
Erin, seorang perempuan yatim piatu pekerja kantoran yang tinggal bersama adiknya, usai ditinggal pergi Kakek yang menjaga mereka sedari kecil untuk selama-lamanya. Demi memenuhi kebutuhan hidup dan menabung untuk biaya kuliah adik, Erin melupakan hasratnya untuk resign dengan menyibukkan diri di kantor bersama sahabatnya, sembari berhadapan dengan Pak Bos yang kerap memarahi dan menegurnya. Suatu hari, Erin menemukan Pohon Raksasa yang membawanya ke dunia ajaib. Di Pohon Raksasa ini, Erin mengalami...
Bab 1
Pertemuan Pertama ?
Di Apartemen,
Rabu, 5 Maret 2014, Pukul Enam Pagi,
"Duh, mana sih bukunya? Dek! Dek! Novel Kakak di mana sih?" teriakku, memecahkan keheningan pagi demi mencari sesuatu yang 'hilang'.
"Cari apa sih, Kak? Berisik banget pagi-pagi," gerutu Salma, Adik semata wayangku dengan matanya yang baru terbuka setengah memasuki kamarku.
"Dek, kemarin pinjem novel Kakak yang judulnya 'Jendela Warna Cokelat 'kan, itu di mana? Temen Kakak udah nagih, gak enak, pinjemnya kelamaan," tanyaku tanpa titik koma, tidak menyadari bahwa ini masih pukul enam pagi.
"Hah? Novel yang mana Kak?" tanya Salma dengan rambut terurai acak dengan wajah bingung.
"Dih, 'kan Adek yang pinjem. Masa lupa? Dua minggu yang lalu Adek ke kamar Kakak, lihat novel itu di meja, terus Adek pinjem," desakku berharap agar jiwa Adikku segera kembali ke dunia nyata.
"Oh, novel itu. Aduh, Adek taro di mana ya? Sepertinya sih di lemari, eh atau Adek bawa ke sekolah Kak. Eh, apa gak jadi ya?" Salma kebingungan.
"Ihs, cari dulu sana. Pokoknya novelnya mesti dibalikin hari ini," titahku.
"Iya, iya," Salma berlari meninggalkan kamar.
Duh, kalo novelnya hilang, gimana nih? Masa aku harus ganti? Huhu, gumamku dalam hati sembari mencari kembali di lemariku.
Ah! Komik-komik zaman kuliah dulu ternyata masih kusimpan rapi. Masih teringat jelas kala sekolah, Kakek tidak mengizinkanku membaca komik, namun aku tetap menyelipkan komik di tengah-tengah buku pelajaran. Namun suatu hari, kutemukan salah satu komikku berada di tempat sampah. Sakit rasanya karena harga komik lumayan untuk kantong jajanku saat itu. Sejak hari itulah, aku tak pernah lagi membawa komik pulang ke rumah lagi. Selain komik, kutemukan juga beberapa album kliping -ku(Guntingan potongan yang diambil dari majalah dan disusun dalam buku atau karton) di lemari.
Ternyata ada selembar foto berwarna kecokelatan menyembul keluar dari salah satu album klipingku.
Foto lawasku bersama Kakek di sebuah Taman...
Taman yang cantik. Tapi ini di mana ya? Sepertinya aku kenal taman ini, ucapku dalam hati yang tetiba kangen Kakek ku.
"Kak! Adek ketemu novelnya. Hore! Ini Kak," teriak Salma menerobos kamarku.
"Aduh untung ketemu. Bikin panik Kakak aja ih," kupegang erat novel itu, kemudian mengenakan blazer cokelat pemberian Kakek dan membawa tas selempang cokelat kesukaanku.
"Ya maaf Kak. Tapi Adek udah selesai baca kok dan novelnya bagus banget Kak. Terharu Adek bacanya," ujar Salma, satu-satunya keluargaku. Karena sejak aku kuliah, Salma ikut denganku dan tinggal di Jakarta.
"Emang tentang apa? Kok bisa terharu?" tanyaku sambil menyisir rambut sebahuku yang berwarna kuning di ujung rambut.
"Ya tentang cowo yang pisah dengan cewenya. Sedih deh pokoknya Kak,"
"Ngawur, ceritanya tentang keluarga besar yang tinggal di d berjendela cokelat, judul novelnya aja 'Jendela Warna Cokelat'. Gimana sih?" aku sambil menggeleng-gelengkan kepalaku.
"Ooh gitu. Eh Adek uda telat Kak. Adek mandi trus berangkat ke sekolah ya Kak. Dah Kakak," Salma terburu-buru kembali ke kamarnya.
"Hati-hati ya Dek nanti," balasku.
Kupandang kembali foto lawas itu.
Fotoku bersama Kakek, Kakek yang merawatku sedari kecil bersama Salma dengan peluh keringatnya sendiri, sepeninggal Ibu dan Ayah dalam kecelakaan mobil di hari itu.
Di Kantor Kesayangan,
Pukul 09.40,
"Erin, jadi 'kan Sabtu ini nemenin gue joging?" tanya Wenny, rekan kantorku yang selalu mengenakan baju oversized dan meja kerjanya berjauhan dengan meja kerjaku.
"Hmm, jadi gak ya, soalnya gue..." aku terhenti dan sontak dibalas dengan tatapan Wenny yang kaget dengan bola matanya yang bulat sempurna.
"Iya iya. Jadi," jawabku tak tega melihat tatapannya.
"Asyik. Kita ketemuan di meeting point jam tujuh teng ya. Ntar gue share loc di hari H, jangan telat ya," ujar Wenny dengan binar cahaya yang terpancar jelas di wajahnya.
"Siapp!" jawabku cepat.
Hari H, Di Taman Suropati,
Sabtu, 8 Maret 2014, Pukul 6.15 Pagi,
"Morning, Erin dear, kita ketemuan di Taman Suropati ya. Ini gue share loc. Takut elo nyasar :p. Gue uda otw ya," pesan dari Wenny kuterima pagi itu.
"Ok. C u there," balasku singkat kemudian melanjutkan membereskan rumah dan segera berangkat.
"Erin, kok lama banget sih?" sapa Wenny ketika kami bertemu di depan Taman Suropati.
"Sorry, gue terkena lampu merah terus," aku berusaha menerangkan.
"Ya sudah, yuk kita joging," ujar Wenny yang sudah tidak ngambek lagi.
"Heh? Joging? Bukannya gue nemenin doang ya?" tanyaku protes.
"Iya, nemenin. Berarti sama-sama joging 'kan?" jawab Wenny dengan santai layaknya di pantai.
Sial, aku dijebak, padahal aku hanya ingin berleha-leha di taman saja, protesku dalam hati.
"Ayo semangat! Jangan cemberut begitu dong," rayu Wenny sambil menggandeng lenganku.
Kami pun memasuki Taman Suropati yang langsung menyambut kami dengan hawa sejuk nan segar yang menerobos merasuki paru-paru kami.
Suasana Taman Suropati tidak seperti taman kota metropolitan pada umumnya, yang hawanya dikitari oleh kepulan asap rokok, deru bising motor, pemandangan yang dituangkan lewat goresan pena di bangku taman, derit ayunan yang telah berkarat, sungguh membuat hati tidak nyaman untuk menikmati taman.
Namun, di Taman Suropati, semua seolah menjadi senyap, ibarat berada di dalam kubah raksasa yang sejuk dan kedap suara. Hawa asap rokok, suara hingar bingar motor, serta suara derit ayunan berkarat semua lenyap tak berbekas. Bagaikan memasuki dunia berbeda, menenangkan jiwa dan sanubari.
Birunya air dan cantiknya kolam air mancur menyambut kami dengan hangat, dan dalam sekejap, mata kami menjadi sejuk. Semakin mendorong kaki kami untuk terus melangkah menjelajahi kubah raksasa ini. Pohon demi pohon, kesejukan dan kesejukan, burung-burung merpati, tanaman-tanaman beserta hamparan rumput yang hijau memanjakan mata turut menyapa kami.
Tak lama kemudian, sampailah kami di depan Pohon besar di tengah-tengah Taman Suropati ini. Sang Pohon bernama Mahoni, terlihat dari papan kecil disebelahnya yang menuliskan nama dan sejarahnya. Mahoni berasal dari Benua Hindia Barat, dengan bawaan dari lahir yaitu ukurannya yang amat besar bahkan menurut ahli pertanaman, Mahoni dikenal dengan nama lainnya yaitu Pohon sejuta faedah.
"Woah!" aku menengadahkan kepalaku terkagum menatap Mahoni usai membaca sejarah singkatnya.
"Erin, ngapain? Bengong?" Wenny membuyarkan lamunanku.
"Eh iya. Ini Pohon Besar banget yak,"
"Gue dulu pernah nulis tentang Mahoni, di mana Mahoni adalah pohon yang bermanfaat dari daun, kulit, sampai batangnya. Daunnya dapat menyerap 60 persen polusi udara, tidak heran udara di Taman ini segar 'kan? Trus kulitnya bisa menjadi pewarna pakaian yang gak akan luntur, dan batangnya yang kuat bisa menjadi perabot bernilai jual tinggi. Menurut cerita anak, Pohon Mahoni selalu menjadi pelindung bagi tanaman kecil, bahkan banyak hewan yang menempati Mahoni untuk berlindung dari kekejaman alam. Trus, Mahoni itu ya,..." cerita Wenny panjang lebar seolah telah bersahabat lama dengan Mahoni.
Ah ternyata kamu sangat mengagumkan, kagumku dalam hati bersama sepasang mata yang tak lepas dari Mahoni.
"Ayo lanjut joging lagi," Wenny yang gemar membuyarkan lamunanku karena tidak pernah senang melihatku melamun.
"Eh gue di sini dulu deh, mo foto-foto Mahoni," ujarku cepat.
"Ya udah. Ntar nyusul ya, awas kalau gak,"
"Iya, iya," kataku sembari mengeluarkan handphone dari sakuku.
Aku langsung melihat hasil jepretanku dan seketika pikiranku terbawa ke suatu masa.
Masa di mana aku dan Kakek berfoto di depan Mahoni..
~~~~~~~~
Terima kasih sudah membaca bab ini ya ^_^!
Jangan lupa klik Suka dan tuliskan pendapatmu di komentar ya.
Bab selanjutnya akan hadir segera! ❤️
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰