Raden Mas Cakra Prolog - BAB 1-3

44
13
Deskripsi

PROLOG


Rumah, suami dan anak-anak.

Sekar pernah bermimpi menjadi ibu-ibu muda sosialita yang pandai menghambur-hamburkan uang, dapat jatah bulanan dari suami setiap tanggal satu, sebagian untuk kebutuhan rumah, dan bagian lain untuk dirinya foya-foya. Sekar pasti membeli tas mewah di pertengahan bulan, pergi ke butik langganan untuk memesan pakaian, atau ... sekedar nongkrong di cafe-cafe estetik supaya tampilan feed instagram-nya kece maksimal.

Ah, hidup dalam mimpi sungguh sempurna. Gambaran yang...

BAB 1 - Sekar Atmariani.

Gaun di atas lutut, lipstik merah merona, rambut yang diikat messy bun ala Selena Gomez. Sekar memantaskan diri di depan cermin, di malam minggu yang katanya panjang. Seperti biasa, Sekar mengunjungi bangunan laknat yang menyuguhkan hura-hura.

Klub malam yang menjadi primadona anak muda di sekitarnya, cukup ramai dan banyak dikunjungi pemuda-pemuda matang yang tampan-tampan. Untuk istilah mapan-nya belum bisa dibuktikan, karena penampilan seringnya membohongi latar belakang, termasuk Sekar. Sekilas pandang, gaya wanita itu layaknya wanita-wanita independen yang gajinya dua digit, tas merek GUCCI yang dibeli preloved dari konten selebgram menggantung di pundak, Sekar tidak peduli tas itu asli atau tidak, yang penting mereknya mentereng.

"Lo yakin, mau nambah lagi, Kar?"

Dimas yang malam ini juga ingin bersenang-senang menerima ajakan Sekar untuk menemaninya, mereka besok sama-sama libur, Dimas juga sedang tidak ada jadwal on-call, keduanya bebas sampai pagi.

Sekar mengangguk, "Iya, gue lagi ada misi."

"Misi apa?"

"Ada deh, lihat aja nanti."

Jujur, Dimas khawatir dengan misi temannya. Pasalnya, seorang Sekar sering bertindak tak terduga, absurd—, cenderung ceroboh. Dimas sering menjadi tumbal dibalik tingkah konyol Sekar.

Sekar mengangkat gelasnya tinggi-tinggi, wanita itu menenggaknya sekali tandas. "Aaarrhg," Rasa panas di tenggorokan menciptakan gejolak hebat, Sekar memejamkan kedua mata ketika efek yang diciptakan begitu kuat. "Gue udah cukup mabuk belum ya, Dim?" tanyanya.

Laki-laki di samping Sekar mengedik bingung, "Nggak tahu, kalau menurut gue sih belum. Lo punya toleransi tinggi sama alkohol."

"Ck,"

Secara harfiah, Sekar dan Rani saja sudah berbeda. Jika Rani gampang tipsy, Sekar lebih tahan banting.

"Nggak apa-apa lah, gue coba dulu."

Tidak ada cara yang tidak layak dicoba, yang penting berusaha.

Menggenggam ancaman ibu-nya yang memaksa Sekar menerima lamaran jika tak kunjung mendapatkan pasangan di usia 32 tahun, nasib romansa Sekar berada di ujung tanduk. Wanita itu memutuskan bertindak lebih berani, menjiplak ide cerita sahabatnya yang berhasil bahagia. Persetan, daripada harus menikah dengan aki-aki tua beristri, lebih baik Sekar mencoba mendapatkan pria muda tampan yang terlihat punya banyak uang.

Pilihan Sekar adalah pria berkemeja biru navy yang duduk di sofa, terlihat sendiri meski sejak satu jam lalu ia duduk di tempat yang sama. Seperti pria-pria matang kesepian yang butuh belaian, siapa tahu—, dia juga sedang mencari wanita yang butuh dinafkahi seperti dirinya.

"Dah lah, dicoba dulu," bisik Sekar dalam hati. Ia sengaja mengacak tatanan rambut, supaya terlihat meyakinkan kalau dirinya sedang mabuk. Lipstiknya diusap tipis, gaunnya diangkat naik satu senti. "Lo tunggu gue di sini ya, Dim. Kalau ada apa-apa, lo wajib bantu."

Keberadaan Dimas bukan tanpa alasan, Sekar tetap butuh laki-laki yang diharapkan bisa membantu jika rencananya gagal.

Sekar berjalan sempoyongan, sesekali umpatan terdengar dari orang-orang yang tidak sengaja menyenggolnya. Wanita itu mengincar satu tujuan yang sama, di langkah ketiga dia sempat hendak berbalik namun kembali menguatkan diri.

Demi menghindar menikah dengan aki-aki.

Kakinya pun melangkah lagi, menapak lantai dengan heels setinggi tujuh senti. Sekar mengangkat dua sudut bibir, tanpa dipersilakan wanita itu duduk di samping pria berkumis tipis yang langsung mengerut tajam melihat tingkahnya.

"Kesepian ya? Boleh gue temenin?"

Sekar mengeram dalam hati, pilihan kata pertamanya justru membuat dirinya seperti wanita murahan yang menjajakan diri. Pria itu masih diam, dan Sekar mengurangi gusar dengan mengambil satu cangkir minuman di meja.

"Buat gue, boleh ya?" tanyanya meminta izin, "Kalau lo diem, berarti boleh."

Sekar menenggak minuman, sengaja mengalihkan perasaan cemas di dada. Sumpah, ini kali pertama wanita itu mencoba menggoda pria, dan rasanya ... seperti pesta kembang api digelar di seluruh nadi.

"Sendiri?" tanya Sekar lagi, sengaja menjatuhkan kepalanya di pundak pria itu.

Hem, rasanya hangat dan wangi. Ya, Tuhan, ternyata punya laki senyaman ini. Ke mana Sekar selama 32 tahun hidup menjomblo?

Jari Sekar bermain di perut pria itu yang keras, dalam hatinya membayangkan bentuk otot seksi kotak-kotak ala atlet sepakbola. Senyum Sekar dibuat semanis mungkin, sengaja mengundang pria itu semakin dekat.

"Kok lo diem terus sih dari tadi?" tanya Sekar. Apa usahanya berhasil?

Pria berkumis tipis itu akhirnya mendekat, "Nggak, gue nggak sendiri," jawabnya santai.

Sekar tertarik dengan jawaban pria itu, dahinya mengerut. "Lo sama siapa?“

"Sama cewek gue."

Seketika Sekar menegakkan badan, kembang api berubah ketakutan yang menjalar, meletus di tangan. "C—cewek lo, di mana?"

"Tuh."

Laki-laki itu berkedik ke arah seorang wanita yang berdiri tak jauh dari tempat mereka duduk. Wanita itu menyilangkan tangan di depan dada, menatap Sekar layaknya mangsa yang siap diterkam.

Pria itu berbisik sambil tersenyum tipis, "Cewek gue kelihatannya marah, bukan cuma karena lo deketin gue, tapi juga karena minumannya lo ambil."

Sumpah demi harga dirinya yang tak seberapa, mata Sekar membulat saat menemukan wanita itu mendekat dengan ancaman yang nyata.

"Sorry—, gue ..."

Kalimat Sekar tertelan, tidak karena dibungkam, tapi karena kepalanya disiram dengan sisa wine di gelas.

"Dasar murahan lo, mau goda cowok gue?"

"Lacur lo!"

"Cewek gatel!"

Tidak hanya ada satu, tapi teman-teman wanita itu memberondong Sekar dengan kalimat-kalimat tuduhan yang menyakitkan. Sekar malu, karena hampir semua pasang mata di sekitar menatapnya penuh cemooh, ya ... dia sebagai tertuduh saat ini.

Air mata Sekar hendak luruh, otaknya yang biasa encer tiba-tiba dungu, wanita itu bukannya menjauh tapi justru duduk beku tak bisa berkutik. Sial memang sedang menggelayuti kehidupan Sekar, dia tidak berniat merebut kalau pun pria ini sudah berpasangan—, dia hanya sedang mencoba peruntungan.

"Pergi lo!" hardik wanita itu lagi. Kali ini ada jambakan yang turut serta. "Dasar nggak laku!"

Kalimat terakhir sangat berarti bagi Sekar, karena tepat mengenai hatinya.

"Permisi, maaf, dia sama saya."

Suara pria yang dikenal mendekat, Dimas menyampirkan jaket kulit miliknya menutupi kepala dan punggung Sekar.

"Maaf ya," ucap Dimas sopan.

Sorakan cemooh riuh terdengar mengikuti kepergian mereka berdua, Dimas membawa Sekar ke luar klub lalu masuk ke mobil milik laki-laki itu. Honda mini bus keluaran lawas terlihat terawat, meski aromaterapi pewangi yang menggantung sama sekali tak mengusir kesedihan. Sekar menangis hebat, duduk di kursi samping kemudi dengan kedua tangan menutupi wajah.

"Hidup gue kenapa, sih? Huaaa, miris bangeeet."

"Apa gue kena karma ya, Dim? Atau gue kena kutukan? Huaa, gue desperate banget sumpah."

Dimas setia mendengarkan, sesekali hembus nafasnya terdengar. Dia tidak bisa melakukan apa-apa untuk menenangkan Sekar, karena sebagai pria—, dia pun cukup terkejut dengan tindakan yang wanita itu lakukan.

"Gue cantik nggak, Dim?" tanya Sekar mulai melantur, mungkin efek alkohol atau kejadian berat yang baru saja menimpa. "Gue menarik nggak sih jadi perempuan?"

Dimas sempat menimbang apakah dirasa perlu menjawab pertanyaan Sekar, tapi ketika tangan wanita itu mencengkeram kerah demi menuntut jawaban, Dimas pun mulai merangkai penilaian.

Sebagai pria tulen yang pernah beberapa kali menjalin hubungan, menurutnya—, Sekar itu cantik, tapi tidak menarik. Entah karena wajahnya yang judes, atau mulutnya yang blak-blakan dan .. terkesan urakan. Sebagai pria, Dimas lebih suka tipe-tipe Rani yang pendiam, selalu menunduk dan menjaga pandangan.

"Dim, jawab gue," mohon Sekar, seperti biasa—, selalu seenaknya sendiri.

"Lo cantik kok, Kar. Kalau menurut gue."

"Terus, kenapa lo nggak tertarik sama gue?"

Pertanyaan selanjutnya jauh lebih sulit, Dimas bahkan merogoh otaknya lebih dalam untuk menyiapkan jawaban yang aman. Jujur, dia hanya tidak ingin menyakiti hati Sekar lagi, setelah kejadian sulit yang tentu tidak akan mudah ia lupakan seumur hidup.

"Mmm ...." Dimas sedang menimbang dalam tekanan, karena sorot mata Sekar yang tajam. "Mungkin karena lo bukan tipe gue aja."

"Kalau nggak ada yang suka sama gue, apa memang gue bukan tipe semua laki-laki?"

Damn, God! Dimas mulai tak nyaman, dia lebih suka dihadapkan dengan tindakan sulit di kamar operasi daripada menjawab pertanyaan Sekar.

"Apa gue sama sekali nggak menarik di mata semua laki-laki ya, Dim?"

Kalimat Sekar jauh lebih lemah dari sebelumnya, sebagai teman—, sedikit banyak Dimas tahu latar belakang kehidupan Sekar. Selama hampir berusia 32 tahun, wanita itu tidak pernah sekalipun menjalin hubungan. Katanya, Sekar cukup sering jalan dengan laki-laki, tapi setelah pertemuan pertama atau kedua, mereka biasanya menghilang. Kalau istilah anak muda jaman sekarang, Sekar itu cewek korban ghosting.

"Lo cuma belum ketemu cowok yang se-tipe aja, Kar. Sudahlah, nggak usah terlalu diambil hati."

Sekar kembali meluruhkan air mata, otaknya sedang mengedar ke mana-mana. Tuntutan ibu yang meminta Sekar pulang untuk menerima pinangan, jika di akhir bulan di tanggal ulang tahunnya dia tidak mengenalkan calon suami. Memiliki keluarga kolot yang beranggapan bahwa tidak baik perempuan menikah di atas usia 30 tahun, katanya nanti sulit punya anak, dan berbagai macam label buruk di belakangnya.

Sekar pun dipaksa menikah.

"Kalau gue nggak bawa calon suami, gue mau dijodohkan dengan pria beristri, Dim. Itu alasan yang bikin gue bertindak gila malam ini."

Dimas terkejut, matanya berkedip banyak. Akhirnya dia paham dengan hal bodoh yang mendasari tindakan Sekar. "Terus? Lo nggak mau."

"Nggak mungkin kan, gue nikah sama aki-aki, Dim?"

"Iya juga sih."

"Atau, lo mau nggak jadi suami gue?"

Kali ini, mata Dimas melotot bulat, bibirnya ternganga menerima ajakan menikah dari wanita yang dianggapnya teman. "Nikah? Sama lo? Nggak lah, Kar. Gue mau nikah sama cewek yang gue suka," jawabnya cepat tanpa berpikir panjang.

"Katanya, cinta bisa datang karena terbiasa, Dim."

"Nggak, Kar. Gue nggak mau terlibat sama masalah hidup orang lain, hidup gue sendiri saja sudah rumit."

Malam ini, Sekar kembali mendapat penolakan yang kesekian. "Terus, masa gue jadi nikah sama aki-aki, Dim?"

BAB 2 - Perjodohan.

"Gue gagal, Ran."

"Gagal apa?"

"Dapat pacar."

Rani sedang memilah brokoli berwarna hijau segar berukuran sedang, lalu memasukkan salah satunya ke dalam troli. "Itu bukan gagal, cuma belum dapet aja."

Sore ini, Rani mengajak Sekar jalan-jalan di sekitar rumah sakit, mumpung ada waktu untuk belanja. Hakam dan adiknya dijaga Gayatri yang memaksa mengakuisisi dua cucunya sendiri.

"Tapi, gue sepertinya menyerah deh, Ran. Minggu ini, Ibu ngajak gue ke rumah nenek." Sekar mengucap kalimat itu diakhiri dengan hembusan nafas panjang, seakan beban berat jatuh di pundak bersama keputusan ibunya yang diambil sepihak. "Nggak ada lagi jalan ke luar buat gue menghindar dari perjodohan."

Rani menggigit bibir, matanya mengedar ke arah deretan susu-susu kotak yang terpajang di etalase, wanita itu sedang menimbang susu rasa apa yang paling disukai Hakam.

"Ran!" hardik Sekar.

"Hem?"

"Ck, lo nggak dengerin gue ya."

"Gue lagi mikir, Kar."

Selain pilihan rasa susu, Rani juga ingin memberi satu jawaban yang bisa menenangkan sahabatnya, tapi beberapa detik dilalui tanpa satu patah kata pun berhasil diutarakan.

"Jalani saja dulu, Kar. Proses pernikahan itu panjang, tidak akan terjadi dalam beberapa hari. Akan ada waktu ngobrol berdua sama nyokap, buat jelasin alasan dibalik penolakan lo," ucap wanita itu akhirnya.

Rani melanjutkan belanja, sedang Sekar lanjut memikirkan masa depan.

Isi troli mereka berdua tidak terlalu banyak setelah setengah jam belanja, hanya beberapa macam sayur dan susu kotak bernutrisi tinggi. Sekar memasukkan satu botol body lotion di keranjang, tanpa berniat memberi uang untuk mengganti.

"Lo nggak lagi nyidam kan, Ran? Jauh-jauh ke sini cuma mau makan es krim strawberry yang bisa lo dapetin di mana-mana."

Rani tidak benar-benar butuh berbelanja, wanita itu hanya ingin ditemani makan es krim dekat rumah sakit yang dulu pernah menjadi favorit mereka.

Rani memukul lengan Sekar yang duduk di sebelahnya. "Sembarangan! Gue belum mau punya anak lagi, sakit tau."

Rani pernah mendiami Bagas selama seminggu hanya gara-gara hamil anak kedua di jarak dekat, jika kembali terulang—, pasti kebisuannya berlangsung lebih dari sebulan. Rani bukannya tidak ingin punya anak, hanya berharap diberi jeda untuk fokus mengurus anak-anaknya yang masih kecil.

"Lah, ya nggak apa-apa punya anak lagi, kan? Kalau perlu sampai lima, lo punya suami yang tanggung jawab. Beda lagi kalau gue yang hamil, siapa yang mau tanggung jawab?"

"Yang bikin lo hamil lah."

"Masalahnya, nggak ada yang mau bikin gue hamil, Raan. Gue udah gelar flash sale akhir tahun pun nggak ada yang minat."

Dua cup es krim di meja, Rani memilih rasa strawberry, Sekar menggenggam rasa vanila di tangan. Keduanya menikmati es yang lumer dan manis.

"Kar," panggil Rani.

"Hem."

"Kalau lo tetap nggak bisa dapat pacar, lo mau nikah sama pilihan nyokap?"

Sekar mengedik lemah, membiarkan sendok es krimnya bertahan di antara bibir meski rasanya hambar. Terpaksa wanita itu mengangguk, "Ya, mau gimana lagi, Ran? Nyokap gue kalau maksa kaya rentenir, pakai ancaman."

"Jadi, minggu ini lo cuti?"

"Iya."

Berbekal rasa malas yang tinggi, tanpa antusias sama sekali Sekar berkunjung ke rumah neneknya dan mengambil cuti empat hari di akhir pekan. Dulu, waktu kecil Sekar sering menghabiskan waktu di kota ini selama libur sekolah atau lebaran, tempat ini tidak sepenuhnya asing meski jarang dikunjungi, apalagi setelah kematian ayahnya satu tahun yang lalu.

"Masuk, Nduk. Sekarang sudah dewasa ya kamu, padahal dulu suka main di kali depan."

Nenek Sekar masih terlihat kuat meski berusia tua, sebuah tongkat digunakan sebagai tumpuan untuk berjalan meski pelan-pelan. Sekar sering takjub pada fisik orang-orang desa jaman dulu, mereka masih bisa beraktivitas meski di usia senja.

"Silakan duduk, maaf kalau ada yang basah, atap rumah pada bocor, mau manggil tukang belum sempat," ucap nenek Sekar bernama Rumini.

Nenek Sekar tinggal sendiri, di rumah peninggalan suaminya yang diharapkan menjadi tempat terakhir beristirahat. Meski sendiri, penduduk sekitar memiliki jiwa tolong menolong yang tinggi, kedekatan tetangga samping kanan dan kiri melebihi saudara meski tidak terikat darah.

Sekar menurut, mengambil satu kursi dan bersanding di samping ibunya. Sesampainya di rumah ini, Sekar hanya diam mendengar percakapan antara menantu dan mertua.

"Namanya ... Raden Mas Cakra, darah bangsawan mengalir di tubuhnya. Raden Mas sedang mencari wanita untuk dijadikan istri, karena kebetulan istri pertamanya tidak bisa memberikan anak, sedang sebagai keturunan ningrat—, beliau diharuskan memiliki penerus."

Sekar mencerna penjelasan neneknya lalu berceletuk, "Maksudnya, dia cuma mau nyari anak lewat rahim saya, begitu?"

"Hush," Rumini menghardik cucunya. "Tidak boleh nyebut Raden Mas dengan kata itu, kamu harus membiasakan tutur kata yang lembut."

Sekar memutar bola mata, bahkan belum menikah saja dia sudah dapat banyak tuntutan. Wanita itu akhirnya memilih enggan menanggapi, membiarkan ibunya yang mencari informasi. Rumini mengatakan minggu ini laki-laki itu berkunjung ke rumah orang tua-nya, sekalian dicarikan istri, waktu yang dimanfaatkan untuk mengenalkan Sekar pada keluarga.

"Bu, pokoknya aku nggak mau nikah sama laki-laki itu. Dia cuma mau cari anak, Bu, bukan cari istri."

Sekar langsung menuturkan penolakan saat mereka berdua di kamar, dalam tiga hari ini mereka tinggal di rumah nenek Sekar sebelum acara pertemuan direncanakan.

"Kita sudah jauh-jauh datang ke sini, Kar. Ketemu dulu, baru nanti-nanti diurus belakangan."

Ndari pura-pura sibuk menata kamar, karena tempat ini lama tidak dipakai jadi perlu dibereskan terlebih dahulu sebelum ditiduri. Mereka bukan tamu, jadi kalau mau nyaman ya harus beres-beres sendiri.

"Bu, tapi dia cuma mau anak lho, Bu. Dia—."

"Ya mumpung cuma cari anak, Kar. Jadi nggak ribet banyak syarat, kalau nyari istri belum tentu dia mau sama kamu."

Kalimat yang baru saja diucapkan adalah kalimat terpedas yang hadir lewat bibir ibunya sendiri, wanita itu tahu bahwa pria ningrat itu hanya menginginkan rahim Sekar, bukan sebuah pernikahan tulus yang terjadi di antara dua insan.

Sekar menahan Ndari yang sejak tadi menghindar, berdiri tepat di depan wanita itu. "Tolak tawaran perjodohan ini, Bu. Aku nggak mungkin nikah dengan pria yang sudah beristri."

Ndari memasang wajah garang, matanya tajam menembus kelopak mata Sekar yang sayu. "Hutang ayahmu masih ratusan juta, bagaimana cara kita bayar? Mau jual rumah? Oke, kita jual, dan biar adik-adikmu tidur di jalanan."

"Bukan begitu maksudku, Bu. Tapi ... kita coba cara lain selain menjualku!"

Bentakan cukup keras terdengar, Ndari menutup bibir Sekar agar anaknya menurunkan nada bicara. "Kamu mau bayar pakai cara apa?"

Sekar berusaha menjauhkan tangan ibunya. "Aku nggak tahu, tapi yang jelas—, aku tidak berkewajiban membayar semua hutang-hutang bapak!"

"Kar, pelankan suaramu," hardik Ndari. "Nenekmu bisa dengar, dia nggak akan mau bantu kalau kamu nolak begini."

Air mata Sekar jatuh, syarat akan rasa kecewa. Demi apapun itu dia tidak mau dinikahkan, tapi ibunya selalu memaksa.

"Setidaknya, dengan menikah kamu bisa bantu meringankan beban ibu. Kamu punya suami, ibu tidak lagi bingung kalau ditanya kapan kamu nikah. Dan terlebih—, hutang bapakmu lunas dan kita bisa melanjutkan hidup."

Hidup keluarga seakan berhenti ketika tumpukan hutang satu persatu berdatangan. Jika dikumpulkan, harta peninggalan ayah tidak cukup untuk membayar. Sekar sudah mengajukan pinjaman dari bank dan juga perusahaan dengan nominal yang cukup besar untuk pegawai swasta seperti dirinya. Namun, di tengah cicilan yang menghimpit setiap bulan, stempel lunas tak kunjung didapatkan, bahkan—, setiap hari bunga pinjaman semakin besar.

Jangankan mau gaya hidup mewah, bertahan saja pun sulit.

"Bagaimana kalau mereka nggak mau bayar hutang bapak?"

Ndari mengeratkan bibir, wanita itu membuang muka. "Itu yang sedang diusahakan nenekmu."

Sekar tak habis pikir, bagaimana bisa ibu dan neneknya bekerja sama untuk menjualnya?

"Setelah nikah dan punya anak, lalu apa?"

"Tergantung Bu Indriati, dia yang akan menentukan semuanya."

"Siapa wanita itu?"

"Raden Ayu Indriati adalah ibu dari Raden Mas Cakra, calon ibu mertuamu."

Hanya mendengar nama saja berhasil membuat jantung Sekar mencelos perih, ia membayangkan wanita tua berdarah biru yang lahir dengan sendok emas. Mereka terbiasa mendapatkan apa yang diinginkan, lantas—, bagaimana Sekar bertahan di kemudian?

BAB 3 - Pertemuan.

Hari yang dinanti tiba, kedatangan keluarga calon mempelai pria disambut dengan suka cita. Sekar memakai baju kutu baru berwarna merah muda, rambutnya disanggul rapi dengan polesan make-up minimalis. Sekar menuruti setiap perintah ibunya, tanpa sedikitpun niat ingin tahu tentang bagaimana rupa calon suaminya. Wanita itu seperti boneka hidup yang digerakkan atas perintah, duduk anggun di sofa ruang tamu kediaman Rumini.

Tidak ada pesta atau hingar bingar yang dihidangkan, karena pertemuan ini bersifat rahasia hanya untuk internal keluarga.

Sekar memasang tatapan kosong, kala utusan keluarga Adiwilaga muncul dari pintu depan. Pria berpakaian serba hitam itu menunduk sopan, lalu masuk ke dalam rumah Rumini tanpa majikan yang diharapkan. Pria itu mengaku sebagai sopir keluarga Adiwilaga, menyampaikan pesan pada pemilik rumah bahwa pertemuan ini akan dilanjutkan di kediaman Adiwilaga.

"Jadi, saya dan anak perempuan saya diundang ke kediaman keluarga Adiwilaga?" tanya Ndari, mengulangi penjelasan karena takut salah paham.

"Betul, saya diminta menjemput Bu Ndari dan putrinya," jawab pria itu.

Ndari meminta pertimbangan Rumini, wanita tua itu mengangguk setuju. Mungkin, pertemuan di kediaman Adiwilaga dianggap lebih terjaga, tidak ada informasi yang lepas pada orang yang tidak tepat.

"Baik, saya ambil tas dulu."

Sekar dan Ndari dibawa menggunakan mobil alphard berukuran besar, duduk di kursi kulit yang nyaman dengan jarak lebar antara satu kursi dengan kursi lainnya. Kenyamanan yang tak mengurangi kecemasan sama sekali di hati Sekar. Mereka berhenti di sebuah rumah satu lantai yang halamannya seluas taman kota, ada air mancur dengan lampu warna-warni di bawahnya. Mobil-mobil mewah berjejer rapi, berlindung di bawah atap berdinding besi.

Sekar dan Ndari disambut seorang pelayan perempuan yang mengantarkan mereka ke ruang tamu. Ruangan berukuran luas dengan sofa-sofa yang terbuat dari ukiran kayu jati, tempat duduknya berukuran besar dengan punggung kursi yang tinggi, lampu kristal menggantung memancarkan cahaya ditemani puluhan lampu di beberapa sisi. Ruangan ini seakan ingin menegaskan kemegahan pemiliknya pada setiap tamu-tamu yang datang.

"Silakan duduk, Bu Indri sebentar lagi akan menemui ibu," ucap salah satu pelayan yang tadi mengantar mereka berdua.

"Baik, terima kasih."

Beberapa hidangan disajikan, berisi jajanan pasar dan aneka macam buah-buahan. Sepuluh menit mereka menunggu tanpa kepastian, hingga salah satu pelayan kembali muncul dan menyampaikan bahwa Indriati sedang menuju ke ruang tamu. Sekar dan Ndari diminta berdiri, menyambut seorang wanita paruh baya berparas cantik yang memiliki tahi lalat di bawah bibir.

Indriati adalah wujud bangsawan yang mumpuni, cantik—, dengan campuran paras belanda yang terlihat dari warna bola mata hijau dan kulitnya yang putih bersih. Wanita itu berjalan dengan anggun, senyumnya menunjukkan kepercayaan diri yang tinggi.

"Selamat malam, terima kasih sudah mau datang ke gubuk saya, Jeng Ndari."

Dari pilihan kata-nya saja Sekar sudah mencibir malas, rumah seluas lapangan yang disebut gubuk itu dipilih untuk merendah tapi tetap meninggi. Sekar menutupi raut wajahnya dengan menunduk sopan sebagai tanda hormat, karena bagaimanapun—, wanita di hadapannya bergelar bangsawan.

"Saya yang sangat terharu, Bu Indri mengundang kami ke kediaman," ucap Ndari. "Terima kasih, sudah diberi kesempatan singgah di kediaman Adiwilaga."

Mulut ibunya tak kalah manis, Sekar tak kuat menahan untuk tidak berkomentar pedas. Padahal di balik layar, kata-kata ibunya selalu menohok tajam, tak jarang Sekar terbawa perasaan dan memilih tinggal terpisah di kontrakan.

"Silakan duduk, maaf hanya bisa menyuguhi seadanya."

"Ini sudah lebih dari cukup, Bu Indri."

Ndari dan Sekar kembali duduk. Sebelum acara tiba, seharian Sekar diajarkan sikap sopan yang melambangkan seorang priyayi, mulai dari cara duduk, cara tersenyum hingga tutur kata yang tidak boleh meninggi. Seorang wanita yang ingin bersanding dengan keturunan bangsawan harus selalu bisa menjaga diri, karena setiap gerak-geriknya dinilai dan menunjukkan jati diri.

Sekar duduk dengan paha yang saling menempel dan kaki yang sedikit menyerong. Tidak seperti biasa saat di kontrakan, dia duduk melipat kaki, atau dengan kedua paha yang terbuka seperti preman. Meski malas, nyatanya—, malam ini wanita itu melakukan perannya dengan sangat baik.

"Kebetulan, Mas Cakra sedang ke luar bersama Batari, mereka kalau berkunjung ke rumah orang tua ya seperti itu, sering menghabiskan waktu untuk mengenang masa-masa muda."

Sekar mengangkat senyum yang anggun, dia melakukan wejangan ibunya dengan sangat baik. Pesan ibunya; Sekar tidak boleh menjawab tanpa ditanya, tidak boleh mengomentari ataupun bersikap tak sopan seperti biasa. Nasib keluarganya ditentukan malam ini, jika Raden Ayu Indriati setuju—, maka pernikahan akan segera dilangsungkan.

"Siapa namamu, Nduk Cah ayu?" tanya Indriati tertuju pada wanita muda di hadapannya.

"Saya Sekar Atmariani, biasa dipanggil Sekar, Bu," jawab Sekar, suaranya dirubah setelan rendah, lembut-lembut basah meski sempat tertahan di tenggorokan.

"Nama yang cantik, seperti orangnya."

Hah? Yakin? Sekar bertanya dalam hati, karena seumur hidup, baru kali ini ada orang yang memuji dirinya cantik.

Indriati menyampaikan bahwa jika perjodohan dilanjutkan, sebelum pernikahan akan ada pemeriksaan kesehatan, mulai dari golongan darah dan rhesus yang harus dicek dahulu, juga terkait menstruasi dan kesehatan rahim.

"Maaf, bukannya saya tidak percaya. Hanya saja, di usia Mas Cakra yang menginjak 35 tahun, dia harus segera punya keturunan yang akan membawa nama besar Adiwilaga. Jadi, diharapkan semua direncanakan dengan baik."

Sekar menarik nafas panjang, wanita itu kembali memberi tanggapan hanya dengan anggukan sopan.

Di sela perbincangan, seorang pelayan datang menghampiri Indriati, membisikkan sesuatu yang hanya didengar wanita itu. Senyumnya seketika merekah, dengan sumringah Indriati menyampaikan kalau anak sulungnya sudah tiba.

"Mas Cakra sudah datang," ucap Indriati, lalu meminta Sekar bersiap.

Sekar menanti dengan rasa penasaran yang tinggi, bagaimana rupa laki-laki yang kelak akan menjadi pendampingnya. Entah seberapa lama usia pernikahan mereka itu pun masih menjadi misteri, tapi yang jelas—, pria itu akan menjadi bagian dari kehidupan Sekar yang biasa saja.

Derap suara langkah mendekat, menyatu dengan degup jantung Sekar yang berdetak cepat, menciptakan irama yang selaras dengan ketegangan yang pekat. Semakin dekat dengan pertemuan, kepala Sekar justru menunduk lemah. Ternyata dia tidak sekuat itu untuk menanti takdirnya di depan mata, hingga suara bariton berat yang menyapa indera menarik perhatian. Nafasnya tertahan, ketika wajahnya mendongak dan bertemu pria yang sudah ditentukan garis jodohnya.

Nafasnya tak kunjung dilepas, kala netra gelapnya yang polos bertemu dengan sosok tinggi tegap yang menyapa Indriati. Seorang pria yang memiliki senyum manis seperti gula aren, mata hijau kecoklatan dan alis tebal yang hitam. Layaknya seorang pria bangsawan yang berwibawa, terlihat dari cara pria itu menyapa dan memeluk ibunya.

"Nunggu lama, Bu?" tanya pria itu.

"Belum, Mas. Ini, keluarga bu Rumini."

Nafas Sekar kembali tertahan, detak jantungnya meninggi ketika mata mereka bertemu. Senyum yang sebelumnya manis mengabur bahkan ketika Sekar belum sempat membalasnya. Sorot mata tajam yang tak menunjukkan keramahan, sepertinya—, paksaan ini tidak hanya bagi Sekar, karena pria yang memiliki gelar Raden Mas itu pun menunjukkan hal serupa.

"Sekar Atmariani, cucu dari Bu Rumini. Ibu sudah pernah menyampaikan ke kamu, Mas."

Bukan pria tua botak yang dikenalkan pada Sekar, melainkan seorang pria keturunan ningrat yang memiliki paras rupawan layaknya seorang pangeran.

Laki-laki itu kembali memaksa senyum ketika menghadap ibunya, "Terserah ibu saja yang atur," ucap pria itu lalu permisi masuk ke dalam rumah.

"Mas Cakra memang seperti itu, tidak mudah kalau bertemu dengan orang baru."

Sekar menelan ludah, niatnya ingin duduk kembali ditahan ketika seorang wanita muncul. Wanita muda berparas cantik yang memiliki bibir tipis dan mata yang sipit, rambutnya hitam kecoklatan sepanjang bahu. Wanita yang memakai kemeja kebesaran itu tetap terlihat anggun meski wajahnya imut, bibir merah mudanya tersenyum kala mendapati tamu di rumah ini.

"Kenalkan, Nduk Sekar. Ini Batari, dia adalah istri pertama Mas Cakra."

Jika istri pertamanya saja spek artis korea, bisa dipastikan hidup Sekar berada di ambang petaka. Sekar tidak akan pernah sebanding jika bersanding di antara mereka berdua.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Raden Mas Cakra
Selanjutnya Raden Mas Cakra 4-5
34
11
Tuhan mengabulkan doa Sekar dengan cepat, sebentar lagi ia akan mendapatkan suami tampan dan kaya raya. Sayangnya, doa Sekar kurang lengkap, wanita itu lupa untuk menambah kriteria berstatus single alias sendiri. Alhasil, Sekar mendapat suami yang sudah beristri, wanita cantik yang hanya dari sorot mata saja terlihat sangat dicintai semua orang.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan