Mereka Panggil Saya Anjing Nippon

0
0
Deskripsi

Tanpa pilihan Samuel harus menghambakan diri pada tentara-tentara Nippon. Dia menjadi saksi semua kejahatan perang yang dilakukan di masa pendudukan militer Nippon. Hanya setahun dia menghamba, seumur hidup dipanggil anjing Nippon. Tak ada yang peduli kelamnya kisah itu, mereka hanya senang memanggilnya "Anjing Nippon"

ANJING KOTOR

“Hei! Masih lama?”


“Sebentar lagi tuan. Cukup melewati tanjung di depan itu” Sambil menunjuk pada kilauan air tanjung di depannya, aku berpikir mungkinkah selepas itu mereka akan membunuhku seperti pria tua di desa sebelumnya. 

Aku semakin ketakutan ketika komandan batalyon itu berbicara dalam bahasa Jepang diikuti kokangan senjata anak buahnya. 
 

Ya baru setahun aku mengikuti seorang misionaris Belanda untuk sekadar mendapatkan sesuap nasi dan pendidikan yang layak seperti anak seorang kepala desa. Tapi sebulan lalu pengampuku dibunuh karena menegur keras seorang tentara Nippon yang memasuki ruangan gereja dengan senjata lengkap. 
 

“Tunduk” Seorang tentara menyuruhku untuk menundukkan kepala dan bersembunyi. 

Mungkin sangka kalian aku begitu disayang, tapi tidak, aku hanya dimanfaatkan sebagai peta berjalan mereka untuk membantai para penduduk yang berani mengingkari kekuasaan mereka. Berondongan peluru menembus jantung, kepala, mata mungkin pula kaki penduduk yang masih satu darah denganku. 
 

Suara teriakan dan tangisan kian meninggi beruji dengan desingan peluru. Sekalipun tak berani kubuka mataku untuk sekadar melihat ekspresi bangga pasukan Nippon saat menghabisi para penduduk. 
 

“Tuhan, ampunilah aku. Aku berdosa. Sungguh berdosa. Selamatkanlah aku dari gerombolan iblis ini” doaku yang kupanjatkan setiap kali mereka melakukan kekejian seperti itu. Tak lagi bisa mulutku bersuara seperti terkunci oleh rasa takut yang menumpuk. Mereka benar-benar menakutkan, kaki pun belum menyentuh daratan tetapi puluhan nyawa telah mereka renggut. 

Selesai memuaskan kekejian mereka, aku diberikan isyarat untuk berdiri dan turut melihat puluhan jasad yang bergelimpangan di pinggiran pantai, tepian ombak yang putih berubah menjadi merah. Tak dibayangkan olehku bagaimana rasa sakit itu diujung nafas terakhir. 


“Kamu cari tempat yang tepat untuk mengubur mereka. Jangan sampai mereka terlihat seperti anjing-anjing yang dibantai.” Perintah komandan batalyon tersebut padaku dengan sedikit senyuman sindiran. 

Dalam benakku, bagaimana bisa mereka yang katanya saudara asia, melihat kami seperti anjing-anjing jalanan yang boleh dipukul, dibunuh, dipermalukan. Sebuah ironi kemanusiaan, bahkan untukku yang dianggap sebagai pengkhianat saudara sendiri. Bersama seorang pemuda yang selamat, aku mulai menggali lubang besar untuk dijadikan kuburan massal yang dapat menyembunyikan bukti kekejian Nippon. Pikirku jika makin banyak pembantaian ini, tanah pun akan memuntahkan jasad-jasad ini kembali. 


“Dasar kamu orang lambat, pantas negara kamu dijajah anjing Eropa!” sebuah teriakan, ah.... Itu hinaan atas kemalangan kami dari mereka yang merasa lebih beradab. 

Aku semakin memacu cangkulanku sebelum popor senjata menghantam pelipisku. Tiga meter, ya tiga meter hampir saja nyawaku pun tercabut untuk menggali kuburan darurat itu, pemuda yang berada di sebelahku berusaha untuk mengatur nafasnya karena rasa lelah yang amat sangat. Belum selesai kami mengistirahatkan diri seorang tentara Nippon kembali memanggil kami. 


“Samuerr!!” Namaku sering dilafalkan sesuai lidah mereka. 

Kami berlari ke arah suara, kakiku seperti kehilangan tumpuan melihat kengerian baru yang mereka tampilkan di sore itu. Jasad-jasad tersebut dipenggal kepalanya dan dikumpulkan dalam satu tempat layaknya persiapan membuat api unggun. 

“Sebentar lagi malam, kita dirikan tenda di sini.” Perintah komandan sambil menjadikan sebuah kepala manusia menjadi tumpuan kakinya. Pemuda yang berada disebelah ku tanpa sadar kencing di celananya saat melihat kebiadaban para pembunuh itu.


“kamu... Takut? Ini cara kamu juga, bukan?” seorang tentara mengejek kami, mungkin dia tahu kebiasaan memenggal kepala musuh yang dilakukan oleh leluhur kami. Ini karma atau sekadar nasib sial saja yang menimpa kami. Setiap tangisan para wanita seperti hiburan kecil bagi beberapa tentara. Dibantu beberapa wanita dari desa tersebut, kami menyeret dan mengangkat jasad-jasad tanpa kepala itu untuk dikuburkan. 

Ya masih kuingat wanita tua yang terus memeluk jasad seorang pria, yang aku asumsikan sebagai putranya, penuh ketabahan dia mengangkat putranya dan menghantarkannya bergabung dengan yang lain dalam satu liang lahat. Aku mendengar senandung duka dari wanita tua itu untuk anaknya dan semua orang yang dia kenal. 


Kalian pergilah dalam damai
Bersama Tuhan, dan para leluhur
Kami tak bisa memberikan
Alas tidur dan nyanyian yang layak
Kami hanya berdiri dan menutup jasad kalian
Agar tak di makan oleh hewan liar
Semoga Tuhan menempatkan kalian semua
Di tempat yang layak dan menghitung satu satu
Kematian kalian seperti Habel yang dihitung-Nya
Dengan baik

Ya, nyanyian dukacita dan kutukan untuk semua pembantai itu, aku berdiri dan melihat gudukan tanah kuburan yang telah kuselesaikan. Rasa lelah tak ku kenal selain rasa takut dan marah. Seharusnya aku menjadi kebanggaan keluarga dan sukuku tetapi sekarang aku hanyalah lelucon bangsa katai itu. Sebuah ironi yang akan aku kenang. 

“Samuerr!” sebuah panggilan dari tuan yang jahat untuk budak tak berdaya sepertiku. 
 

“Tumpuk itu! Buat jadi satu seperti yang saya sudah buat. Bakar.” Kata seorang tentara Nippon yang juga orang sebangsaku. Datangnya dari Batavia, sebangsaku tapi tak sekali pun kulihat dia berdiri untuk membela saudara sebangsa, selain anjing-anjing yang terlatih dan diberikan makan layak oleh tuannya. 

“Kamu dengar?” tanyanya dengan tatapan tajam padaku. 

Tak kujawab dia selain mengambil pemantik Zippo yang dia sodorkan padaku. Dalam hatiku, terus memohon maaf pada setiap kepala yang kumasukan ke dalam tumpukan kayu yang sedang terbakar. Ah sekiranya aku mati di hari esok untuk mengakhiri siksaan pikiran ini. Hidup tak akan hidup jika terus menyaksikan kekejian ini dan turut ikut di dalamnya. Ya, percuma hidup jika terus dipaksa melihat kematian orang-orang secara brutal. Kalau pun tak mati, lebih baik aku menjadi gila, agar berhenti membantu mereka. 
 

“Tolong jangan, tuan!” suara yang memecahkan suasana malam, ternyata salah seorang gadis hendak disetubuhi oleh seorang tentara yang penuh birahi. 

Teriakan yang berbalas ucapan berbahasa Jepang yang tak ku mengerti. Komandan batalyon hanya duduk dengan segala arogansi dan tak menoleh sedikitpun ke arah teriakan. Tiba-tiba seorang wanita tua berlari ke arahku dan memohon dengan sangat agar aku bisa menghentikan perbuatan asusila tersebut. 

“Tolong nak, jangan sampai anakku dipermalukan oleh mereka.” Wanita tua itu menangis tersedu-sedu dan berusaha meraih tanganku. 

Alam pikiranku seperti sedang berperang antara rasa egois dan kemanusiaan. Entah yang mana yang harus aku takuti, kebengisan tentara Nippon ini atau hukuman Tuhan yang sedang menantiku. Segera kurebut senjata dari si Batavia itu dan berlari ke arah semak tempat tentara biadab itu, kutodongkan ujung senjataku pada binatang birahi itu agar menghentikan tindakannya. Beberapa anggota tentara terdiam seperti sedang menunggu tindakanku selanjutnya. 

DARRR!! 

Suara tembakan yang berasal dari arah belakangku. 
 

“Dia terlalu berisik.” Ucap si Batavia itu sambil kembali menyarungkan pistolnya. Ya, wanita tua itu telah ditembak mati oleh si Batavia. 

Aku tak menyangka kalau si Batavia itu jauh lebih buruk daripada tentara Nippon ini. Aku pun dihajar oleh tentara lainnya karena berani menodongkan senjata pada tentara Jepang itu, aku dihajar hingga pingsan. 

Saat terbangun, hal pertama yang kulihat adalah wajah seorang gadis muda dengan mata yang terbelalak dengan kepala yang masih mengucurkan darah segar, segera aku bangun dan sedikit menjauh dari jasad wanita itu, mereka menertawakanku lagi, tentara-tentara gila itu. 

Si Batavia kemudian datang dan menutup tubuh wanita yang setengah telanjang itu dengan kain. Dia memberikan isyarat agar aku menggali lagi untuk mengubur jasad wanita itu bersama ibunya. Aku bisa menebak pikiran para tentara Nippon tapi tidak dengan si Batavia itu, apakah dia benar seorang tentara Nippon atau sekadar penjilat. 

Setelah selesai menggali, kukuburkan jenazah itu dengan layak dan mendoakan mereka dengan sungguh. Kubayangkan adik perempuanku yang masih berusia 8 tahun, jika ini berlangsung lama, mungkinkah dia juga akan mengalami nasib yang sama? Jika demikian maka akan kubunuh mereka semua, bila perlu aku akan bersepakat dengan iblis untuk mempersembahkan nyawa mereka sebagai arang neraka. 


Perjalanan dilanjutkan, dengan cara menyisir wilayah pesisir di sebelahnya, aku sendiri yang memberitahukan pada mereka bahwa tak ada jalan lain di kampung itu selain bukit batu yang terjal, mendakinya hanya akan membuat para tentara kelelahan. Namun, itu hanya tipu dayaku agar para tentara Nippon tak menemukan persembunyian tentara Republik yang sudah bersembunyi di gua-gua baru karang terjal tersebut. Harapanku tentara Republik bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk bersiap mengepung tentara Nippon di desa berikutnya. Tetapi pupus juga harapanku karena tak ada gerakan apapun dari tentara Republik, mungkin mereka pun telah menyerah dengan segala kekalahan dan kekurangan yang mereka miliki. 

Aku masih melihat pembantaian sama, pemerkosaan yang sama, dan pegabaian kemanusiaan yang sama. Si Batavia masih jadi anjing yang setia bagi tuannya, dan aku masih jadi anjing yang sama. Anjing yang kotor, bau, kurus, dan terantai, gambaran yang sangat jauh berbeda dengan si Batavia itu.

 

ANJING PENAKUT


Hampir setahun sejak pembantaian di pesisir itu, aku dipekerjakan pada seorang Jenderal Nippon yang sangat baik hati, mungkin dia bisa menjadi baik hati karena tak perlu melumuri tangannya sendiri dengan darah. 

Tak sekalipun dia menghajarku selain bentakan-bentakan apabila aku melakukan kesalahan. Aku bertugas untuk mencuci pakaiannya mengurus semua funitur rumahnya yang rusak, sekaligus mengurus makan dan minumnya. 

Berbeda dengan orang Netherland, tentara Nippon tak membawa istri ataupun sekadar mengambil gundik tetap untuk dijadikan teman di ranjang. Mereka lebih suka mengambil para gadis dari rumah bordil atau mengambil paksa gadis-gadis yang ranum usianya untuk dijadikan teman tidur semalam. 

Berganti-ganti aku melihat gadis-gadis dari bangsaku dibawa ke kamar orang Nippon itu ditiduri di bawah ancaman. Sesekali aku ditawari bahkan dipaksa untuk merasakan kenikmatan itu oleh tuanku Jenderal, tapi tak kudapat hasrat birahi sedikit pun ketika melihat para gadis tersebut yang masih menangis dan gementar mendengarkan derikan suara pintu. Aku seperti melihat ibuku, saudara perempuanku dan anak perempuanku kelak ketika melihat kemalangan di raut wajah gadis-gadis jugun ianfu tersebut. Setiap penolakanku dihadiahi dengan perlakuan memalukan dari anak buah Jenderal tersebut, mereka tak jarang menelanjangiku untuk memeriksa apakah aku benar seorang lelaki seperti mereka atau seorang perempuan yang bersembunyi dalam pakaian lelaki. Aku tak peduli lagi perlakuan mereka, asalkan aku tak berubah menjadi monster seperti mereka. 
 

Penderitaanku menemui akhir, ketika Jenderal menerima sebuah memo tepat tahun 1945 bulan Januari. Pelan tapi pasti mereka mulai menarik pasukan mereka menyisakan para penjaga gudang senjata. Dalam pikirku mungkin mereka sedang ditarik ke Batavia atau daerah lainnya untuk menjadi bala bantuan, tetapi sebuah gosip di pasar memberikan sedikit pencerahan bagiku.. 
 

“Dua hari yang lalu Bung Karno dan Bung Hatta telah memproklamirkan kemerdekaan kita di Batavia” ucap seorang pedagang buah kepada pelanggannya. 

Kemudian diikuti oleh isyarat jari telunjuk yang menutup mulut oleh pelanggan tersebut. 

“Jaga mulutmu atau mereka akan merobek mulutmu.” Ucap pelanggan buah itu sembari mengarahkan pandangan curiganya padaku, aku masih merupakan kacung Nippon di mata mereka. 

Tak ingin terus dicurigai, aku berjalan pulang sambil menenteng segala barang belanjaan untuk tuanku. Sesampainya di rumah, segera kuletakkan belanjaan tersebut kemudian ijin keluar dengan alasan akan kembali ke pasar karena menjatuhkan kantung uangku. Aku tak ingin ambil resiko dengan menimbulkan kecurigaan apabila aku tak pulang lebih dulu. 

Perjalanan ku arahkan ke tempat persembunyian salah satu komandan Republik di daerahku untuk memberikan informasi tentang lokasi gudang senjata dan jumlah tentara yang berjaga. 
 

“Benar kita sudah merdeka?” tanyaku pada komandan tersebut yang biasa kupanggil bung Karim
 

“Itu masih simpang siur karena tak ada satu pun perubahan jumlah tentara Nippon di sini. Mungkin itu hanya tipuan untuk memancing tentara Republik.” Ujar pak Karim yang sedikit pesimis, tetapi aku yakinkan dengan informasi yang aku punya 

“Mereka sudah mulai menarik personil dari daerah kita sejak bulan lalu, sedikit demi sedikit agar tak menimbulkan kecurigaan kita. Segala alasan mulai dari pengiriman pasukan bantuan ke Pulau Selatan hingga pengamanan di Batavia. Itu semua hanya tipuan. Mereka memang telah kalah Bung.” 
 

Segera aku keluarkan sebuah kertas yang merupakan peta menuju gudang rahasia persenjataan dan titik-titik persembunyian yang biasa digunakan oleh tentara Nippon. Tak pula kutulis semua jumlah personil yang tersisa di pos-pos militer. 

“Bung, tolong jangan menyerah kali ini. Di depan Bung sudah ada informasi yang kudapatkan. Ini perjuanganku Bung! Menghamba seperti anjing yang terus menjilati sepatu mereka. Tolong bantu kami, jangan menunda apapun. Sehari saja sudah seperti neraka bagiku di rumah itu.” Aku memohon pada Bung Karim yang telah kuanggap seperti saudaraku sendiri. 
 

“Minumlah kopi itu. Serigala tua ini akan menerkam dan mengigit tuanmu dengan kekuatan terakhirnya. Kau harus bersiap menjadi anjing tak bertuan.” Ucapan persetujuan yang kudengar seperti sebuah jawaban doaku. Aku pulang dengan perasaan gembira dan berharap malam ini adalah malam terakhirku, aku akan mati menemui keluargaku. 
 

Malam pun tiba, seperti biasa aku mengatur dan memeriksa pintu serta jendela rumah. Suasana malam yang tenang dan suara angin yang berhembus semakin membuatku berhati-hati. Tak lama kemudian suara tembakan terdengar, ternyata tentara Republik sudah merangsek masuk ke kediaman Jenderal. Semua tentara Nippon dikumpulkan termasuk aku seorang pelayan. Seorang tentara Republik yang tak mengenalku kemudian menghajarku seperti anjing dan mengambil sebilah pisau kemudian memutuskan tendon kakiku karena terbakar amarah melihat orang sepertiku mau menghamba pada penjajah. Begitu sakitnya hingga hampir mati rasanya. 

Seorang tentara Republik lainnya kemudian menghajarku dengan popor senjata, saat keadaanku hampir pingsan, aku melihat wajah Bung Karim, entah apa yang terjadi setelah itu aku tak tahu. 
Aku tersadar di rumah penduduk, di sampingku ternyata ada seorang anak kecil yang terus menatapku dengan cermat. Suasana rumah ini seperti rumahku, berdinding anyaman dan diterangi pelita bersumbu. 

“Emak! Emak! Paman sudah bangun!” teriak anak itu tanpa memalingkan wajahnya dariku. Kain pintu kumal tersebut kemudian dibuka dan ternyata wanita yang menghampiriku adalah istri Bung Karim, Ibu Fatima. 
 

“Samuel, apa kakimu masih sakit?” tanya ibu Fatima sambil mengambil tambahan ramuan tradisional untuk ditambahkan pada luka di kakiku.  

“Masih bu.” Aku sendiri masih merasakan sakit yang amat sangat, baru kali ini aku melihat tentara Republik yang sama bengisnya dengan tentara Nippon. 

“Umar memang keterlaluan, dia selalu melakukan ini tanpa tahu akibatnya.” Ibu Fatimah Menggerutu pada tindakan tentara tersebut kepadaku.  

Anak kecil yang berada di dekatmu terus saja memperhatikan wajahku dan kemudian bertanya pada ibu Fatima 

“Bu, kata paman umar, paman ini anjing Jepang, kenapa bentuknya mirip kita?” pertanyaan yang membuatku terkejut dan tak percaya tentara cerita yang anak ini dengar. Ibu Khadijah pun merasa bersalah padaku dan malu dengan pertanyaan anaknya.
 

“Jangan dengar paman Umar lagi!” Bentak bu Khadijah pada anaknya. “Maaf ya nak Samuel. Umar benar-benar keterlaluan.” 
“Iya bu.” Senyum kecut yang bisa kuberikan dalam percakapan ini.

35 tahun kemudian aku telah hidup sebagai orang yang merdeka, oleh warga desa aku diangkat sebagai kepala desa karena latar belakangku yang pernah bersekolah di Sekolah Rakyat. Siapa pun yang bisa membaca dan menulis maka akan mereka sebagai pemimpin desa. 

Perjalanan menuju rumahku ke Balai Desa cukup melelahkan apalagi dengan kondisi kakiku yang pincang. Sepanjang perjalanan aku seperti melihat masa laluku yang diputar seperti lembaran kertas film di kiri dan kananku. Beberapa warga desa selalu memberikan salam bagiku
 

“Selamat pagi pak” itulah sapaan yang biasa kudengar tetapi masih terdengar bisikan sindiran 

“Dia dulu anjing Jepang, makanya dibuat pincang sama tentara Republik”  sindiran yang ingin kusingkirkan tetapi juga ingin kusimpan dalam-dalam. 

Di balai desa aku sedang mempersiapkan kunjungan dari seorang menteri, untuk pembangunan akses jalan di desa kami. Aku sangat bahagia karena anak-anak tak perlu lagi mendaki gunung-gunug terjal hanya untuk bersekolah, ditambah lagi fasilitas penunjang bagi puskesmas pembantu di daerah kami, menambah rasa syukurku. 
 

Perahu yang mengantarkan Menteri tersebut telah sampai ke dermaga kecil kami, Gubernur adalah orang pertama yang keluar dari perahu tersebut, dengan keramahannya dia menyalami bupati dan camat, kemudian disusul Menteri yang ternyata tak asing olehku, si Batavia. Anak-anak menyambutnya seperti pahlawan tetapi aku terdiam tak percaya, orang yang pernah membunuh di tanahku ternyata kembali dengan sambutan mewah bak pahlawan. 

Aku tahu dia sudah tak mengenalku, wajahku yang sudah berubah di tempah oleh kerasnya hidup. Bahkan jauh terlihat lebih tua dari wajahnya yang masih cerah dan bugar. 

Si Batavia itu menyalamiku dengan senyuman yang hangat, tetapi aku tak memberikan ekspresi apapun.  Kegiatan dimulai dengan survei lokasi oleh Menteri dan dengar pendapat di kalangan warga desa. Setelah itu rombongan Menteri dijamu dengan jamuan makan. 

Tak sengaja pak menteri menjatuhkan sendoknya, segera gubernur tersebut memberikan isyarat padaku untuk menggantikan sendok itu dengan yang baru, aku pun pergi mengambil sendok tersebut. Gubernur sepertinya baru menyadari kakiku yang pincang karena sudah terlanjur, dia menyuruh asistennya untuk mengambil sendok itu dari tanganku dan mengambil sendok yang baru. 

Mungkin beliau tidak enak hati meminta tolong pada orang pincang sepertiku. Si Batavia ah... Pak menteri itu juga baru menyadari dan mulai bertanya
 

“Loh kakinya kenapa pak? Dari lahir?” Tanya pak Menteri, gubernur dan bupati pun memasang ekspresi ingin tahu. 

“Luka perang.” Jawab Pak camat untuk mengalihkan perbincangan dari fitnahan dan gunjingan warga desa. 

“Oh veteran juga?” tanya Menteri yang terkejut ternyata ada sesama pejuang di ruangan itu. 
 

“Tidak. Saya hanya sipil” jawabku sedikit malu “Oh... Baik baik.” 
 

Baru saja aku duduk di kursiku, pak Camat kemudian menceritakan tentang kisahku. Bagaimana warga desa salah mendengar cerita tentangku ketika masa perang. 
 

“Beliau ini dulu membantu tentara Republik yang dikomandoi oleh ayah saya. Beliau informan tentara Republik dari rumah Jenderal Mashimoto. Luka itu akibat kesalahan salah satu tentara Republik dalam mengenali pak Samuel.” Mungkin momen ini yang dipilih oleh Rahman bin Karim, untuk menyelesaikan, membenarkan persepsi warga desa tentangku
 

Ekspresi wajah pak Menteri kemudian berubah ketika mendengar nama Jenderal Mashimoto. Hah tentu saja akan berubah karena dia pun pernah menjadi bawahan Mashimoto saat menjadi anggota tentara Nippon. 

Dia berusaha mengingat wajahku, dengan tatapan yang tajam. Mungkin dia sudah bisa mengenaliku tetapi tak memberikan pertanyaan apapun lagi tentangku selain balasan anggukkan kepala mendengar cerita Rahman. 

Malam itu mereka bermalam di rumahku dan kantor desa. Tiba-tiba pak Menteri, ah kusebut saja nama Herman Wirawan, meminta untuk menginap di rumahku saja bertukar tempat dengan Bupati. Seorang anggota protokoler heran dengan keputusan tersebut karena baru kali pertama Menteri Herman tidak mengikuti rencana dari protokoler. Bersama putriku, beberapa anggota protokoler menyiapkan tempat yang nyaman untuk Menteri bisa beristirahat. 


Setelah itu, aku dan Menteri bercengkrama seperti malam biasanya aku bercengkrama dengan istri dan anakku. 

“Saya benar-benar tidak menyangka anda bisa bertahan sampai kini.” Ujar Herman sambil menyodorkan pemantik Zippo yang pernah digunakan untuk membakar tumpukan kepala manusia. Aku seperti ditarik ke masa lalu mengingat bunga-bunga api yang terbang dari tumpukan kayu api beralaskan kepala manusia. Aroma daging yang terbakar masih tercium olehku dan suara-suara itu terus datang berbisik di telingaku kemudian suara letusan senjata si Batavia yang membunuh wanita tua itu. Tak kusadari, wajahku berubah pucat dan berkeringat dingin, Herman kemudian menyadarkanku
 

“Saya juga masih mengingatnya. Setiap malam, tak sehari pun saya lupa, ratusan jasad yang bergelimpangan.” Ujar Herman sambil meraih tanganku. 

“Saya kembali ke sini bukan untuk meminta maaf, tetapi untuk menghargai perjuangan mereka, menjanjikan pendidikan dan hidup yang layak untuk anak cucu mereka.” Lanjut Herman 
 

Aku tahu Herman masih memiliki sifat arogan dalam dirinya tetapi aku juga tahu bahwa benar pendapatnya. 

“Jadi mau bapak apakan pemantik ini, mengapa ditunjukkan pada saya?”
 

“Besok ketika menyalakan lilin untuk upacara izin adat, gunakan pemantik itu sebagai simbol bahwa tak ada pengorbanan yang sia-sia. Pemantik yang sama mengambil nyawa seseorang dan pemantik yang sama, yang memberikan harapan baru.” Jawab Herman


Semalaman kurenungkan kata-kata Herman, satu hal yang aku sadari bahwa pembangunan ini hanya cara Herman untuk mencuci tangan dari segala dosanya tetapi hanya ini cara satu-satunya untuk bisa menjadi lebih tenang lagi. Aku pun ingin hidup tenang tetapi bukan ini jalanku. Aku memilih tetap menjadi yang terhina karena itu jauh lebih baik bagiku
 

Keesokan harinya kami melakukan upacara adat untuk meminta izin pada arwah nenek moyang, mengelola tanah kelahiran kami untuk mencapai kesejahteraan hidup yang lebih baik. Kunyalakan lilin dengan pemantik Zippo milik Herman, entah kenapa saat lilin itu terbakar, hatiku sedikit lega. 

Mungkinkah ini yang dimaksud oleh Herman yang telah berdiri di sisi kiriku. Ya kami berdua adalah pendosa, kami berdosa pada bangsa dan negara kami. Kami berusaha untuk melupakan itu dalam sebuah kata pengabdian meskipun tak mampu mengganti semua kehilangan yang terjadi akibat ketakutan kami.

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Rumah Paman
0
0
“Kakak, bapak mana? Kita mau pergi ke mana? “Ibu, jangan pergi. Aku takut sendiri “Jadilah kuat, jaga adik-adikmu. Kau sekarang ibu bapak mereka."
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan