Dear Allah 3: Eps. 18

42
7
Deskripsi

“Ikhlasin Naira, ya, Wil?”

Chapter 18: Mencari Titik Ikhlas

 Tiada manusia yang baik-baik saja, semua bernapas dengan ujiannya masing-masing. Lalu bagaimana bisa aku merasa yang paling menderita di dunia ini? Sejatinya dunia adalah tempatnya ujian, bahkan cinta yang kumiliki adalah ujian. Kenikmatan yang kugenggam pun bisa jadi ujian. 

 Dalam terpejamnya mata dan terbaring lemah di brankar rumah sakit, lirih aku mendengar salawat huwannur. Salawat yang menceritakan kasih dan sayang kita kepada cahaya Nabi Muhammad ﷺ. 

Hatiku yang terasa berat, pun fisikku yang lemah, menjadi tenang kala mendengar salawat itu. Seolah waktu berputar, seolah aku masih menjadi suami Naira. Wanita itu akan melantunkan salawat saat aku terbaring sakit. Allah, aku rindu masa itu … 

Di tengah salawat kudengar, aku juga mencium aroma bunga segar. 

Aku tak bisa mengingat sepenuhnya bagaimana bisa aku terbaring di sini. Terakhir yang aku ingat seseorang datang ke rumah dan setelah itu aku tidak mengingat apa pun. Hanya samar-samar aku melihat Naira, tetapi mungkin itu hanya halusinasiku saja. 

Perlahan aku membuka mata. Mataku sudah tidak terasa panas lagi, begitu juga dengan sekujur tubuhku. Pun kepalaku meski masih pening, tetapi tidak seberat tadi malam. Aku merasa jauh lebih baik, suara salawat dan aroma bunga segar itu juga membuat hati dan pikiranku tenang, tak semerawut tadi malam.  

“Masih hidup ente?”

Aku melirik ke arah kananku, Aryan dan istrinya duduk di sofa penunggu. Kemudian mereka berjalan mendekat. 

“Padahal ane dah bayangin saham Jauhara bakal jadi milik ane semua. Masih hidup ternyata ente,” seloroh Aryan. 

Aisyah mencubit lengan suaminya, memperingati Aryan untuk bicara yang baik. Sementara aku hanya bisa tersenyum, aku tahu sahabatku itu tidak serius berkata seperti itu. Dia hanya sedang kesal. 

“Gimana rasanya?”

“Lebih baik,” jawabku.

“Gimana rasanya mau mati sendirian?” lanjut Aryan. 

“Hubby!” Kini Aisyah langsung menabok dan mempelototi suaminya. “Kalau ngomong yang bener, deh.”

“Lagian kerja kek ngidupin empat istri, nggak tahu pagi siang malam kerja mulu kesehatannya nggak dijaga. Padahal istri satu aja nggak punya,” sarkas Aryan. “Dokter gadungan lu nggak bisa aware sama kesehatannya sendiri?”

“Jangan didengerin mulutnya Aryan, Wil. Udah duduk sana, Bby.” Aisyah mendorong suaminya untuk kembali ke sofa. 

Kesalnya Aryan memang seperti itu, kalimatnya selalu bisa menampar kesadaran. Aku hanya tersenyum, paham sekali dengan karakter Aryan. 

Aisyah duduk di kursi samping bed perawatanku, kemudian mengecilkan speaker yang melantunkan salawat di atas nakas. Aku baru menyadari ternyata salawat yang aku dengar itu berasal dari speaker. Di samping speaker itu terletak vas bening berisi bunga-bunga segar.

“Gimana keadaannya, Wil, udah ngerasa enakan?”

Aku mengangguk, “Alhamdulillah.”

“Aku udah ngabarin adikmu, katanya dia nggak bisa balik ke sini soalnya besok sidang doktoralnya. Kalau udah sidang, dia langsung otw ke sini katanya.”

Hubunganku dengan Latifa sedikit merenggang karena insiden dulu, padahal aku sudah memaafkannya. Namun, adikku itu terus menjaga jarak, sesekali mengabari lewat WhatsApp. Dia masih merasa bersalah soal perkataannya pada Naira yang menyebabkan Naira semakin terpuruk, dia sama menyesalnya denganku. 

“Iya.”

Aku akan mengabarinya untuk tidak perlu khawatir, untuk tidak repot terbang Jakarta ke Surabaya. Dia juga punya keluarga yang harus diurus, lagipula aku sudah merasa lebih baik.

“Dikurangin kerjaannya, kamu kena tipes berat, tahu. Terlambat ditangani dah beda alam. Pekerjaan rumah itu jangan dikerjain sendiri, bayar ART lepas aja. Udah paginya ke kampus, siangnya seminar, malamnya di rumah sakit, masih ngurus rumah lagi. Kamu udah zalim tahu sama Allah dengan tidak menjaga kesehatan yang Allah beri.”

Aku hanya bergeming menatap infus yang tertancap di tangan kananku. Pengalihan pikiranku ternyata perbuatan zalimku kepada Allah. Pantas jika Allah tak segera menghilangkan rasa sakit ini, ternyata aku sendiri yang membuat rasa sakit itu bertahan. 

“Aku tahu kamu dalam keadaan sulit, tapi akan lebih sulit kalau kamu sakit. Kita dah kenyang sama hal-hal yang memaksa kita ikhlas, Wil. Jangan melupakan kalimat Umar bin Khattab, apa yang menjadi milikmu tidak akan pernah melewatkanmu dan apa yang ditakdirkan tidak menjadi milikmu sudah pasti tidak bisa kamu miliki.”

 Aku mengangguk. 

“Ikhlasin Naira menikah lagi, ya, Wil?”

Terorong hatiku mendengar itu, tetapi memang aku tidak punya pilihan selain ikhlas. Tidak punya pilihan selain menerima dengan lapang dada. Jodoh Naira memang Rumi, aku bisa apa jika Allah sudah mentakdirkan seperti itu. 

Meskipun sakitnya luar biasa. 

Meskipun akan lama sembuhnya. 

Meskipun akan sulit untuk melupakanya.

“Mulai sekarang, lawan rasa sakit itu, Wil. Lawan dengan menghadapinya, jangan lari dari rasa sakit dengan menyibukkan diri lagi. Itu cuma pengalihan sebentar, karena pada kenyataannya kamu nggak pernah sembuh. Allah itu selalu punya rencana, jangan pernah sekali pun meragukan Allah.”

“Nggak usah dipendem sendiri, aku tahu itu juga berat buat kamu. Selain mikirin mental anak-anakmu, hatimu juga tersiksa, kamu harus sehat dan bangkit demi anak-anak,” lanjut Aisyah.

Benar, aku terlalu fokus pada hatiku yang sakit sampai tidak bisa berpikir sejauh itu. Kalau aku sakit dan terpuruk, bagaimana dengan anak-anak? Karena hanya aku satu-satunya harapan mereka. Satu-satunya rumah bagi mereka. 

 “Kita udah sahabat lama, kita udah pernah melewati masa sulit bersama-sama. Kamu boleh nangis kalau ngerasa dadamu sesak, kok, Wil. Nangis aja di depan kami, nggak apa-apa.”

Hatiku memang sesak, aku juga ingin menangis dan meminta bantuan kepada para sahabatku untuk menolongku dari tersesatnya aku kehilangan arah. Namun, tampak tak tahu malu menangisi wanita yang dulu sering sekali aku sakiti. Seperti tak tahu diri meminta apa yang sudah pernah dilepas pergi. 

Bahuku ditepuk Aryan yang tidak kusadari mendekat dan menarikku dalam pelukannya. “Cowok boleh nangis, kok, Wil. Ente udah nggak punya siapa-siapa lagi, jadi ente boleh nangis ke ane.”

Aku sudah mencoba untuk menahan, tapi kalimat Aryan membuatku akhirnya mengalah pada ego. Tangisan pedih yang selama ini kusimpan sendiri di malam-malam dingin, pecah di hadapan sahabat-sahabatku.

“Ente harus kuat demi Yasmin dan Yusuf.”

Aku terisak, mengeluarkan semua sesak dalam dada. Mengeluarkan gumpalan mendung yang mengusai pekat hatiku. Seolah ditinggal mati, aku menangis berduka untuk cintaku yang pergi dan tak akan pernah kembali lagi. 

Ikhlas, Ya Allah, izinkan hati hamba untuk ikhlas… 

Ikhlas yang utuh… 

*** 

Isak tangis pria itu membuat air mata jatuh mengalir, Naira berdiri di depan pintu ruang perawatan Wildan. Tangannya gemetar menyaksikan seorang pria yang menangisi dirinya segitu pedihnya. 

Sebesar itukah cinta Wildan padanya?

Naira gamang, berdiri seperti kehilangan rotasi bumi. Sempoyongan berjalan menjauh dari pintu ruang perawatan Wildan, sesak dadanya seperti kehabisan oksigen. Matanya menatap linglung, ada rasa yang berontak ingin mencuat. Rasa sedih yang luar biasa. 

Mengapa ia harus merasakan sedih? Bukankah ia sama sekali tidak ada rasa lagi pada Wildan? Mengapa ia menangis melihat pria itu menangis? Mengapa seolah turut sakit melihat pria itu kesakitan dalam kehilangan dan penyesalan?

Naira duduk di bangku tunggu lorong rumah sakit, kakinya sudah tak sanggup lagi berjalan. Kepalanya benar-benar terasa sakit, luar biasa sakit. Seperti ingin meledak saja. 

“Inai masih mencintainya?” tanya Rumi tadi pagi, pertanyaan itu memberontak ingin dilontarkan sejak sepulang mengantar Wildan ke rumah sakit kemarin. 

Naira hanya terdiam. Ia yakin itu bukan cinta, tetapi rasa iba. Bagaimanapun juga Wildan adalah ayah dari anak-anaknya, tidak aneh jika merasakan khawatir mendengar pria itu tumbang dan tidak sadarkan diri. 

“Aku tanya sekali lagi,” ulang Rumi menatap Naira dengan serius. Wanita itu tak menatapnya balik, ia melihat kosong ke arah depan rumah. “Inai masih mencintainya? Jawab jujur saja, Inai.”

“Kenapa kamu nanyanya gitu?” jawab Naira tanpa menoleh. Mereka duduk di kursi teras rumah Naira. 

“Aku cuma ingin memastikan saja. Sebentar lagi kita akan menikah, bukankah sepatutnya kita menyelesaikan dulu PR-PR masing-masing? Di dalam pernikahan itu jauh lebih berat masalahnya, jadi aku harap kita tidak punya PR agar kelak jika punya masalah, tidak menjadi bom waktu di kemudian hari.”

“PR-ku hanya anak-anak. Aku masih berpikir mencari cara bagaimana mereka bisa memaafkan aku.”

Rumi menatapnya dengan pandangan sedih, seolah pernikahan mereka adalah satu sandungan bagi Naira dan anak-anaknya. 

“Aku janji akan membantu Inai nanti,” sahut Rumi, “aku akan berusaha sekeras mungkin untuk mengambil hati anak-anak Inai, terutama hati Yusuf.”

Naira hanya bergeming. 

“Inai?”

Naira menoleh. 

“Aku mencintaimu,” ucap Rumi dengan tulus, “Aku mencintaimu meski kamu belum mencintaiku, Inai. Aku tidak akan membiarkanmu jatuh cinta lagi padanya. Maafkan aku, Inai.”

Kening Naira berkerut, menatap Rumi bingung, “Maksudnya?”

“Aku mempercepat tanggal pernikahan kita. Kita akan menikah di lebaran hari kedua.”

Naira langsung berdiri menatap tak percaya mendengar kalimat Rumi. “Kamu egois banget, ya? Kamu nggak mikirin perasaanku?”

“Perasaan yang kayak gimana?” Rumi turut berdiri, “Jadi, benar kamu masih mencintainya? Atau mulai ada rasa lagi sama dia?”

“Perasaanku karena anak-anak. Ya Allah, Rumi, kamu nggak pernah paham perasaan seorang ibu! Pernikahan itu didasari oleh dari kesepakatan dua belah pihak, kalau gini caranya kamu pemaksaan.”

“Aku tidak peduli itu pemaksaan atau apa pun, Inai. Aku cuma tidak mau Inai kembali jatuh sama pria itu. Pria yang sudah pernah membuat Inai kehilangan ingatan, membuat Inai hancur dan trauma. Aku tidak pernah ikhlas. Sama seperti apa yang ditakutkan Abah.”

“Kalian cuma nggak percaya sama aku.” 

Rumi mengangguk, “Hati manusia itu seperti air, Inai. Sifatnya berubah-ubah. Jangankan keyakinan Inai tidak akan jatuh cinta lagi sama mantan suamimu, berpaling pada Allah pun hati juga bisa. Aku lebih baik mencegah itu sekarang sebelum terlanjur.”

“Rumi,” sela Naira.

“Aku pertaruhkan buruk di mata Inai demi menyelamatkanmu dari orang yang sama. Demi amanah dari abahmu. Jadi, aku tidak akan pernah melepaskan Inai. Kita akan menikah secepatnya. Maafkan aku, Inai… aku minta maaf,” pungkas Rumi. 

Rumi adalah saksi saat Naira melawan trauma dan mencoba sembuh, menjadi saksi bagaimana tersiksanya Naira dengan trauma itu. Dengan laut dan dengan ingatannya sekeping demi sekeping kembali pulang.

Rumi tidak mau Naira kembali pada Wildan yang jelas menjadi penyebab semua derita Naira. Rumi ingin segera menghalalkan Naira agar sepenuhnya punya hak untuk melarang Wildan mendekati Naira, begitu pun sebaliknya. Meski pertaruhan Rumi adalah Naira membencinya. 

Hal itu yang kini amat menyiksa Naira setelah melihat Wildan terisak menangisi dirinya yang akan segera menikah dengan orang lain. Mungkin benar jika rasa itu telah kembali pulang, hanya saja sudah terlanjur terlambat.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Dear Allah 3: Eps. 19
27
10
Selamat menempuh hidup baru, Naira.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan