
🔞 𝐏𝐄𝐑𝐈𝐍𝐆𝐀𝐓𝐀𝐍🔞
Bab ini berisi konten yang menyebabkan trauma seperti pemaksaan/pemerkosaan. Tidak di perkenankan untuk pembaca dibawah usia 18 tahun.
###

PLOKK!!
PLOK! PLOK! PLOK!
PLOK! PLOK!
Dengan gerakan kasar yang terus berulang, Rex menghantamkan pinggulnya pada selangkangan Esther, mengubur dalam-dalam pen*s besarnya di lubang kecil yang belum pernah dimasuki oleh siapapun itu, hal itu membuat tubuh Esther kembali menggelinjang dengan nafas yang tertahan. Dalam keadaan ini, Esther mungkin bisa mengalami kondisi yang disebut hyperventilasi.
"Ah--!! Hicc--kheuk!!"
PLOK! PLOK!
PLOK! PLOK! PLOK!
"Aaah...! Aanghh! T-Tunggu--haa!"
Entah bagaimana caranya rasa sakit itu semakin memudar seiring waktu dan tergantikan oleh sensasi aneh yang menggelitik di bagian dalam kewanitaannya, dimana benda keras itu terus menggosok bagian terdalamnya tanpa adanya jeda waktu.
Merasakan benda besar itu masuk semakin dalam dan dalam membuat perut bagian bawah Esther terasa sakit, benda itu menyentak kasar bagian terdalamnya, namun lebih daripada itu, sebuah sensasi aneh yang asing mulai membuat pikirannya kosong, mata Esther bahkan mulai memutih dibuatnya.
"Haa... Ini sedikit aneh." gumam Rex di sela-sela pinggulnya yang terus bergoyang, "Bagaimana mungkin seseorang yang berusia 27 tahun bahkan belum pernah berciuman?"
"Mmm--Nghh..."
Merasa tak mendapat jawaban dari Esther, Rex segera menempatkan tangannya di buah dada Esther yang berukuran sangat pas di tangannya. Benda kenyal itu begitu menggoda untuk diremas dan dibelai.
"Jawab aku." tekan Rex yang meremas semakin kuat.
"Aahkh--T-Tuan?! S-Sakit--Jangan di remas...!"
"Kalau begitu jawab."
"T-Tuan Julius... H-Hicc--Heuk!" ringis Esther.
"Masih tidak ingin menjawab?"
Esther mengalungkan tangannya pada leher Rex kemudian memejamkan matanya untuk menahan rasa sakit dari pay*dara yang di remas.
"Karena aku--hicc...! Karena aku menginginkan mu, Tuan, hiks..." tangis Esther, "Itu sebabnya..."
Rex tertegun sejenak, alisnya terangkat, "Ah... Kau menjaga keperawanan mu itu untuk 'Tuan Marquess' tersayang mu itu?"
Di detik selanjutnya, Rex menghentikan gerakannya begitu saja, Rex lalu menempatkan jari-jari besarnya di rahang Esther, menahannya kuat agar tetap menghadap lurus ke arahnya. Rex mulai menunduk seolah bersujud di atas tubuh telanjang Esther, wajahnya begitu dekat dengan wajah Esther, dan tatapan dari mata ungu itu begitu intens serta dipenuhi aura dingin yang sedikit menakutkan.
Segera setelah itu, sudut bibir Rex kembali terangkat hingga membentuk senyum tipis yang hampir menyerupai sebuah seringai binatang buas, kepuasan tergambar begitu jelas lewat wajah tampan yang tersenyum penuh kegembiraan liar itu.
"Tidak ada yang bisa ku katakan selain maaf..." bisik Rex, "Karena telah mengambil apa yang telah kau jaga selama ini..." lanjutnya dengan tawa rendah di ujung kalimat.
"Nghh--"
Meskipun wajah mereka begitu dekat, namun Esther tak dapat dengan jelas melihat wajah pria yang ada di hadapannya. Di bawah pengaruh mabuk, wanita itu menganggap sosok Rex adalah Julius, dan mereka mungkin sedang berada di alam mimpi.
Mata biru itu terus menatap sayu ke arah Rex, seolah-olah dipenuhi oleh keputusasaan, segera setelah itu sang pemilik mata kembali mengeratkan tangannya yang memeluk leher Rex, hal itu membuat tubuh Rex semakin turun hingga berakhir menyatu dengan sempurna dengan tubuh Esther.
"Ku mohon... Tolong peluk aku," lirih Esther dengan tubuh gemetaran.
"..." Rex terdiam.
"Tuan Julius, sekali ini saja..."
Rex tak bereaksi lebih, Rex justru menatap datar Esther, entah mengapa ia mulai merasa kesal ketika wanita di hadapannya itu terus-menerus memanggil nama Julius di setiap waktu, "Dia benar-benar mengigau." gumamnya malas.
Pada saat itu, Rex menelusupkan tangannya di pinggang Esther, dengan mudahnya pria itu mengangkat tubuh Esther begitu saja, mengubah posisi mereka sebelumnya. Dalam sekejap, tubuh Esther sudah sepenuhnya duduk di atas pangkuan Rex, posisi itu membuat batang kemaluan yang sebelumnya masuk sangat dalam kini menjadi semakin dalam dan lebih dalam, Esther bahkan bisa merasakan benda keras itu di dalam perutnya, seolah-olah benda itu bisa menembus dagingnya.
"Hnghh--!!! Ohh--Ukhh--?!!"
"Haa..."
Tak berhenti sampai disana, Rex menempatkan kedua tangannya di pinggang Esther, mengangkat tubuh wanita itu untuk memompa dari atas ke bawah. Esther yang berada di bawah pengaruh manuk tak bisa melakukan perlawanan apapun, tubuhnya terasa berat, bibirnya hanya terus mendesah dan mengerang memanggil nama Julius dengan putus asa.
"Nghh--Ahh! Tuan Julius--Akhh! Hnghh--lius!"
"Haa..."
"Julius...! Hnghh--Aahh!"
Momen itu berlangsung cukup lama, telinga Rex mulai memanas mendengar nama pria lain yang terus keluar dari bibir Esther. Apalagi, pria itu adalah salah satu dari banyaknya orang yang ia benci.
Rex meremas bokong Esther kuat hingga meninggalkan bekas kemerahan di kulitnya yang putih itu, "Tuan Muda..." ucap Rex.
"..."
"Panggil aku 'Tuan Muda'..." lanjutnya.
###

Di awal musim dingin tepat 19 tahun yang lalu, Viscountess Limburg meninggal dunia karena sakit, meninggalkan 3 orang anaknya yang masih kecil. Esther Ellenia Limburg adalah putri pertama pasangan Viscount dan Viscountess, saat itu ia baru berusia 8 tahun, dan dia memiliki adik kembar yang 5 tahun lebih muda darinya.
Dua tahun kemudian Viscount menikah lagi dengan seorang wanita bangsawan kelas bawah, dengan cepat wanita itu menguasai rumah dan menjadi nyonya rumah. Awalnya kehidupan mereka baik-baik saja, namun di bulan ke-2 setelah wanita itu masuk ke rumah, dia berhasil mengandung anak Viscount.
Sejak saat itu, kehidupan 3 bersaudara itu seperti serangga kecil yang terjerat di dalam jaring laba-laba, hanya butuh waktu bagi mereka untuk bisa bertahan dari jeratan jaring laba-laba yang mencekik.
Sampai pada saat Esther berusaha 20 tahun, ia tak sengaja menyaksikan dua adik kembarnya yang mendorong adik tirinya dari tangga hingga berakhir jatuh dengan tubuh bersimbah darah. Dalam sekejap, saudara tiri mereka mati, dan itu adalah perbuatan yang tidak di sengaja.
Di hadapannya, adik kembarnya, Elis dan Enzy tengah menatap tubuh tak berdaya di bawah tangga, tubuh dua anak kecil itu bergetar hebat dengan sorot mata yang menatap penuh ketakutan, hal itu tak luput dari perhatian Esther.
"Hiks--! Kakak? Apa yang harus kami lakukan? Huhuu... Kami takut, Kak! Waaaahhh...!"
"Nyonya Donna pasti akan membunuh kami, tolong sembunyikan kami, Kak! Kami takut, waaaah...!"
Menyaksikan dua adiknya yang menangis ketakutan membuat hati Esther terasa di remas. Kekhawatiran dan rasa takut membuat Esther merasa tercekik, sekarang hanya butuh waktu sampai seisi rumah tahu akan kejadian itu.
Sejak kematian Ibunya, Esther lah yang bertanggung jawab menjaga kedua Adiknya, bahkan Esther seringkali menggantikan hukuman yang diterima adiknya dari Ibu tiri. Esther selalu menempatkan punggung kecilnya yang penuh luka hanya untuk melindungi dua orang itu, namun kali ini, apa ia bisa bertahan?
PRANKKK!
"Siapa yang melakukan ini...?" suara Viscount bergetar dipenuhi kesedihan nyata begitu melihat darah dagingnya sudah tak bernyawa dengan kondisi mengenaskan.
Esther tak menjawab, Esther hanya diam sambil terus memeluk tubuh adik-adiknya seolah menenangkan mereka lewat sebuah pelukan hangat dari tubuh yang menggigil. Dua orang itu menangis semakin kencang, pelukan mereka pada tubuh Esther semakin mengerat.
"Siapa yang melakukan ini, jawab aku?! CEPAT!!!" teriak Viscount penuh amarah.
DEG!
"Huwaaa...! Kakak, aku takuuuut...!! Hiks, huwaaaa!"
"Kakakkkk...! Enzy takut, Kak! Bawa Enzy pergi...!"
"Apa... APA YANG KALIAN LAKUKAN PADA ANAKKU?! APA YANG TELAH KALIAN PERBUAT?!!!" ibu tiri berteriak begitu lantang, tubuhnya bergetar hebat sambil memeluk tubuh anaknya yang bersimbah darah.
Keadaan menjadi semakin menegangkan dan menakutkan, Esther seperti ingin menangis dibuatnya, namun ia tak bisa. Saat ini, kedua adiknya mengandalkannya sebagai tempat berlindung, jika Esther menangis, lalu apa yang akan terjadi pada mereka? Mereka mungkin akan semakin takut.
"Jawab aku, Esther!! Apa kau tidak dengar?! Cepat jawab!" bentak Viscount.
Esther tersentak dengan tubuh yang menegang, keringat dingin mulai bercucuran membasahi pelipisnya, wajahnya bahkan sudah membiru oleh rasa takut, tubuhnya ikut bergetar tak terkendali.
"Ayah..." suara Esther tak begitu jelas terdengar.
"JAWAB, DASAR ANAK KURANG AJAR!"
Momen itu menjadi momen paling menegangkan dan menakutkan bagi Esther, tak pernah Esther tahu bahwa kejadian ini akan menjadi trauma seumur hidup baginya, dan ini adalah ... terakhir kalinya ia memiliki sebutan sebagai 'Nona Muda' kediaman Limburg.
Pelukan Esther pada adik-adiknya semakin mengerat, Esther memejamkan matanya berusaha meyakinkan diri sendiri. Saat itu, dengan tubuh bergetar Esther mulai berbicara.
"Akulah ... yang melakukannya, Ayah..." seru Esther dengan nada rendah yang penuh akan rasa takut.
Jantung Esther terpacu, dadanya terasa di remas, rasanya sangat sakit seperti ada jarum yang menghujam jantungnya berkali-kali. Kebohongan yang keluar dari mulutnya terdengar begitu nyata, Esther menyembunyikan kesalahan adik-adiknya demi untuk melindungi mereka dari amarah Ibu tiri beserta Ayahnya, membiarkan namanya menjadi kotor seperti air yang keruh, dan membuat masa depannya hancur hanya dalam waktu kurang dari satu detik.
Segera setelah itu, suara langkah kaki yang begitu cepat tiba-tiba terdengar. Langkah kaki Viscount yang mendatangkan amarah di setiap hentakkan, dan pada detik selanjutnya, sebuah tamparan keras dilayangkan ke wajah Esther hingga membuat tubuh Esther tersungkur membentur lemari kecil dengan vas bunga diatasnya.
PRANKKK!!!
Tak sampai disana, Viscount menendang seluruh tubuh Esther berkali-kali dengan sangat brutal seperti seseorang yang tengah memukuli binatang pengganggu. Esther yang diperlakukan seperti itu hanya bisa meringkuk di lantai sambil berusaha melindungi kepalanya, sementara Enzy dan Elis berteriak histeris menyaksikan kebrutalan Ayahnya yang terus memukuli Kakaknya tanpa ampun dengan sebuah tongkat yang sering ia bawa.
Darah segar mengucur melalui pelipis Esther yang berdarah karena membentur lemari, sudut bibir Esther telah robek dibuatnya, bahkan hidungnya ikut mengeluarkan darah. Pada titik itu, Esther merasa sangat pusing seolah-olah kesadarannya akan segera hilang, namun sebelum itu, Esther menyempatkan diri untuk tersenyum ke arah dua adiknya sebagai bentuk perhatian agar mereka tak khawatir terhadapnya.
TO BE CONTINUED ~

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
