

BAB 1 - Deep Heart.
Warna putih asap rokok mengepul, terlepas dari bibir laki-laki yang duduk di ujung ranjang. Tangan laki-laki itu bertumpu di paha, dengan satu kaki bersila. Di belakangnya, seorang wanita terjaga, bersandar di ujung ranjang sambil mengamati dalam diam gambaran siluet tubuh besar itu di tengah lampu temaram kamar.
Isi otaknya berisik, menuntut perhatian.
Keheningan malam menemani dua manusia berbeda kasta itu, saling mendiamkan padahal ratusan menit sebelumnya saling menyebut nama dalam geraman penuh dosa. Tidak ada yang berbicara, seakan keduanya memberi waktu agar sepi mendominasi. Hanya ada suara lirih kipas angin yang terpasang di plafon kamar, dan lalu lalang kendaraan yang tak cukup ramai di luar sana.
"Mau … menginap?" tanya si wanita ragu. Terlihat dari manik matanya, ia menyesali kalimat itu setelah mengucapkannya. Tak sampai satu hela nafas, wanita itu menekuk wajah merutuki kebodohannya sendiri.
Pertanyaannya terlalu berani.
Laki-laki yang memiliki warna rambut tembaga itu tak memberi jawaban, sedang menikmati batang rokoknya yang sudah hampir habis dimakan api, sambil tetap memperhatikan malam gelap dari jendela kamar yang terbuka. Tubuhnya ada di sini, tapi entah dengan pikirannya yang berada di mana.
"Aku di sini cuma 'pakai', bukan untuk menginap apalagi tinggal," jawab laki-laki itu singkat, tanpa berniat memperlembut kalimat yang ditujukan untuk perempuan di belakangnya.
Lara kembali menurunkan arah bola mata, ke selimut bermotif hello kitty yang sama sekali tidak menarik perhatiannya. Jawaban laki-laki tadi menamparnya telak, menegaskan di mana tempatnya berada. Rasanya sakit, ngilu, meskipun sebenarnya, sakit itu dia sendiri yang menggali.
Matanya kembali naik saat mendengar pergerakan di ujung ranjang. Laki-laki itu berdiri, masih dengan tanpa busana, di balik cahaya bulan yang menggambarkan siluet hitam itu berjalan ke tengah ruangan. Tepat berdiri di depan Lara, di tempat dimana tadi mereka melepas pakaian secara tergesa. Gerak tubuh elegan laki-laki itu mengenakan kembali pakaiannya, celana bahan dan kemeja navy yang sama saat keduanya berada di kantor tadi pagi.
Melihat pemandangan itu dengan seksama, Lara menguatkan genggaman di selimut yang menutupi dada. Hampir setiap hari saat mereka bersama, Lara tak pernah luput mengagumi laki-laki itu. Tidak ada yang sulit, mengagumi sosok sempurna seperti dr. Aksa Al Fayaadh, seorang dokter yang menjabat sebagai direktur utama di rumah sakit tempat Lara bekerja. Laki-laki yang memiliki darah timur tengah, jambang tegas yang rapi di sekitar dagu. Ketika tidak sengaja bagian itu menyentuh kulit sensitifnya, Lara seakan dibawa melayang.
"Aku sudah transfer, aku tambah dari biasanya. Rawat tubuh dan belilah pakaian yang bagus, kamu semakin kurus, dan aku tidak suka."
Tapi sayang, laki-laki itu bukan kekasih Lara, melainkan seorang laki-laki yang melabeli dirinya sendiri sebagai 'pemakai' tubuh Lara.
Senyum tipis dipaksa lepas, meskipun siur ngilu mendesak di dada. "Terima kasih, dr. Aksa."
"Hem."
Tanpa pamit, ataupun ciuman singkat di puncak kepala, laki-laki itu pergi begitu saja. Keluar dari kamar kos Lara yang terletak di lantai dua, kamar kos sempit yang ia sewa sebagai tempat tinggalnya di Jakarta.
Sosok itu sudah tak ada lagi, meskipun bekasnya masih menempel di setiap jengkal tubuh Lara. Aroma parfum musk yang mahal pun berangsur-angsur menghilang, bersamaan dengan sepi yang datang menjadi teman.
Larasati, biasa dipanggil Lara oleh orangtua dan teman-temannya. Seorang wanita yang memberanikan diri merantau ke Jakarta seorang diri, karena himpitan biaya untuk mengobati ibunya yang sedang melawan penyakit leukemia, dan untuk biaya kuliah adik perempuan satu-satunya yang ia miliki. Ayahnya yang bekerja sebagai buruh pabrik tak cukup menyediakan uang untuk pengobatan ibu, sedang Lara yang memiliki gelar sarjana dengan beasiswa terpaksa memberanikan diri datang ke Jakarta demi gaji yang lebih layak dibanding di desa.
Lara memaksakan kakinya turun bertemu lantai keramik yang dingin, berjalan memunguti pakaiannya yang berserakan. Sambil melangkahkan kakinya ke dispenser, ia memakai kembali daster rumahan bermotif ditzy yang tergeletak di lantai, dan jaket tipis sebagai pelapis ketika dinginnya malam semakin terasa menusuk.
Jam dinding menunjuk ke pukul dua belas malam, entah Lara bisa kembali tidur atau tidak. Dia sudah bergelung dalam mimpi ketika ketukan pintu di kamar kos-nya membangunkan Lara secara tiba-tiba, tidak perlu mencari tahu siapa yang bertamu. Dari suata ketukan pelan yang berubah menjadi gedoran tak sabar, Lara tahu, dia tak akan lagi bisa tidur nyenyak mungkin sampai pagi menjelang.
"Lelet banget buka pintunya? Aku sudah lebih dari lima menit di depan pintu." Laki-laki itu mendengus sebal, tidak melihat waktu bertamu yang memang sewajarnya waktu untuk manusia pekerja seperti dirinya beristirahat.
Aksa masuk tanpa dipersilahkan, mendudukan tubuhnya di ujung ranjang, tempat favoritnya, atau karena memang tempat itu-lah satu-satunya tempat yang layak. Di kamar ini tidak ada kursi, apalagi sofa, tidak mungkin Aksa duduk di lantai tanpa karpet.
"Aku sudan kirim pesan, kamu tidak balas."
"Maaf, saya sudah tidur."
"Ck," decakan kecewa, Aksa menatap sinis ke arah Lara yang masih berdiri kaku di balik pintu. "Aku sudah terlanjur di sini, kamu juga sudah bangun kan."
Ada aroma alkohol yang tersentak hebat di penciuman Lara, hal yang sudah terbiasa menyapa indera penciumannya ketika Aksa sedang singgah di kamarnya. Laki-laki itu dalam pengaruh alkohol, meskipun tidak sepenuhnya kehilangan akal.
"Sini, Raa. Deketan." Aksa menarik tangan Lara, mempersingkat jarak. Melepas ciuman-ciuman ringan di perutnya. "Aku pengen, boleh ya?" Nada sinis tadi berubah menjadi lembut.
Dr. Aksa, laki-laki cerdas berwibawa yang memiliki tatapan tajam dan bibir tebal yang irit bicara ketika bekerja. Memiliki mood berubah-ubah, kadang galak, kadang jutek, dan sangat kadang bersikap baik. Meskipun seperti itu, dr. Aksa adalah salah satu direksi yang paling tidak banyak mau-nya, walaupun terkadang bisa meminta laporan mendadak dan titahnya selalu menjadi sebuah keharusan.
Tampan, tentu saja, tipe-tipe laki-laki misterius yang langka melepas senyum.
"Raa..."
Tetapi jika berada dikendali nafsu, laki-laki itu bisa berubah seperti bocah kecil yang merengek manja, meskipun terkadang tetap dominan dan penuh kendali.
"Laraa..." Panggilan yang diucap dengan penuh kelembutan.
Lara melihat, bagaimana bola mata hazel itu menatapnya penuh permohonan. Hal yang tidak mungkin dilakukan laki-laki itu ketika sudah mendapatkan apa yang ia inginkan. Aksa membimbing tubuh Lara untuk berlutut di hadapannya, jarinya bermain di sekitar wajah, lalu melesat masuk membelah bibir Lara yang setengah terbuka.
"Pakai ini dulu." Suara serak terdengar menuntut. Tidak ada yang bisa Lara lakukan selain menurut.
Lara menarik nafas dalam, mengambil segelas air putih dingin dari dispenser, lalu menenggaknya sekali tandas. Rasanya segar, saat air itu melewati tenggorokannya yang kering. Hampir dua puluh menit ia bekerja keras, wajar, jika ia membutuhkan cairan yang cukup banyak setelah aktivitas menguras tenaga yang baru saja ia selesaikan.
Dekat jendela adalah pilihan tempat terbaiknya, berdiri sambil melihat jalanan yang sepi diselingi gerimis hujan yang mulai turun. Lara suka hujan, dan suasana dingin selepasnya.
Jarinya bergerak membuka beberapa pesan yang sejak tadi menghiasi layar notifikasi ponsel. Ada pesan dari Aksa, bukti transfer yang ia terima setiap selesai menjalankan tugasnya sebagai pemuas nafsu laki-laki itu, pesan di grup kantor yang banyak berisi stiker ucapan semangat mengingat esok adalah hari yang berat, lalu pesan dari Lira, adiknya di desa yang hidup bersama kedua orangtuanya.
Lira :
Mbak, bulan ini terakhir bayar semesteran ya.
Tanpa ragu, Lara mengirim sejumlah nominal uang yang baru saja ia dapatkan dari Aksa, membubuhkan kalimat penyemangat di akhir pesan yang sebenarnya dia sendiri pun membutuhkannya. Tapi tak apa, hampir setiap waktu di dalam hidupnya, Lara tak pernah menjeda ucapan semangat untuk dirinya, dari dirinya sendiri.
Setelah merasa cukup memberi ruang untuk bernafas lega, Lara beranjak tidur. Esok, dia masih harus bekerja, sebagai seketaris direksi rumah sakit keluarga Fayaadh.
BAB 2 - Nama Asing.
"Lara! Berkas penilaian MUTU yang kemarin lo taroh mana, sih?!" Kak Siska, seketaris senior yang pagi ini sudah disibukan dengan beberapa laporan permintaan direksi ketika Lara baru saja datang.
Hari ini, dia dijadwalkan masuk tanggung, jam sepuluh pagi, karena nanti ia dipersiapkan untuk menemani direksi yang hendak lembur. Persiapan akreditasi rumah sakit yang cukup menguras tenaga dan pikiran, disamping kehidupannya sendiri yang compang-camping tak karuan.
Lara baru saja meletakan tas-nya di kursi ketika Kak Siska kembali mengeluarkan kalimat perintah. "Lo cari deh, di email rumah sakit, kalau nggak salah kemarin di kirim jam tujuh pagi, print ulang ya, terus taroh meja dr. Aksa."
Direksi rumah sakit Al Fayaadh terdiri dari lima orang, yang semuanya menjabat sebagai direktur. Untuk posisi kunci dipegang dr. Aksa sebagai direktur utama, dan dr. Alina, adik dr. Aksa sebagai direktur keuangan. Dari lima direksi, ada tiga seketaris yang ditempat di depan ruangan direksi untuk membantu pekerjaan semua direksi, termasuk salah satunya adalah Lara.
Lara adalah seketaris terbaru, di mana seniornya adalah Kak Siska, dan Kak Dewi yang pagi ini belum terlihat batang hidungnya.
"Dr. Aksa belom sampai, jangan lupa siapin air mineral dulu di mejanya daripada doi nyari nggak ada, bisa bikin badmood seharian."
"Siap, Kak."
Semua seketaris, harus memahami apa saja kebiasaan para direksi. Walaupun sebenarnya tugasnya lebih banyak tentang pengorganisasian kerja, tapi mereka juga harus tahu apa saja yang bisa membuat mood direksi tetap stabil dalam sehari. Jika sampai ada sesuatu yang mencetuskan mood buruk mereka, sudah dipastikan pekerjaan ketiga seketaris itu akan semakin lebih berat.
Mereka biasa menyebutnya dengan 'S3', Semua Serba Salah.
Lara baru saja meletakan air mineral di meja Aksa ketika laki-laki itu masuk ke dalam ruangan. Melihat sekilas ke arah Lara, lalu dengan cepat mengabaikan wanita itu. Aneh bukan? Semalam mereka berdua berbagai ranjang dan kenikmatan, sedang paginya, mereka berperan seperti dua manusia asing. Itu adalah salah satu peraturan mengikat dari Aksa yang harus dijalankan mereka berdua, yaitu : tidak ada pembahasan terkait hubungan di kantor, bekerja secara profesional, Aksa adalah atasan dan Lara adalah seketarisnya. Tidak lebih.
"Mau kopi, dok?" Sebagai seketaris yang baik, Lara menawarkan minuman kesukaan atasannya. Tidak hanya dia, semua seketaris pasti melakukan hal yang sama.
Aksa hanya memberikan lambaian tangan sebagai jawaban, dan gerakan mengusir halus yang bisa Lara tangkap. Seperti yang diinstruksikan, Lara keluar dari ruangan Aksa. Berjalan menuju meja-nya sendiri. Pekerjaannya sudah menumpuk banyak, dia tidak ingin kembali mendapatkan murka jika pekerjaannya tidak selesai di waktu yang tepat.
"Mood baby bear sepertinya lagi jelek, gue sapa nggak jawab tau," celetuk Kak Siska tiba-tiba. Wanita itu memulai pembicaraan, sedang tangannya masih disibukkan membereskan berkas-berkas yang berserakan di meja. Kita bertiga biasa menyebut dr. Aksa dengan sebutan baby bear, kata Kak Dewi karena tubuhnya yang besar seperti beruang. Sejujurnya, Lara tidak setuju jika postur laki-laki itu disamakan dengan beruang, dr. Aksa tidak gendut, tubuhnya atletis dan ... sudahlah, seharusnya pembahasan itu tidak boleh dibahas ketika baru mulai bekerja.
"Kak Dewi mana, Kak? Masuk pagi juga kan dia?"
"Sama dr. Alina, lagi muter kaya-nya."
"Oh."
Lara memulai pekerjaannya, menyiapkan berkas dan data yang akan digunakan untuk rapat nanti jam satu siang. Duduk di depan layar dengan kacamata anti radiasi yang selalu tersedia di kantornya. Tangannya bergerak lihai di atas keyboard, bermain dengan angka dan huruf. Menit kesekian, telepon di mejanya berdering. Tangannya bergerak mengangkat horne, lalu mendekatkan ke telinga.
"Ha—."
"Siska suruh ke ruangan saya."
"Ba—."
Telepon diputus sepihak meskipun belum ada satu patah kata pun yang keluar dari bibirnya. "Kak, diminta ke ruangan dr. Aksa."
"Yassh, kenapa lagi itu si Baby Bear. Gue lagi ngehindar malah dipanggil." Ada kekhawatiran yang nampak di wajah Kak Siska, mengingat fakta yang disampaikan wanita itu tadi sebelumnya, mood dr. Aksa sedang tidak baik-baik saja. Sebenarnya bukan cuma hari ini, tapi sudah lebih dari seminggu ini, dr. Aksa dicap lebih 'susah' dari biasanya.
Kak Siska membawa kedua tangannya menengadah di depan dada sambil memejamkan kedua mata.
"Ngapain, Kak?" Lara menelisik dalam.
Siska mengusap kedua telapak tangan di wajah sebelum menjawab pertanyaan Lara. "Berdoa, semoga diberikan keselamatan."
"Haha, ngawur."
Kak Siska terlihat berjalan ke ruangan dr. Aksa, membawa setumpuk berkas yang mungkin saja dibutuhkan laki-laki itu. Tak lama berselang, seketaris satu-nya datang. Kak Dewi berjalan di belakang dr. Alina yang disibukan dengan telepon genggam di telinganya.
"Masuk temenin dr. Alina dulu, Ra. Gue mau siapin notulen inspeksi pagi ini," titah Kak Dewi.
"Baik, Kak."
Kak Dewi adalah seketaris ter-lama, sudah berkeluarga dan memiliki dua anak. Lara direkrut saat Kak Dewi cuti hamil dua tahun yang lalu. Karena memiliki kinerja yang bagus, dan rumah sakit pun berkembang semakin besar, Lara tetap dipertahankan.
"Dokter mau teh?" tawar Lara saat masuk ke dalam ruangan dr. Alina. Terlihat wanita itu sudah tak lagi menerima panggilan, tapi masih disibukan dengan ponsel.
"Boleh, Ra. Dua ya, sebentar lagi Mama mau ke sini."
"Baik, dok."
Dr. Alina adalah tipe atasan baik, pengertian dan yang jelas ... cantik, tidak perlu diperdebatkan. Garis keturunan timur tengah dengan hidung mancung dan mata berwarna coklat yang indah. Dr. Alina sudah bersuami, tetapi belum memiliki keturunan. Wanita itu sedang disibukan dengan program bayi tabung yang sering menyita perhatiannya akhir-akhir ini.
"Assalamualaikum."
"Walaikumsalam."
Nah, si ibu suri sudah datang. Biasa, dipanggil Ibu Halimah. Ibu dari dr. Alina dan dr. Aksa. Bu Halimah tinggal terpisah dari kedua anaknya yang sudah dewasa, hanya hidup berdua bersama dr. Asad Al Fayaadh di rumah besar kediaman keduanya.
Lara bergegas menyelesaikan teh seduhannya, menyiapkan dua cangkir teh hangat dan camilan yang sudah tersedia di meja pantry kecil di sudut ruangan. Dengan sopan, Lara menyajikan minuman di meja tengah diantara dr. Alina dan Bu Halimah.
"Ra, teh buat ibu manis, nggak?" tanya Bu Halimah, menghentikan langkah Lara yang berniat pergi.
"Manis, Bu."
"Yah, Ibu lupa bilang, saya sedang diet manis, minta tolong diganti teh tawar ya, Ra. Bisa?" Tutur kata yang lembut yang selalu terdengar adem di telinga Lara.
"Bisa, Bu."
"Terima kasih, Lara."
Keluarga Al Fayaadh adalah keluarga terpandang di dunia kesehatan, dr. Asad sendiri bergelar profesor besar yang banyak berkontribusi di dunia kesehatan, khususnya di bidang kedokteran neurologi. Lara sangat mengagumi bagaimana cara keluarga ini berinteraksi, saling menghormati dan bertutur kata yang baik. Sangat berbeda dengan keluarga yang ia miliki, himpitan ekonomi keluarganya banyak menimbulkan konflik, tidak jarang, ia mendengar pertengkaran di rumahnya sendiri.
Tapi bukankah, tempat terbaik adalah rumah? Lara tak ingin terlalu banyak membandingkan, dia bersyukur keluarganya masih utuh meskipun cobaan berat sedang menghantam dengan penyakit yang diderita ibunya saat ini.
"Mama sedang pusing."
"Pusing kenapa?"
"Sama Mas-mu itu."
Pembicaraan Bu Halimah dan dr. Alina terdengar di telinga Lara. Tangan Lara bergerak cepat menyelesaikan tugasnya, dia tidak terlalu nyaman mendengar pembicaraan orang lain yang seharusnya bukan hak-nya.
"Karena Mbak Savi lagi?"
"Iya."
Deg.
Namun, setelah mendengar nama asing yang dikaitkan dengan laki-laki itu, Lara justru semakin memperlebar pendengarannya. Savi? Siapa? Ia nyaris menahan nafas, antara tak siap tapi juga ingin tahu banyak.
"Kenapa lagi dengan Mas Aksa, Ma?" Suara dr. Alina terdengar menahan tawa.
"Ya itu, Savi mau pulang dari Jepang, Mas-mu mepet banget sama Papa, minta dijodohin sama Savi."
"Haha, yaa emang Mas itu naksir berat kan, Ma, sama Mbak Savi. Sejak dulu."
Dampak dari menyimpan perasaan yang tidak seharusnya menjadi miliknya memang sangat fatal. Entah kenapa, ribuan tusukan tak kasat mata dan sesak nafas di dadanya semakin menderu hebat. Lara menguatkan langkah, berjalan menuju sofa di mana Bu Halimah dan dr. Alina duduk. Ia meletakan minuman yang tadi dipesan, lalu permisi kembali ke ruangannya.
"Mau kemana, Ra?" tanya Mbak Dewi.
"Pipis bentar, Mbak."
Pada intinya dia berbohong, tidak ada sisa air di kandung kemih yang ingin ia keluarkan. Lara hanya duduk di kloset tertutup untuk sendiri, menetralkan perasaan kacau yang seharusnya memang tidak ia miliki. Dr. Aksa sangat pantas sudah memiliki pujaan hati, sedang dirinya hanyalah pemuas yang bisa mendapatkan uang dari transaksi yang mereka berdua lakukan.
Tidak boleh ada perasaan yang salah, bukankah keduanya berkewajiban profesional dalam bekerja?
Lara mencoba menikmati rasa sesak yang hebat di dadanya. Bahkan satu tangannya bergerak memukul pelan dadanya untuk mengusir ngilu.
Kenapaa sih guee!
Lara merutuki kebodohannya sendiri. Bukankah pengingat terbaik adalah rasa sakit? Seharusnya tidak ada rasa ini, seharusnya Lara tahu diri.
BAB 3 - Beautiful Lie.
Lara suka menari, menggerakan tubuh senada dengan irama musik jawa yang indah. Bermain dengan selendang panjang berwarna merah, menggerakan kepala dan tangan dengan senyum di bibir merah merona. Sejak kecil, Lara menyukai tari. Ketika tangan dan kakinya bergerak lembut seiring dengan suara gamelan jawa yang ditabuh ayahnya.
Lara suka menari, tapi tidak suka ketika orang lain melihatnya menari. Dia suka menikmati alunan lagu dan tarinya seorang diri, atau hanya sekdar disaksikan keluarga dekat seperti ayah dan ibunya.
Selain bekerja, Lara juga menjadi seorang pengajar tari di salah satu sanggar. Aktivitas yang sering ia habiskan di hari Minggu. Dia tidak suka pergi ke mall seperti teman-temannya, nongkrong atau belanja kebutuhan dasar wanita. Lara lebih suka menghabiskan hari Minggu-nya bersama adik-adik perempuan dan teman yang memiliki hobi yang sama. Seperti hari ini, sejak pukul dua belas siang, Lara sudah ada di sanggar tari milik salah satu kenalan sahabatnya di Jakarta.
"Kak Lara, coba ajarkan lagi gerakan seblak sampur, Sasa belum ahli." Gadis kecil berkepang dua yang selalu rajin mengikuti kelas tari di sanggar ini, gadis keturunan Bali tapi sangat antusias belajar tarian jawa. "Gini, kan ya?" tanya Sasa sambil memposisikan gerakan.
Sasa menyusul Lara di ruang ganti, padahal jam latihan sudah habis.
Lara mengambil selendang yang ada di dekatnya, menggantungkan di leher Sasa, dan membenarkan posisi tangan dan kaki gadis kecil itu dengan telaten. "Begini, tangannya jangan kaku-kaku, coba dilemesin."
"Gini, Kak?" tanya gadis kecil itu sambil mengubah posisi tangan.
"Agak ditekuk lagi."
"Begini?"
"Sedikit lagi."
"Ah susah." Desah pasrah, dengan garis wajah menyerah.
Lara mengambil selendang yang menggantung di leher gadis kecil itu, lalu melipatnya. "Sasa sudah belajar banyak hari ini, besok kita coba lagi ya."
"Aku pengen bisa kaya Kak Lara, tapi susah." Si gadis kecil mendudukan tubuhnya di kursi ruang ganti, terlihat dari kerut di wajahnya, ia kecewa dengan dirinya sendiri.
"Coba buka video dari Kakak, di rumah sambil belajar di depan kaca, bagaimana?"
Sasa mengangguk lemah.
"Suatu saat, Sasa pasti bisa jadi penari hebat."
"Oke, deh, besok coba lagi. See you, Kak Lara." Memaksakan diri untuk kembali berdiri, Sasa keluar dari ruang ganti meninggalkan Lara yang masih ada di sana seorang diri.
Latihan tari selesai pukul lima sore, ia masih memiliki waktu beberapa jam untuk belanja ke pasar sore untuk masak besok, lalu beristirahat dengan tenang di kamar kos kecil miliknya. Meskipun hidup dalam kesulitan, Lara selalu bisa bersyukur dengan semua yang ia miliki. Tubuh sehat, bisa melakukan hal yang ia sukai, dan juga ... memiliki sahabat yang baik.
"Udah lama nunggu?"
"Belum, baru setengah jam."
"Haha, itu namanya lamaaa."
"Ooh," jawab laki-laki itu datar.
Sahabatnya bernama Joko Susilo, Lara biasa memanggilnya Koko, atau lebih tepatnya laki-laki itu yang meminta dipanggil Koko. Katanya, supaya lebih keren. Dan sebagai sahabat yang baik, Lara mengikuti kemauan Koko.
Koko adalah sahabat yang ia miliki sejak SMA, keduanya sekolah di tempat yang sama. Karena Koko juga-lah Lara memberanikan diri datang ke Jakarta, menyusul Koko untuk mencari rezeki. Dia punya sahabat yang bisa menjadi tempatnya berkeluh di sini.
"Aku laper." Koko memegangi perutnya, mengerutkan wajah yang dilebih-lebihkan. "Makan yuk."
"Mau makan apa?"
"Lele?"
"Boleh."
Seperti biasa, Koko membawakan helm untuk Lara. Jika tidak sedang lembur atau sibuk, keduanya pasti menyempatkan diri untuk bertemu. Hanya untuk makan bersama, ataupun sekedar duduk di kursi taman dekat kos Lara sambil makan cilok.
"Ayo naik, Kajol sudah bersih." Koko menamai motornya sendiri dengan sebutan 'kajol', karena merasa motornya cantik setelah banyak dipoles sana-sini. Koko menepuk jok belakang motornya untuk mempersilahkan Lara naik. "Pegangan ya, Ra. Aku sudah lapar soal e."
"Iyoo." Sesuai instruksi, kedua tangan Lara berpegangan di kaos Koko.
Motor matic berwarna hitam itu mulai berjalan, meskipun motor tua, tapi 'kajol' benar-benar terawat. Koko rajin service, dan oli samping pun sering diganti.
"Tumben nggak lembur hari Minggu, Ko?" Di sela panasnya kota Jakarta meskipun sudah sore, Lara membuka percakapan. Biasanya, Koko sering mengambil lembur di hari Minggu, alasan pertama karena dia tidak punya pacar, dan alasan kedua karena tunjangan lembur di tanggal merah lebih besar ketimbang di hari biasa.
"Kangen toh sama kamu, bosen kerja teros, duitku masih banyak," ucapnya Sarkas. Koko sama seperti dirinya, kalau jaman sekarang disebut sebagai 'generasi sandwich'. Selain untuk biaya hidup kedua orangtuanya yang sudah tua, Koko juga rajin mengirim uang adiknya untuk sekolah. Itu-lah yang membuat keduanya cukup dekat, mungkin karena senasib sepenanggungan.
"Aku amin-in sajalah, biar kamu senang."
Perhatian Lara terpecah. Saat motor masih berjalan, ponsel Lara berbunyi, cukup lama, hingga akhirnya wanita itu menyimpulkan bahwa panggilan itu benar-benar penting. Tidak jarang, meskipun libur, Lara masih disibukan dengan urusan pekerjaan. Biasanya, Kak Dewi ataupun Kak Siska meminta laporan yang memang dihandle Lara.
Tetapi panggilan sekarang bukan dari kedua seniornya, melainkan dari pemegang tahta tertinggi di perusahaan tempatnya bekerja.
**dr. Aksa calling**
"Siapa, Ra? Penting? Aku bisa minggir dulu kalau penting," tawar Koko.
"Nggak, nggak usah, tetap jalan saja."
Jika Aksa sendiri yang menghubunginya, tentu itu bukan untuk urusan pekerjaan. Aksa menghubunginya tidak akan jauh-jauh dari urusan nafsu. Lara kembali memasukan ponselnya ke tas, sebelum akhirnya dering itu berhenti dan sebuah pesan ia terima.
dr. Aksa
Nanti malam aku jemput, jam delapan.
Jemput? Tidak biasanya laki-laki itu membawanya pergi. Pernah, sesekali keduanya bertemu di luar kos Lara, tapi sangat jarang, bisa dihitung dengan jari padahal hubungan keduanya sudah berjalan lebih dari setahun.
Me :
Iya.
Lara tak pernah menolak jika Aksa menginginkanya. Dia butuh uang, dan ya ... anggap saja Lara rakus, dia juga senang jika bisa bersama Aksa.
"Nanti aku nggak sampai malem ya, Ko. Mau lembur, jam tujuh dah sampai kos ya?" Lara berkata sambil sedikit berteriak, karena angin jalanan yang kencang dan suara motor yang berisik.
"Nggak mau makan cilok dulu di taman?" Suara Koko pun tak kalah kuat.
"Nggak, besok-besok aja."
"Okee deh."
Seperti jam yang disepakati, jam tujuh lewat lima belas menit, Lara dan Koko sudah sampai di kos Lara. Motornya berhenti tepat di depan gerbang, tepat di depan sebuah mobil yang Lara kenali. Mata Lara mampir sebentar ke arah mobil porsche berwarna putih yang terlihat mencolok, tapi sayang, ia tak menemukan apa pun karena kacanya yang gelap.
"Selamat lembur, yee."
"Heem, makasih ya sudah diantar."
"Okee, aku langsung pulang."
"Hati-hati."
Lara memastikan sosok Koko dan kajol menghilang di tikungan. Melihat waktu dengan jam di tangan kirinya, sedikit sangsi sudah menemukan mobil Aksa di pelataran kos miliknya. Bukankah laki-laki itu tadi mengatakan akan datang di jam delapan?
Jika Lara yang salah, suasana hati Aksa pasti berubah tidak mengenakan.
Kaki Lara berjalan menuju mobil Aksa, sambil mengeratkan genggaman tangannya di tali tas yang menggantung. Ia mengetuk jendela gelap yang terus turun menunjukan wajah pemiliknya.
"Langsung masuk aja," titah laki-laki itu.
Belum sampai menyapa, Lara sudah harus mengikuti kemauan Aksa. Malam ini, penampilan Aksa terlihat lebih santai. Memakai sweater turtle neck berwarna hitam dan celana jeans slim fit yang pas.
"Bukannya dokter tadi bilang jam delapan?" tanya Lara, ia sudah duduk di samping kemudi, berusaha duduk sejauh mungkin dekat pintu.
Aksa perfeksionis, tidak suka bau tidak sedap. Sedangkan penampakan dirinya saat ini sangat jauh dari kriteria laki-laki itu. Lara belum mandi, selepas latihan tari sejak siang tadi.
"Kamu pergi sama siapa tadi?" Tidak menjawab pertanyaan Lara, tapi Aksa justru melempar pertanyaan lainnya.
Akan terdengar indah jika laki-laki itu cemburu, tapi Lara yakin, bukan rasa itu yang ada di hati Aksa saat ini.
"Teman."
"Yakin?"
"Iya."
Aksa terdiam, membiarkan suara lagu dari radio di mobilnya mendominasi. Matanya fokus ke arah jalan, mulai keluar dari jalan gang yang menghubungkan langsung ke jalan raya.
"Aku cuma nggak suka, kalau sampai ada yang 'pakai' kamu selain aku. Aku suka sesuatu yang bersih, ngerti kan, Ra?"
Nah, mungkin akan lebih baik jika laki-laki itu diam. Dibanding berbicara tapi terdengar menyakitkan seperti sekarang. Lara tak memutuskan menjawab, lebih mudah baginya melempar pandangan ke arah jalanan kota Jakarta yang ramai. Lebih bisa dinikmati ditengah malam yang pekat dan dada yang sesak.
"Ra, aku ngomong."
"Tenang, dok. Kalau sudah mulai jual diri untuk banyak pria, aku pasti bilang ke dr. Aksa. Biar kalau penyakitan, aku nggak nularin ke dokter," sindirnya lembut. Nada yang ia ucapkan sama sekali tidak terdengar marah, bahkan senyuman tipis sempat bertengger di wajahnya yang redup.
Lalu setelahnya, tidak ada lagi perbincangan. Lara pun juga tidak bertanya kemana laki-laki itu membawanya pergi. Akan sangat mudah bagi wanita itu untuk hanya sekedar mengikuti kemauan Aksa, pulang lalu mendapatkan uang.
Karena seharusnya, memang hanya seperti itu hubungan keduanya.
*
*
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
