

BAB 1 - First Impression
"Bagaimana?" Suara bariton memecah sepi, di tengah ruang privat salah satu hotel milik keluarga Adiwijaya. Seorang laki-laki bermata coklat yang tajam, duduk tegap dengan satu tangan berada di dagu.
"Bagaimana ... apanya?" cicit wanita di hadapannya.
"Tentang ... pernikahan kita."
Wanita itu melepas tautan mata keduanya, jemarinya bergerak mencari kehangatan dari satu cangkir teh yang ia pesan beberapa menit lalu. "Aku rasa, terlalu cepat membahas tentang pernikahan di pertemuan pertama. Kedatanganku kesini hanya untuk sekedar bertemu, tidak lebih."
Bibir tebal di hadapannya tersenyum miring menyebalkan, datang dari seorang laki-laki muda yang terpaut usia empat tahun. Entah alasan apa yang diambil Randu, hingga menjodohkan Pramesti dengan seorang laki-laki seperti Devan Adiwijaya. Selain kaya dan sukses di usia yang terbilang muda, banyak track record buruk yang berhasil tercatat rapi di belakang nama Devan. Seperti : hidup mewah, arogan, suka dunia malam dan beberapa kali tersandung dengan kasus wanita.
"Kenapa harus diperumit? Jika jelas tujuan pertemuan ini arahnya ke sana," jawabnya enteng. Laki-laki itu melepas jas yang membungkus tubuh atletis miliknya, lalu membuka satu kancing kemeja bagian atas, terkesan ... urakan. Kedua tangannya berpangku di meja, duduk dengan arogansi tinggi dan mata yang tak lepas dari wanita di hadapannya. "Kamu single, aku single, tidak ada yang salah dengan pernikahan."
"Aku tidak ingin terburu-buru menikah, aku ingin, semuanya berjalan pelan dan matang.“
"Kalau tidak salah, usiamu sudah hampir tiga puluh lima tahun, tapi kamu mau melangkah pelan?" tanyanya sangsi, disertai kerutan di dahi dan diakhiri dengan kekehan yang sengaja disamarkan. "Mau nunggu berapa lama lagi, waktu yang kamu butuhkan untuk mencari pasangan?"
Mendengar kalimat yang menyudutkan, Pramesti beranjak berdiri. Ia mengambil ponsel yang terletak di meja, lalu memasukannya ke dalam cluth hitam dengan tergesa. Hal yang paling tepat menurutnya adalah, pergi dari ruangan mewah yang penuh intimidasi ini.
"Mau pulang? Kalau kamu pulang ditengah acara makan malam kita, jawaban apa yang akan kamu berikan untuk papamu?" Devan menyenderkan tubuhnya ke kursi, menunggu respon Pramesti setelah pertanyaan lugas tanpa perlu jawaban yang baru saja ia lontarkan. "Sekali lagi, kamu gagal mencoba." Ada hal yang sengaja ditekan.
"Kedua orangtuaku memang menginginkanku untuk segera menikah, tapi tentu saja ... tidak dengan laki-laki sok tahu sepertimu yang pandai menyudutkan lawan bicara."
Kedua alis tebal laki-laki itu menyatu, tak merasa bersalah sedikitpun dengan kalimat yang keluar dari bibirnya. "Aku ... hanya menyampaikan pendapat."
"Terima kasih, tapi maaf, aku tidak sedikitpun berminat dengan segala macam jenis hubungan bersamamu." Tanpa permisi, Pramesti melenggang pergi.
Ia melempar clutch hitam miliknya asal ke jok samping kemudi, mendesah pelan, mencoba melepas kekesalan yang sedari tadi coba diredam. Ini adalah kesekian kali pertemuan yang diatur papanya, bertujuan mempertemukan Pramesti dengan calon suami yang dianggap mumpuni. Dan dari kesekian kali itu, malam ini, adalah malam terburuk yang pernah ia rasakan.
Sejak papanya memanggil Pramesti, menyampaikan tujuan untuk kembali memperkenalkan wanita itu dengan seorang laki-laki yang dianggap tepat. Dia sudah menolak rencana papanya untuk menjodohkannya dengan Devan Adiwijaya.
Pramesti, sudah cukup banyak mendengar berita tentang laki-laki itu. Anak laki-laki dari salah satu kolega papanya yang merupakan seorang pengusaha besar. Seseorang yang sangat terkenal dengan arogansi, kesombongan dan hal yang paling penting adalah kesukaan laki-laki itu dengan dunia malam.
Devan terkenal memiliki tangan dingin di dunia bisnis, itu-lah yang membuat namanya besar dan berhasil memegang perusahaan seorang diri setelah papanya meninggal. Devan menggeluti dunia bisnis sejak usia muda, tumbuh dengan tuntutan dari semua sudut termasuk orang-orang di perusahaannya sendiri.
"Haaaaah!!!" teriak Pramesti di dalam mobil. Ia menelungkupkan kepalanya di kemudi, merutuki nasib cerita romansanya yang tak pernah berjalan baik. "Tuhaaaan, aku harus gimana, sih?" isaknya dengan tangis tertahan.
Bukan tidak berusaha, beberapa kali Pramesti sudah mencoba membuka hati, tapi nyatanya, terlalu sulit bagi wanita itu untuk kembali menerima orang baru. Selama tinggal di Semarang, dia sudah beberapa kali dipertemukan dengan laki-laki pilihan papanya, selain itu, dia juga sempat dekat dengan beberapa teman pria. Tapi semuanya, tidak ada yang berhasil meraih hati Pramesti, padahal jelas, tuntutan pernikahan datang dari semua penjuru silsilah keluarga.
Pramesti kembali menghela nafas, lalu melepaskannya perlahan. Setelah merasa cukup lega, ia mulai menjalankan mobilnya menuju rumah.
Sesampainya di rumah, semua lampu masih dalam keadaan terang benderang. Artinya, kedua orangtuanya masih terjaga, karena tentu saja dia pulang terlalu dini, hanya berjarak satu jam dari waktu ia pergi.
"Kok sudah pulang, Mbak?" tanya Papa Randu, yang sangat kebetulan membukakan pintu. Laki-laki itu mengikuti anak perempuannya sampai di ruang tengah, di mana istrinya juga berada. "Ketemu orangnya, kan?" tanyanya kembali memastikan.
Pramesti mengangguk mengiyakan, dia memang bertemu Devan Adiwijaya, sempat berada di dalam ruangan privat di salah satu hotel di Semarang milik laki-laki itu.
"Kenapa cepat banget ketemunya?"
"Paa ...," panggilnya lemah.
"Ya?" Papa Randu berdiri tegas, menunggu jawaban anak perempuannya seperti seorang algojo di persidangan. Sebagai seorang hakim yang terkenal dengan ketegasan dan kecerdasannya memecahkan kasus, Randu paham betul, ada hal janggal yang ingin disampaikan anaknya.
"Dia ... laki-laki yang sangat arogan, tutur katanya tidak baik, dan—."
"Semua laki-laki yang kamu temui, selalu buruk dan banyak kurang, Pramesti," putus Randu. Laki-laki itu berkacak pinggang, dengan wajah gusar yang nyaris pias. "Itu dulu, sekarang dia sudah sangat berubah. Papa sudah beberapa kali bertemu dengan Devan, laki-laki itu sudah sangat jauh berbeda dari yang dulu kita dengar."
"Dia tetap laki-laki yang sama, Pa. Dia ... sangat jauh dari kriteria Pramesti."
"Bagaimana kriteria yang kamu cari?!" tantang Randu. "Dewasa? Papa sudah mengenalkanmu dengan anak Pak Suseno. Pintar? Kecerdasan dr. Dion sepertinya tidak perlu diragukan. Sabar, baik? Anak dari Pak Walikota memiliki track record yang tidak perlu diragukan. Lalu apa?! Apa yang kamu cari, Pramesti?!"
Pramesti pun bingung. "Tapi, Pa—."
"Kamu ... tidak akan pernah menemukan sosok Abyasa di dalam diri laki-laki manapun, kamu paham?!"
Pramesti menggeleng lemah. "Ini bukan tentang Mas Aby."
"Lalu tentang apa? Bukan hanya satu atau dua laki-laki yang Papa kenalkan, dan berujung penolakan. Mulai dari yang baik, sampai yang mantan bajingan seperti Devan. Papa memberimu pilihan, tapi kamu memilih untuk tetap hidup di balik bayang-bayang masa lalu."
Pramesti tak menjawab, diam membisu menerima kemarahan papanya.
"Abysa adalah masa lalu, bukankah kamu terlalu naif jika masih hidup di dalam masa lalu mu itu?!"
Zaskia yang mendengar bentakan pada nada bicara suaminya ikut mendekat. Wanita itu mengusap pelan dada suaminya yang mulai bergemuruh hebat. "Sabar, Paa."
"Nggak bisa sabar, Ma. Mau sampai kapan? Pramesti menolak laki-laki. Bahkan Devan itu sudah datang jauh-jauh dari Jakarta, dan berakhir dengan Pramesti yang menolak di satu jam pertama pertemuan keduanya."
Pramesti mengusap gusar wajahnya dengan kedua tangan. Seumur hidup, baru kali ini ia mendengar kemarahan papanya yang teramat hebat. Meskipun terkenal sebagai hakim yang tegas, papanya selalu bersikap lembut pada keluarganya. Namun, hanya karena Pramesti-lah laki-laki itu berubah menyeramkan.
"Semua keluarga besar, sudah sering mempertanyakan status Pramesti yang belum menikah di usia hampir tiga puluh lima tahun. Mereka, paling bisa membuatku merasa buruk." Helaan nafas panjang kembali dilepas. Dada yang bergerak hebat, mulai mereda. "Papa ... gagal memenuhi tuntutan keluarga, Ma." Laki-laki paruh baya itu berjalan meninggalkan ruang tengah, disusul Zaskia yang mengikuti langkah suaminya.
Semua orang meninggalkan Pramesti sendiri, dan seperti sudah kebal mendengar kekecewaan kedua orangtuanya, Pramesti berusaha terlihat biasa saja. Wanita itu berjalan masuk ke kamarnya sendiri yang terletak di lantai satu. Ia melepaskan pakaian, mencuci tangan dan kaki, lalu berganti pakaian rumahan.
Sebelum sempat menggapai ranjang, suara dering ponsel Pramesti terdengar. Ia mengambil ponsel di nakas, dan menemukan nama Devan terpampang di layar. Keduanya sudah sempat bertukar nomor ponsel sebelum mereka bertemu, laki-laki itu bisa menghubunginya sewaktu-waktu.
Dering pertama terabaikan, hingga dering ketiga akhirnya Pramesti memutuskan menggeser icon hijau di layar ponselnya.
"Sudah sampai di rumah?"
Pertanyaan pertama yang terdengar sok dekat. Pramesti kembali menghela nafas sebelum menjawab pertanyaan Devan. "Sudah."
"Meskipun malam ini ... tidak terlalu mengenakan, tapi ... aku masih ingin diberi kesempatan bertemu kembali denganmu."
Bukankah seharusnya kalimat yang tadi ia sampaikan sudah sangat terlalu jelas?! Pramesti, tidak ingin memiliki hubungan jenis apapun dengan laki-laki itu.
"Sekali saja, beri kesempatan untuk kita bertemu kembali," mohon Devan sekali lagi.
"Mau kapan?" Pramesti menyerah, jika laki-laki itu masih berniat lebih, maka sekali lagi ia akan kembali menegaskan batas keduanya.
"Good. Mmm ... restaurant kembang sewu, aku besok di sana dari pagi. Terserah kapan kamu mau menemuiku."
"Oke." Pramesti menjawab seadanya, tak berniat sedikitpun memperlama. Dia hanya ingin laki-laki itu segera mengakhiri panggilan, dan dia bisa tidur dengan nyenyak di ranjang.
"Kamu sudah makan?"
"Kenapa?"
"Kamu pulang dalam keadaan perut kosong, lebih baik kamu makan dulu sebelum tidur.“
Pramesti berdecih pelan, merasa kalimat yang baru saja terdengar seperti sebuah racun manis mematikan. Tidak perlu dipungkiri, track record Devan tentang wanita sangat baik, tentu saja laki-laki itu dengan mudah berbicara manis, lalu wanita akan mudah jatuh di pangkuannya. Tapi rayuan itu tidak akan mempan untuk seorang Pramesti Anindita.
"Yaa, aku akan makan sebelum tidur," jawabnya malas.
"Baguslah, selamat makan dan tidur."
"Bye," jawab Pramesti dan langsung mengakhiri panggilan itu.
Pramesti menidurkan tubuhnya di ranjang, menatap langit-langit kamarnya yang gelap tanpa penerangan. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ia ingin segera menemukan cinta sejati, menikah dan bahagia hingga maut memisahkan. Tapi kenapa, semuanya terasa seperti labirin panjang tanpa ujung?
BAB 2 - Pengganggu.
Kemeja berwarna broken white, dilipat sampai ke siku, dengan bawahan pencil skirt mocca yang pas membentuk lekuk tubuh namun tetap terlihat sopan. Pramesti merapikan penampilannya sendiri di depan kaca, menimbang untuk menggerai rambut atau memilih mengucirnya seperti biasa. Dan pada akhirnya, dia memilih menjepit rambut panjangnya dengan jepit bermotif bunga sakura, membiarkan poninya yang sedikit panjang jatuh ke samping.
"Oke, selesai." Ia melihat ke arah jam di dinding yang menunjukan pukul delapan pagi. Sebentar lagi jam sembilan, jam mulai prakteknya dimulai. Pramesti memastikan barang-barang yang ia butuhkan agar tidak tertinggal, lalu keluar dari kamar yang ia jadikan tempat persembunyian dari kedua orangtuanya.
Berjalan mengendap-endap, Pramesti berharap bisa keluar dari rumah ini tanpa perlu bertemu dengan kedua orangtuanya. Pelan-pelan ia melangkahkan kaki, menuju pintu keluar ruang tamu yang perlu melewati ruang tengah dan ruang makan yang biasa kedua orangtuanya tempati saat pagi dan malam hari. Ia sempat berfikir rencana-nya berhasil, sebelum tiba-tiba, suara yang terdengar asing menyusup sayup di gendang telinga.
Ada tamu?
Semakin mendekat, Pramesti semakin merasa janggal. Suara itu, terdengar familiar. Dengan rasa ingin tahu yang besar, wanita itu memutuskan keluar dari persembunyian. Netranya membulat, mendapati laki-laki yang semalam menjadi sumber kekacauan di dalam keluarganya, pagi ini sedang duduk di meja makan bersama kedua orangtuanya.
"Itu, Pramesti sudah keluar." Zaskia menunjuk ke arah Pramesti yang berjalan mendekat.
Tanpa senyum, Pramesti berdiri di samping kursi Devan, di depan kedua orangtuanya. Randu mempersilahkan Pramesti duduk di samping Devan untuk memulai sarapan, namun ia menolak beralasan sudah telat datang ke rumah sakit.
"Sarapan dulu, tidak baik memulai kerja tanpa sarapan," ucap Randu tanpa melihat ke arah Pramesti. Mungkinkah papanya masih marah?
Tak mau semakin memperumit hubungannya dengan Randu, Pramesti pun menurut. Ia duduk di kursi samping Devan, sempat melihat sekilas ke arah piring di depan laki-laki itu yang terlihat masih bersih.
"Sarapan dulu, Mas Devan. Jarang-jarang, kan? Sarapan bareng Om Randu." Randu mempersilahkan dengan nada dan kalimat yang sopan, diakhiri senyum ramah yang biasa laki-laki tua itu tunjukan.
Devan hanya membalas dengan anggukan ringan, lalu Zaskia menuangkan nasi goreng di piring milik laki-laki itu beserta lauknya. "Mbak, mau sarapan nasi goreng apa roti?" tawar Zaskia ke arah Pramesti. Zaskia tahu, Pramesti jarang memulai pagi dengan sarapan yang berat.
"Roti aja, Ma."
Zaskia meletakan setangkup roti bakar di piring Pramesti. Mereka bersama memulai sarapan, seperti sebuah keluarga yang sudah akrab di waktu yang lama. Keluarga Adiwijaya dan Randu Hirawan menjalin kedekatan saat Randu menjadi hakim di kasus hukum kematian Panca Adiwijaya. Namun, setelah itu dan terlebih sejak kepindahan Randu dan keluarga ke Semarang, mereka tidak lagi berinteraksi.
"Bagaimana bisnis keluarga Adiwijaya? Yang Om dengar selama ini, hanya kesuksesan dan perkembangannya yang pesat ditangan Mas Devan," puji papanya terang-terangan.
"Memang sudah dari dulu besar, Om. Saya cuma meneruskan, ada keluarga lain juga yang membantu sebelum dialihkan ke saya."
"Handle perusahaan besar itu tidak mudah. Kalau nggak pinter, pasti kolaps di tengah jalan."
Banyak perbincangan yang didominasi Randu dan Devan. Pramesti tak berniat mendengar banyak, ia memilih untuk segera menghabiskan sarapan lalu berangkat ke rumah sakit. Tapi sepenggal kalimat Devan mematahkan keinginannya yang sudah tersusun rapi.
"Nanti, saya izin mau mengantar Pramesti kerja, Om. Karena kebetulan saya mau ke resto kembang sewu, sejalan dengan tempat Pramesti praktik."
Apa maksudnya? Sejak kapan laki-laki itu tahu tempat kerjanya? Pramesti berniat menolak sebelum jawaban Randu mengakuisisi kesempatannya berbicara.
"Tentu saja, kalian harus banyak-banyak bersama, siapa tahu cocok. Ya kan, Mas?" Randu meletakan sendok dan garpu diatas piring dalam posisi telungkup. Ia mensejajarkan kedua tangannya di meja, dengan kedua tangan yang saling bertaut. "Om sangat berharap besar dengan hubungan kalian."
Pramesti tidak memiliki pilihan lain selain menyetujui tawaran Devan. Ia masuk ke dalam mobil laki-laki itu dengan terpaksa, tanpa kata, tanpa merasa perlu menyuguhkan senyum di wajahnya.
Setelah mobil berjalan, baru ia membuka suara. "Melibatkan kedua orangtua, aku rasa itu cara yang licik," tuduhnya langsung. Apapun alasannya, keberadaan Devan di rumahnya pagi ini membuatnya tak nyaman.
"Hoho, selain cepat marah, ternyata kamu juga terlalu cepat menyimpulkan, Pramesti," jawab laki-laki itu enteng. Ia menunjukan senyum miring yang selalu mampu membuat orang lain merasa terintimidasi, dengan tatapan tak lepas dari jalanan kota Semarang. "Pertama, kedua orangtua kita memang sudah terlibat sejak awal. Kedua, aku datang ke rumahmu atas permintaan Om Randu. Semalam, dia menghubungiku dan memintaku datang ke rumah pagi ini," jelasnya panjang.
Pramesti tetap tidak suka, meskipun kedatangan Devan atas permintaan papanya, seharusnya laki-laki itu bisa menolak. Tapi seperti sudah merasa malas, ia tak kembali menjawab. Memilih memeluk tasnya, sambil menatap ke arah jalanan dari kaca jendela mobil di sampingnya.
"Semarang kota yang indah, kalau tidak salah, aku baru ... mmm lima kali ke kota ini, meskipun ada beberapa bisnis keluarga Adiwijaya di sini."
Beruntungnya Pramesti sedang tidak menatap lawan bicaranya, karena ekspresi jengah yang tak bisa ia tutupi mungkin bisa membuat laki-laki itu tersinggung. Ia memutar kedua bola mata, semakin menempatkan tubuhnya menjauh dari laki-laki di sampingnya.
"Kamu dari lahir di sini?" tanya Devan, seakan semakin menambah kekesalan Pramesti.
"Iya."
"Sampai usia berapa tahun?"
"Lima."
"Terus?"
"Nggak ada terus-terusan!"
Mendengar nada ketus diucapkan Pramesti, Devan justru tertawa terbahak. Laki-laki itu bahkan sempat melepaskan pandangan ke mana-mana demi menekan rasa ingin tertawanya yang besar. "Kamu itu, cepat sekali marah."
"Iya benar banget, makanya sih, nggak usah dekat-dekat lagi," jawabnya tak kalau judes. Kali ini ia membawa matanya sepenuhnya menatap si lawan bicara, seorang laki-laki berpakaian suit mahal, bermata coklat yang tajam. Jika diukur dari fisik, tentu saja, tidak ada wanita yang bisa menolak pesona Devan Adiwijaya. Badannya tegap, bertubuh atletis, dengan rahang yang kuat dan hidung mancung. Jangan lupakan juga, lesung pipi di sisi kiri wajah Devan yang semakin menambah kesan manis saat laki-laki itu tersenyum.
Pramesti memejamkan kedua mata untuk mencari dirinya sendiri yang tersesat, dan menemukan mata coklat milik Devan yang berada di jarak dekat saat kedua matanya terbuka. Refleks tubuh Pramesti mundur untuk menghindar, seperti menemukan sebuah ancaman yang mematikan.
Mobil yang membawa keduanya sedang berhenti di lampu merah.
"Kenapa?" tanya laki-laki itu, menangkap arti berbeda di mata Pramesti.
Wanita itu kembali mendekatkan tubuhnya ke arah Devan, ingin laki-laki itu mendengar kalimatnya baik-baik. "Gini ya, kamu tau, kan? Aku perawan tua, judes, suka marah, dan sangat cerewet. Jadi, lebih baik kamu pergi, cari pasangan yang memang sesuai dengan usiamu," cerocos Pramesti tanpa jeda. Ia sedang mengungkapkan semua kekesalan di hati. "Lagipula, kamu itu kaya, ganteng dan masih muda. Kenapa mau juga dijodoh-jodohkan sama wanita yang jauh lebih tua sepertiku? Hah?"
Mata laki-laki itu memicing, sedang memikirkan jawaban dari rentetan pertanyaan Pramesti yang panjang. "Karena memang ... aku mau."
"Edan!" umpat Pramesti pelan, tapi jelas terdengar.
"Meskipun aku bukan orang jawa, aku memahami kata yang baru saja kamu ucapkan."
Pramesti kembali menjauhkan tubuh, duduk di paling ujung kursi untuk memperlebar jarak diantara keduanya. "Baguslah, jadi aku nggak perlu translate."
"Tapi aku berterima kasih, untuk pujian yang baru saja kamu sampaikan."
Kerutan tercetak jelas di dahi Pramesti, menuntut penjelasan tanpa berniat bertanya.
"Apa?" tanya Devan bingung.
"Aku nggak merasa muji."
Devan tersenyum tipis. "You did. Kamu bilang aku kaya, ganteng dan masih muda. Terima kasih, aku menganggap itu pujian."
"Terserah," jawab Pramesti kesal.
Mereka melanjutkan perjalanan tanpa lagi bersuara, kecuali Devan yang beberapa kali menerima panggilan dari kantor. Mobil Devan berhenti di sebuah rumah sakit swasta khusus anak terbesar di Semarang. Berhenti tepat di depan lobby rumah sakit.
"Terima kasih, nanti jangan jemput, aku pulang naik taksi saja."
Devan mencebikan bibir, menunjukan wajah penuh kekecewaan yang dibuat-buat. "It's hurt me, a lot."
Pramesti yang sudah membuka handle pintu kembali ditahan. Devan mengambil tangan Pramesti untuk kembali masuk ke dalam mobil. Sentuhan pertama yang membuat Pramesti bergedik ngeri, ia melepaskan tautan tangan Devan di lengannya, lalu kembali duduk di mobil seperti yang laki-laki itu minta. "Apa lagi?"
Dengan lancang, tangan Devan merambat ke belakang kepala Pramesti, melepas jepitan rambut wanita itu. "Aku suka rambut yang digerai," ucapnya tengil, dengan satu kedipan mata yang membuat emosi Pramesti semakin memuncak.
"Bodo amat!" Pramesti merampas jepit rambut miliknya dari tangan Devan, lalu kembali menjempit rambutnya di belakang. "Aku tidak menyukai apa yang kamu suka!"
Wanita itu pergi meninggalkan Devan yang duduk dengan tawa yang terdengar lepas.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
