
Mimpi dan kenyataan itu saling berdampingan. Sama halnya seperti dunia dan langit. Atau nasib dan takdir. Dua hal itu jelas tak bisa dipisahkan. Begitu juga dengan hidup Nasya yang berubah drastis saat mudik ke rumah Mbah dan Abah.
Awalnya semua biasa saja. Berjalan normal dan menyenangkan sampai Nasya meminjam satu buku novel milik Bibi Amira yang sudah berdebu.
Jujur, ceritanya klasik dan lebay. Nasya pikir itu cerita roman picisan pasangan jaman dulu. Ya karena itu buku keluaraan tahun 1995. Tapi...
Selamat datang di cerita baru aku ya! Cerita ini buat saat ini aku publish khusus di Karyakarsa dulu ya ❤️ semoga suka ❤️
1. Mudik
Kayaknya libur panjang itu identik dengan liburan atau mudik ke rumah orang tua. Biasanya, begitu. Hampir seluruh manusia di muka bumi ini, kalau punya waktu luang seperti itu sudah pasti dipakai buat liburan dan berkumpul sama keluarga besar.
Begitu juga sama keluargaku. Libur panjang sudah tiba dan kami sekeluarga bersiap buat pergi ke rumah Nenek di Desa yang gak jauh dari jalan besar. Meski pun pedesaan, Desa tempat di mana Nenek tinggal sudah cukup maju dan modern. Yah walau gak ada pusat belanja yang besar seperti di Kota tempat aku tinggal. Tapi di sini ada minimarket yang cukup bagus buat berbelanja atau jajan.
Perjalannya cukup jauh, kurang lebih 3 jam lah naik mobil pribadi. Karena sekarang sudah ada jalan tol di setiap kota, perjalanan gak terlalu jauh seperti dulu.
Sampai akhirnya aku dan keluargaku sampai di rumah Nenek. Nenek dan keluarga lain yang tinggal di sana dengan suka cita menyambut kedatangan kami. Kalau ada beberapa anak gak terlalu suka pulang kampung karena terbiasa hidup di kota, aku juga akan jadi salah satu anak itu. Tapi karena di sini aku punya sepupu yang akrab, aku merasa akan baik-baik saja.
Pemakaian ponsel pun tak sesering di Kota. Karena selain asyik bermain dan mengobrol sama sepupuku. Ada saja hal yang bisa aku lakukan di sini untuk mengisi waktu luang. Misalnya membuat camilan atau membaca buku-buku lama punya Bibiku.
Bibi Amira namanya. Dia suka sekali mengoleksi buku. Katanya sih seru. Dari SMP dia membeli buku-buku ini sampai akhirnya bertumpuk dan berdebu karena sudah gak pernah tersentuh lagi.
Bibi di sini sebutan untuk Tante. Dan Mamang sebutan untuk suaminya. Bibi Amira adalah adik perempuan Ibuku. Dia tinggal dan berumah tangga di Desa ini juga. Satu Desa dengan Nenek tapi beda rumah saja.
Aku melihat-lihat beberapa judul buku yang tersusun rapi di rak buku. Melihat-lihatnya sampai mataku tertarik pada satu judul buku yang kayaknya cukup seru.
"Cinta dan kesetiaan," gumamku. Aku mendengus geli. Norak sekali judulnya. Tapi wajar sih, buku ini kan keluaran lama. Aku membuka cover buku itu lalu melihat tahun terbitnya. "Woah, 1995. Aku belum lahir nih," lanjut ku.
Aku mulai membaca bab pertama dari novel di tanganku. Cukup menarik dan agak lebay melihat deskripsi si perempuan yang begitu mencintai kekasihnya. Meski begitu aku tetap melanjutkannya.
"Sya, ayo pulang. Udah sore, nanti Ibu maneh ngamuk," kata Yumna, sepupuku.
Aku dengan cepat menutup novel yang masih aku baca. Tidak lupa menilap kecil ujung kertas buku buat sebuah tanda kalau aku baru baru baca halaman itu.
"Bi, bukunya boleh aku pinjam dulu gak? Belum selesai baca soalnya," kataku, meminta izin.
Bibi Amira yang sibuk mengasuh bayinya dengan cepat menjawab. "Bawa saja. Semuanya juga boleh."
Aku mendengus. "Gak usah Bi, yang ini saja."
"Ya udah atuh."
"Nasya balik dulu ya Bi."
Bibi Amira mengangguk. "Iya sok."
Aku bergegas keluar mengejar Yumna yang sudah berjalan lebih dulu. Padahal aku mau mengambil beberapa judul lagi supaya gak bosan kalau nanti buku ini selesai aku baca. Tapi ya sudah lah, ini saja sudah cukup buat hari ini.
Dugaan Yumna kuat. Ibu mengamuk waktu aku baru saja sampai rumah Nenek.
"Dari mana saja kamu? Kenapa baru pulang mau magrib begini," katanya.
Aku mendesah. "Sya dari rumah Bibi Amira tadi Bu. Lagian kenapa sih, aku kan udah gede. Gak bakal hilang juga," balasku, malas.
Aku sudah lulus SMA sekarang. Sebentar lagi akan melanjutkan belajar di sebuah kampus. Aku bukan lagi anak kecil, aku sudah 19 tahun.
"Gak bakal hilang gak bakal hilang. Kamu lupa ya kasus anak hilang diculik wewe gombel dulu." Ibu mulai lagi.
Itu benar. Dulu waktu aku kecil ada kasus anak Desa sini yang hilang. Katanya sih diculik makhluk halus alias wewe gombel. Tapi anaknya sudah ketemu di sebuah pohon besar yang berada dekat sungai. Bahkan sekarang anak kecil itu sudah menikah dan punya anak.
Aku berdecak. "Ya ampun Bu. Itu cerita dulu. Lagian ini udah tahun berapa sih, masih saja percaya begituan. Sekarang tuh udah gak jaman takut begituan, yang ada setannya takut sama manusia."
"Kamu ini, dibilangin gak mau dengar. Diculik wewe gombel tahu rasa kamu."
"Iya. Nanti kalau ketemu aku jual wewe gombelnya ke germo, pasti laku. Soalnya dia bohay," jawabku, gak sopan.
"Nasya," tegur Ibu.
"Sudah-sudah, kalian ini, ribut bae. Neng ntos mam?" tanya Abah. Alias Kakekku. Aku memanggil Kakek dan Nenekku dengan sebutan Abah dan Mbah.
Aku menggeleng. "Belum sih Bah. Tapi aku masih kenyang, soalnya tadi habis makan kue di rumah Bibi."
"Owalah, kitu. Lamun lapar bilang nya. Nanti kita bacakan, manggang ikan," kata Abah lagi. Bahasanya bercampur bahasa sunda dan indonesia.
Kedua mataku langsung berbinar. "Manggang ikan? Asyik! Mau! Mau! Abah!"
"Ya udah, Abah sama Ua mu nyari Ikan helan ka kobangnya," ujar Abah.
Aku mengangguk. Walau aku dari lahir sampai sekarang tinggal di Kota. Tapi aku mengerti bahasa abah walau agak kikuk kalau mengucapkan bahasa Sunda karena tidak terbiasa. Aku mengerti bahasa sunda karena Ibu di rumah suka bicara bahasa itu sehari-harinya.
"Abah mah, di olo bae bocah eta teh," balas Ibu, gak terima.
Aku menjulurkan lidahku ke arah Ibu. Membuat Ibu melotot dan dengan kuda-kuda aku kabur dari sana. Ya meskipun Ibu agak cerewet, aku gak pernah membenci itu meski terkadang agak menyebalkan.
Aku masuk ke dalam kamar. Memilih melanjutkan membaca novel yang belum aku selesaikan tadi. Aku membuka lembar kertas yang sudah aku tandai tadi. Membuka lipatan kecil di ujung kertas lalu melanjutkan membaca.
Ceritanya klasik. Kayak cerita cinta kebanyakan. Tapi pas ditengah cerita, emosiku mulai terpancing. Karakter perempuan yang tangguh itu tiba-tiba menjadi rapuh saat tahu kekasihnya ternyata berselingkuh. Dan lebih parah lagi, selingkuhannya itu ternyata sahabat baiknya.
"Dasar moyet! Anak monyet! Bisa-bisanya dia selingkuh. Cowok dongo, gak tahu terima kasih. Padahal selama susah dia ditemenin si cewek," amukku, tak terima membaca penderitaan si karakter perempuan.
"Si cewek juga tolol! Padahal udah ada tanda-tanda mokondo di si cowok. Harusnya dia curiga waktu temennya itu boncengan sama pacarnya." Aku masih mengamuk, meluapkan emosiku. "Gak sengaja ketemu lah, searah lah. Monyet! Jaman dulu sama jaman sekarang ternyata sama aja ya. Cowok tuh emang babi."
"Loh Neng, kunaon atuh marah-marah." Mbah tiba-tiba saja masuk ke dalam kamar.
Aku mengerjap lalu dengan cepat tersenyum kecil melihat Mbah masuk. Aduh, pasti suara misuhku terlalu keras sampai Mbah dengar dan masuk kemari.
"Eh Mbah. Gak apa-apa kok. Nasya cuma lagi baca Novel saja, hehehe."
Mbah menggelengkan kepalanya. "Kirain teh kunaon. Ya udah, Mbah keluar helan. Mau ngabersihkeun Ikan yang Abah bawa."
Aku mengangguk. "Iya Mbah."
Aku membuang napas lega. Untung saja bukan Ibu yang masuk. Kalau yang masuk Ibu, sudah pasti aku akan diamuk karena bicara kasar tadi.
NEXT>>
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
