Dear Allah 3 : Epsode Tujuh

45
10
Deskripsi

“Entah itu hanya mimpi atau memang keping ingatan, bolehkah aku untuk percaya bahwa alur kita tak pernah selesai dan kini tengah tertulis kembali?”

Chapter 7: Kepingan

“Jangan mencoba mengingat masa lalumu, kalau tidak mau terluka kembali. Jangan membuka luka lama, jika tak mau merasakan sakitnya dua kali.”

Selama ini Naira selalu memegang kalimat itu sebagai prinsipnya untuk menutup masa lalu dan melupakan satu kepingan hidupnya yang hilang. Trauma yang membuatnya sesak dan menangis tanpa sebab ingin benar-benar dilupakan Naira meski wanita itu tidak tahu trauma yang seperti apa.

Trauma yang dialaminya itu ternyata masih kalah dengan sorot traumatis yang Naira lihat di mata putranya. Sebuah trauma korban dari keegoisan orang dewasa, orang tuanya sendiri. Perceraian, kematian dan kepergian orang tuanya membentuk hati dan sorot mata Yusuf yang dingin.

Masa depan anak-anaknya masih panjang, masih banyak tahapan di dunia ini yang harus dilalui dengan mental yang baik. Menghancurkan mental anak sejak dini sama dengan menghancurkan masa depan anak itu sendiri.

Karena itu, sepulang dari pesantren Yusuf, Naira bertekad ingin tahu apa yang membuatnya trauma. Kalimat Wildan soal Naira yang harus berdamai dengan dirinya sendiri, semakin membulatkan tekad Naira untuk mencari tahu masa lalunya.

Mungkin Abah akan murka, bahkan mungkin akan semakin melarang Naira bertemu dengan Wildan. Untuk sementara, Naira benar-benar tidak peduli. Dalam benaknya saat ini, ia harus segera sembuh dari trauma, setelah itu baru menyembuhkan mental anaknya yang terlanjur terluka.

Bukankah Allah membiarkan kita mengingat masa lalu agar selalu belajar dan hati-hati menjalani masa depan? Adakalanya satu keping ingatan kejadian di masa lalu melekat dan selalu tiba-tiba kita ingat meski kejadian itu hal yang buruk atau yang memalukan. Allah memberi satu sinyal untuk kita berhati-hati dalam melangkah, dalam mengambil setiap keputusan agar hal buruk atau hal yang memalukan tidak terulang kembali.

Selama hampir seminggu Naira menyiapkan diri untuk menghadapi traumanya, tak lupa setiap malam ia selalu bangun, menggelar sajadah untuk meminta petunjuk bahkan salat istikharah mengenai keputusannya untuk membuka lembar masa lalunya.

Hingga di hari ke-tiga belas Naira menggempur salat tahajud dan hajat setiap sepertiga malam, Allah memberi jawaban. Naira bermimpi sedang mengandung salah satu anaknya, Naira tidak yakin sedang mengandung Yusuf atau Yasmin.

Wanita itu bermimpi berjalan di pesisir pantai, suara ombak berderu damai, angin menyapa lembut, Naira mengusap perutnya, menikmati setiap gerak aktif bayi dalam kandungan.

“Zawjaty…” suara itu muncul dari belakang Naira, wanita itu menoleh. Seorang pria mendekat, lalu menyentuh perutnya, pria itu mendekatkan wajahnya pada perut Naira, “Kamu seneng diajak ke sini, Nak? Nanti kalau besar, kamu ajak umi ke sini, ya?”

Pria itu mencium perut Naira, kemudian mencium kening wanita itu sambil berkata, “Kamu bahagia, Nai?”

“Alhamdulillah, bahagia, Mas. Terima kasih, ya, aku bahagia banget,” jawab Naira.

Ketika Naira bangun, sudut matanya basah. Naira mengusap perutnya yang rata. Seolah gerak aktif bayi dalam kandungannya masih terasa. Entah itu sebuah mimpi atau kepingan dari ingatannya, Naira yakin bahwa ia di masa lalu pernah sebahagia itu.

Rasa bahagia itu seolah menggelayuti Naira bahkan setelah wanita itu bangun dari mimpi, setelah malam berakhir dan pagi menjelang. Jantungnya tetap berdebar mengingat mimpi itu semalam, di sepanjang hari bahkan sampai detik ini.

Naira yakin kalau pria dalam mimpinya itu adalah Wildan. Mantan suaminya.

“Oke…” ujar Naira, kemantapan hatinya semakin tajam. “Aku mau sembuh dari trauma. Dan untuk sembuh dari itu … aku harus tahu penyebab traumaku dulu.”

Naira beranjak dari tempat, menyambar jilbabnya kemudian setengah berlari menuruni tangga. Ia melihat abahnya duduk di kursi, membaca kitab-kitab kajian. Tante Intan sedang sibuk di depan laptop mengulas tesis mahasiswanya, sementara Mbak Jilla sedang bermain dengan anak Tante Intan yang kecil.

“Abah, Nai mau pergi.”

Tanpa mengalihkan mata dari bukunya, Abah menjawab, “Mau ke mana?”

“Ke rumah Aisyah.”

“Tidak usah, Naira.” Kalimat itu menghentikan langkah Naira, wanita itu urung menyambar kunci mobil di gantungan kunci. Abah mendongak menatapnya, “Kalau Aisyah mau ketemu kamu, biar dia aja yang ke sini. Kamu jangan keluar rumah.”

Naira terdiam beberapa saat, bingung harus mencari alibi apa agar ia bisa keluar rumah sekarang. Sejujurnya ia sama sekali tidak membuat janji dengan Aisyah untuk bertemu, Naira hanya spontan ingin bertemu dengan sahabatnya itu.

“Mau keluar toh? Tatan nitip basreng deket rumahnya Aisyah dong, Nai, pulangnya Tatan tolong beliin kopi di Kedai Soonday. Masih inget nggak Kedai Soonday di mana?” sahut Tante Intan.

Abah melirik adik bungsunya dengan tatapan tak mengerti, padahal jelas-jelas Abah melarang Naira untuk keluar rumah, tapi Tantenya Naira itu malah menitip sesuatu pada Naira.

“Di deket Transmart, ada kafe-kafe gitu di situ. Nah, cari aja Kedai Soonday,” imbuh Tante Intan tidak mempedulikan tatapan kakaknya. “Inget Transmartnya di mana, kan?”

Naira menggeleng, gedung-gedung baru yang dibangun sesudah Naira umur 17 tahun tidak bisa diingat oleh wanita itu. Bahkan sampai sekarang ia masih terkejut dengan banyaknya gedung baru di Sidoarjo, meski jalannya tidak pernah berubah.

“Intan, kamu nggak denger Mas ngomong apa?” tegur Abah.

“Mbak Jilla ikut deh, ikut Naira. Kesasar tuh nanti. Sekalian nanti mampir di Greensmart atau Hero, belanja isi kulkas.” Tante Intan mengeluarkan dompetnya, mengulurkan kartu debit, “Pakai uangku. Nanti tak WA list belanjaannya.”

“Intan!” geram Abah.

“Opo seh, Mas?” sahut Tante Intan, “Naira di rumah terus ya sumpeklah, sampeyan ojo keterlaluan sama anak sendiri. Dia juga punya temen-temen yang kangen sama dia. Nggak usah khawatir sama Wildan, dia lagi di luar kota, kok.”

Abah menatap tajam Tante Intan, tatapan tidak percaya.

“Mas, Wildan itu juga dosen di kampusku. Ya, sesama dosen tahulah. Dia dosen kesayangan rektor, siapa yang nggak tahu kalau ada acara penting pasti dia yang disuruh ngewakilin,” tutur Tante Intan, jeda sebentar, “Udahlah, biarin Naira main. Mumpung anaknya masih di sekolah. Kita para ibu-ibu itu butuh q-time! Stress kalau di rumah mulu.”

Abah tidak merespons. Hampir selama dua Minggu ini, sejak Naira pulang bahkan, Naira tidak pernah keluar dari rumah. Tetangga yang ingin bertemu saja tidak diperbolehkan oleh Abah dengan alasan ini itu.

“Abah…” panggil Naira dengan ragu-ragu.

Abah meliriknya sejenak, kemudian kembali menatap lembar kitab kajiannya, “Jangan lama-lama.”

Naira melumat bibir menahan senyum, “Iya, Bah. Ayo, ikut, Mbak,” ajak Naira ke Mbak Jilla. Naira mendekat ke Tante Intan mengambil kartu debit, “Makasih, Tan,” bisiknya yang dibalas cuek oleh tantenya itu.

***

Mbak Jilla berangkat sendiri ke salah satu supermarket dekat rumah Aisyah untuk belanja titipan Tante Intan, sementara Naira duduk di ruang tamu rumah Aisyah. Dadanya sudah deg-degan bahkan sejak berangkat tadi.

Tekadnya masih bulat, ia akan bertanya sedetail-detailnya kepada Aisyah soal ingatannya yang menghilang. Siap pula untuk menghadapi reaksi dari traumanya, Naira sudah membawa obat penenangnya.

“Kaget loh kamu ke sini.” Aisyah datang dari dapur membawa minuman dan camilan, “Kamu jarang keluar rumah, tiba-tiba ke sini. Diminum, Nai.”

Setelah meletakkan hidangan di meja, Aisyah duduk di samping Naira. Wanita pemilik wajah bulat yang kini pipinya tak sechubby dulu, tersenyum lebar menyambut dengan senang kehadiran Naira ke rumahnya.

“Kamu lagi nggak sibuk, Syah?”

Aisyah menggeleng, “Ada apa? Ada apa?”

Naira tak lantas menjawab, ada keraguan tiba-tiba menyelinap ke hatinya. Bagaimana jika Wildan di masa lalu benar-benar amat buruk hingga membuat Naira enggan untuk bertemu dengan pria itu lagi? Bagaimana jika Naira tidak sanggup mendengar cerita itu dan menutup diri lagi seperti waktu di OeUe dulu?

Naira terlihat gugup, mengerjap bingung harus mengambil langkah yang mana; lanjut atau tidak.

“Nai?” Aisyah menyentuh pelan punggung tangan Naira yang mencengkeram lututnya, “Ada apa?” tanya Aisyah dengan suara lembut.

Naira menatap Aisyah sekian detik, mencari sumber kekuatan untuk berani mengambil langkah maju. Demi mendapatkan hati Yusuf, demi mental anak-anaknya. Naira tidak boleh menyerah di sini, ia harus menerjang badai jika ingin keluar dari badai. Naira harus menghadapi trauma, jika ingin mengalahkan trauma itu.

Tiada penyakit tanpa obat, setiap kesulitan pasti ada jalannya. Allah sendiri yang mengatakan itu pada Surat Al-Insyirah, Dia menyebutkan dua ayat bahwa setiap kesulitan pasti ada kemudahan.

“Syah…”

“Hm?”

“Kamu ada waktu panjang hari ini?”

“Ada,” jawab Aisyah sambil mengangguk, matanya menilik penasaran apa yang ingin Naira sampaikan. “Kebetulan Mikhayla di rumah omanya, aku ada waktu sebanyak yang kamu butuhkan.”

“Kalau begitu…” Naira menarik napas panjang terlebih dahulu, kemudian mengembuskan pelan untuk menetralkan degub jantungnya tidak keruan. “Bismillah… kalau begitu, tolong ceritakan masa laluku, masa lalu yang hilang dari ingatanku.”

Aisyah membeku untuk sekian detik, bibirnya terbuka sedikit melongo mendengar permintaan sahabatnya itu. Baru dua Minggu yang lalu, saat pertemuan mereka pertama kali setelah sekian lama, Naira meminta Aisyah untuk tidak bercerita soal masa lalunya.

Tiba-tiba tanpa ada angin dan hujan, Naira meminta Aisyah untuk menceritakan itu. Aisyah terpaku untuk beberapa saat, terkejut dan bingung.

“Mungkin aku memang terdengar plin-plan, tapi aku udah mutusin buat menghadapi traumaku, Syah. Aku ingin sembuh …” jeda tiga detik, air mata mengalir di pipinya, “demi anak-anakku.”

Aisyah melepas napasnya yang sempat tertahan, mengerjap sadar dengan apa yang terjadi.

“Beneran, Nai?”

Naira mengangguk mantap. “Tolong, ya, Syah. Ceritakan semuanya, tanpa ada yang ditutup-tutupi.”

“Sebenarnya pada saat kejadian itu, aku nggak ada di sini. Aku nemenin suamiku kuliah di Turki. Tapi, aku mendengar dari banyak orang tentang masalah kalian. Denger langsung dari Wildan sendiri juga pernah, bahkan versi Abahmu juga pernah denger.”

“Jadi, insyaallah valid, ya?”

Aisyah terlihat ragu, “Akan lebih baik kamu juga tanya sama keluarga kamu. Abahmu terutama.”

“Abah terlalu membenci Dokter Wildan, dia bahkan seperti enggan menyebut namanya.”

Aisyah mengangguk-angguk, memahami siatuasi Naira.

“Memangnya Dokter Wildan seburuk itu, ya? Sampai Abah nggak mau nyebut namanya.”

Aisyah terlihat mempertimbangkan dari mana ia akan bercerita. Ia takut salah, takut ceritanya kurang atau malah ditambah-tambah tanpa sengaja. Namun, Aisyah memahami Naira, sahabatnya itu melakukan ini demi anak-anaknya. Sebagai sesama seorang ibu, pastilah Aisyah mengerti.

“Oke, aku bakal cerita,” putus Aisyah menatap Naira lamat-lamat, “Kamu siap, Nai?”

Naira mengangguk, mengusap air matanya menyiapkan hatinya.

“Jadi, begini awalnya …” Aisyah mulai bercerita.

Detik berputar menarik tuas menit, tuas menit berputar menarik tuas jam. Tak terasa menghabiskan dua jam, menghabiskan sekotak tisu untuk mengusap air mata yang mengalir di pipi Naira, pula yang mengalir di pipi Aisyah.

Cerita itu terulas dari lima belas tahun yang lalu, dimulai dari Pesantren Kilat. Pertemuan pertama kali Naira dengan cinta pertamanya, Wildan Khalif Firdausy. Cerita itu bergulir sampai alinea terakhir dari perjalanan kehidupan rumah tangga Naira dan Wildan, sampai perahu Naira melepaskan diri pelabuhan impian dan berlayar hingga ke dataran Pulau di seberang sana.

Ada waktu di mana Naira sampai menangis tergugu, gemetar seluruh badannya mendengar cerita Aisyah mengenai masa lalunya. Kesal karena sama sekali tidak mengingat ia pernah sebahagia itu menjadi istri Wildan.

“Kamu cinta banget sama Wildan, Nai…” tutur Aisyah sambil mengusap air matanya sendiri, “Kalian bener-bener keluarga impian semua orang. Wildan juga cinta banget sama kamu. Saking cintanya itu yang membuat dia cemburu buta karena kamu dicintai pria lain.”

Pada akhirnya Naira tahu, kalau semua kehancuran itu berawal dari keputusan dirinya pergi dari rumah untuk menjadi relawan. Pertemuannya dengan Haikal dan semua kejadian yang ia dengar terasa menunjukkan bahwa penyebab kesalahpahaman ini adalah dirinya.

Penyebab Wildan cemburu buta bahkan menjatuhkan talak padanya adalah Naira.

Aisyah memeluk Naira yang menangis tersedu-sedu, “Kamu jangan nyalahin diri sendiri, Wildan juga salah karena egois dan nggak percaya sama kamu.”

“Kalau seandainya… aku… nggak pergi…” kalimat Naira tersekat-sekat, tersengal karena tangisannya.

“Qadarullah, Nai, semua sudah menjadi ketetapan Allah,” sahut Aisyah. Ia melepaskan pelukan, mengusap air mata sahabatnya. “Yang berlalu biarlah berlalu, sekarang kamu sudah tahu dan mari jalani kehidupan yang sekarang. Entah di masa depan kamu sama Wildan masih ada jodoh, biar Allah yang menulis jalannya. Hm?”

Aisyah mengusap-usap tangan Naira yang menggenggam erat ujung hijabnya, “Wildan udah dapet hukumannya, dia udah ikhlas. Aku harap kamu juga ikhlas, ya?”

Bahu Naira masih tersengal-sengal, ia mengusap air matanya sambil mengangguk. Ya, hanya itu yang bisa dilakukan, yakni ikhlas. Ikhlas dengan semua yang telah terjadi, ikhlas dengan perpisahan yang hanya disebabkan karena kesalahpahaman, ikhlas dengan jalan-jalan masing yang sudah dipilih.

Naira harus kuat, harus bisa menjalani sisa ujian ini dengan tegar, dengan berani. Demi anak-anaknya.

“Syah, kamu mau mengantarku ke suatu tempat?”

“Ayo, ke mana?”

Naira menjeda napas sebentar, menatap Aisyah dengan yakin, “Ke pantai, ke tempat di mana aku meninggal.”

Meski tidak yakin dan takut, Aisyah menyanggupi. Mbak Jilla yang datang dan mendengar permintaan itu sempat melarang, tetapi melihat kesanggupan Naira untuk berdamai dengan traumanya membuat wanita itu luluh.

Di tempat itu Naira bertarung dengan batinnya sendiri, meski dengan sesak dan rasa sakit yang tiba-tiba menyerang dalam hati. Naira memberanikan diri untuk menyentuh ombak, memberanikan diri untuk merentangkan tangan membiarkan angin dari debur ombak memeluknya kembali.

Ia memejam, mencoba merangkul traumanya. Mencoba mengajak traumanya untuk berdamai. Tak ada yang meminta sebuah tragedi terjadi. Namun, apa pun yang tertulis dalam buku Tuhan adalah yang terbaik.

Dan Allah menjadikanmu hamba pilihan sebagai calon-calon penerima imbalan yang setimpal. Seberat ujian yang datang, seikhlas itu kau jalani, berlipat gandalah imbalan yang kau terima.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Dianafebi
Selanjutnya Dear Allah 3: Episode Delapan
26
6
“Ketika tinta Allah sudah berjalan, manusia bisa apa selain mengikuti alur yang ditulis?"
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan