
Cinta diam-diam Naira tersimpan rapi bertahun-tahun kepada Wildan yang hatinya telah tertambat pada gadis lain. Naira harus menahan rasa sakit saat mendengar Wildan selalu menceritakan gadis yang ia cinta di hadapan Naira. Cinta diam-diamnya begitu berat lagi, ketika Wildan memutuskan akan menikahi gadis lain.
Namun sebuah takdir mempersatukan Wildan dan Naira dalam satu ikatan pernikahan yang tak terduga.
Naira percaya bahwa cinta yang selalu melibatkan Allah tidak akan pernah membuat kecewa hamba-Nya....
Prolog
بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Cinta ibarat sebuah perahu besar yang berlayar di tengah lautan. Mata hati menjadi tolak ukur kemana perahu akan berlabuh.
Lautan memberi cinta berbagai makna, ada ketenangan, ada yang terobang ambing ombak, dan ada badai cinta.
Perahu cintaku begitu tenang di tengah lautan pencarianku mencari perlabuhan terakhir. Angin berhembus dengan damai, ombak begitu tenang dan perahuku berlayar percaya diri diatas Ridho Illahi.
Hingga, mata hatiku melihat sebuah pelabuhan.
Pelabuhan itu tampak bersinar, memukau mata dan hatiku. Coretan garis takdir Illahi seketika tampak di depan lupuk mataku. Perahuku harus berlabuh disana.
Aku berlayar dengan suka cita menuju pelabuhan itu. Seribu wirid menemani perahuku berlayar dengan kekuatan dari Allah Azza Wa jaalla.
Telah sampai ku di semenanjung pelabuhan, segera ku lepaskan jangkarku, dan aku siap berlabuh pada pelabuhan yang nampak indah tersebut.
Saat jangkarku sampai di dasar laut pelabuhan, aku terkejut saat ada perahu lain yang telah berlabuh sebelumku. Ingin ku berlayar lagi, namun jangkarku telah beku dan tersangkut didasar lautan.
Innalilahi, perahu cintaku telah berlabuh pada pelabuhan hati yang salah.
☀☀☀
Dear Allah..
Tiada satu cinta yang lain selain cinta karena-Mu..
Tiada suatu rindu yang lain selain rindu karena-Mu..
°°°
Pernah mendengar cinta diam-diam? Banyak sekali kisah seperti itu. Dimana si wanita hanya memendam perasaan itu sendiri, hanya mampu berharap sendiri, hanya bisa menahan rasa sakit sendiri dan... hanya bisa mengungkapkan perasaan cintanya melalui doa di setiap sujud terakhirnya.
Aku tahu bagaimana ending dari cerita tersebut, yakni terkuaknya cinta itu pada akhir cerita dan bersatunya mereka dalam ikatan suci pernikahan dan berbahagia.
Jika..
Sang pemuda seperti Ali bin Abi Thalib yang juga mencintai diam-diam Fatimah Az-Zahra. Ali dua kali tertohok karena Fatimah dilamar oleh dua sahabat Nabi yang paling akrab dan dekat kedudukannya dengan Nabi. Namun, Nabi menolak lamaran sahabatnya itu. Hingga pada suatu ketika dengan niat yang terikat bulat, Ali memberanikan diri melamar Fatimah meski hanya dengan baju besi. Ternyata, Nabi menerimanya.
Di suatu hari setelah pernikahan, Fatimah berkata,"Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu, aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta kepada seorang pemuda dan aku ingin menikah dengannya",
Ali pun bertanya mengapa ia tak mau menikah dengan pemuda itu dan apakah Fatimah menyesal menikah dengannya. Sambil tersenyum Fatimah Az-Zahra menjawab, "Pemuda itu adalah dirimu".
Jika...
Sang pemuda seperti Rasullullah SAW yang telah lama memendam perasaan terhadap Khadijah sebelum mereka menikah. Ketika sahabat Khadijah, Nafisah binti Muniah menanyakan kesediaan Nabi untuk menikahi Khadijah, maka Beliau menjawab, "Bagaimana caranya?" . Cara Nabi menanyakan itu menggambarkan seolah-olah Beliau telah menunggu lama untuk masa itu. Rumah tangga mereka begitu indah dan romantis meski saat itu usia Nabi jauh lebih muda dari Khadijah, namun rasa cinta Nabi begitu besar terhadap Khadijah. Hingga masa dimana Rasullullah harus ikhlas merelakan Khadijah dilamar malaikat maut dan dinikahkan dengan kematian. Setahun sepeninggal istrinya, Rasullullah masih dalam kedukaan yang mendalam karena begitu besar cintanya terhadap Khadijah, hingga suatu ketika seorang fulanah bertanya kepada Rasullullah, "Ya, Rasullullah. Mengapa engkau tidak menikah? Engkau memiliki sembilan keluarga dan harus menjalankan seruan besar."
Sambil menangis Rasulullah menjawab, "Masih adakah orang lain seperti Khadijah?"
Jika mungkin bukan karena perintah langsung dari Allah, Rasullullah tak akan menikah lagi untuk selamannya karena ketulusan mencintai Khadijah Ra.
Di zaman sekarang, adakah sosok seperti mereka? Cinta mereka begitu tulus, indah dan sangat romantis. Aku selalu berharap kepada Allah, jika suatu saat nanti dapat dipertemukan dengan pemuda yang tak jauh berbeda dengan dua nama besar tersebut.
Hingga akhirnya doa itu terwujud.
Pemuda itu adalah Wildan Khalif Al-Firdausy.
Satu-satunya kaum adam yang memberiku banyak arti tentang segala hal tentang dirinya. Dia adalah teman, sahabat, guru, dan seseorang yang diam-diam aku sukai. Bicaranya santun, wataknya lembut, parasnya tampan, otaknya cerdas, senyumnya menawan, berwibawa, bijaksana, baik pada semua orang, lembut pada wanita dan agamanya luar biasa.
Wajahnya nyaris sempurna dengan ; alis tebal, bulu mata lentik, hidung mancung, bibir tipis kemerahan, kulit putih, mata bening dan dua gingsul menghiasi senyumannya. Meski aku hanya memandangnya sekali dengan durasi seperkian detik, namun aku mampu menjabarkan bagaimana penampilannya karena dia begitu menonjol dari yang lain.
Agamanya Masyaallah, lantunan Al-qurannya membuat semua orang berdecak kagum mendengarnya, suara Adzannya begitu merdu. Aku tak pernah melihatnya bolong sholat jamaah dan aku sering sekali melihat pemuda itu berjalan ke Masjid di waktu pagi menjelang siang.
Otaknya begitu encer, aku menyaksikan sendiri ketika saat itu pesantren mengadakan lomba debat agama, mengangkat isu "Kedudukan Wanita di mata Laki-laki menurut Agama Islam." Dengan jelas dan rapih dia menuturkan,
"Sesungguhnya wanita memiliki kedudukan tinggi dalam islam dan membawa pengaruh besar bagi kehidupan. Wanita sebagai seorang ibu, Al Ummu Madrasatun, ibu itu bagaikan sekolah. Seorang laki-laki hebat takkan menjadi apa-apa jika tak ada seorang ibu, seorang ibu adalah madrasah pertamanya dalam menapaki jejak di bumi Allah ini.
"Wanita sebagai seorang istri, dimana istri adalah kunci dalam kebahagian sang suami, jika istri tersakiti hatinya, terseok-seoklah suami menjalani kehidupannya. Namun, jika istri bahagia lahir batin, layaknya jalan berasapal tanpa lubang kehidupan sang suami, rejeki akan berlimpah dan kebahagiaan akan bertambah.
"Wanita sebagai seorang putri, tanpa putri kesayangan seorang ayah takkan menjadi sosok ayah yang hebat, dimana seorang putri dengan senyuman manjanya, semangat seorang ayah akan berkali-kali lipat hadir dalam dirinya. Bahkan Rasulullah mengatakan tiga kali berturut-turut siapa yang paling berhak untuk menerima bakti pertama kali, yakni ibu, seorang wanita. Jadi begitu jelas bahwa kedudukan wanita sangat tinggi dalam agama islam begitu juga di mata laki-laki, tanpa seorang wanita, laki-laki bukanlah apa-apa."
Dia sangat paham betul tentang wanita dan dapat kusimpulkan bahwa dia sangat menghormati wanita dan sangat mencintai ibunya.
Namanya Wildan, dia kaum adam pertama yang ku tulis di buku diaryku, dia kaum adam pertama yang membuatku terkadang zinah fikiran dengan membayangkan wajahnya. Dia kaum adam pertama yang ku sebut dalam doaku setelah nama ayahku.
Dia Wildan, cinta pertamaku.
Aku bertemu dengannya di Pesantren Kilat beberapa tahun silam ketika aku masih duduk di kelas tiga SMA. Saat itu dia menjadi muadzin dan imam perdana ketika Pesantren Kilat resmi dibuka.
Lantunan bacaan sholatnya membuat hatiku tenang dan khusyuk, aku sempat menitihkan air mata karena mendengarkan surah pendek yang dibacakan Wildan penuh dengan khitmad, surah pendek itu adalah Al Humazah, surah yang menceritakan tentang manusia yang lalai karena harta. Sungguh, setiap ayatnya seakan menamparku, aku yang selama ini sering lalai, menunda sholat hanya karena mementingkan urusan dunia, astaghfirullahalazdim..
Wildan adalah sosok muslim yang dikirimkan Allah untuk menyampaikan Hidayah-Nya padaku. Sekaligus menyampaikan suatu anugerah indah yang ku sebut itu Cinta. Satu hal yang ku ingat dari perkataannya yang membuatku merasa telah diberi Hidayah oleh Allah adalah saat dia berkata,
"Jangan pernah lupa untuk bersyukur kepada Allah. Kita hidup diberi oksigen gratis, kita hidup diberi akal yang cerdas, kita hidup diberi fisik yang sempurna, kita hidup dengan alam yang indah, dan ketika mati pun , Allah masih memberi suatu tempat yang indah di atas sana. Nikmat Allah mana yang kau dustakan?" ucapnya dengan sunggingan senyum memperlihatkan dua gingsulnya.
Tak bohong bahwa saat itu aku merasa terbang saat melihat senyuman itu. Jantungku tak hentinya berdetak kencang, begitu pula hatiku yang layaknya dipenuhi dengan kupu-kupu berterbangan yang indah.
Tapi, detik selanjutnya aku dihempaskan jatuh ke dasar kenyataan saat mengingat bahwa pria itu telah meng-khitbah gadis lain. Bahkan, pernikahannya sudah menghitung minggu.
Dear Allah, andai saja aku yang menjadi calon makmumnya, dan dia yang jadi calon imamku.
****
Chapter Satu : Dear Allah, Why Him?
Kalau dipikir-pikir, hidup itu singkat seperti baru kemarin aku jadi bullyan kegiatan ospek, sekarang sudah menjadi pengisi acara. Benar kata mereka, bahwa waktu terus berjalan, umur semakin berkurang, dan dosa semakin bertambah.
Melihat mahasiswa baru berseragam putih hitam dengan dasi hitam itu menyenangkan, generasi baru telah datang dan akan meneruskan generasi lama. Tapi, melihat kedua kalinya ke barisan hitam putih itu aku merasa kasihan, jalan yang mereka tapak baru anak tangga pertama, mereka bakal melewati waktu dimana kehidupan bangku kuliah itu penuh dengan air mata perjuangan. Waktu dimana mereka akan merasa putus asa hanya karena dosen tidak memberi acc.
Ah, aku menghela panjang. Alhamdulillah, berkat kekuatan dari Allah, aku bisa wisuda dan mendapat gelar Sarjana Keperawatan dimana tahun yang paling berat ketika di semester tiga telah terlewati. Masa dimana aku harus merelakan Ummi pergi untuk selamanya.
"Mbak Nai, beri tahu Dokter Wildan kalau peserta sudah siap diberi materi," kata Dara, time keeper acara ospek Fakultas Keperawatan.
"Oke, Dek," jawabku seraya menutup buku materi yang akan aku sampaikan setelah Wildan memberikan materi. Kakiku langsung berjalan cepat ke arah ruang Himpunan Mahasiswa, tempat Wildan kini berada.
"Assalamualaikum..."
Aku membuka knop pintu dengan perlahan sambil menyeimbangkan detak jatungku yang berdetak tak keruan karena akan berhadapan dengan kaum adam satu ini. Irama napasku sedikit memburu tapi aku berusaha menetralkan dengan beberapa kali membaca kalimah Bismillah. Kusapu ruangan bernuansa abu-abu itu dan kudapati sosok pria yang kucari itu tengah duduk di atas sajadahnya.
"Allahu Akbar!" Dia duduk di antara dua sujud.
Aku memandanginya penuh kagum. Di tengah kesibukannya sebagai dokter sekaligus pembicara masih sempat menjalankan salat dhuha dengan khusyuk. Masyaallah...
Aku kembali melangkahkan kakiku mendekatinya setelah kudengar dua salam pertanda salat sudah selesai.
"Assalamulaikum, Dokter Wildan," ucapku.
"Walaikumsalam," jawabnya sambil merapikan sajadah.
"Laporan dari time keeper pemberian materi ospek sudah bisa dimulai," laporku.
Ujung rambutnya yang basah karena air wudu membuatku menelan air liur sejenak. Sungguh, syetan ramai-ramai membisikiku untuk terus memandanginya. Astaghfirullah.. . sontak langsung aku menundukkan kepala menatap lantai keramik dan membuyarkan khayalanku tentang Wildan.
Puk! Astaga! Wildan seenak jidatnya menimpuk keningku dengan selembar tisu sambil berjalan berlalu begitu saja.
"Lapin tuh keringet, jelek banget keringetan gitu," celetuknya sebelum hilang dibalik pintu.
Aku menatapnya heran, lantas aku meraba kening dan kudapati tisu dua lembar menempel di sana. Sambil tersenyum, aku mengelap wajahku yang benar penuh keringat. Masyaallah... Wildan, kau semakin membuatku tidak bisa move on dari bayang-bayangmu.
***
Semua peserta ospek digiring masuk ke dalam aula pusat yang digabung dengan jurusan Keperawatan. Mereka mendapat materi tentang "Peran Dokter dan Perawat guna Peningkatan Kesehatan Masyarakat". Materi yang diberikan Wildan menyangkut peran dan bentuk kerjasama antara dokter dan perawat. Setelah menjelaskan peran dokter disambung aku yang menjelaskan peran perawat, Wildan kembali menjelaskan pentingnya kekompakan dan kerjasama dokter dan perawat. Di akhir materinya, Wildan menekankan bahwa perawat bukan pembantu dokter tetapi perawat adalah partner dokter. Agar mencapai kesuksesan meningkatkan kesehatan masyarakat, dokter dan perawat harus mampu berkolaborasi dengan baik.
Entah kenapa hatiku terasa sakit tetapi tak berdarah saat mengingat Wildan tak akan pernah jadi milikku. Pria itu tak akan menjabat tangan Abi dan mengucap Qobul atas namaku.
Pria sesempurna itu sudah menjadi milik gadis lain.
Dear Allah, kenapa cinta mudah datang tetapi sulit untuk mengikhlaskan?
Aku mengangkat kamera DSLR milik UKM Jurnalist yang kupinjam saat Wildan memberikan materi tentang "Agama dan Profesi". Beberapa kali aku mengambil gambar peserta ospek.
Aku sudah berusaha menghindarinya tetapi apalah dayaku hanya manusia biasa. Fokus kameraku selalu menuju pada pria berwajah tegas itu beberapa kali dan tanpa sengaja jariku asyik menekan tombol shutter. Dan aktivitas paparaziku itu terhenti saat mata Wildan jelas menatap mata kamera yang kupegang. Sontak, aku hampir menjatuhkan kamera mahal itu ke lantai saking terkejutnya.
Duh, ketahuan paparazi nih.
"Mbak Nai, acara Isoma akan segera tiba," Dara memberitahu lagi yang kubalas dengan anggukan kepala.
Wildan mengakhiri materinya beberapa menit setelah diberitahukan bahwa istirahat akan tiba. Dia juga mengumumkan peserta untuk istirahat, salat dan makan dalam waktu setengah jam. Tanpa aba-aba, peserta dengan tertib berjalan ke luar aula menuju kantin dan Masjid Fakultas.
"Nai, nanti sore setelah acara ikut aku yuk?" kata Wildan tiba-tiba saat aku menata buku pemateri di meja.
Aku mengerutkan keningku heran, "Ke mana?" "Ke toko emas, beli cincin," jawabnya.
Deg! Pasti itu buat calon istrinya. Ya Allah, kenapa harus aku sih yang diajak? Sakitnya itu cuma aku yang ngerasain.
"I..i..ya, Wil," ucapku.
"Oke," katanya sambli menyunggingkan senyuman khasnya.
Setelah acara selesai, aku menunggu Wildan di teras Masjid. Pria yang kutunggu itu tengah melaksanakan salat Ashar. Aku tidak salat karena sedang berhalangan. Tidak lama kemudian, Wildan terlihat keluar dari pintu utama Masjid dan melambaikan tangan ke arahku. Aku segera turun dari teras Masjid dan memasang sepatu. Aku harus menyiapkan mental dan hati untuk menghadapi kecemburuan yang tak punya penawar ini. Kami berjalan menuju jalan raya dan menunggu di depan kampus.
Aku dan Wildan menunggu lumayan lama di depan gerbang kampus, aku tidak tahu dia sedang menunggu siapa, mungkin sopirnya. Pada situasi yang seperti ini malah membuatku canggung. Berdiri tak jauh dari laki-laki yang diam-diam aku sukai.
Tak pernah ada niatan untuk terus mengembangkan perasaan ini, karena aku tahu ini salah, mencintai seseorang yang jelas bukan tercipta untuk kita adalah suatu tindakan yang sia-sia dan tak berfaedah. Sebenarnya aku lelah dengan perasaan ini, perasaan yang tak pernah terbalas. Perasaan yang tumbuh sendiri dengan harapan tak pasti.
Di tengah lamunanku, ujung mataku melihat tangan Wildan melambai pada salah satu mobil yang melaju di jalanan. Dan, detik berikutnya, satu mobil putih melaju pelan ke arah kami dan berhenti tak jauh dari kami berdiri. Aku sangat penasaran sebenarnya siapa yang tengah ditunggu Wildan.
Dan, ketika sang pemilik mobil membuka kaca mobil, barulah aku mengerti.
Ya, dia adalah Zulfa. Calon istri Wildan. Sang dokter bidadari Rumah Sakit kami.
Entah kenapa, ada percikan api cemburu yang membara dalam dada, pandanganku sempat menajam ke arah Wildan yang berjalan sambil tersenyum bahagia ke arah mobil Zulfa. Namun, segera kunetralkan saat Zulfa melihat ke arahku dengan senyuman yang sama bahagianya dengan Wildan.
"Aku nggak apa-apa kan, ngajak Naira? Biar kita nggak cuma berdua saja," katanya kepada Zulfa.
Oh, Allah. Rasanya sakit sekali saat tahu bahwa aku dihadirkan pada detik ini hanya untuk menemani mereka berdua membeli cincin pernikahan? Bodohnya aku tadi mengiyakan saja ajakan Wildan. Jika tahu begini, lebih baik aku menolaknya. Ah, sudahlah ini sudah jalan dari Allah. Aku harus ikhlas.
"Assalamualaikum, Naira?" sapa Zulfa dengan senyuman riangnya.
Ah, wanita ini kenapa begitu sangat sempurna? Wajah anggun dengan senyuman yang menawan. Mata sipit dengan bulu mata lentik. Hidung mungil cocok dengan bentuk wajahnya. Dan, lesung pipit yang menjadi pelengkap kecantikannya yang sempurna. Sepertinya Tuhan sedang bahagia saat menciptakannya.
Astaghfirullaahaladzim, kenapa aku iri kepadanya? Zulfa hanya wanita biasa sepertiku. Kenapa bisa aku iri padahal kami sama-sama diciptakan dari saripati tanah yang sama. Apa karena rasaku terhadap Wildan? Ah, cinta ini membuatku tersesat sesaat.
"Nai, disapa tuh sama Zulfa."
Aku sedikit terkejut saat mendengar teguran dari Wildan. Aku segera sadar dari acara unfaedahku dan membalas salam dari Zulfa. "Wa-walaikumsalam, Dokter Zulfa."
"Loh, kenapa manggil Dokter? Kita kan lagi nggak di Rumah sakit. Panggil Zulfa aja," katanya.
"Ah, Iya," aku menyengir, "Walaikumsalam, Zulfa," balasku ulang.
Zulfa terkekeh menunjukkan gigi kelinci yang putih. Detik berikutnya dia membuka pintu mobil.
"Yuk, ah. Keburu sore," ajaknya.
Wildan langsung masuk ke dalam mobil dan duduk di belakang kemudi lalu Zulfa duduk di sampingnyas sedangkan aku di belakang mereka. Menatap dua makhluk Allah yang sedang bahagia-bahagianya menjelang pernikahan, gejolak di dada yang terasa mengiris-iris setiap inci hatiku hanya aku dan Allah yang tahu. Aku hanya bisa menggigit bibir bawahku dan meremas ujung jilbabku untuk menahan air mata yang siap meluncur ke permukaan.
Aku tahu Allah meletakkan rasa sakit pada hati yang tepat. Allah tahu aku kuat dan aku tahu Allah selalu bersamaku. Hanya lafalan istigfar menggema dalam dada untuk menahan rasa yang ingin meledak ini.
"Ciee, yang kemarin disamperin Genta," celetuk Wildan di tengah keheningan sesaat kami.
Lagi-lagi deh, dia ganti profesi jadi Mak Comblang.
"Apaan sih, Wil?" acuhku.
"Kapan nih Taaruf sama Genta?" tanyanya lagi.
"Aku sama Genta nggak ada kedekatan yang lebih, Wil," jawabku dengan nada sinis berharap Wildan peka dengan nada kesalku karena ocehannya tentang pria lain.
"Aku sama Zulfa dulu juga seperti itu, bahkan komunikasi di antara kami hampir nggak pernah, tetapi nyatanya satu bulan lagi dia akan jadi makmum halal salatku," katanya sambil melirik dan tersenyum ke arah Zulfa yang saat itu dibalas senyum pula oleh Zulfa.
Aku memutar bola mataku, muak. Bisa tidak aku menghilang saat ini? Atau mereka saja yang menghilang dan jauh dari pandanganku. Kenapa Allah menciptakan rasa yang menyebalkan ini? Ah, ini bukan salah Allah. Salahku sendiri yang melabuhkan hati pada pelabuhan yang salah.
"Genta orangnya baik, Nai. Dia hafizh, pendalaman ilmu agamanya luar biasa. Bahkan kudengar dia akan melanjutkan pendidikannya untuk mengambil spesialis," ceritanya sambil mengemudi.
"Hm," jawabku malas.
"Dia dari keluarga baik-baik. Cocok deh sama kamu kayaknya," lanjutnya tanpa peka wajahku yang sengaja kutenggelamkan di dua telapak tanganku.
"Gimana kalau langsung khitbah aja, Nai?"
Rasanya aku pengen menjerit nangis dan ngomong dengan lantang kalau aku mencintaimu, Wildan. Tetapi kata-kata itu tercekat di tenggorokan dan yang keluar dari mulutku hanya kata-kata, "Belum kepikiran buat nikah muda."
"Loh, bukankah penawar dari dua insan yang saling mencintai adalah pernikahan? Di usia berapa pun takkan menjadi masalah kok, Nai. Asalkan sudah siap mental dan finansial," imbuh Zulfa.
"Aku dan Genta nggak saling mencintai. Aku hanya menganggap dia teman biasa," jawabku.
"Lalu siapa yang kamu cintai? Mas wildan?" lanjutnya yang kemudian membuatku tersentak kaget dan sempat terdiam membeku karena perkataannya yang benar.
"Ih, apaan sih kamu, Fa," sela Wildan, "Naira mana mungkin suka sama aku, dari dulu dia itu cuek. Lagian sahabat mana mungkin suka sama sahabatnya sendiri, kan?" lanjutnya.
Pada detik itu mereka berdua terkekeh. Tanpa tahu bahwa hatiku kini benar-benar terluka. Aku hanya bisa diam sembari tersenyum samar mencoba menutupi kelukaan hatiku sendiri. Dosakah jika sahabat suka sama sahabatnya sendiri? Aku rasa tidak. Karena rasa suka adalah fitrah dari Allah. Dan, aku yakin bahwa Allah meletakkan fitrahNya pada dua hati yang tepat. Mungkin Wildan bukanlah hati yang tepat untukku.
Allah mengajariku terluka untuk menyadarkanku bahwa Dia cemburu karena aku terlalu berharap lebih terhadap hamba-Nya. Aku sadar aku salah, tetapi bisakah rasa ini hilang? Aku tak tahan.
Setelah menempuh perjalanan tiga puluh menit, akhirnya kami tiba di sebuah toko mas. Aku harus menata hati dan pikiran, aku harus siap menghadapi rasa cemburu yang menggebu melihat orang yang diam-diam kucinta tengah memilih cincin pernikahan dengan wanita lain di depanku.
"Kayaknya ini bagus deh, Fa," kata Wildan setelah beberapa menit mengelilingi etalase dengan berbagai bentuk perhiasan cincin.
Aku hanya diam sambil melihat-lihat cincin di etalase seberang etalase Wildan dan Zulfa. Awalnya sih aku cuek. Aku tidak ingin menambah kelukaan hatiku karena rasa cemburu ini. Tetapi, entah kenapa pandanganku malah ke arah sepasang calon pengantin itu.
Sesak rasanya ketika melihat yang kita sayangi tengah bahagia dengan wanita lain.
"Nai, kamu pilih juga gih!
Bibirku sedikit melongo karena ucapan Wildan barusan. Untuk apa aku memilih cincin? Aku kurang begitu suka dengan perhiasan berlebih, satu cincin perak polos sudah cukup bagiku.
"Buat apa?" tanyaku.
"Pilih saja, Nai, kali aja pilihanmu cocok buat kita," imbuh Zulfa.
Allahu Akbar!
Kenapa mereka berdua begitu menyebalkan? Astagfirullahaladzim... seharusnya aku tak begitu sakit, jika hatiku tak menjatuhkan rasa pada Wildan. Seharusnya aku baik-baik saja dengan permintaan mereka. Sakit ini, sungguh! Hanya aku dan Allah yang tahu.
Dengan terpaksa, akhirnya aku menuruti mereka. Mataku memutar ke beberapa cincin dan selang satu menit, mataku melihat satu cincin perak bermata satu. "Yang ini."
Dan, aku tak menyangka kalau mereka juga membeli cincin pilihanku. Setelah mereka menemukan apa yang mereka cari, kami beranjak dari tempat itu dan kemudian melesat kembali ke arah Rumah Sakit. Aku dan Wildan masih ada jadwal dinas.
Perlu kalian tahu bahwa Wildan adalah dokter spesialis Obgyn baru yang menjadi bagian tim bedah operasi sectio caesar. Dan, naasnya lagi, aku bekerja sebagai perawat di bagian Perinatologi, pusat perawatan bayi baru lahir dan bayi dengan perawatan intensif. Jadi, setiap harinya menuntutku harus bertemu dengannya di ruang suction yang semakin lama semakin membuatku terluka. Karena seberapa pun besar aku berharap cinta darinya, nyatanya cinta itu takkan pernah aku miliki.
Dear Allah, kenapa harus dia?
Kenapa hati ini berlabuh pada sosoknya yang telah melabuhkan hatinya pada wanita lain?
Kenapa dia yang menjadi laki-laki yang hamba cintai? Oh, Allah, jika memang dia bukan pilihan-Mu untuk menjadi pelengkap imanku.
Hilangkan rasa ini, musnahkan rasa yang semakin lama semakin berkembang dan bermetamorfosis menjadi perasaan cinta. Rasa yang tak seharusnya bersarang menjadi perasaan yang tak terbantahkan. Hamba hanya takut perasaan ini membuat hamba salah melangkah.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
