Menjadi Istri Kedua Setelah Bercerai. Bab 8.

1
0
Deskripsi

Elma tidak jadi turun dari mobil Luthfi. “Ada apa?” tanya Elma.

 

“Sini telepon seluler kamu.” Luthfi menengadahkan telapak tangannya meminta telepon seluler Elma.

 

“Untuk apa?” tanya Elma dengan kening berkerut.

 

“Pokoknya siniin telepon selulernya!” ujar Luthfi dengan memaksa.

 

Elma menghela napas. Elma mengeluarkan telepon seluler miliknya dari dalam tas lalu ia berikan kepada Luthfi. Luthfi mengetik sesuatu di layar telepon seluler milik Elma. Dalam hitungan detik terdengar suara dering telepon masuk di telepon seluler milik Luthfi.

 

“Kalau sudah selesai telepon aku, ya! Nanti aku jemput.” Luthfi mengembalikan telepon seluler milik Elma.

 

“Nggak usah dijemput. Aku pulang naik ojek.” Elma masukkan telepon seluler ke dalam tas.

 

“Jangan, dong! Kamu kan perginya sama aku, pulangnya juga harus sama aku,” ujar Luthfi. Hari ini ia rela menjadi supir Elma.

 

Elma menghela napas. “Ya, sudah. Nanti aku telepon kalau aku sudah selesai.” Akhirnya Elma menuruti perkataan Luthfi, daripada terus berdebat dengan Luthfi. Bisa-bisa ia telat masuk ke ruang sidang.

 

Luthfi tersenyum mendengar perkataan Elma. “Nah, begitu dong,” ujar Luthfi.

 

“Sudah. Aku turun, ya.” Elma keluar dari mobil, namun ia berpas-pasan dengan Fadil. Fadil kaget melihat Elma yang baru keluar dari mobil. 

 

“Elma.” Fadil memanggil Elma, namun Elma mengacuhkan Fadil. Elma menutup pintu mobil lalu melambaikan tangan ke Luthfi. Luthfi membalas lambaian tangan Elma. Fadil menoleh ke arah mobil ia melihat Elma diantar oleh seorang pria. Wajah Fadil berubah menjadi kesal ketika melihat Elma diantar oleh seorang  pria. Mobil Luthfi meluncur meninggalkan kantor pengadilan agama.

 

Fadil mendekati Elma. “Kamu diantar siapa?” tanya Fadil.

 

“Bukan urusan Mas Fadil,” jawab Elma. Ia masuk ke dalam kantor pengadilan agama. Fadil langsung mengejar Elma. 

 

“Elma!” Fadil memegang lengan Elma dengan erat.

 

“Lepaskan! Jangan sentuh saya!” Elma menghentakkan tangan agar Fadil melepaskan tangannya.

 

“Kamu istri saya, tapi kamu diantar oleh laki-laki lain!” seru Fadil dengan kesal. Ia tidak melepaskan pegangannya.

 

“Terserah saya mau diantar siapa saja. Bukan Urusan Mas Fadil!” jawab Elma.

 

“Lebih baik Mas Fadil urusin istri Mas Fadil! Jangan sampai perempuan yang tidak tahu diri itu menggunakan semua barang-barang milik saya. Saya tidak rela harta milik saya digunakan oleh perempuan itu. Termasuk mobil milik saya!” lanjut Elma.

 

Fadil hanya diam mendengar kata-kata Elma. Ia merasa tersindir dengan perkataan Elma. Selama ini ia berpergian bersama Fitri menggunakan mobil itu karena Fitri tidak mau menggunakan motor. Pegangan tangan Fadil mulai mengendor, Elma langsung menipis tangan Fadil. Ia pun berjalan meninggalkan Fadil.

 

Sidang pertama hakim berusaha mendamaikan Elma dan Fadil. “Saya tidak ingin menceraikannya, Yang Mulia. Saya masih mencintainya,” kata Fadil di depan hakim.

 

“Saya tidak mau rujuk. Dia sudah menikah lagi dengan perempuan lain tanpa ijin dari saya, Yang Mulia,” kata Elma kepada hakim.

 

“Apakah saudari Elma mempunyai bukti?” tanya hakim.

 

“Saya punya, Yang Mulia.” Elma membuka tas lalu mengambil telepon seluler dari dalam tas. Ia memberikan foto yang berada di telepon seluler kepada hakim. Elma memperlihatkan foto yang dikirim oleh Angga. Hakim melihat foto yang berada di telepon seluler.

 

“Apakah ini benar foto pernikahan anda, saudara Fadil?” Hakim memperlihatkan foto tersebut kepada Fadil. Fadil memperhatikan foto tersebut. Seketika ia kaget melihat foto pernikahannya dengan Fitri ada di telepon seluler Elma.

 

‘Darimana Elma memiliki foto ini?’ tanya Fadil di dalam hati.

 

‘Padahal aku tidak mengatakan tentang pernikahan ini kepada orang tua Elma,’ kata Fadil di dalam hati. Fadil menoleh ke Elma, Elma tersenyum licik kepada Fadil.

 

Proses mendamaikan Elma dan Fadil berjalan alot. Masing-masing keras dengan pendiriannya. Sehingga hakim memutuskan untuk dilanjutkan minggu depan. Elma lebih dahulu keluar dari ruangan hakim. Fadil langsung menyusul Elma.

 

“Elma.” Fadil memanggil Elma. Namun, Elma tidak memperdulikan panggilan Fadil. Ia terus saja berjalan keluar dari gedung pengadilan agama. Fadil berusaha mensejajari langkahnya dengan Elma.

 

“Elma. Bisa kita bicara sebentar?” Fadil yang berjalan di sebelah Elma.

 

“Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi, Mas. Keinginan saya untuk bercerai sudah tidak bisa diganggu gugat lagi,” ujar Elma tanpa menoleh ke arah Fadil. Ia terus memandang ke depan.

 

“Kamu ingin bercerai karena laki-laki itu?” tanya Fadil. Elma berhenti berjalan setelah mendengar pertanyaan Fadil. Ia menoleh ke arah Fadil dengan wajah kesal.

 

“Mas Fadil kan tahu mengapa saya ingin bercerai dengan Mas Fadil? Jadi jangan membawa orang lain dalam masalah ini. Luthfi tidak ada hubungannya dengan perceraian kita!” seru Elma.

 

“Oh, jadi laki-laki itu bernama Luthfi.” Fadil menatap Elma dengan tajam.

 

Tiba-tiba telepon seluler Elma berdering. Elma mengambil telepon seluler dari dalam tas. Di layar telepon seluler tertulis nama ‘Supir Taksi Kesayangan’. Elma mengerutkan keningnya ketika membaca tulisan itu.

 

‘Siapa yang menyimpan nomor telepon seperti ini?’ tanya Elma di dalam hati.

 

Fadil memperhatikan raut wajah Elma yang sedang melihat layar telepon seluler. Fadil penasaran siapa yang menelepon Elma. Elma memperhatikan foto si penelepon. Ternyata yang menelepon Elma adalah Luthfi.

 

“Yah,” keluh Ema setelah tahu siapa yang menelepon.

 

Fadil tambah penasaran ketika melihat reaksi Elma. Elma menjawab telepon tersebut.

 

Assalamualaikum,” ucap Elma. Kemudian Elma diam mendengarkan lawan bicaranya di telepon.

 

“Iya, aku sudah selesai. Aku baru mau pulang,” kata Elma. Lalu Elma diam kembali mendengarkan lawan bicaranya.

 

“Aku ke depan sekarang.” Elma mengakhiri pembicaraannya lalu ia berjalan. Namun, tiba-tiba ia berhenti dan menoleh ke Fadil. Ia menatap tajam ke arah Fadil.

 

“Saya harap, Mas Fadil segera menjual mobil itu! Saya tidak ingin mobil saya dinaiki oleh perempuan itu. Pokoknya saya tidak rela. Saya bekerja susah payah untuk bisa membeli mobil itu. Tapi perempuan yang lain yang naik mobil itu,” kata Elma dengan tegas.

 

“Mas tidak akan menjual mobil kita. Ada banyak kenangan kita di mobil kita,” ujar Fadil. Banyak kenangan manis Fadil dan Elma di mobil itu. Mobil yang mereka beli dari hasil jerih payah mereka berdua. Mereka berangkat dan pulang kantor bersama dengan menggunakan mobil itu. Mereka juga berkencan di mobil itu layaknya seperti sepasang kekasih yang sedang dilanda cinta.

 

“Lagipula surat-surat mobil itu ada di tangan kamu. Mas tidak bisa menjual mobil itu.” Fadil tersenyum karena ia tidak bisa menjual mobil tersebut.

 

“Kamu tenang saja Fitri tidak pernah naik mobil itu lagi. Mas menggunakan motor jika pergi berdua dengan Fitri. Mobil itu hanya Mas gunakan kalau Mas pergi sendiri.” Fadil berusaha meyakinkan Elma agar Elma tidak terus memaksa untuk menjual mobil mereka.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Puber Kedua Sang Letnan Jendral. 39. Pergi Ke Rumah Sakit - 40. Lapar. - 41. Perjalanan Menuju Boston 1
0
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan