Pewaris Terakhir

0
0
Deskripsi

Selama sepuluh tahun, dunia Elara hanyalah lembah yang terkurung dalam kegelapan abadi. Ditemani Lysander, kakek tua yang mengajarinya membaca 'Gema'—sihir yang memungkinkannya melihat dalam gelap—hidupnya berjalan aman. Namun, keamanan itu hancur saat ia pulang dan menemukan pondok mereka kosong. Lysander telah lenyap. Kini sendirian, Elara harus menghadapi pertanyaan mengerikan: apakah ia akan kembali terhisap ke dalam masa sunyi tanpa gema, saat ia kehilangan segalanya?

Bab 1: Pewaris Terakhir

Aroma lumut, tanah, dan kayu basah adalah dunia Elara. Di usianya yang ke-17, ia dianggap telah memasuki gerbang kedewasaan, lahir di sebuah desa terpencil di ujung lembah—sebuah tempat yang konon melahirkan legenda setiap beberapa dekade. Kini, batas dunianya hanyalah jajaran pohon tinggi yang menjulang seperti raksasa sunyi, mengintai dalam keheningan. Elara bahkan sudah lupa rasanya siang; terakhir kali ia merasakan hangat mentari adalah sepuluh tahun yang lalu.

post-image-687f2625ece6f.png

Hidupnya sederhana. Meski kegelapan selalu menyelimuti setiap langkahnya di luar rumah, ia tak pernah merasa kesepian, sebab selalu ada Lysander di sisinya. Mata kakek tua itu menyimpan lebih banyak cerita dibandingkan seluruh buku yang berjejer di rak kayu mereka.

Di tanah tanpa cahaya ini, kesuburan hanyalah kenangan. Delapan dekade silam, lembah ini bermandikan hasil panen, dengan ternak gemuk yang dagingnya lumer di mulut. Kini, yang tersisa dari hutan hanyalah jamur dan lumut beraroma kuat. Hanya ayam dan beberapa kambing gunung tersesat yang mampu bertahan hidup di dasar lembah. Di tengah kegelapan abadi itu, hanya ada satu sumber cahaya yang bisa diandalkan: kunang-kunang.

"Lysander, aku pergi ke hutan mencari lumut, ya!" seru Elara sambil melambaikan tangan, keceriaannya tetap bersinar di tengah keremangan.

Pagi yang gelap itu ia habiskan dengan menyusuri hutan, ditemani sebuah lentera khusus berisi kunang-kunang. Ia mencari jamur dan lumut untuk memancing kambing gunung turun. Siangnya, ia akan belajar bersama Lysander, menelusuri aksara-aksara kuno—goresan rumit yang terasa hidup di bawah jemarinya.

Lysander membalas lambaian itu dengan senyum tipis yang sarat makna. "Aku harap ia bisa terus tersenyum seperti itu saat takdir memanggilnya nanti," gumamnya pelan. "Hati-hati di jalan, Elara. Jangan pulang terlalu larut."

Semakin jauh Elara melangkah ke dalam hutan, semakin redup cahaya di sekelilingnya. Ia hanya bisa mengandalkan lentera kunang-kunang di tangannya.

Tuk. Elara menjentikkan jarinya.

"Hmm, ke arah sini," gumamnya. "Aku merasakan Gema yang unik. Sepertinya ada beberapa lumut di sana." Kemampuannya merasakan Gema sangatlah berguna. Dalam kegelapan pekat ini, ia bisa berjalan seolah sedang berada di bawah terang siang hari.

Sementara itu, di pondok, Lysander melanjutkan penelitiannya. Ia tengah menelaah sebuah gulungan arsip legendaris yang membahas rahasia Jantung Kencana—sumber kehidupan bagi Lembah Pelita Kencana yang kini hanya tersisa serpihan akibat tragedi masa lampau.

Ia telah menuangkan semua pengetahuannya ke dalam sebuah buku catatan khusus, yang terkunci oleh mekanisme gema yang rumit. Bukan kunci biasa, melainkan sebuah 'sidik jari' suara—sebuah melodi multi-lapis yang hanya bisa dibuka oleh getaran sonik yang tepat, yang hanya diketahui olehnya. Setelah lebih dari sepuluh tahun meneliti, akhirnya semua teka-teki terpecahkan.

Rasa puas menjalari dirinya. Ia berseru dengan suara lantang, "Akhirnya! Aku bisa... Aku bisa mengembalikan kedamaian di lembah ini!"

Lysander kemudian menatap lentera yang berisi kunang-kunang di mejanya.

“Sepertinya Elara akan tiba sebentar lagi.” Sepertinya aku harus mulai membereskan ini semua.

WHUSS!

Sebuah panah berlapis aura hitam melesat deras, menancap di lehernya. Tidak mematikan, tetapi sangat efektif untuk membuatnya tak sadarkan diri. Dengan sisa tenaga, ia mencoba tetap membuka mata, mengerahkan indranya. Ia merasakan gema dari banyak langkah kaki yang bergegas menuju rumahnya. Tak ada satu pun niat baik yang bisa ia rasakan dari gelombang gema itu.

"Hati-hati! Jangan sampai kita hanya membawa jasad kosong. Jaga nyawanya baik-baik," ucap salah seorang di antara mereka.

"Tenang," sahut suara lain yang lebih serak, suara si pemanah. "Panahku hanya menidurkannya. Upahku letakan di tempat biasa. Tugasku sudah selesai, aku pergi dulu."

Tak lama kemudian, kesadaran Lysander sepenuhnya melayang.

"Sepertinya sudah saatnya pulang," gumam Elara pada dirinya sendiri, menatap lentera kunang-kunangnya yang mulai meredup. Sinar dari kunang-kunang itu memang istimewa; mereka akan menyala terang saat fajar dan redup saat senja tiba—penanda waktu di dunia tanpa matahari.

Ia berhasil mengumpulkan beberapa lumut dan menangkap seekor ayam hutan yang mungkin terpikat oleh aroma lumut.

"Ah, senangnya! Aku akan meminta Lysander membuat gulai," serunya riang. Ia berlari kecil, tangan dan kakinya melambai ringan karena terlalu bahagia, hingga akhirnya ia berhenti di depan sebuah pohon besar.

Tuk, tuk. Elara mengetukkan jarinya ke tanah. Di benaknya, garis-garis gema langsung membentuk sebuah peta menuju rumah. Ia memfokuskan pikirannya, menciptakan sebuah jalur getaran sonik antara posisinya saat ini dan pondoknya.

SYUTT! Tubuhnya terurai menjadi partikel sonik, melesat melalui jalur suara tersebut dalam kedipan mata.

Tubuhnya kembali utuh di ambang pintu rumah, meninggalkan jejak getaran di udara. "Hosh, hosh..." Elara bersandar di kusen pintu, setiap tarikan nafas terasa berat. Kemampuan itu selalu menguras tenaganya, tapi senyumnya merekah. "Tidak sia-sia," bisiknya, "demi gulai ayam buatan Lysander."

"Lysander! Lysander, di mana kamu? Aku membawa ayam langka! Tolong buatkan gulai kesukaanku!"

Elara memeriksa setiap sudut rumah, namun tak ada tanda-tanda keberadaan Lysander.

"Lysander?" Ia mencoba memanggil lagi, mengetuk lantai untuk mencari balasan gema dari detak jantung kakek itu. Hening. Hanya satu ruangan yang belum ia periksa: ruang kerja Lysander.

Lysander selalu melarangnya masuk ke sana. Tapi kali ini berbeda. Perasaannya tidak enak. Dengan ragu, ia melangkah menuju pintu terlarang itu.

Gagang pintu terasa masih hangat. Elara mendorongnya perlahan.

"Lysander?"

Keheningan. Tak ada jawaban, tak ada balasan. Hanya desis samar dari suatu sudut ruangan. Ruang itu hampa, kosong, tak memberikan petunjuk apa pun.

Seketika Elara terduduk lemas di lantai. Otaknya melambat, kusut tak karuan. Bayangan hitam mulai menyelimuti pandangannya. Seketika berganti menjadi layar abu-abu.

Pandangannya berubah menjadi padang yang tandus. Ia melihat telapak kakinya pecah-pecah dan kapalan. Telapak tangan yang sangat kecil dan mungil, tulangnya tidak dilapisi apapun selain kulit terluar.

Ia mengedipkan mata dan menggelengkan kepalanya, seolah tidak percaya.

“Apakah 10 tahun ini aku hanya bermimpi? Apakah Lysander tidak pernah ada?” Pandangannya menjadi gelap kembali. Layar yang tadinya abu-abu kembali berwarna, membawa kembali ke ruang kerja Lysander.

“Hiks…Hiks…” Elora tak kuasa membendung gejolak dalam.

Trauma sepuluh tahun lalu kembali menghantamnya—saat ia kehilangan segalanya, saat ia tak punya satupun petunjuk arah untuk melanjutkan hidup. Gemanya terasa sunyi kembali. Di benaknya, satu pertanyaan berputar tanpa henti.

"Apakah aku... kembali ke masa sunyi tanpa gema?" Hening, diam, dan tanpa kata.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Sebelumnya Seni Pertemanan Dangkal
0
0
Ternyata itu adalah Pak Yudi manager dari tim sales yang hari ini makan di kantin. Ardi melempar pertanyaan kepadanya tentang inisiasi yang dicanangkan Pak Yudi kepada direksi. Ia bisa dengan mudah tertawa lepas dengan pertanyaan Ardi dengan hanya menjawab “Iya dong, kan ada Dwi. Semuanya jadi mudah. Iya kan?” Sambil menatap Yudi dengan mulut tersenyum namun mata tak selaras dengan senyumnya. Dwi hebat dalam seni ini….
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan