudian dia berlari ke belakang punggung ibunya. “Mamiih! Rambut Fastelin sakit,” adunya.
“Kurang ajar! Berani-beraninya kamu ya!” kini giliran Tante Celin yang menjambak rambutku hingga membuatku merintih kesakitan. “Anak nggak tau diuntung! Udah dibesarin, ngelunjak!” umpatnya.
“Siapa yang ngebesarin siapa!” Aku menarik tangan Tante Celin untuk lepas dari rambutku, “aku hidup dari jerih payahku sendiri! Sedangkan kalian cuma numpang! Nggak lebih dari sekadar parasit!”
“Kalo begitu jual saja kedai ayahmu! Biar kami nggak perlu jadi parasit!”
Jika menyangkut soal kedai, yang bisa aku lakukan hanyalah mengalah. Karena aku tahu, aku tidak mungkin menjual kedai peninggalan orangtuaku. Jika saja ayah tahu Tante Celin sejahat ini, dia tidak akan pernah menyisakan satu peserpun harta warisannya untuk perempuan jahat itu.
Mata Tante Celin melebar, menantang jawaban apa yang akan aku lontarkan. Tante Celin pasti yakin, aku tidak akan bisa berbuat banyak jika menyangkut kedai. Senjata paling ampuh untuk mengalahkanku.
Karena merasa tidak punya jawaban, aku beranjak dari hadapan Tante Celin, Amara dan Fastelin. Aku berjalan dengan langkah kesal, beberapa bulir air mataku jatuh, dadaku seakan penuh dan sesak. Aku masuk ke dalam kamar, mencoba menarik napas untuk menenangkan diri. Namun, rasanya tak tahan, air mata berontak ingin keluar dan akhirnya deras menetes.
“Jangan nangis, Sabella! Please, jangan nangis! kamu harus kuat!” kataku pada diriku sendiri, “sekarang kamu memang kalah. Tapi, lihat saja nanti. Porsi kemenanganmu ada di depan sana, sebentar lagi, bertahanlah,” ucapku lagi, mencoba menenangkan diri.
Ini memang sulit karena kenyataan yang terlalu pahit. Namun, meskipun itu sakit, aku harus terus bersabar dan terus bangkit untuk bisa keluar dari neraka ini.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
