
Diana Angelina tak menyangka perjalanan hidupnya akan terjebak oleh cinta pertama yang belum usai dari Denny Permana--pacarnya masa kuliah dulu. Padahal sudah tujuh tahun berlalu saat wanita berusia tiga puluh tahun itu pergi meninggalkan Denny demi ingin menikah dengan pria baru yang lebih menarik hatinya.
Denny tak sendiri mengalami rasa sakit atas kegagalan cinta pertamanya. Ada Eliana Kumala yang juga belum bisa move on dari cinta pertamanya yang gagal dengan Ivan Sanjaya--pria tampan keturunan...
- SUAMI DINGIN
Pagi itu, Diana terbangun duluan, sang suami masih dalam posisi memeluknya dari belakang. Pelan, Diana meraba sesuatu yang menyentuh kulitnya. Sesuatu yang membuat Diana merasa terbakar.
"Ayo, ambil itunya," bisik Rey yang ternyata sudah terbangun karena ulah istrinya.
Diana tidak perlu berdiri mengambil barang yang diminta sang suami dari laci meja riasnya, ia dengan cepat mengambil benda kecil yang sudah disiapkannya di bawah bantal setiap malam. Ia harus disiplin sendiri kalau tidak ingin anak ke lima mereka akan hadir. Si bungsu baru berusia enam bulan saat ini.
Diana memang sangat subur, sekali saja berhubungan suami istri tanpa memakai pengaman, bulan depan dipastikan ia akan hamil. Terbukti dari dua orang anak terakhirnya yang lahir setahun sekali. Begitu juga dengan anak pertama dan anak keduanya yang berjarak hanya setahun saja. Diana sudah pernah memakai alat kontrasepsi, tapi tubuhnya tidak cocok dengan salah satu alat tersebut. Akhirnya, hanya si latex itulah yang dipakai setiap kali mereka bercinta.
Usai melakukan kegiatan suami istri itu, Rey segera berlalu ke kamar mandi, tanpa ada ciuman singkat atau pelukan hangat untuk sang istri yang masih terkulai lemas di ranjang. Diana pun tidak mempermasalahkan ketidakpedulian suaminya itu, rona wajahnya malah terlihat sangat bahagia. Meski Rey tidak terlalu antusias dalam kegiatan suami istri itu, tapi fisiknya yang kuat mampu membuat sang istri puas berkali-kali. Wanita cantik bertubuh seksi itu harus bekerja keras sendiri. Ia tidak peduli, meski terlihat seperti wanita nakal. Hanya bercinta dengan Rey, satu-satunya kegiatan yang bisa membuatnya bertahan dalam menjalani rumah tangga dengan cinta tak berimbang itu.
***
Jika kau bilang cinta saja sudah cukup
Itu salah
Jika kau pikir sayang juga sudah cukup
Kau keliru
Coba sempatkan 'tuk lihat isi hatiku
Apakah diriku bahagia selama ini?
Bisakah kau sedikit peka?
Ku butuh waktu dan perhatian
Suara nyanyian dari pemenang Indonesian Idol itu sudah yang ke sekian kalinya didengarkan Diana. Nada dan liriknya serasa cocok sekali dengan perasaannya selama ini. Menikah selama tujuh tahun tidak membuatnya merasa bahagia menjalani kehidupan berumah tangga dengan sang suami. Pacaran selama tiga bulan, lalu menikah, kemudian menjalani hari-hari yang membosankan.
Padahal dulu, wanita berusia tiga puluh tahun itu sangat berharap perkawinannya akan berjalan sesuai dengan keinginannya karena bisa menikah dengan laki-laki idamannya. Reynaldi yang ganteng, berbadan atletis dengan sikap yang cool, membuat Diana benar-benar jatuh cinta pada pandangan pertama. Setelah lelah dibucinin oleh beberapa orang pacar sebelumnya, ia jadi muak dan ingin mencari pasangan yang membuatnya menjadi budak cinta. Sosok itu adalah Rey yang mahal tersenyum dan dingin terhadap para wanita. Diana masih teringat ketika Rey melamarnya tujuh tahun yang lalu.
"Diana, aku ingin kita menikah saja, kamu siap?" Ucapan Rey membuat Diana merasa melambung tinggi ke udara. Tanpa ada ucapan 'aku mencintamu' dari Rey sebelumnya, tiba-tiba pria pujaannya itu mengajak menikah.
"Oh, My God, mimpi apa aku semalam, bisa dilamar oleh laki-laki impianku ini." Diana bicara dalam hati dengan rasa bahagia tak terkira.
"Aku siap jadi istrimu, Mas Rey," jawab Diana dengan wajah merona bahagia. Kencan selama tiga bulan, meski hanya sekedar makan malam, nonton, dan jalan-jalan, sudah cukup bagi Diana untuk memutuskan menjadi istri Reynaldi Yahya--seorang pengusaha tambang batubara yang berusia dua puluh delapan tahun. Diana merasa mereka akan menjadi pasangan yang ideal nantinya. Ia memang butuh seorang pendamping yang lebih tua dari dirinya yang baru berusia dua puluh tiga tahun.
Mungkin hanya dua tahun pertama saja Diana merasakan kebahagiaan dalam mengarungi kehidupan berumah tangga dengan Rey. Namun, sejak anak keduanya lahir, ia merasa sudah mulai bosan. Sifat tak acuhnya Rey yang awalnya ia sukai, ternyata malah akhirnya membuat Diana merasa tak bahagia. Rey benar-benar tak peduli padanya dan asyik dengan dunianya sendiri. Malah untuk nafkah batin mereka saja, harus Diana yang memulai duluan, meraba semua bagian sensitif dari sang suami.
***
"Mas, ntar siang kita ajak anak-anak jalan-jalan ke mall, yuk. Aku juga pengen jalan-jalan sama kamu, Mas. Sejak Jane lahir, kita belum pernah lagi keluar bersama." Diana mengajak suaminya yang sedang sarapan bersamanya di pagi hari Minggu itu.
"Aku gak bisa, ada janji pergi mancing sama Ivan," jawab Rey sembari mengelap mulutnya dengan tisu. Ia sudah mengakhiri sarapannya, padahal makanannya masih tersisa sepertiga lagi di piring.
Lelaki yang kini berusia tiga puluh lima tahun itu dengan cuek mengambil rokoknya dan berlalu ke teras depan rumah mewah mereka.
Diana menatap kepergian sang suami dengan hati yang sakit. Entah apa salahnya, sehingga Rey memperlakukannya seperti itu. Padahal tidak ada yang kurang dari dirinya. Meski sudah melahirkan sebanyak empat kali, Diana selalu sukses mengembalikan berat tubuhnya ke berat normalnya. Senam rutin dan yoga yang selalu dijalaninya setiap hari, membuat wanita berusia tiga puluh tahun itu tetap cantik dan langsing.
"Awas kamu, Mas. Aku akan bikin kamu menyesal suatu hari nanti," desis Diana dengan mata yang menyala. Kedua tangannya pun terkepal kencang di atas meja makan.
2.BUDAK CINTA
“Diana!” Seseorang memanggil wanita yang sedang asyik memilih-milih sepatu yang ada di hadapannya.
“Denny? Ya, ampun ... kemana aja selama ini? Sudah lama sekali ya, kita gak ketemu!” Diana berseru kaget begitu dilihatnya seorang pria tampan tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya. Mantan pacar Diana tujuh tahun yang lalu sebelum menikah dengan Reynaldi.
“Aku pulang ke Balikpapan begitu lulus kuliah dulu, tapi setahun terakhir ini aku tinggal di Samarinda lagi karena kerjaan,” jawab Denny sembari menyodorkan tangannya mengajak Diana bersalaman. Mata bermanik hitam itu menatap tajam wajah wanita yang sangat ia cintai dulu.
“Kamu sama siapa, Den? Kok sendirian?” Diana bertanya begitu dilihatnya tidak ada orang lain bersama Denny.
“Aku memang masih sendiri, belum punya pendamping sejak seseorang tiba-tiba memutuskan hubungan kami karena tertarik dengan pria lain.” Denny menjawab sedikit ketus.
“Hm … maaf ya, Den, kalau yang kamu maksud itu aku.” Diana menatap dengan rasa bersalah laki-laki yang tampak semakin tampan dan mapan. Sangat jauh berbeda kala masih menjadi pacarnya dulu.
“Mama …!” Terdengar teriakan dua anak kecil yang berlari datang menghampiri Diana dan Denny yang masih berdiri saling bertatapan.
“Eh, Tian, Kevin, kalian kok berdua? Mbak Sinta dan Mbak Ella mana?” tanya Diana kepada kedua anaknya yang berusia enam tahun dan lima tahun.
“Tuh!” Si sulung Tian menunjuk dua orang babysitter yang berjalan dengan kepala mencari-cari. Sinta mendorong trolly Kellan--anak ketiga Diana yang berusia satu setengah tahun. Balita laki-laki itu duduk di trolly-nya. Sedangkan Ella mendorong troly Jane—si bungsu yang baru berusia enam bulan. Bayi cantik itu tampak tidur pulas dalam trolly-nya.
Diana melambaikan tangan begitu melihat kedua babysitter itu datang mendekat ke arah mereka.
“Maaf, Bu. Tadi Tian dan Kevin tiba-tiba saja lari, untung kami gak kehilangan jejak.” Sinta langsung minta maaf begitu tiba di hadapan Diana.
“Gak apa-apa, mungkin karena mereka lihat saya.” Diana tersenyum memaklumi pengasuh anak-anaknya itu. Tadi ia memang meninggalkan mereka sebentar di arena bermain anak-anak yang tidak terlalu jauh dari tempat ia memilih-milih sepatu.
“Ini anak kamu semua, Diana?” tanya Denny dengan wajah tak percaya. Matanya menatap heran wanita cantik dan langsing yang bediri di hadapannya itu. Wajah yang tidak banyak berubah dari ketika masih menjadi kekasihnya tujuh tahun yang lalu. Malah tampak lebih cantik dan seksi saat ini.
“Iya, Den.” Diana menjawab sedikit tersipu malu karena kepergok Denny ternyata ia terlalu subur.
“Hm ... produktif sekali, ya?” gumam Denny. Diana mendengarnya, membuat ia semakin malu.
“Mama? Tian lapar,” rengek gadis ciliknya.
“Kevin mau makan pizza, Ma!” teriak Kevin tak mau kalah dari sang kakak.
“Iya, ya, Sayang. Ayuk, kita makan pizza.” Diana menenangkan kedua anaknya sembari menggandeng tangan mereka.
“Den, aku pamit dulu ya, mau ajak anak-anak makan siang dulu,” ucap Diana kepada pria yang masih berdiri bengong.
“Oh, hm … Diana, boleh aku yang traktir kalian makan pizza?” tanya Denny penuh harap, meski masih ada kekesalan di hatinya terhadap Diana, tapi rasa ingin tahu tentang kehidupan mantan pacarnya itu cukup besar.
“Rame begini, Den?” Diana tertawa kecil.
“Gak apa-apa, gak bakalan bikin aku bangkrut, kok,” jawab Denny ikut tertawa.
“Ya, udah, ayuk.” Diana langsung berjalan bersama kedua anaknya. Diikuti oleh kedua babysitter yang mendorong trolly bayi.
“Suamimu kok gak ikut nemenin, Diana?” tanya Denny yang duduk di hadapan sang mantan begitu mereka tiba di restoran pizza.
“Lagi mancing dia,” jawab Diana santai. Ia sibuk menyuapi Kellan yang duduk di kursi khusus anak-anak.
Tian dan Kevin yang sudah bisa makan sendiri duduk bersama kedua babysitter di meja sebelah mereka. Sang adik bayi masih tertidur pulas di trolly-nya.
“Kamu bahagia menikah dengan laki-laki itu, Diana?” tanya Denny pelan. Matanya tiada lepas menatap wanita yang namanya masih awet di hatinya, meski sudah tak terhitung entah berapa orang wanita cantik yang sudah dipacari dan dikencaninya selama tujuh tahun terakhir ini. Wanita-wanita itu hanya sekedar mampir mengisi kekosongan hatinya setelah ditinggal kawin oleh Diana, cinta pertamanya.
Diana menatap Denny sejenak, ia tak menjawab, malah kemudian kembali asyik menyuapi anaknya. Sesekali potongan pizza itu juga masuk ke mulutnya. Tidak luput dari perhatian Denny yang lebih tertarik memperhatikan Diana daripada menghabiskan potongan pizza di piringnya.
“Aku langsung pulang dulu ya, Den. Anak-anak udah pada ngantuk, nih.” Diana langsung pamit begitu makanan mereka sudah habis semua.
“Aku antar, ya?” Denny masih berat melepas Diana pergi. Ia masih menyimpan rindu yang mendalam untuk wanita cantik di hadapannya itu.
“Gak usah deh, tadi aku bawa mobil sendiri. Makasih ya, Den, atas makan siangnya.” Kali ini Diana yang duluan mengajak bersalaman.
“Sebentar, tolong tulis nomor Hp-mu dulu.” Denny malah menyodorkan ponselnya ke tangan Diana.
Diana menatap ragu benda pipih yang berpindah ke tangannya. Namun, nomor ponselnya tetap diketik, lalu diserahkan kembali ke pemiliknya.
Kemudian terdengar suara nyanyian sang juara Indonesian Idol yang lagunya sangat disukai Diana. Itu suara dering ponsel Diana dari dalam tas selempang miliknya.
“Itu nomorku.” Denny mematikan ponselnya, lalu menyodorkan tangannya untuk bersalaman. “Hati-hati di jalan,” ujarnya lagi sambil menggengam erat tangan halusnya Diana. Senyum di wajah tampannya tampak sangat mempesona.
Diana menganggukkan kepalanya dengan rasa haru, melihat perhatian kecil dari Denny, mantan pacar yang begitu menggilainya dulu.
***
Diana baru saja akan merebahkan tubuhnya di pembaringan berukuran besar yang ada dalam kamarnya, ketika ponselnya di atas nakas berbunyi. Dilihatnya jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
“Mungkin Mas Rey yang telpon,” pikir Diana buru-buru mengambil ponselnya.
Namun, ternyata itu panggilan dari Denny, sang mantan yang siang tadi ditemuinya di mall.
“Hallo ... ada apa telpon malam-malam, Den?" tanya Diana pelan.
“Iseng aja! Hm ... aku tebak pasti suamimu belum pulang, 'kan?”
“Kok, kamu tahu?” tanya Diana seperti orang bodoh.
“Ya, tahulah. Kalau ada suamimu, mana berani kamu mengangkat teleponku, iya, 'kan?”
“Kamu mau apa, Den? Mau terus mengejekku?” tanya Diana ketus ketika terdengar Denny tertawa geli.
“Maaf, Diana. Aku tidak bermaksud begitu, aku hanya ingin ngajak kamu bertemu lagi besok siang, bisa 'kan?”
“Buat apa, Den? Aku tuh udah istri orang dan sudah punya banyak anak. Kenapa kamu masih mau menemuiku?”
“Karena aku tahu, kamu gak bahagia, Diana.”
“Siapa bilang? Aku bahagia, kok!”
“Jangan bohong! Aku sangat mengenal dirimu. Dua tahun lamanya kita dulu pacaran, sebelum kamu pergi dengan laki-laki itu.”
“Denny! Itu sudah masa lalu. Untuk apa diungkit lagi!”
“Aku tidak pernah bisa melupakan hal itu.”
“Eh, Den, udah dulu, ya? Sepertinya suamiku pulang.” Diana ingin memutus pembicaraan mereka begitu didengarnya pintu kamar dibuka dari luar.
“Ok, pokoknya besok jam satu siang, aku tunggu kamu di kafe depan pintu masuk mall tadi.”
Denny langsung menutup pembicaraan mereka sebelum Diana sempat menjawabnya. Bersamaan dengan pintu kamar yang terbuka.
Diana buru-buru menyelipkan ponselnya ke bawah bantal di samping ia duduk.
“Kok belum tidur?” tanya Reynaldi yang melihat sang istri masih duduk di ranjang mereka.
“Nungguin kamu, Mas. Kok mancing ikan sampe malam begini. Cantik gak ikannya?” sindir Diana dengan hati cemburu. Jangan-jangan suaminya bukan memancing ikan, tapi memancing wanita cantik.
“Ngawur kamu! Udah, tidur aja duluan. Aku mau mandi dulu.” Reynaldy langsung menuju kamar mandi.
Diana menatap punggung suaminya dengan mulut seksinya maju dua senti.
“Mas ....” Diana meraba dada kekar sang suami yang baru merebahkan diri di sampingnya setelah selesai mandi. Air hangat yang mengguyurnya tadi membuat Reynaldi langsung mengantuk.
3. MANTAN PACAR MENGGODA
“Aku lelah, mau tidur dulu! Besok pagi aja mainnya.” Reynaldi membalikkan tubuh, memunggungi sang istri.
“Huh! Siapa juga yang mau ngajak main,” gerutu Diana yang kemudian ikut membalikkan tubuhnya, memunggungi sang suami.
Rey tersenyum samar mendengar gerutuan sang istri dengan mata yang terpejam. Tidak lama kemudian terdengar dengkuran halusnya.
Diana tidak bisa terlelap, malah bayangan wajah Denny yang semakin tampan dan keren hadir di pelupuk matanya, membuatnya terus mengingat laki-laki yang ditinggalkannya begitu saja dulu karena terpikat oleh Reynaldi yang lebih dewasa dan mapan.
“Apa besok aku temui aja si Denny di mall, ya? Aku harus bilang padanya langsung, agar jangan menghubungi aku lagi. Ntar, kalau Mas Rey tahu, bisa berabe jadinya,” pikir Diana resah.
Tangan Reynaldi yang tiba-tiba memeluknya dari belakang, membuat Diana sadar dari memikirkan sang mantan pacar. Ia membalikkan tubuh menghadap suaminya. Ujung jemarinya mengusap halus garis wajah tampan dengan cambang tipis yang tercukur rapi.
Wajah Reynaldi tampak tenang dengan dengkuran yang halus. Tangannya masih memeluk tubuh Diana dengan erat. Diana tersenyum getir. Hanya dalam kondisi tidak sadar, Rey akan melakukan hal romantis itu terhadap tubuh langsing miliknya.
“Mungkin kau pikir aku hanya sebuah guling, Mas,” bisik Diana sembari menyembunyikan wajahnya di dada sang suami, memeluk lelaki tercintanya. Tidak lama kemudian ia pun tertidur pulas.
***
“Aku siang ini mau ke Berau, mungkin sekitar seminggu. Ada teman yang ngajak nambang di sana,” ujar Reynaldy saat sarapan pagi bersama istri dan kedua anaknya yang akan berangkat sekolah. Tian dan Kevin yang masih di taman kanak-kanak.
“Lama banget seminggu, Mas. Aku pasti akan sangat merindukanmu nanti.” Diana menatap suaminya dengan netra yang tiba-tiba mengembun. Ia memang tidak pernah menutupi perasaannya terhadap sang suami selama ini.
“Ah, kamu kayak ABG aja, masa udah tujuh tahun berlalu masih juga rindu-rinduan.” Reynaldi tertawa geli melihat istrinya yang sejak awal mereka menikah sangat terobsesi padanya. Bahkan hampir tiap hari istri cantiknya itu meminta jatah batin padanya, gak ada bosan-bosannya. Kadang Rey heran dengan kecanduan istrinya yang tidak berubah sejak awal mereka menikah.
“Jadi, Mas gak pernah merasa rindu sama aku ya, saat berjauhan?” Diana bertanya dengan sedih. Meski suaminya sering pergi ke luar kota, tapi hanya dua-tiga hari saja. Ia pasti akan sangat merindukan suaminya itu nanti, meskipun selama berada di rumah pun, Rey juga tidak terlalu memperhatikannya. Laki-laki itu hanya sibuk dengan rokok dan ponselnya di teras rumah mereka hingga tengah malam.
“Duh, males deh, pagi-pagi udah bahas hal yang gak penting kayak gini. Diana-Diana, udah anak empat juga, kok, masih membahas cinta dan rindu. Udah, sana! Anterin Tian sama Kevin! Ntar telat lagi sekolahnya.” Reynaldi tanpa peduli dengan perasaan istrinya, membawa gelas kopinya ke teras. Ia pasti akan merokok lagi di sana sebelum berangkat.
Airmata Diana hampir saja luruh, jika Tian tidak menyentuh tangannya.
“Ma? Kakak udah selesai sarapannya.” Sang putri sulungnya menatap dengan wajah polos.
“Oh, udah selesai ya, Sayang. Pinter anak mama.” Diana membantu mengusap mulut Tian dengan tisu. “Ayo, Kevin, cepatan habisin makanannya, Nak.” Diana mengalihkan perhatian pada anak keduanya. Ia berusaha menghilangkan rasa sedih atas sikap sang suami dengan sibuk mempersiapkan keperluan sekolah kedua anaknya. Pekerjaan rutin yang ia lakukan setiap hari. Mengantar dan menjemput kedua anaknya itu sekolah.
Tidak ada sopir pribadi di rumah mereka. Suaminya bilang, anak-anak itu lebih aman kalau diantar oleh salah satu orang tuanya. Diana pun dengan senang hati melakukannya, karena ia tidak punya kegiatan lain selain mengawasi keempat anak-anak mereka. Apalagi ada dua orang babysitter yang membantu mengurus semua anak-anaknya. Untuk urusan mengurus rumah juga ada Tuti--Asisten Rumah Tangganya. Hidup yang sudah sempurna sebenarnya. Namun, hanya satu yang kurang, yaitu waktu dan perhatian dari suaminya.
***
Denny melambaikan tangannya begitu melihat Diana yang berjalan masuk ke dalam kafe. Wanita itu terlihat sangat menawan dengan rambut panjangnya yang diwarnai kecoklatan. Kacamata lebar berlensa coklat menghiasi wajah cantiknya yang putih bersih. Siapa yang menyangka di tubuh ramping itu pernah melahirkan empat orang anak.
“Sorry, Den. Nidurin anak-anak dulu, repot kalau harus membawa mereka,” ucap Diana seraya duduk di kursi kafe paling pojok yang dipilih Denny.
“Gak apa-apa, aku juga baru tiba kok,” balas Denny sambil tersenyum tipis. Padahal ia sudah satu jam menunggu di kafe itu.
“Kamu mau makan apa, Diana?” Denny menyodorkan buku menu makanan ke hadapan Diana.
“Aku pesan minuman aja deh, barusan habis makan di rumah.” Diana mengedarkan pandangan ke penjuru kafe. Ia berharap semoga saja tidak ada orang yang mengenalnya.
“Jus alpukat?” suara Denny membuat wanita cantik itu kembali menatap pria yang duduk di hadapannya.
“Kamu masih aja ingat sama minuman kesukaanku.” Diana tersenyum lebar memamerkan gigi putihnya yang tersusun rapi, membuat Denny diam-diam menelan saliva.
“Iya, dong. Aku mengingat semua kesukaanmu, semua yang ada padamu.” Denny menatap tajam mantan pacarnya itu.
Diana memalingkan wajahnya ke arah lain dengan rasa bersalah. Ia tidak menyangka Denny masih mengingat semua tentang dirinya, padahal sudah tujuh tahun berlalu.
“Kamu kerja di mana sekarang, Den?” Diana mengalihkan pembicaraan.
“Di perusahaan leasing mobil,” jawab Denny singkat.
“Terus di sini kamu sendirian?”
“Iya.”
“Kenapa kamu belum menikah juga sih, Den?” tanya Diana penasaran.
“Karena aku masih menunggumu, Diana,” jawab Denny mengagetkan Diana.
4. MENGEJAR MANTAN
“Ih, kamu mendoakan aku menjadi janda, ya?” Diana tertawa geli mendengar ucapan Denny. “Bisa aja kamu bercanda, Den.”
“Aku serius, Diana. Meski terdengar jahat, aku memang berharap kamu berpisah dari suamimu.” Ucapan Denny membuat Diana tertegun. Apalagi kemudian tak disangka Diana, mantan pacarnya itu meraih tangannya yang diletakkan di meja. Mata Diana membelalak begitu Denny tangannya. Bibir kenyal laki-laki itu terasa hangat menyentuh ujung jemarinya.
“Kamu apa-apaan sih, Den? Ntar kalau ada kenalanku yang melihat, gimana?” Diana menarik dengan cepat tangannya yang masih dalam genggaman tangan kekar pria masa lalunya itu.
“Maaf, Diana. Aku tidak bisa menahannya, jangan marah, ya?”
“Hm … jadi apa maksudmu mengajakku datang ke sini, Den? Aku gak bisa lama-lama. Sebentar lagi anak-anakku segera bangun tidur. Mereka pasti akan nyariin aku.” Diana melihat jam tangan yang melingkar di tangan mulusnya.
“Gak ada maksud apa-apa, Diana. Aku masih kangen saja sama kamu. Kemarin sore kita cuma bertemu sebentar. Aku masih ingin mengobrol denganmu.”
“Tapi, next, kita tidak baik bertemu seperti ini lagi, Den. Aku adalah istri seseorang dan ibu dari empat orang anak,” ucap Diana tegas.
“Aku melihatmu tidak bahagia, Diana,” ujar Denny dengan berani.
“Ngawur kamu, Den. Itu tidak benar. Aku bahagia, kok. Buktinya anak-anakku banyak.” Diana membantah sambil berdiri dari duduknya.
“Itu bukan jaminan, Diana,” jawab Denny bersikukuh.
“Aku pulang dulu! Terima kasih atas minumannya. Tolong jangan menghubungiku lagi, Denny.” Diana bersiap ingin berlalu ketika didengarnya laki-laki dihadapannya bicara, “jika kamu butuh seseorang, jangan lupa menghubungi aku, Diana. Aku selalu ada untukmu.”
Diana terpaku sejenak menatap pria berdagu belah yang ada di hadapannya itu. Ia menghela napas panjang melihat kegigihan mantan pacarnya yang sejak dulu masih saja menjadi budak cinta untuk dirinya. Tanpa bicara apa-apa lagi, Diana melenggang pergi dari hadapan Denny yang masih menatapnya tak berkedip.
***
“Diana, aku belum bisa pulang ke Samarinda, ya? masih ada yang perlu diurus di Berau.”
“Duh … belum kelar juga ya, Mas? Ini sudah lebih dari seminggu, lho?” rengek Diana begitu menerima panggilan dari suaminya.
“Kamu harus terbiasa, Diana. Kalau proyek di Berau ini deal, kita akan sering berpisah seperti ini.”
“Astagaa, aku ikut ke Berau kalau begitu. Gak mau aku jauh-jauh kayak gini,” balas Diana keras kepala.
“Ah, kamu kayak anak kecil aja! Oh, ya, anak-anak gimana? Sehat ‘kan?”
“Anak-anak semua sehat, aku yang gak sehat,” keluh Diana.
“Kamu sakit apa? Udah ke dokter belum?”
“Sakit rindu! Memangnya ada dokter jual obatnya.” Diana mendengar Reynaldi terbahak di seberang sana.
“Sabar … kamu cari kegiatan apa lah, biar gak pikirin rindu terus. Udah ya, ini mau ketemuan sama orang, nih.”
Diana belum menjawab apa-apa ketika suaminya sudah langsung memutuskan panggilannya.
“Mas Rey kebiasaan, orang belum selesai ngomong udah main putusin aja,” gumam Diana dengan wajah cemberut.
“Hari libur begini enaknya kemana, ya? Masa akhir pekan mau rebahan di rumah aja,” pikir Diana sembari membuka layar ponselnya. Aplikasi hijaunya sudah terlihat banyak chat yang belum dibukanya.
“Denny ngapain lagi sih! Masih aja miscall dan ngirim WA. Udah dibilangin juga, jangan berharap lebih jauh lagi.” Diana mengomel dalam hati begitu melihat banyak pesan dari sang mantan pacar.
Diana mengabaikan saja tanpa membaca atau membalas pesan dari Denny. Ia kemudian malah tertarik dengan pesan Riska--teman akrabnya ketika masih kuliah dulu. Ia segera menghubungi ponsel temannya itu.
“Diana, datang ya, ke acara reuni kampus kita ntar malam.”
“Jam berapa acaranya, Ris? Duh, kok malam Minggu, sih? Bukannya besok siang aja hari Minggu,” balas Diana.
“Gak apa-apalah, Diana, ‘kan membawa pasangan ini. Ya, ajak lho, suami gantengmu.”
“Nah, itu dia. Mas Rey masih di Berau, belum pulang,” keluh Diana.
“Hm … apa kamu mau aku samperin ntar malam?”
“Aku gak usah ikut aja ya, Ris? Males banget ntar cuma jadi nyamuk kamu dan suamimu,” ujar Diana tiba-tiba. Padahal ia sebenarnya sangat ingin ikut di acara reuni yang sudah diadakan selama dua tahun terakhir ini. Untung Reynaldi mau menemaninya setiap acara itu dilaksanakan. Hanya kali ini saja sang suami tidak bisa menemani.
“Yah, ikut dong? Gak seru kalau primadona kampus kita dulu tidak hadir, hahaha.”
“Bisa aja kamu ngerayu, Ris. Ya, udah, ntar aku usahain datang deh, gak usah dijemput! Aku bawa mobil sendiri aja,” putus Diana dengan senyum di wajahnya. Ia sudah membayangkan serunya bertemu dengan teman-teman lamanya. Ia tidak bisa melewatkan begitu saja. Suara riang Riska di seberang sana juga membuat Diana semakin bersemangat.
***
Diana menghubungi berkali-kali nomor ponsel suaminya, tapi hanya nyanyian suara Judika yang terus terdengar. Akhirnya dengan kesal ia mengirim pesan, meminta izin kepada sang suami, bahwa ia akan pergi ke acara reuni kampusnya.
“Bodolah, kalau nanti Mas Rey marah. Salah sendiri itu Hp gak diangkat,” gerutu Diana sembari mengambil kunci mobil di meja riasnya.
Sekitar setengah jam di perjalanan, Diana tiba di lokasi acara yang diadakan di Hotel Aston Samarinda. Ia langsung menuju ruangan yang sudah dipesan panitia.
Suara musik langsung terdengar ketika ia masuk ke ruangan itu. Langkahnya terhenti sejenak di depan pintu yang sudah tertutup kembali. Mata indahnya memindai seluruh ruangan yang sudah ramai oleh teman-teman seangkatannya semasa kuliah dulu.
“Akhirnya kamu datang, Diana, setelah tidak membaca pesan-pesanku samasekali,” sambut seseorang yang tiba-tiba sudah berada di sisinya.
Diana cukup kaget melihat Denny yang sudah berdiri di sampingnya. Ia benar-benar tidak menyadarinya. Diana mengamati sosok beralis tebal dengan sorot mata tajam bak elang mengincar mangsa. Bibir tipis merah dan seksi. Rahang kokoh serta tegas. Juga satu lagi yang mungkin membuat semua wanita ingin melemparkan diri ke pelukan badan tinggi tegap dan gagah itu, wajahnya yang tampan mempesona. Mata keduanya bersobok, saling mengunci.
5. KEJUTAN TRAGIS
“Denny? Kamu juga datang?” Diana berusaha untuk tenang dari pesona sang mantan.
“Aku juga alumni kampus kita ‘kan?” tegur Denny dengan senyum smirk-nya.
“Hm … iya, sih. Soalnya reuni tahun-tahun lalu kamu gak pernah datang.”
“Belum tertarik, baru kali ini kepengen datang.”
“Pasangannya mana, nih? Kok, laki-laki setampan kamu datang sendiri,” goda Diana berusaha menghilangkan kekakuan antara mereka.
“Udah ada kamu yang jadi pasanganku malam ini, buktinya kamu juga datang sendiri.” Denny tertawa lebar hampir seperti mengejek. Diana bingung mau menjawab apa, untung saja matanya melihat Riska datang menghampiri.
“Wah … ada apa ini? Pasangan harmonis masa lalu hadir bersama malam ini,” ujar Riska sembari menatap kedua temannya bergantian.
“Ah, enggak datang bareng kok, aku juga baru bertemu Denny barusan di sini,” elak Diana sembari memeluk sahabat dekatnya sejak kuliah dulu. Riska tahu banyak tentang hubungannya dengan Denny di masa lalu.
“Yuk, kita duduk di sana, suamiku tuh, udah manggil-manggil.” Riska menggamit tangan Diana dan mengajaknya berjalan ke meja paling pojok ruangan. Suami Riska terlihat sudah ada di sana. Denny kemudian juga berjalan mengikuti di belakang kedua teman kampusnya dulu itu.
Sepanjang acara, Denny selalu menempel pada Diana. Membuat wanita yang kesepian ditinggal suaminya itu merasa kembali ke masa lalu mereka. Ia bahkan lupa dengan statusnya yang sudah menjadi seorang ibu dari empat orang anak yang masih kecil-kecil. Bernyanyi, bergoyang sambil tertawa cekikikan bersama teman-teman lamanya, benar-benar membuat Diana merasa bahagia. Melupakan semua kegundahannya. Hingga tepat pukul dua belas malam acara itu pun usai.
“Aku antar ya, Na.” Denny menatap penuh harap, ketika mereka berdiri di pintu keluar.
Diana tersentak kaget, ketika Denny memanggil nama kesayangannya dulu kala mereka masih pacaran.
“Hm … makasih, Den. Gak usah. Aku bawa mobil sendiri tadi,” tolak Diana sembari melihat jam di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan pukul dua belas lewat. Pesta reuni mereka benar-benar mengasyikkan, sampai Diana lupa melihat jam.
“Udah tengah malam ini, kamu yakin gak takut? Dulu kamu ‘kan penakut sekali.” Denny mencoba mempengaruhi.
“Ah … kamu gitu deh, aku jadi takut benaran ini,” rengek Diana sama seperti dulu. Ia lupa kalau mereka sudah bukan lagi pasangan.
“Mana kunci mobilmu? Jangan bandel, kalau kamu nanti ada apa-apa di jalan bagaimana?” Pria tampan itu menyodorkan tangannya.
Ragu Diana mengambil kunci mobilnya dari dalam tas, lalu menyodorkan ke tangan pria masa lalunya itu. “Mobilmu bagaimana?”
“Kebetulan tadi aku berangkat naik taksi,” jawab Denny sambil menggamit tangan Diana dan mengajaknya melangkah ke lokasi parkir.
Tidak berapa lama kemudian mereka berdua sudah duduk dalam mobilnya Diana yang dikendarai Denny. Sepanjang perjalanan, hanya kebisuan yang hadir di antara mereka. Diana terus memalingkan wajahnya menatap lampu-lampu kota dan kendaraan yang melintas di jalanan yang tampak sedikit lengang. Perjalanan menuju rumahnya menjadi terasa sangat jauh. Udara di dalam mobil juga terasa sangat pekat seolah terhalang gas beracun hingga menyesakkan dadanya.
“Na?” Denny memanggil memecah kesunyian.
Masih dengan posisi yang sama, meski telinganya mendengar Denny memanggilnya, Diana enggan untuk menoleh. Yang ia inginkan adalah mereka segera tiba di rumahnya karena ia terlalu enggan untuk berlama-lama bersama pria masa lalunya itu.
“Kok diam aja, sih?” tanya Denny sembari mengalihkan tatapannya dari jalan di hadapannya. Ujung mulutnya tertarik sedikit ke atas begitu melihat Diana masih saja melihar ke samping jendela.
“Lehermu gak sakit apa, miring terus sejak tadi.” Denny akhirnya gak kuat menahan tawanya.
Diana hanya menghela napas panjang, kepalanya kemudian menunduk, mempermainkan jemari lentiknya.
“Sepertinya kamu terbebani sekali karena aku mengantarmu pulang ya, Na.”
“Gak tahu lah, Den. Aku merasa tidak pantas saja berdua dengan laki-laki bukan suamiku di tengah malam begini,” keluh Diana.
“Beruntung sekali ya, suamimu mendapatkan wanita setia seperti dirimu, Na,” puji Denny tulus.
“Kamu kenapa masih baik begini sama aku, Denny. Padahal dulu aku sudah menyakiti hatimu.” Diana menoleh ke laki-laki yang masih fokus menyetir itu.
“Memang aku sudah terlahir baik kok, Na. Mau bagaimana lagi.” Denny tertawa geli mendengar ucapannya sendiri.
“Aku masih penasaran kenapa kamu belum menikah juga sampai sekarang, Den? Tidak mungkin ada gadis yang menolak pria sepertimu.”
“Sekedar untuk berkencan saja, aku sih gak kehabisan wanita, Na. Cuma untuk menikah, aku belum berminat. Mungkin karena belum menemukan yang benar-benar cocok untukku.” Denny berkata getir.
Diana semakin merasa bersalah mendengar ucapan pria itu. Untung saja rumahnya sudah hampir sampai.
“Den, kita berhenti di simpangan hotel yang itu. Rumahku hanya masuk ke dalam sedikit. Udah gak takut lah.” Diana menunjuk sebuah hotel yang tidak begitu jauh di depan mereka.
“Okey.” Denny melambatkan laju kendaraan, tidak lama kemudian menghentikan mobil Diana di bahu jalan.
“Makasih banyak, ya? Kamu sudah mengantarku sampai ke sini.”
“Gak masalah, Diana. Aku turun dulu,” pamit Denny.
“Iya, Den. Hati-hati.” Diana kemudian juga turun dari mobil untuk berpindah ke belakang kemudi.
Denny melambaikan tangan ketika Diana menjalankan kendaraannya menuju rumahnya.
***
“Diana, aku besok pagi pulang ke Samarinda.”
“Akhirnya kamu pulang juga, Mas. Ini udah hampir dua minggu lho, Mas di sana,” ujar Diana hampir menangis saking senangnya mendengar sang suami yang mengabarinya malam itu.
“Hm … kamu mulai cengeng lagi, yang penting aman semua ‘kan di rumah?”
“Iya, aman semua kok. Besok Mas aku jemput ke bandara, ya? Jam berapa pesawatnya?”
“Gak usah! Aku ‘kan ke bandara Balikpapan dulu, ntar sewa mobil aja ke Samarinda.”
“Oh … gitu?”
“Iya. Sudah dulu kalau begitu. Aku mau beresin barang-barang, soalnya besok naik pesawat paling pagi.”
“Iya, Mas.” Diana menjawab pelan, meski sang suami sudah memutus panggilannya.
***
Keesokan harinya, Diana terlihat penuh semangat menyiapkan makan siang untuk suami tercintanya, sebab tadi pagi sebelum naik pesawat, Reynaldi sempat mengabari kalau sekitar pukul satu siang sudah tiba di Samarinda. Wajah cantik itu tampak berseri-seri. Diana benar-benar sudah rindu pada sang suami, padahal suka mengabaikannya, Diana tetap tidak bisa berpaling dari sosok Reynaldi.
“Duh … gimana sih, Mas Rey, jam segini gak nyampe-nyampe. Padahal udah hampir jam dua,” keluh Diana sembari melihat jam di dinding ruang tengah tempat ia menunggu untuk ke sekian kalinya.
Sudah beberapakali ia mencoba menghubungi ponsel sang suami, tapi tidak diangkat, padahal setelah turun dari pesawat pukul sebelas tadi, Rey masih sempat meneleponnya, mengabari kalau sudah tiba di bandara Balikpapan.
Setengah jam kemudian, Diana yang sedang duduk melamun di sofa ruang tengah, kaget sendiri begitu mendengar ponselnya yang tergeletak di meja berbunyi. Wajahnya langsung riang begitu melihat layar dengan nama ‘Suamiku’ memanggil.
“Mas Rey? Kok lama sekali nyampenya. Katanya tadi jam satu, ini udah hampir jam tiga, lho?” Diana langsung berkicau begitu menerima panggilan dari suaminya itu.
“Maaf, Bu. Apakah benar ini dengan istrinya Pak Reynaldi?”
“Lho? Bapak ini siapa? Kok pakai Hp suami saya?” tanya Diana heran, begitu yang didengarnya bukan suara Reynaldi, tapi suara laki-laki yang tak dikenalnya.
“Kami dari kepolisian, Bu. Maaf kalau harus mengabarkan hal ini, kami harap Ibu yang sabar, ya?”
“Ada apa dengan suami saya, Pak?!” teriak Diana panik, pikirannya sudah ke mana-mana mendengar ucapan polisi yang meneleponnya.
“Mobil yang ditumpangi suami Ibu mengalami kecelakaan di dekat Bukit Suharto dan—"
“Apa?! Kecelakaan? Terus suami saya gimana, Pak? Dia baik-baik saja ‘kan?” Diana berteriak kembali dengan tangis yang kemudian ikut terdengar. Kabar itu benar-benar tidak diduganya sama sekali.
“Maaf, Bu. Suami Ibu meninggal di lokasi kejadian, sekarang sedang di rumah sakit—"
Suara polisi itu belum selesai mengabari tentang suaminya, Diana sudah melorot jatuh pingsan di sofa tempat ia duduk. Ia benar-benar shock mendengar kabar yang disampaikan oleh petugas polisi itu.
6. RAHASIA SUAMI
“Bu, ada apa? Kok Ibu bisa pingsan begini?” Bau minyak kayu putih yang menyengat di hidungnya membuat Diana pelan membuka matanya. Terlihat Sinta, babysitter anaknya berjongkok di sisi sofa tempat ia berbaring. Jane--si bungsu terdengar menangis menjerit dalam troly-nya, mungkin karena sang pengasuh masih sibuk menyadarkan Diana.
Pelan Diana bangkit dari tidurnya, kemudian mulai menangis lagi, begitu teringat akan berita kecelakaan suaminya tadi. Setelah cukup tenang, ia meraih ponsel yang tergeletak jatuh di lantai. Diana memencet kembali nomor suaminya, nomor terakhir yang menghubunginya tadi.
“Hallo, Bu? Anda tidak apa-apa?”
“Dimana sekarang suami saya, Pak?” tanya Diana langsung tanpa menjawab pertanyaan dari polisi yang masih memegang ponsel suaminya.
“Sudah dibawa ke Rumah Sakit AW Syahrani Samarinda, Bu, karena menurut penumpang yang selamat, alamat mereka di kota Samarinda.”
“Memangnya ada penumpang yang selamat, Pak?” tanya Diana heran bercampur bingung. Ia pikir kecelakaan itu mungkin parah sekali sampai suaminya meninggal di tempat. Yang juga membuatnya heran adalah mengapa suaminya bukan lewat jalur tol, malah lewat jalan lama yang memang sering terjadi kecelakaan di sana.
“Ada, Bu. Wanita yang bersama suami Ibu tadi masih sadar ketika kami temukan di lokasi kecelakaan, sekarang dia juga dirawat di rumah sakit yang sama karena lukanya cukup parah.”
“Wanita? Mas Rey semobil dengan siapa? Apa mungkin salah satu karyawannya?” pikir Diana dengan hati yang bergemuruh.
“Hallo, Bu?”
“I-iya, Pak. Saya segera ke rumah sakit sekarang.” Diana langsung memutus pembicaraannya.
***
Diana menatap tubuh sang suami yang terbujur kaku di ruangan jenazah rumah sakit dengan sedih dan hati yang terluka.
“Mas Rey?” Diana memeluk tubuh kaku itu dengan menangis pilu. Meski hatinya diliputi tanda tanya akan wanita terakhir yang bersama suaminya, tapi rasa kehilangannya terhadap lelaki tercintanya lebih membuatnya terpukul. Ia benar-benar tidak menyangka suaminya akan pergi secepat ini.
“Sudahlah, Diana. Ikhlaskan suamimu sekarang. Semua ini kehendak Yang Maha Kuasa. Tidak ada yang mampu menolaknya,” bujuk Ratih--ibunya Diana yang menyusul datang, begitu Diana mengabari orang tuanya sebelum berangkat ke rumah sakit tadi.
“Kita harus segera mengurus jenazah suamimu untuk dibawa ke Surabaya, sesuai dengan permintaan mertuamu ‘kan?” Shabir—sang ayah juga ikut menimpali.
Diana mengangguk pelan mendengar ucapan kedua orang tuanya. Ratih pun kemudian memeluk putri sulungnya yang terus menangis sedih sejak mendengar berita tentang kecelakaan yang menimpa sang menantu.
Malam hari itu juga jenazah Rey dibawa dengan pesawat terakhir menuju kota Surabaya, tanah kelahiran laki-laki yang wafat di usia yang ke-35 tahun itu. Diana mengantar sang suami bersama dua anaknya yang paling besar. Sang ayah ikut menemani. Ibunya untuk sementara akan mengawasi dua anaknya yang masih kecil-kecil di Samarinda.
Jerit tangis keluarga besar mertua Diana langsung terdengar begitu ambulans yang membawa jenazah tiba di rumah besar dan megah milik Hartono Yahya. Sang mertua yang merupakan pengusaha sukses di Surabaya. Lelaki berusia enam puluh lima tahun itu mempunyai beberapa perusahaan yang membuatnya menjadi salah satu orang terkaya di kota Pahlawan itu. Tiga orang putranya mengikuti jejak sang ayah sebagai pengusaha. Bramantyo Yahya—anak sulungnya meneruskan perusahaan leasing-nya, Reynaldi Yahya—putra keduanya memilih bisnis batubara di Samarinda begitu lulus kuliah serta William Yahya—putra ketiganya yang meneruskan perusahaan otomotif yang sudah dirintis sang ayah sejak muda.
Diana dan kedua anaknya hanya terpaku diam menyaksikan keharuan dan kesedihan yang berlangsung di hadapan mereka. Apalagi kedua anaknya yang masih belum mengerti apa-apa. Keduanya menatap bingung akan orang-orang dewasa yang terus bertangisan.
Berapa saat kemudian, jenazah Reynaldi yang sudah dikafani dikeluarkan dari peti jenazah, lalu dibaringkan di kasur kecil yang sudah disiapkan di tengah ruangan yang luas. Keluarga sang mertua dan para kerabat duduk mengelilingi jenazah. Tidak lama kemudian bacaan surat yasin pun terdengar di sela isak tangis dari ibu dan dua orang adik perempuan Reynaldi. Diana dan kedua anaknya pun terlihat duduk di sebelah jenazah.
Esok paginya sekitar pukul sepuluh, jenazah Rey dibawa ke lokasi pemakaman keluarga yang sudah disiapkan sebelumnya. Menjelang waktu zuhur acara pemakaman itu pun selesai dilaksanakan. Pemakaman yang dihadiri oleh banyak orang, termasuk para karyawan perusahaan-perusahaan mereka.
Tiga hari kemudian, Diana pamit kepada mertuanya untuk kembali ke Samarinda karena ia mengkhawatirkan kedua anaknya yang masih kecil-kecil di rumah, meskipun ada ibunya yang ikut menjaga.
Ayahnya sudah terlebih dahulu pulang ke Samarinda, sehari setelah jenazah Rey dimakamkan.
“Diana, apa rencanamu dengan perusahaan suamimu di Samarinda. Apa kamu bisa meneruskan mengelolanya?” tanya ayah mertuanya pagi itu usai mereka sarapan bersama. Hanya ada papa dan mama mertuanya serta Willy--adik suaminya, satu-satunya yang belum menikah. Willy malah sudah dilangkahi oleh dua orang adik perempuannya. Saudara ipar Diana yang sudah berkeluarga, tinggal di rumah mereka masing-masing.
“Hm … aku masih bingung sih, Pa. Mas Rey pergi mendadak seperti ini, tapi ‘kan masih ada Mas Ivan, orang kepercayaan Mas Rey di perusahaannya. Nanti aku bisa sih tanya-tanya dia mengenai perusahaan.” Diana mengusap matanya yang kembali mengembun mengingat lekaki tercintanya yang pergi tanpa pesan apa-apa, malah meninggalkan banyak tanda tanya, terutama tentang wanita yang menemani sang suami diakhir hidupnya.
“Oh iya, si Ivan, kemarin dia juga datang menghadiri pemakaman Rey, cuma papa gak sempat ngobrol sama dia. Nantilah papa hubungi Ivan lagi, biar dia dulu yang ngawasi perusahaan. Mungkin minggu depan papa suruh Bram atau Willy datang ke Samarinda untuk mengatur perusahaan di sana. Tentu saja dengan kamu sebagai pengganti suamimu di perusahaan itu. Kamu pasti bisalah, kamu lulusan sarjana Ekonomi ‘kan?” Hartono menatap menantu kesayangannya itu dengan mata penuh harap.
“Iya, Pa,” jawab Diana singkat. Ia tidak ingin membantah sang mertua. Ia benar-benar belum bisa berpikir jernih saat ini. Dirinya hanya ingin segera pulang ke Samarinda untuk menemui wanita yang masih dirawat di rumah sakit. Hanya itu yang ada di pikirannya saat ini.
***
Diana menatap tajam wajah wanita yang masih terbaring dengan balutan perban di kepala dan gips di kakinya. Diana hanya beristirahat sekitar satu jam di rumahnya begitu tiba di Samarinda. Kini wanita yang masih berduka itu sudah berdiri di hadapan wanita lain yang bersama sang suami saat kecelakaan empat hari yang lalu.
“Diana? Itu kamu bukan?” tanya wanita itu pelan. Meski terlihat pucat, wajahnya yang cantik benar-benar menarik perhatian Diana. Meski ia bisa menilai kalau usia wanita itu sebaya dengan usia suaminya. Dari data pasien yang ia baca, nama wanita itu adalah Rinda.
“Mbak mengenal saya? Kenapa Mbak bisa bersama suami saya saat kecelakaan kemarin?” tanya Diana sambil menatap tajam wanita yang terlihat sering meringis menahan sakit di kepalanya.
“Maafkan aku dan Rey, Diana karena kami tidak pernah cerita tentang hubungan kami selama ini.” Ucapan pelan Rinda bagaikan petir yang menggelegar di telinga Diana.
“Maksud kamu apa? Hubungan apa?!” teriak Diana dengan wajah pucat pasi.
7. TERNYATA ISTRI KEDUA
“Meskipun hanya menikah siri, aku adalah istri pertama Rey. Kami sudah pacaran sejak masih kuliah di Surabaya dulu dan menikah siri dua tahun sebelum Rey menikahi kamu.”
“Apa? Kamu jangan ngawur, ya? Mentang-mentang Mas Rey sudah tiada, kamu mau mempengaruhi saya?” teriak Diana lagi dengan suara bergetar, air matapun sudah hampir luruh dari pelupuk matanya.
“Saya tidak bohong, Diana. Kita sama-sama mencintai orang yang sama. Hubungan kami tidak pernah direstui oleh orang tua Rey karena latar belakang saya yang miskin, makanya aku rela Rey menikahi kamu dulu karena Rey sudah didesak oleh orang tuanya untuk menikahi wanita lain. Kamu adalah wanita sempurna yang memenuhi kriteria istri yang diharapkan oleh orang tuanya.” Rinda memaksakan diri menjelaskan kenyataan yang terjadi kepada Diana yang merupakan istri sah dari suami tercintanya. Airmata pun deras mengalir di pipi pucatnya. Kehilangan Rey juga sangat memukul perasaan wanita berusia tiga puluh lima tahun itu.
Mendengar semua penjelasan dari wanita yang mengaku istri siri suaminya, Diana tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dihempaskan tubuh lelahnya di sofa yang terdapat di ruangan itu. Tanpa malu lagi isak tangisnya pun terdengar di sela-sela tangan yang menutup seluruh wajahnya. Hatinya benar-benar sakit mendengar kenyataan bahwa ternyata ada wanita lain yang dicintai oleh suaminya dan ia hanya sebagai pelengkap dari kekurangan istri pertamanya Rey. Kini Diana baru mengerti, ternyata ini alasan sang suami terlalu dingin dan cuek terhadapnya selama ini. Pantas saja Rey betah di Berau dua minggu, ternyata suaminya itu ditemani oleh wanita yang dicintainya sejak dulu.
“Kamu tidak usah khawatir, Diana. Aku tidak akan menuntut apa-apa atas peninggalan Rey. Kamu dan anak-anak kalian lebih berhak mendapatkan semuanya. Setelah keluar dari rumah sakit ini, aku dan anakku akan kembali ke Malang, kampung halamanku.” Suara Rinda kembali terdengar begitu Diana sudah sedikit tenang.
“Kalian juga sudah punya anak?” tanya Diana pelan sembari mengangkat wajahnya menatap Rinda. Ia sudah tidak kaget lagi atas kejutan-kejutan yang diceritakan oleh istri siri suaminya itu.
“Iya, putra kami sudah berusia sembilan tahun kini. Arsenio berusia dua tahun saat papanya menikahi kamu dulu.
“Mengapa kalian sembunyikan semua ini kepada saya begitu lama? Kalian benar-benar tega!” Diana kembali berteriak kesal.
“Maafkan aku, Diana. Aku yang melarang Rey untuk jujur sama kamu dan orang tuanya, meskipun kami sudah mempunyai seorang putra. Aku gak mau, Rey tidak dianggap sebagai anak oleh orang tuanya. Aku tahu betapa kerasnya orang tua Rey dulu menentang hubungan kami.” Rinda menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya sendiri. “Tolong maafkan juga semua kesalahan Rey, Diana. Agar dia bisa tenang di sisi-Nya. Lupakan juga tentang aku karena hari ini adalah hari pertama dan terakhir kita berjumpa. Kamu masih muda, berusahalah melupakan hal-hal yang menyakitkan hatimu tentang Rey.”
Diana terdiam mendengar ucapan lembut dari kekasih hati suaminya itu. Pantas saja Rey tidak bisa pergi dari wanita itu karena dari tutur kata dan cara bicara Rinda yang lemah lembut, sangat menyentuh hati siapapun yang diajaknya bicara. Tidak seperti dirinya yang suka meledak-ledak dan manja.
***
Diana duduk termenung menatap bunga-bunga mawar yang bermekaran di depan jendela kamarnya. Sudah seminggu ia mengurung diri di kamar. Kepergian Rey begitu mengguncang perasaannya. Apalagi setelah mendengar semua rahasia yang disembunyikan dengan rapi oleh sang suami selama pernikahan mereka. Padahal tujuh tahun bukanlah waktu yang sebentar. Diana benar-benar mengutuk kebodohannya selama ini.
“Mas Rey … kenapa kau sakiti aku seperti ini, Mas ….” Air mata membasahi pipi mulusnya. Isak tangisnya kembali terdengar kala mengingat laki-laki yang sudah mengambil semua cinta yang ada di hatinya. Diana masih saja merasa tidak percaya akan semua kenyataan ini. Bagaimana pun juga ia mencoba untuk berdamai dengan apa yang sudah terjadi, tetapi hatinya masih saja terasa sakit, menyesak seluruh rongga di dadanya.
Suara ketukan di pintu kamarnya tidak membuat Diana menoleh dari tatapannya yang masih terpaku pada kupu-kupu yang beterbangan di sekitar tumbuhan mawar kesayangannya.
“Maaf, Bu, ada tamu mencari Ibu.” Suara Tuti—asisten rumah tangganya yang bicara dari balik pintu akhirnya membuat Diana menoleh.
“Siapa?” tanyanya serak.
“Katanya teman Ibu waktu kuliah.”
Dengan malas Diana bangkit dari duduknya. Ia merapikan sedikit wajah dengan mata sembabnya di depan kaca rias. Lalu, melangkah dengan lunglai keluar kamar. Setibanya di ruang tamu, Diana terpaku menatap sesosok pria yang juga sedang menatapnya dengan senyum lembut di bibir tipisnya.
“Denny? Kamu kok tahu rumahku di sini?” tanya Diana sembari duduk di kursi depan sang tamu yang tak diundang itu.
“Kamu ‘kan pernah kasih tahu waktu itu, kalau rumahmu dekat dari jalan masuk depan sana.”
“Oh ….”
“Aku turut berduka cita ya, Na,” ucap Denny pelan setelah sesaat ruang tamu itu senyap tak ada suara.
“Kamu tahu darimana, Den?” Diana bertanya dengan netra yang kembali mengembun.
“Dari Riska. Kemarin kami bertemu di plaza mulia.”
“Makasih ya, Den. Kamu sudah datang ke sini.” Diana menjawab pelan sembari mengusap matanya pelan.
“Aku hanya ingin melihat kondisimu, Diana. Kamu sudah jauh lebih kurus dibanding dua minggu lalu kita bertemu.” Denny menatap iba wajah Diana yang terlihat pucat.
Diana tidak menjawab, hanya airmatanya yang kemudian menetes kembali di pipinya.
“Sudah cukup kesedihanmu itu, Diana. Kamu harus kuat,” ujar Denny tidak tahan melihat wajah cantik itu terlihat layu dan pucat. Ingin rasanya ia memeluk tubuh wanita yang sedang berduka cita itu.
“Seandainya kamu tahu apa yang sudah Mas Rey lakukan terhadapku, mungkin kau akan tertawa, Den,” ucap Diana dalam hati. Ia sangat malu terhadap pria yang sangat mencintai dan memujanya sejak dulu itu. Yang dengan teganya ia tinggalkan karena tertarik oleh Rey yang lebih dewasa dari mereka.
“Kok sepi, Na. Anak-anakmu pada ke mana?” tanya Denny mengalihkan pembicaraan.
“Mereka sedang di rumah ibuku sejak tadi pagi.”
“Oh ya, gimana kabar orang tuamu, Na?”
“Mereka baik-baik saja.”
“Seandainya kamu bersedia, aku ingin mengajakmu keluar mencari udara segar, Na.” Denny menatap Diana penuh harap. Ia ingin menghibur hati wanita yang masih sangat ia sayangi hingga kini.
8. MENDADAK JADI DIREKTUR
“Maaf, Denny. Aku hanya ingin istirahat di rumah.”
“Oke … baiklah, kalau begitu aku pamit pulang dulu, ya?” Denny langsung berdiri dari duduknya.
“Aku tak bermaksud mengusirmu,” ucap Diana tidak enak hati.
“Aku tahu, Diana. Kebetulan aku juga ada janji sama teman sebentar lagi.” Denny melemparkan senyum menawannya.
“Oh, kirain kamu buru-buru pulang karena ucapanku tadi.” Diana berusaha untuk tersenyum.
“Gak kok. Ya, udah. Kamu istirahat lagi deh, jangan lupa makan, nanti malah kamu sakit kalau terus menerus bersedih kayak gitu,” nasehat Denny. Diana menatap haru mantan kekasihnya yang tidak berubah sedikitpun perhatiannya.
Diana mengantar Denny ke teras, ia melambaikan tangan begitu lelaki gagah itu berlalu dengan mobilnya.
***
“Mas Ivan, kamu pasti tahu tentang Mbak Rinda, istri pertamanya Mas Rey ‘kan? Kalian sama-sama kuliah di Surabaya dulu,” tanya Diana begitu Ivan duduk di depan meja kerjanya kini. Ruangan kerja almarhum suaminya.
“Hm … maaf, Diana. Aku gak mau ikut campur dalam urusan rumah tangga kalian,” jawab Ivan pelan. “Apalagi sekarang Rey sudah gak ada. Saranku, lebih baik kamu lupakan saja segala yang menyakitkan, kenang bagian yang menyenangkan, agar kamu bisa melanjutkan hidupmu kembali.
Diana terdiam mendengar ucapan sahabat sekaligus orang kepercayaan suaminya di perusahaan yang sekarang menjadi tanggung jawabnya kini.
“Iya, Mas. Terima kasih atas nasehatnya. Aku harap Mas Ivan juga bisa membimbing aku untuk meneruskan perusahaan Mas Rey ini ke depannya.” Diana mengulas senyum manisnya untuk pria yang juga masih betah menduda setelah bercerai dengan istrinya setahun yang lalu.
“Jangan khawatir, Diana. Aku juga tidak mau perusahaan yang kami rintis bersama ini akan hancur. Perusahaan ini juga masa depan aku sendiri,” balas pria berwajah keturunan Arab itu dengan tersenyum lembut, menatap janda sahabatnya yang cantik jelita.
“Oh iya, jam berapa Pak Bram mau datang ke sini?” Ivan mengalihkan topik pembicaraan. Ia tidak mau berlama-lama satu ruangan dengan wanita cantik yang duduk di hadapannya itu.
“Hm … sekitar jam dua belas, Mas. Nanti sekalian saja kita makan siang bersama di luar, kalau Mas Bram datang.”
“Oke deh, ada yang perlu ditanyakan lagi gak? Kalau gak ada aku permisi dulu.” Ivan menegakkan tubuhnya dari sandaran kursi, bersiap-siap mau berdiri.
“Udah gak ada sih, Mas. Makasih ya, sudah datang ke sini.” Diana mengulas senyum manisnya.
“Sama-sama, Bu.” Ivan pun membalas dengan tersenyum tipis.
“Eh, tetap panggil namaku aja deh, Mas,” protes Diana tertawa geli. Baru kali ini ia bisa tertawa setelah dua minggu hanya kedukaan yang dirasakannya. Hari ini memang hari pertama ia datang ke kantor peninggalan suaminya.
“Kamu ‘kan atasanku sekarang.” Ivan ikut terkekeh.
“Terserah kamu lah, Pak Ivan.” Diana menimpali dengan mamanggil Ivan dengan sebutan resmi di kantoran.
“Nah, itu udah cocok, panggil Ibu dan Pak,” ucap Ivan sambil berdiri dari duduknya dengan tersenyum lebar.
***
“Mulai hari ini jabatan Direktur di perusahaan ini dipegang oleh Ibu Diana Angelina dan Pak Ivan Sanjaya menempati posisi sebagai General Manager.” Bramantyo Yahya—kakak tertua dari almarhum Reynaldi menyampaikan di hadapan para manager dan kepala divisi yang bertempat di ruangan meeting perusahaan yang diadakan sekitar pukul dua siang.
“Kami dari jajaran Direksi mengharapkan semoga perusahaan ini tetap berjalan lancar dan berkembang seperti ketika masih dipimpin oleh almarhum adik saya. Saya harap Bapak dan Ibu semua juga tetap terus bekerja dengan baik dan bersungguh-sungguh.” Bram melanjutkan pidatonya. Gayanya yang tegas sama persis seperti gayanya Rey kala memimpin meeting dengan para karyawannya.
Diana pun kemudian memberikan salam perkenalannya di hadapan semua yang hadir di ruangan meeting tersebut. Penampilannya yang cantik dan menarik membuat beberapa pria di ruangan itu menatap kagum. Ditambah lagi dengan gaya bicaranya yang pintar dan berkelas. Bram dan Ivan pun merasa puas akan performance dari penerus Direktur di perusahaan tersebut.
***
Hari-hari terus berlalu dan dilewati Diana tanpa terasa. Rasa kehilangannya terhadap sang suami juga sedikit demi sedikit bisa berkurang. Apalagi kesibukan barunya sebagai Direktur di perusahaan peninggalan suaminya itu, bisa mengalihkan kesedihan dan kedukaannya atas kepergian Reynaldi. Diana tidak terlalu mencampuri ke dalam operasional perusahaan, ia percaya Ivan mampu menangani semua yang berhubungan dengan pengembangan perusahaan, baik di dalam perusahaan maupun di lapangan. Diana hanya mengawasi dari segi administrasi dan keuangan saja.
Tiga bulan pun berlalu. Selama itulah Diana melewati malam-malam sepinya sendiri. Meskipun terlambat mengetahui bahwa suaminya ternyata juga milik wanita lain, tetapi Rey selama ini juga selalu ada di sisinya setiap malam. Alasan ke luar kota pun juga tidak pernah lama. Sekarang Diana baru sadar, mungkin ketika sang suami pamit ke luar kota adalah untuk mengunjungi anak dan istrinya yang lain.
“Ah, untuk apa lagi aku harus mengingat-ngingat semua itu,” keluh Diana gusar. Ia kemudian berusaha memejamkan mata. Dipeluknya Kellan dan Jane yang sejak suaminya meninggal, kembali diajak tidur bersamanya. Ia memang selama ini membiasakan semua anak-anaknya belajar tidur di kamar masing-masing setelah memberi mereka ASI selama enam bulan. Tentu saja dengan babysitter mereka yang menjaga.
Usaha Diana untuk tidur ternyata tidak berhasil, ia meraih ponsel di atas nakas dan melihat jam di sana, pukul 22.45. Pelan Diana bangkit dari ranjang dan berjalan ke sofa yang terdapat dalam kamarnya. Dibukanya layar ponsel. Terlihat banyak chat tadi siang yang belum dibaca. Salah satunya dari sang mantan pacar yang terus berusaha mengejarnya lagi setelah Diana menjadi janda tiba-tiba.
Teman Lama
Na, udah makan siang belum?
Aku telepon kok gak diangkat sih?
Na, kita ketemuan, ya? Aku ingin tahu kabarmu.
Na?
Ok, kalau kamu terus cuekin aku, jangan salahkan
kalau aku akan melanggar laranganmu.
Diana menghela napas panjang, mengingat Denny yang tiada bosan mengiriminya pesan tiap hari. Laki-laki itu juga sudah tidak sabaran ingin bertemu. Diana memang meminta Denny jangan menemuinya dulu sekitar tiga bulan ini karena ia butuh waktu untuk menata hatinya kembali usai ditinggal pergi selama-lamanya oleh Rey. Apalagi kesibukannya di kantor peninggalan suaminya, benar-benar membuat waktu Diana cukup tersita.
“Denny? Apa yang harus aku lakukan untuk menghindar dari dia. Aku tidak percaya diri dengan status janda beranak empat begini untuk memulai kembali berhubungan dengan laki-laki yang belum pernah menikah seperti Denny,” pikir Diana dengan hati resah.
Sebenarnya ia juga tidak kuat untuk lama-lama hidup sendiri. Sejak Rey meninggal, ia berusaha mati-matian untuk tidak memikirkan kehangatan-kehangatan malam yang dulu dilaluinya bersama sang suami. Ia kadang kesal sendiri akan hasratnya yang terlalu bergairah untuk itu. Dulu suaminya juga suka geleng-geleng kepala melihat Diana yang tiada bosan meminta nafkah batinnya. Laki-laki sedingin Rey pun jadi tidak berdaya jika istri cantik dan seksinya itu beraksi.
***
Diana bangun di pagi hari itu dengan kepala sedikit pusing, baru sekitar pukul satu dinihari ia bisa tertidur. Bergegas ia bangkit menuju kamar mandi dan mengguyur seluruh tubuhnya dengan air dingin. Kesegaran kembali menghampirinya setelah itu.
Wanita tiga puluh tahun itu kemudian memulai aktifitasnya sehari-hari. Sarapan bersama Tian dan Kevin, sebelum kedua anaknya itu berangkat sekolah. Sejak mulai bekerja di kantor peninggalan suaminya, Diana sudah mempekerjakan seorang sopir untuk mengantar dan mengawasi kedua anaknya di sekolah. Leo—saudara sepupunya sendiri yang baru lulus SMA, kebetulan melanjutkan kuliahnya pada malam hari. Diana cukup merasa aman melepas pengawasan anak-anaknya pada adik sepupunya itu.
Sebelum berangkat ke kantor, Diana masih menyempatkan waktu sekitar satu jam bermain bersama kedua anaknya, Kellan dan Jane. Sekitar pukul sembilan baru ia berangkat ke kantor dengan mobil mewah yang dipakai suaminya dulu.
Kegiatan Diana di kantor hanya menanda tangani dan otorisasi semua pembayaran tagihan-tagihan yang diajukan oleh divisi keuangan. Juga memeriksa semua laporan kas dan bank yang rutin diserahkan setiap pagi kepadanya. Untuk itu Ia hanya butuh bertemu dengan beberapa orang saja di kantor. Yuli—Kepala Administrasi dan Keuangan, Yosep--Kepala bagian pajak serta Ivan—sang General Manager tentunya.
Ketika jam istirahat dan makan siang, Diana lebih memilih pulang ke rumah, sekalian memantau anak-anaknya. Sejak Diana mulai bekerja, orang tuanya pun hampir tiap hari menyempatkan datang berkunjung ke rumahnya. Ayah dan ibu Diana merupakan pensiunan pegawai negeri yang cukup punya banyak waktu senggang untuk berkunjung dan bermain bersama para cucunya setiap hari. Apalagi jarak rumah mereka tidak terlalu berjauhan, hanya sekitar tiga kilometer saja.
Diana baru saja akan menjalankan mobil ketika tiba-tiba ponselnya berbunyi. Terlihat di layar ponsel, Denny yang memanggilnya. Diana tidak menjawab, hanya membiarkan saja. Ia tidak tahu harus bagaimana menghadapi Denny yang terus mengejarnya. Tidak lama kemudian ponsel itu pun diam. Namun, kemudian terdengar notifikasi whatsapp-nya.
Teman Lama
Aku OTW ke rumahmu.
9. DILAMAR
Buru-buru Diana memencet panggilan untuk mantan kekasihnya itu, ia tidak ingin bertemu Denny di rumahnya. Ia seorang janda kini, ia tidak mau dulu menerima tamu laki-laki sementara ini.
“Hallo, Na. Akhirnya Hp-mu bisa menghubungiku juga.”
“Iya, hallo, Denny.”
“Kamu di rumah ‘kan?”
“Nggak, aku sedang di luar rumah,” jawab Diana cepat.
“Bagus kalau begitu, kita makan siang bareng, ya?”
“Hm … lain kali gimana?” Diana masih mencoba menghindar.
“Kenapa Diana? Kamu terus menghindariku?”
“Bu-bukan begitu, Denny. Aku benar-benar sibuk sekarang.” Diana mencoba mencari alasan.
“Aku ingin bertemu kamu sekarang, ada yang ingin aku bicarakan. Aku tidak akan menghubungi dan menemuimu lagi setelah ini.”
“Hm … baiklah, di mana kita bertemu?” Diana akhirnya mengalah. Ia berharap setelah ini Denny benar-benar berhenti mengejarnya.
“Bagaimana kalau di rumahku saja, di Perumahan Pesona Mahakam.”
“Oke, kirimkan alamatnya.” Diana memutus panggilan dari Denny. Lokasi kantornya yang di komplek Mahakam Square, cukup dekat ke alamat yang langsung dikirim Denny ke ponselnya.
Hanya sekitar lima belas menit Diana tiba di lokasi perumahannya Denny. Terlihat pagar rumah sudah terbuka dan ada mobil Denny yang dikenalnya terparkir di halaman. Diana memarkir mobilnya di depan pagar rumah. Sesaat ia menenangkan diri, lalu melangkah turun dari mobil. Degup jantungnya kian lama kian berpacu kencang saat langkahnya sudah berdiri di depan pintu rumah itu. Sungguh, Diana tak pernah segugup ini sebelumnya.
Dengan tangan sedikit gemetar, ia memencet bel yang terpasang di pintu. Hanya sesaat Diana menunggu sampai pintu di depannya terbuka. Menampakkan Denny yang berdiri dengan segelas minuman di tangannya.
“Masuklah!” suruh Denny dengan melebarkan daun pintu.
Diana melangkah masuk, kemudian duduk di kursi tamu. Pandangan Diana mengedar menyisiri seluruh ruangan. Isi rumah itu terlihat mewah. Meski warna hitam dan putih mendominasi penuh, namun tatanan yang begitu epic membuat tempat tersebut sangan apik untuk dilihat.
“Kamu mau minum apa, Na?” Denny menawarkan.
“Tidak, terima kasih.” Diana tidak ingin berlama-lama di tempat itu, meski harus ia akui tempat tersebut lebih dari menyenangkan. “Jadi katakan, apa tujuanmu menyuruhku kemari?”
Denny yang baru meneguk minuman cola-nya hingga tandas, menatap wanita cantik itu sekilas. Kemudian mengisinya kembali dari botol yang terletak di meja ruang tamu itu.
“Rupanya kamu sudah tidak sabar dengan apa yang akan aku katakan, Diana.”
Perempuan yang disebut namanya hanya bisa menatap si pria tak berkedip.
“Katakan saja apa yang ingin kamu beritahu padaku, sebentar lagi aku harus kembali ke kantor!”
“Aku ingin melamarmu menjadi istriku.” Denny dengan tenang mengucapkan kata-kata itu, tetapi yang mendengar terperanjat dengan mata membola.
Beberapa saat Diana tidak bisa berkata apa-apa. Sungguh tak disangkanya, Denny akan melamarnya seperti ini. Wanita yang baru menjanda selama tiga bulan itu hanya diam terpaku menatap lelaki yang juga tengah menatapnya tajam. Ia kemudian mengerjapkan mata dan menelan saliva yang tiba-tiba terasa seret di tenggorokan.
“Sepertinya kamu butuh minum, Na.” Denny dengan tersenyum menuangkan coca cola soft drinks yang di atas meja ke dalam gelas kosong yang memang sudah disediakannya untuk sang pujaan hati.
“Nih, minumlah,” ujar Denny sembari menyodorkan gelas bertangkai lancip itu.
Diana menyambut gelas itu, kemudian meneguknya sedikit.
“Hm … jadi bagaimana dengan lamaranku tadi? Masa iddahmu ‘kan sudah berakhir, aku ingin menjadi suamimu secepatnya,” lanjut Denny to the point.
“Den … kamu sudah pikirkan masak-masak belum? Aku tuh janda dengan anak empat lho? Bagaimana dengan tanggapan orang tuamu nanti? Teman-temanmu?” cecar Diana usai menenangkan diri dari desakan laki-laki di depannya itu.
“Oh, tentu dong, Na. Bagi diriku sendiri, tidak ada yang perlu kupertimbangkan lagi. Sejak ketemu kamu kembali empat bulan yang lalu, aku benar-benar menyadari bahwa ternyata hanya kamu yang bisa membuat hidupku bergairah kembali. Aku laki-laki dewasa sekarang, Na. Aku gak butuh pertimbangan orang lain terhadap keputusanku ini.” Denny bicara tegas dan penuh percaya diri. Sangat berbeda dengan Denny yang dikenal Diana dulu kala masih pacaran.
“Masalahnya kamu itu bujangan, Den. Kamu pantas mendapatkan wanita yang masih gadis. Terus terang aku tidak percaya diri bersanding sama kamu lagi dengan statusku sekarang. Beda hal mungkin seandainya aku belum punya anak sebanyak ini.” Diana masih berusaha menolak permintaan Denny yang menurutnya tidak masuk akal.
“Kalau masalah berhubungan dengan wanita aku sudah cukup puas, Na. Aku ingin mengakhiri petualanganku sama wanita-wanita itu, karena aku tidak pernah bisa mencintai mereka seperti aku mencintaimu seperti dulu. Please, bantu aku untuk mengakhiri kehidupan yang gak benar ini, Na.” Denny beranjak duduk di kursi panjang yang diduduki Diana. “Menikahlah denganku, Na,” lanjut Denny sambil meraih tangan Diana, lalu menciumnya penuh perasaan.
“Tapi, Den … aku butuh waktu untuk memikirkan semua ini, aku juga gak mau kamu menyesal nanti setelah menikahi aku.” Diana menarik pelan tangannya yang digengam erat oleh laki-laki yang duduk dekat di sampingnya itu. Aroma mint yang maskulin dari tubuh tegap itu, membuat Diana menjadi susah bernapas, apalagi sentuhan Denny di tangannya, terasa ada kehangatan yang mengalir di tubuhnya semakin tak tertahankan.
“Waktu sebulan ke depan, cukup buatmu memikirkan permintaanku ini, Na. Aku tahu sekali type wanita sepertimu.” Denny mengunci mata Diana dengan mata elangnya.
“Maksudmu apa, Den?” tanya Diana sedikit gugup.
“Kamu tidak akan sanggup hidup tanpa kehangatan laki-laki untuk waktu yang lama, kamu butuh suami secepatnya, Na.”
Tanpa sadar mulut Diana terbuka karena kaget. Ia tidak menyangka Denny begitu terus terang mengungkapkan semua itu, membuat wajah Diana kemudian memerah. Mantan pacarnya itu benar-benar menembak tepat sasaran apa yang dirasakannya selama tiga bulan terakhir ini.
Denny tidak melepaskan momen itu, wajahnya tiba-tiba sudah mendekat ke wajah Diana yang masih melongo. Bibir merah dan seksi itu sangat menggoda hati laki-laki berusia tiga puluh tahun itu untuk kembali ingin mengecupnya seperti yang sering mereka lakukan ketika pacaran dulu.
To be continou …
Hasrat Cinta Pertama 2 (Bab 10-15)
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
