BAB 4 - MENTARI DALAM CAKRAWALA

4
0
Deskripsi

Mentari dalam Cakrawala BAB 4

Bunyi suara burung bersaut-sautan bersamaan dengan siluet matahari yang mulai mengintip dari balik jendela kamar Mentari. Matanya ia buka lamat-lamat agar bisa menyesuaikan cahaya dari balik jendela kamarnya yang berada di lantai dua. Mentari kini tidur di sebuah kamar luas dengan berbagai macam perabotan mewah, ia tak lagi tidur beralaskan kasur tipis yang sudah sejak kecil digunakan. Selimutnya pun tak lagi berlubang. Ia kini menjadi seorang putri di sebuah kastil megah milik Juragan Darma.

Mentari kembali memejamkan matanya. Walaupun kehidupannya begitu luar biasa saat ini, namun entah mengapa Mentari merasa malas untuk membuka mata dan menghadapi kenyataan bahwa kini Biyungnya sudah menikah. Mentari lebih suka kehidupannya dahulu, hanya berdua dengan biyungnya. Namun jika memaksakan seperti itu, Mentari sama saja meminta biyungnya untuk berjuang seorang diri. Sedangkan seperti yang biyungnya ucapkan dulu, wanita itu tetap membutuhkan seseorang yang menjadi pegangannya. Seorang suami!

Cekreeek..

Bunyi pintu kamar yang dibuka dari luar menyadarkan Mentari bahwa hari memang sudah pagi. Ketika di rumahnya dulu, Mentari biasanya terbangun dari tidurnya saat mendengar suara alat masak yang berada di dapur. Rumahnya yang tidak terlalu luas membuat setiap aktivitas yang dilakukan di setiap bagian rumah terdengar ke setiap sudut. Tetapi pagi ini berbeda, ia dibangunkan oleh kedatangan Mbok Sumi yang tergopoh-gopoh dengan handuk yang ia bawa di tangan kanannya.

Den Ayu, bangun sudah pagi. Romomu biasanya sarapan jam setengah tujuh pagi.” Mbok Sumi berjalan sambil membuka setiap jendela di kamar Mentari yang berjumlah empat, membuat Mentari harus benar-benar menyipitkan matanya karena silau.

“Males mbok, Mentari masih ngantuk.”

Selimut yang ditarik Mentari untuk menutupi tubuhnya kembali lagi melorot ke ujung kaki. Dilihatnya Mbok Sumi yang sudah berkacak pinggang sambil matanya melotot yang justru membuat Mentari tertawa karena lucu.

Kok malah tertawa to? Ayo mandi, Den Ayu.

Mentari duduk, sambil matanya mengamati sosok Mbok Sumi yang memang selalu berada di sampingnya sejak Mentari tinggal di rumah ini. Walaupun sudah tak lagi muda dan hanya seorang abdi, Mbok Sumi memiliki tubuh yang putih halus, katanya ia sering memakai lulur dari buah bengkoang yang dicampur menggunakan ramuan-ramuan alami lainnya. Hal itu yang nantinya akan di berikan kepada Mentari, agar nanti banyak Juragan Muda yang ngelirik Mentari.

Weleeh weleh, jangan senyum-senyum sendiri. Mbok Sumi sudah siapkan air hangatnya, Den Ayu tinggal mandi terus nanti turun ke ruang makan.”

Mentari tak lagi mau berdebat. Apapun alasannya, Mentari yakin Mbok Sumi akan memaksanya untuk segera bersiap. Mentari berjalan dengan langkah gontai yang sengaja ia pelankan untuk menggoda Mbok Sumi, dan berhasil. Mbok Sumi jengkel, lalu menarik tangan Mentari untuk dibawanya ke padusan dan memastikan Mentari mandi dengan benar.

**

Mentari sampai di ruang makan ketika biyungnya sedang mengambilkan sarapan untuk Juragan Darma. Laki-laki itu sudah rapi menggunakan kemeja putih panjang yang menutupi pahanya. Topi besar yang sering ia gunakan ke ladang ia letakkan di sisi sebelah kiri meja makan.

“Selamat pagi,” sapa Mentari sopan

“Pagi Tari,” jawab Biyung dan Juragan Darma bersama.

“Bagaimana tidurmu semalam? Nyenyak?” tanya Juragan Darma.

Juragan Darma bertanya dengan senyum yang tulus. Ia mengambil buah pisang lalu meletakkannya di piring kosong yang berada di hadapan Mentari. “Sarapan buah dulu kalau tidak terbiasa sarapan pagi.”

“Terima kasih, Juragan.”

Ada raut wajah muram di wajah Juragan Darma ketika mendengar panggilan yang Mentari sematkan untuk dirinya. Tangannya yang hendak mengambil buah pisang tertahan di udara sejenak, kemudian bergerak lagi sesuai tujuannya.

“Aku sudah selesai sarapan. Aku bawa pisangnya untuk ditaruh di mobil kalau lapar,” pamit Juragan Darma sambil berdiri dan merapikan bajunya.

“Kangmas pulang jam berapa?” Lestari mendekat ke arah Juragan Darma dan ikut merapikan pakaian suaminya.

“Agak malam, kalian istrahat saja dulu kalau aku pulang terlambat.”

“Ya, Kangmas.”

“Aku pergi dulu.”

“Hati-hati di jalan.”

Juragan Darma keluar dari ruang makan, menghilang di balik pintu besar yang mengarah langsung ke taman. Setelah biyung menikah dengan Juragan Darma, Mentari bisa menyimpulkan bahwa Juragan Darma adalah tipe laki-laki yang jarang berada di rumah. Ia selalu pergi ke perkebunan hingga malam menjelang, bahkan kata Mbok Sumi, Juragan Darma sering keluar kota dalam waktu yang cukup lama jika musim panen tiba. Oleh sebab itu Juragan Darma menjadi salah satu orang terkaya di desa Rawa Wetan, karena keuletan dan kegigihannya dalam bekerja.

“Biyung bahagia menikah dengan Juragan Darma?”

Lestari terlihat menghentikan tangannya yang sedang membereskan bekas makanan suaminya. Ia menumpuk piring menjadi satu kemudian menyisihkannya di ujung meja. Lestari mendudukkan tubuhnya kembali dan memusatkan perhatiannya kepada Mentari.

“Biyung bahagia!” tegas Lestari.

Mentari tersenyum, pernikahan Juragan Darma dan Biyungnya baru berjalan beberapa hari. Setelah pernikahan itu terlaksana, memang Mentari selalu melihat senyum di wajah biyungnya. Senyum yang tidak pernah ia temukan selama ini. Bolehkah Mentari egois untuk tetap mempertahankan kebahagiaan biyungnya? Walaupun desas desus diluar sana, pemberitaan orang-orang selalu menyudutkan biyung sebagai seorang perebut suami orang. Seumur hidup Mentari, biyungnya adalah orang yang tidak pernah mengeluh walaupun kerja banting tulang demi menghidupi mereka berdua. Bukankah setiap manusia itu berhak mendapatkan kebahagiaannya? Dan sekarang ini adalah giliran biyungnya yang mendapatkan kebahagiaannya bersama Juragan Darma, sosok laki-laki yang penuh kelembutan.

“Kamu bahagia, ndak?” tanya Lestari.

Mentari tersenyum, ia mengupas pisang yang tadi diberikan Juragan Darma kepadanya.

“Mentari bahagia jika melihat Biyung bahagia, tidak ada yang lebih berarti dalam hidup Mentari selain Biyung Lestari,” ucapnya.

Senyum Lestari semakin lebar, seluas jagad raya!

“Apa aktivitasmu hari ini?”

“Belajar menjahit, nanti diajak sama Mbok Sumi.”

“Baguslah, memang kalau jadi perempuan harus banyak-banyak mengasah kegiatan seperti itu, jangan kaya Biyung dulu.”

“Iya, Biyung.”

Biyung Lestari meninggalkan Mentari seorang diri di meja makan. Walaupun sebagai Nyonya di sebuah istana, biyung Mentari tetaplah wanita rumahan seperti biasa. Wanita itu membawa piring kotor bekas sarapan milik suaminya, lalu membawanya ke dapur untuk dicuci.

Sepeninggalan Biyung, Mentari melanjutkan sarapan. Hari ini dia ada les menjahit di tempat yang lebih bagus pilihan Mbok Sumi. Dengan semangat gadis itu menghabiskan sarapannya. Namun belum juga nasi di piringnya kandas, ada sosok laki-laki yang menganggu pikirannya.

Juragan Muda Cakrawala Ganindra Prasta.

Laki-laki itu tidak menyapa, langsung mendudukan tubuhnya di kursi yang berada di hadapan Mentari. Pelayan dengan cekatan menyiapkan sarapan untuk Juragan Muda, sedangkan mata laki-laki itu justru terpusat ke arah seorang gadis yang tengah duduk di hadapannya.

“Enak sarapannya?” tanya laki-laki itu.

Mentari mendongak, melihat ke arah sekitar. Hanya ada dirinya dan Juragan Muda Cakra. Dilihat dari manik mata beliau pun mengarah ke arahnya. Tetapi Mentari masih ragu, apakah benar laki-laki itu bertanya kepadanya?

“Aku bertanya sama kamu, di sini hanya ada kita berdua,” ucap laki-laki itu memahami kebingungan Mentari.

“Enak,” jawab Mentari jujur.

“Baguslah, ndak percuma biyungmu menggoda laki-laki lain kalau kamu bisa makan enak disini.”

Mentari membeku, gerakan tangannya yang hendak menyuap tiba-tiba berhenti. Mentari memilih untuk menjatuhkan kembali sendoknya ke piring, lalu berdiri berniat pergi.

Loh, dikasih pujian kok malah pergi,” lontar laki-laki itu lagi.

“Saya sudah kenyang Juragan Muda, saya pamit dulu,” jawab Mentari.

Gadis itu sudah sering mendapatkan cacian. Kalau hanya mendengar kalimat sindiran dari seorang laki-laki yang sama sekali tidak dikenalnya, tentu bukan sesuatu yang luar biasa bagi Mentari. Toh, Juragan Muda Cakra akan kembali ke Batavia setelah ini.

“Jangan lupa piringnya dibawa ke dapur. Lumayan kan Romoku ndak perlu bayar mahal orang untuk bersih-bersih, apalagi ditambah bisa menghangatkan ranjang.”

Mentari marah. Semua orang boleh merendahkannya, menyudutkannya, tetapi jika harga diri biyungnya terinjak-injak seperti sekarang ini, tentu Mentari tidak akan tinggal diam.

“Kalau boleh tahu, Juragan Muda belajar apa di Batavia?” tanya Mentari.

Laki-laki itu mengernyit, mengerutkan kedua matanya tanda bingung. “Tekhnologi pertanian,” jawabnya singkat.

Oh, saya kira tentang seni bahasa, karena Juragan Muda sungguhlah pandai merangkai kalimat sindiran, seni yang jarang dimiliki seorang laki-laki,” sindir Mentari.

Juragan Muda Cakra terlihat marah, namun dengan cepat kembali menetralkan raut wajahnya. Laki-laki itu hanya melihat sosok Mentari yang menghilang di balik dinding, lalu senyum penuh ancaman menghiasi wajah laki-laki itu.

“Ini akan sangat menyenangkan,” gumamnya pelan.

**

“Selagi ndak tau malu, tetep akan seperti itu!”

Mentari memejamkan matanya mendengar salah satu teman belajar menjahit yang bernama Denok. Mbok Sumi pamit pulang terlebih dahulu karena masih ada pekerjaan, toh Mentari juga sedang belajar, jadi ia pergi meninggalkan Mentari seorang diri. Sepeninggalan Mbok Sumi, Mentari seperti berada di sebuah kandang macan. Setiap orang yang berada di sini menyudutkannya, termasuk guru yang sudah berusia lebih tua dari teman-temannya.

“Sudah seneng toh, sekarang jadi tuan putri? Bangga? Biyungmu yang cantik jelita itu sudah berhasil merebut Juragan Besar,” tambah Denok sekali lagi.

Ingat! Apapun yang dikatakan orang lain diluar sana, kamu hanya perlu percaya kepada Romo dan Biyung!

Berulang kali Mentari sengaja mengulang-ngulang kata itu di otaknya, dia tidak boleh mendengarkan apa kata orang yang belum tentu benar. Mentari membuka kedua matanya, kemudian meluruskan pandangannya ke arah bu guru yang kini memandangnya dengan tatapan sinis. Mentari abai, ia lebih memilih mendengarkan teori bagaimana cara-cara menusuk jarum dengan benar agar tidak melukai jari.

“Sudah to, Nok, orang Tari aja ndak malu kok kamu yang sewot. Kadar malu orang kan berbeda-beda, ada yang punya dan ada yang ndak punya, ya to?” ucap bu guru yang diikuti tawa teman-teman lainnya.

“Ini mau belajar apa mau bergosip?”

Suara bariton yang penuh amarah datang dari belakang ruang kelas. Di belakang kelas berdiri sosok Juragan Darma yang sedang menatap seisi kelas dengan kilatan penuh ketegasan dan amarah. Ia berjalan mendekat ke arah Mentari sambil tetap menatap ke arah Denok dan teman-teman yang lainnya.

“Jangan suka mencampuri urusan orang lain yang kalian sendiri tidak tahu! Urusan rumah tangga saya dengan mantan istri itu urusan saya, tidak ada sangkut pautnya dengan Lestari dan Mentari! Ngerti?”

Semua orang menunduk takut, bagaimana pun Juragan Darma adalah orang yang sangat berpengaruh di desa Rawa Wetan. Ia bisa saja menutup kelas ini atau menuntut orang-orang yang ingin ia bungkam sesuai dengan kehendaknya.

“Kali ini saya maafkan, tetapi lain kali jangan harap mendapat belas kasihan dari saya! Mentari anakku, siapapun yang menyakitinya akan berurusan dengan saya, Romonya!” ucap Juragan Darma. Tangan laki-laki itu  menunjuk ke arah dadanya berulang kali, ia tidak suka orang lain menyakiti keluarganya.

“Mentari kita pulang. Besuk Romo carikan tempat baru untuk belajar, kamu ndak kelas belajar disini, rendahan semua!”

Juragan Darma mengambil tangan Mentari yang ikut berdiri. Mata Juragan Darma terpaut ke arah mata Mentari yang dipenuhi air mata yang menggenang. Juragan Darma tidak memiliki anak perempuan, sehingga ia sangat menyayangi Mentari seperti anak kandungnya sendiri. Laki-laki itu ingin melihat Mentari bahagia.

“Tutup sekolah ini, siapapun yang mendirikannya suruh menghadapku,” titah Juragan Darma kepada pengawalnya.

“Baik Juragan.”

Juragan Darma mempersilahkan Mentari masuk ke dalam mobil terlebih dahulu kemudian ia mengikuti duduk di sampingnya. Mobil sudah berjalan, tetapi kepala Mentari masih menunduk menahan tangis. Tangan Juragan Darma terulur untuk mengambil ujung dagu Mentari dan mengangkatnya.

“Kamu wanita yang luar biasa Mentari, jangan menunduk, kamu harus menjadi wanita kuat yang penuh wibawa, kamu adalah anak seorang Juragan.”

Mentari masih menangis.

“Tunjukkan kalau kamu memang pantas untuk menjadi seorang anak Juragan, tunjukkan dengan prestasi.”

Mentari menatap Juragan Darma dengan pias. Sebenarnya, bukan tentang ucapan teman-temannya yang membuat Mentari menangis. Tetapi tentang rasa sesak bahagia karena Mentari mendapatkan perlindungan dari seorang Romo, hal yang tidak pernah Mentari dapatkan selama ini. Mentari sering mendapatkan gunjingan, olokan, dia tidak pernah lemah hanya karena itu, Mentari sudah terbiasa! Paling dia hanya marah dan pulang, tetapi sekarang? Ketika Juragan Darma membelanya, memberikan perlindungan kepadanya, Mentari merasa terenyuh. Dengan lantang Juragan Darma menyebutkan bahwa ia adalah Romonya Mentari, dan akan melindungi Mentari. Bolehkan Mentari menginginkan Juragan Darma menjadi Romonya selamanya, menyayanginya?

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya BAB 5 - Mentari dalam Cakrawala
3
0
BAB 5Cover by pinterest
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan