GRATIS - ENDING (BERTAUT RASA)

27
3
Deskripsi

CERITA GRATIS

Juga tersedia di wattpad πŸ₯°

****

BAB 1 - Ucapan cinta Andin.

https://youtu.be/8dG5A4luJKQ

Trailer di instagram dan youtube @deana astari ❀️❀️

***
 

"Andin cinta sama Mas Aby. Mas Aby mau jadi pacar Andin?"

Laki-laki dengan sweater abu itu menyatukan kedua alis tebalnya saat mendengar kalimat Andin yang mengejutkan. Mereka sedang berdua, duduk di taman belakang rumah dekat kolam ikan. Aby hanya berniat mencari angin sebentar sebelum tiba-tiba kedatangan Andin membuatnya harus bertahan.

"Maksudnya gimana, Dek? Sorry, Mas nggak dengar," kilahnya. Padahal Andin yakin, Aby sudah menangkap pertanyaannya dengan jelas.

Bersitatap dengan mata hitam itu, nyali Andin menciut. Cinta memang se-dahsyat itu, sesuatu yang awalnya sudah terbentuk tekad yang kuat, justru kini ia tersesat.

"Andin cinta sama Mas Aby. Mas Aby mau jadi pacar Andin?" tanyanya lagi, dengan kalimat yang sama dan nada yang sama persis.

Setelah lebih dari tiga tahun menyimpan rasa, akhirnya Andin memberanikan diri mengungkapkan sesuatu yang dirasa harus segera disampaikan.

"Pacar?" Aby masih ingin menegaskan.

"Iya."

Ada senyum meremehkan tersungging tetapi anehnya sama sekali tidak menyinggung perasaan Andin yang duduk di hadapannya.

"Mas cuma menganggap Andin seperti Lita, seperti adik sendiri."

Jangan dipikir Andin tidak menyiapkan jawaban, dia sudah menyiapkan semuanya termasuk jawaban jika Aby menolaknya.

"Kenapa Mas Aby tidak mencoba?"

Aby menaikan satu alisnya ke atas, menambah ketampanan laki-laki itu yang sudah kongenital bawaan lahir. Mas Aby itu laksana Arjuna, tampan dan menawan. Jika boleh memvisualisasikan, wajah Aby mirip Nicholas Saputra dengan kombinasi Jacob Elordi tapi tetap selera nusantara. Laki-laki yang lebih banyak menyimpan suaranya itu memiliki mata tajam yang bisa membuat wanita penasaran hanya dengan tatapannya.

"Cinta bukan untuk coba-coba, Adeeek," jawabnya dengan nada mencomooh seperti lagu yang sering Andin dengar di aplikasi booming kalangan anak muda.

Andin yakin, Aby tidak bermaksud meremehkan keberaniannya. Dia hanya terkejut. Siapa laki-laki yang tidak terkejut? Ditembak gadis, di rumahnya sendiri, malam hari dan dalam keadaan sepi.

Andin kembali memutar otak, mencoba mengais-ngais jawaban yang sudah ia siapkan sebelum melangkah ke taman belakang rumah.

"Sampai kapan Mas Aby mau terbelenggu dalam perasaan yang tak berbalas?"

Ada lirikan tidak suka yang ditunjukan Aby, laki-laki itu mengambil tehnya yang sudah mendingin, menyecapnya sekilas lalu membenahi posisi duduknya yang terlihat tidak nyaman. Andin yakin, kalimatnya sangat mempengaruhi perasaan Abyasa, si Don Juan keluarga Bramantya.

"Seperti kehangatan yang bisa menghilang karena terlalu lama dibiarkan. Perasaan sama saja, bisa menguap jika tidak kunjung berbalas."

Senyum tipis kembali Aby tunjukan sebelum kembali bersuara. "Lalu kamu? Kalau benar apa yang kamu rasakan ke Mas itu cinta, kenapa nggak hilang meski dibiarkan saja?"

"Andin baru mencoba mengungkapkan, artinya perjuangan Andin baru dimulai, berbeda dengan Mas aby yang sudah berjuang lama."

Abyasa terkekeh, cukup kencang nyaris membuat jantung Andin meloncat dari tempatnya. Pemandangan Aby yang tertawa lepas, sudah bisa dipastikan menciptakan detak tak karuan di dada Andin. Dia bahkan sempat memegangi dadanya yang jumpalitan karena Abyasa.

Laki-laki itu masih menahan tawa, bibirnya diam tapi lesung pipi di kedua pipinya menunjukan perasaan yang meletup-letup namun sengaja ia tutupi demi menjaga perasaan Andin.

"Yang namanya perjuangan itu haram jika menyerah di tengah jalan, Ndin."

"Kalau begitu, itupun yang akan Andin lakukan."

"Kamu perempuan, seharusnya diperjuangkan. Kalau perjuangan itu biar menjadi urusan laki-laki."

"Tapiβ€”."

"Dek, adeeek Andin," panggil Aby memotong kalimat Andin dengan nada panjang di akhir kalimatnya.

"Yaa Mas."

"Mas nggak bisa terima cinta Andin," jawabnya pasti. Laki-laki itu berdiri lalu mengambil ponsel di meja yang memisahkan keduanya.

"Mas Aby hanya menganggap Andin seperti adik sendiri, seperti Lita," tambahnya dengan memberi senyum manis di akhir kalimatnya yang menyakitkan.

"Tapi ..." Andin ingin kembali berucap namun ragu.

"Tapi apa?"

"Bagaimana kalau Andin memilih untuk berjuang?"

Bukankah hidup itu memang tentang perjuangan?

***

Dua minggu sebelum pernyataan cinta Andin untuk Abyasa.

"Mas Aby ngambil spesialis anestesi di Semarang."

Lita langsung menjatuhkan tubuhnya ke ranjang saat memasuki kamar Andin. Sedangkan si empunya kamar sendiri sedang duduk di depan meja belajar sambil menonton film korea kesukaannya. Lita sering masuk ke dalam kamar Andin tanpa mengetuk pintu, meskipun kamar ini bagian dari rumahnya, tetapi Andin sangat terganggu dengan kebiasaannya itu.

"Dua bulan lagi berangkat," tambah Lita lagi.

"Terus gue harus gimana, Ta?"

"Yaa mana gue tahu, gue cuma ngasih informasi aja. Sebenarnya informasi ini hanya untuk internal keluarga, tapi karena lo tinggal di rumah ini jadi gue kasih bocoran."

Andin Astuti adalah anak dari sahabat nyonya besar keluarga Bramantya. Keluarga Andin sendiri tinggal di Yogyakarta. Ibu Andin menitipkan Andin kepada sahabatnya untuk tinggal di rumahnya selama kuliah di Jakarta. Ibu Andin takut, anak gadis polosnya terjamah kehidupan bebas anak muda Ibu Kota dan memilih mempercayakan anaknya tinggal di rumah keluarga Bramantya.

Sudah tiga tahun Andin tinggal di rumah ini, gadis itu sudah dianggap seperti keluarga sendiri meskipun tidak mengalir darah yang sama di tubuhnya.

"Terus cinta gue gimana?"

Bodohnya, dia justru jatuh cinta pada putra mahkota keluarga Bramantya, anak pertama Tante Arzeti, kakak dari Lita.

"Bodoo," jawab Lita melengking tinggi.

"Taaa ... gue harus gimana?"

Seluruh anggota keluarga tahu, kenapa Abyasa memilih pendidikan spesialisnya di Semarang. Laki-laki itu mengejar wanita yang ia cintai, namanya Pramesti, mantan tetangga yang dulu sempat berteman baik dengan keluarga Bramantya.

"Apa gue ngomong tentang perasaan gue ke Mas Aby, ya?" tanya Andin meminta pertimbangan.

"Lo jangan jadi goblok kaya Mas Aby, ya Ndin."

"Tapi gue cinta sama Mas Aby, Ta. Kalau Mas Aby ke Semarang terus ketemu Pramesti setiap hari, gimana?" Andin memutar tubuhnya ke arah Lita setelah sebelumnya memencet tombol 'pause' di layar laptopnya.

"Tahu dah, rasa juga lo yang ngerasain kok nanya-nya ke gue."

"Kan lo adik-nya, Ta. Gue minta saran dari lo."

Lita merubah posisi, gadis itu duduk di tepi ranjang dengan mata menatap lawan bicaranya tajam.

"Lo tahu kan saran gue dari dulu? Lupain Mas Aby. Ibarat di dunia ini cuma ada lo satu-satunya perempuan, dia nggak akan pernah mau sama lo, Andin. Pertama, lo bukan tipe Mas Aby banget. Kedua, cinta Mas Aby itu sepenuhnya hanya untuk Pramesti. Dapet atau enggak, berbalas atau enggak, Mas Aby cintanya sama Pra-mes-ti," jelas Lita panjang lebar kali tinggi seluas jajar genjang.

"Tapi bukannya waktu bisa merubah segalanya ya?"

"Lo kebanyakan nonton korea sama baca novel deh, Ndin. Nggak semua kisah cinta itu berakhir bahagia. Jadii, lebih baik lo pupus rasa cinta lo ke Mas Aby."

"..."

"Lo udah hidup bareng sama kita tiga tahun, udah tahu jorok dan ngeselinnya dia. Masih tetep cinta?"

Andin tidak menjawab, gadis itu memilih kembali memutar film yang sebelumnya sempat terhenti.

"Ndin, gue nanya sama lo."

"Seharusnya lo nggak perlu nanya, lo udah tahu jawabannya, Ta."

"Astagaaa, nggak capek ya lo? Cinta cinta sendiri, sayang sayang sendiri, galau galau sendiri?"

"Gue belum capek."

"Yaa yaa, gue tunggu kapan lo capeknya," tambah Lita sambil berlalu keluar kamar.

Memang, mencintai itu bisa capek kah?

BAB 2 - Cinta Sendiri.

Tiga tahun bukan waktu yang singkat, tiga tahun sudah cukup bagi Andin menahan perasaannya dalam diam.

Setelah lama bergelung dengan perasaannya sendiri, Andin memutuskan untuk mengungkapkan cintanya. Meskipun setelah semua itu terjadi, tidak ada yang berubah. Aby tetap tidak menjadi miliknya, Aby tetap berada jauh di luar jangkauannya. Dan, Aby tetap mencintai Pramesti.

"Gimana rasanya setelah menyatakan cinta?"

Lita menyusul Andin yang sedang berada di kantin. Gadis itu membawakan satu es dawet di tangan kanannya untuk Andin. Setelah hujan mengguyur dengan deras, Jakarta masih tetap terasa panas.

"Mmm ... canggung, sedikit."

"Keberanian lo memang perlu gue acungin jempol, Ndin."

"Terima kasih. Kadang lo butuh keberanian, demi masa depan yang diidam-idamkan."

Kepala Lita menggeleng takjub, terpukau dengan pemikiran Andin yang terkadang di luar nalar manusia pada umumnya.

Andin mengabaikan Lita yang sedang bermain ponsel, ia memilih melakukan hal yang sama. Ada status Aby yang baru saja ditemukan bola matanya, di update sekitar dua menit yang lalu. Aby mengupdate status, potret laptop dengan tumpukan berkas di sampingnya. Ada tangan yang masuk ke dalam frame itu, terlihat jelas bukan tangan si pemilik kontak ini, tetapi Andin mengabaikannya. Mungkin saja itu tangan teman Aby, bukan tangan Pramesti.

Me :
Jangan lupa makan siang, Mas.

Jari Andin memberanikan diri membalas story, toh Aby sudah tahu tentang perasaannya. Seharusnya laki-laki itu tidak terkejut membaca pesan Andin.

Seperti gadis pada umumnya, Andin memilih memasukan ponselnya ke dalam tas. Walaupun sebenarnya, jika pun pesan itu berbalas, Andin pasti bisa langsung mendengar bunyi notifikasinya. Ada ketakutan menunggu respon Aby, apakah laki-laki itu akan menjawab pesannya? Apakah laki-laki itu akan menjawab setelah berjam-jam kemudian, atau justru tidak akan ada balasan apapun dari nomor itu.

Daripada cemas sendiri, Andin memilih mencoba mengabaikan.

"Dawetnya enak nggak, Ndin? Gue baru aja beli sama Pram di ujung kampus."

"Enak," jawab Andin singkat setelah menyecap sedikit dawet yang Lita belikan. Meskipun berusaha abai, fokus Andin masih menunggu notifikasi ponselnya berbunyi.

"Seumur-umur gue kuliah di sini, baru ini gue ngerasain dawet yang enak."

"Nggak usah lebay, kampus ini seluas jagad raya kalau lo mau hafal seluk beluknya."

"Yaa, setidaknya gue lebih sering jalan-jalan daripada lo yang lebih sering menghabiskan waktu di kelas doang, di perpustakaan atau di kantin."

"Gueβ€”."

Perdebatan keduanya berhenti saat dua bungkus cilok diletakan di meja. Pram yang datang membawa salah satu jenis jajanan kesukaan Andin dan Lita, bak malaikat pembawa perdamaian ditengah pertempuran.

Pram adalah makhluk berjenis kelamin laki-laki, tetapi lebih sering gabung bersama Andin dan Lita. Sebagai seorang pelindung yang takut Andin patah hati berlarut-larut karena cinta sendiri, Lita sering mencoba menjodohkan Andin dengan Pram.

"Makasiih, Pramono."

"Terima kasih kembali, Andin."

Interaksi manis itu tak lepas dari Lita yang duduk di sebelah Andin.

"Sumpah ya, gue yakin kalau kalian jadian, pasti jadi perfect couple kaya Blake Lively sama Ryan Reynolds," celetuk Lita yang langsung mendapat pelototan Andin. "Serius yaa, gue yakin, ya nggak Pram?"

"Bisa jadi, tapi sayangnya Andin nggak pernah lihat ke gue. Matanya cuma tertuju ke arah abang lo yang gantengnya bak titisan dewa yunani," jawab Pram menanggapi.

"Pret ... dia mah titisan dewa yunani covernya doang, isinya mak lampir."

"Yaa dibanding gue yang rempahan rengginang ."

Andin hanya menjadi pendengar. Lita jika sudah disatukan dengan Pramono pasti berujung membully Andin dengan kisah cintanya yang bertepuk sebelah tangan.

Beep.

Mendengar bunyi notifikasi ponsel, Andin bergegas mengambil ponselnya. Ada detak tak karuan di dada saat membuka layar ponsel, lalu helaan nafas kasar terdengar jelas dengan bibir yang mengatup rapat.

Bukan balasan pesan dari Aby yang ia dapatkan, melainkan pesan dari Ibunya yang sedang bertanya 'sedang apa'.

Hingga beberapa jam menunggu, akhirnya pesan Andin berbalas. Hanya sebuah tulisan singkat yang mengucapkan terima kasih karena sudah diingatkan.

Me :
Meskipun sudah bukan jam makan siang, Mas Aby nggak berniat menanyakan Andin sudah makan apa belum?

Terlanjur basah, nyemplung saja sekalian. Andin jika sudah memutuskan sesuatu untuk dikejar, dia pantang menyerah. Meskipun terlihat sulit, tapi dia tetap harus mencoba. Toh, kalaupun nantinya dia tidak mendapatkan Aby, dia tidak akan selalu bertemu dengan laki-laki itu. Tak perlu malu, daripada menyesal dikemudian hari.
 

Mas Aby :
Kalau lapar pasti makan.

Satu pesan yang membuat bibir Andin terangkat lima belas derajat. Pesan Andin langsung berbalas, chat pertama Aby yang tidak berhubungan dengan rumah ataupun Lita.

Selama tinggal di rumah keluarga Bramantya, Andin jarang sekali berinteraksi dengan Aby. Hanya sesekali jika berhubungan dengan Lita, atau hanya sekedar berpapas muka di rumah. Tidak lebih.

Me :
Setidaknya untuk menyenangkan orang lain, Mas.

Cinta adalah sejenis rasa yang mampu menjungkir balikan mood seseorang. Sedetik berlalu Andin bahagia, lalu setelahnya hingga malam menjelang gadis itu lebih banyak murung karena pesannya tak lagi berbalas.

Bahkan hingga makan malam berlangsung, Andin kembali harus kecewa karena Aby tidak turun untuk makan malam. Laki-laki itu beralasan sedang sibuk menyiapkan studinya.

Setelah makan malam, seperti biasa Andin membantu Bik Inah di dapur. Meskipun dilarang Tante Zeti, tetapi Andin selalu membantu Bik Inah di dapur karena bagaimanapun dia bukanlah tuan puteri di rumah ini.

"Bik, makannya masih ada?"

Aby masuk ke dapur, laki-laki itu terlihat lelah dengan rambut yang acak-acakan. Tidak seperti biasanya Aby terlihat kacau, mungkin karena persiapan study spesialis cukup menyita perhatiannya.

"Masih. Mau disiapin, Den?" tanya Bik Inah.

Wanita paruh baya itu sedang membereskan ruang makan, terlihat dari tangannya yang sedang memegang sapu dan kemoceng.

"Bik Inah lagi sibuk?"

"Mau beres-beres ruang makan sih, Den. Atau ... biar Non Andin yang siapin?"

Tubuh Andin membeku, menunggu jawaban Aby.

"Boleh, kalau nggak ngerepotin," jawab Aby.

Andin mencuci kedua tangannya, lalu mengambil piring yang sudah kering di rak.

"Andin siapin makan malamnya, Mas Aby tunggu di meja makan saja."

Mungkin laki-laki itu sedang benar-benar lelah, dia menurut tanpa banyak mengucap kata. Andin mengambilkan nasi dan lauk, ayam goreng kesukaan Aby dan sambal cabe ijo. Aby tipe laki-laki pemilih makanan, meskipun tersedia banyak sayur, laki-laki itu lebih sering makan hanya dengan lauk saja.

Andin meletakan piring dan air putih di depan Aby. Hanya dengan menyiapkan makan malam, kenapa hati Andin sudah meletup tak karuan? Dia sudah seperti seorang istri yang menyiapkan makan malam untuk suaminya. Andin memanggil Mas Aby, tinggal Abi yang nantinya memanggilnya 'umi'. Sempurna bukan?

"Makasih."

Sayangnya, semua kegembiraan itu hanya milik Andin seorang diri. Sedangkan laki-laki itu memilih segera mengisi perutnya yang sudah kelaparan tanpa berniat memperhatikan Andin yang berdiri di sampingnya.

"Mau disiapin apa lagi, Mas?" tanya Andin. Dia berharap, Aby memintanya untuk menemaninya makan.

"Cukup," jawabnya singkat.

Dengan perasaan kecewa, Andin menjauh dari meja makan. Ia kembali meneruskan aktivitas mencuci piring. Saat berniat naik ke lantai dua, Andin melihat piring kotor Aby yang masih terletak di meja. Andin mengambil piring itu lalu mencucinya.

Setelah semuanya selesai, baru Andin kembali ke kamarnya untuk mengistirahatkan tubuhnya, mengistirahatkan hatinya yang lelah mencintai seorang diri.

BAB 3 - Cinta untuk Mas Aby.

Keluarga adalah semangatnya.

Jauh dari keluarga, meskipun tinggal di rumah keluarga kaya yang sudah menganggapnya seperti saudara tentu bukan suatu hal yang mudah bagi seorang Andin. Dia sering merasa sendiri meskipun rumah ini ramai. Dia sering merasa tidak enak hati saat sedang ingin malas-malasan. Banyak yang ia rasakan, tetapi ia memilih menyimpannya seorang diri.

Kata Ibu, Andin baru boleh tinggal sendiri setelah dewasa dan sudah bekerja. Dan menjadi anak penurut adalah satu-satunya pilihan bagi seorang Andin yang belum memiliki pendapatan saat ini. Jika sudah bekerja nanti, tentu saja Andin lebih memilih tinggal di kos lalu mendapatkan kebebasannya. Dia bebas nonton film korea seharian, dia bebas bangun siang dan bebas pulang malam.

"Hari ini bangun jam berapa, Mbak?"

"Jam setengah lima, Bu."

"Bantu di dapur kan?"

"Iyaa, seperti yang sering Ibu ingatkan."

"Iyaaa, kan ya namanya numpang jadi yaa harus baik-baik sama tuan rumah."

"Iyaa, Bu."

"Yo wes, siap-siap kuliah, jangan telepon terus nanti telat."

"Heeem."

"Jangan lupa sarapan, belajar yang bener."

"Nggeh."

"Assalamualaikum."

"Walaikumsalam."

Suara panggilan terputus mengakhiri sesi bercengkerama Andin dan Ibu-nya. Meskipun berjauhan, Andin selalu menyempatkan untuk bertukar kabar setiap hari dengan keluarganya, begitupun sebaliknya. Seperti pagi ini, Andin sudah bercerita banyak tentang aktivitas apa saja yang akan ia lakukan hari ini. Dan seperti biasa, Ibu selalu mengingatkan Andin untuk bersikap baik di rumah keluarga Bramantya.

"Ndin, buruan woy, pagi ini kelas Pak Latif. Jangan bikin gue telat." Lita, seperti biasa, langsung membuka pintu kamar tanpa perlu repot mengetuk pintu.

"Iyaa, gue udah siaap kok."

Andin menekan tombol power dan layar ponsel yang menampilkan foto Abyasa itu meredup. Foto itu Andin ambil secara diam-diam saat Abyasa sedang membaca buku di ruang tengah. Biasanya laki-laki itu sering menghabiskan waktu di kamar, karena merasa sedang beruntung menemukan Aby berada di ruang tengah, Andin mengambil potret itu dan menyimpannya.

Ah, pagi-pagi yang dibahas sudah Aby 😬

Gadis itu bergegas berdiri dan mengikuti Lita yang sudah berjalan terlebih dahulu ke meja makan. Di sana sudah ada Pak Artawan, Tante Zeti dan Mas Aby. Mereka sudah memulai sarapan lebih dahulu.

"Tumben berangkat bareng?" tanya Tante Zeti. Wanita yang masih terlihat cantik di usia yang hampir menginjak usia lima puluh tahun.

"Iyaa, kebetulan kelasnya barengan," Lita menjawab.

"Oh, pulangnya bareng juga?"

"Iyaa."

Lita dan Andin kuliah di kampus yang sama dan fakultas yang sama. Lita mengambil jurusan turun temurun keluarga Bramantya,  kedokteran. Sedangkan Andin sendiri kuliah untuk mengejar gelar sarjana farmasi. Andin suka dengan hal-hal yang rumit, termasuk perasaannya untuk Abyasa. Rumit dan sulit terurai.

Jika memiliki jadwal sama, biasanya Andin memilih berangkat bersama Lita demi menghemat uang saku. Jika tidak, Andin lebih sering berangkat ke kampus menggunakan angkot atau ojek online. Sebenarnya Tante Zeti selalu menawarkan sopir, tetapi Andin selalu menolak. Prinsipnya adalah tidak ingin merepotkan orang lain.

Lita duduk di kursi samping Aby, sedangkan Andin duduk di samping Lita. Pak Artawan dan Tante Zeti duduk di seberang mereka bertiga.

"Mas anter kita kuliah dong," pinta Lita merengek ke arah kakaknya.

"Mobilmu kemana?"

"Ada sih, tapi kan mayan ngirit bensin kalau dianter Mas Aby."

"Nanti pulangnya?"

"Jemput lagi lah."

"Jangan manja, Mas belum tentu bisa jemput nanti sore."

"Pleaseee, Lita lagi males bawa mobil sendiri. Ngandelin Andin juga belajar nyetir mobil nggak bisa-bisa juga."

Merasa namanya disebut, Andin menghentikan niatnya mengambil ayam goreng. Ia menatap Lita tidak terima, lalu kembali meneruskan niatnya.

"Apa?! Gue ngomong bener, lo belajar nyopir tapi nggak pernah berani kalau disuruh nyoba bawa mobil di jalan raya."

"Gue masih belum siap," jawab Andin membela diri.

"Apa mau diajari Mas Aby biar cepet bisa, Dek? Dulu Lita juga yang ngajarin juga Mas aby," tawar Tante Zeti.

Emang boleh? Tentu saja Andin mau. Mendengar tawaran Tante Zeti, hati Andin berbunga-bunga. Membayangkan memiliki waktu yang lama berdua dengan Abyasa sudah cukup mampu menarik bibirnya ke atas karena bahagia.

"Mas Aby sibuk, Ma. Lagi ngurus persiapan ngambil spesialis."

Kebahagiaan Andin menghilang cepat, secepat angin kinton milik Dragon Ball. Wuuush!

"Yaa luangin waktu-lah, Mas. Demi adeknya."

Kalimat itu menciptakan dua ekspresi, senang karena Andin kemungkinan bisa berlama-lama dengan Aby, dan sedih saat Tante Zeti menekan kata 'adek' untuk dirinya.

"Lihat nanti, Ma. Mas Aby nggak janji."

Yaa, setidaknya Andin boleh berharap dengan jawaban itu, bukan?

"Tapi yang penting sekarang dianterin dulu kan, Mas?" Lita masih merengek. Sebagai anak bungsu keluarga Bramantya, Lita sering bertindak seenaknya sendiri. Tetapi mau bagaimanapun Lita selalu menang, dia adalah kesayangan semua orang di rumah ini.

"Iyaa, Sayaaang," jawab Mas Aby akhirnya.

Setelah sarapan bersama, seluruh keluarga Bramantya beraktivitas dengan kesibukannya masing-masing. Pak Artawan adalah seorang dokter Mata sekaligus pemilik rumah sakit khusus mata di daerah Jakarta Barat. Aby sendiri akan mengambil gelar spesialis anestesi di Semarang. Aby dicetak sebagai penerus rumah sakit milik Pak Artawan. Dia sudah dipastikan memegang tahta itu.

Seperti janji Aby, pagi ini ia menjadi sopir untuk kedua gadis cerewet yang selalu memenuhi rumahnya. Jika sedang bertengkar, seluruh penjuru rumah besar keluarga Bramantya terisi suara Lita dan Andin dari ujung ke ujung.

"Sudah?" tanya Aby memastikan.

"Sudah," jawab Lita.

"Yakin nggak ada yang ketinggalan?"

"Yaqiiin Mas Sayaaang."

Lita duduk di samping sopir sedangkan Andin duduk di belakang sendirian.

"Kok Andin nggak ditanyain, Mas?"

"Andin nggak pernah lupa barang sama kaya kamu."

"Oooh."

Mata Lita melihat ke arah belakang mencari Andin, lalu tersenyum penuh makna saat kedua mata itu bertemu. Gadis itu adalah orang pertama yang tahu saat Andin ingin mengungkapkan perasaannya kepada Aby, dan orang pertama juga yang tahu setelah hal itu terjadi.

Mobil Aby membawa mereka berdua membelah jalanan kota Jakarta yang ramai dan macet. Untuk melepas sepi, Aby menautkan ponselnya dengan bluetooth di mobil lalu memutar lagu di ponselnya.

Beep.

Satu pesan masuk terlihat di layar ponsel Aby, laki-laki itu sempat membaca pesan itu sekilas lalu kembali meletakan ponselnya diantara dua kursi depan. Semua pergerakan Aby terpantau Andin yang duduk di belakang.

Sekilas mata Andin menemukan potret wanita cantik yang digunakan Aby sebagai wallpaper di ponselnya. Wanita cantik yang media sosialnya Andin ikuti menggunakan akun palsu. Wajah itu milik Pramesti, wanita yang memiliki hati Aby sepenuhnya sejak bertahun-tahun yang lalu.

Ternyata bukan hanya dia yang sedang mencintai sendiri.

"Sudah sampai." Aby menghentikan mobilnya di depan gerbang kampus.

"Terima kasih."

"Yaa, Princess. Belajar yang bener, jangan lupa makan siang."

"Siap, Komandan," jawab Lita sambil mengecup pipi Aby sekilas lalu keluar mobil.

"Terima kasih, Mas Aby," ucap Andin. "Hati-hati di jalan."

Ucapan Andin tak berbalas karena Aby bergegas pergi membawa mobilnya keluar lingkungan kampus.

BAB 4 - Penolakan Kedua.

"Lo seharusnya minta tolong Pak Slamet, Taa. Mindahin tanaman ini berat lho."

"Gue butuh lo keluar kamar, Ndin."

"Seneng banget sih ganggu gue nonton film korea?!"

"Lo itu butuh dunia nyata, bukan layar laptop yang membuat lo hidup dalam kehaluan."

"Ck, lebay!"

"Dih, emang bener kok," jawab Lita tidak terima.

Merasa enggan kembali berdebat, Andin mengalah. Ia mengambil satu pot yang ada di taman dan meletakannya di spot yang sudah Lita siapkan. Bukan hanya karena pot-nya yang cukup besar, tetapi juga keengganan Andin meninggalkan film korea-nya yang membuat langkahnya berat. Semua orang tahu bagaimana nikmatnya nonton film korea beruntun dari episode pertama sampai episode enam belas di hari libur. Semua orang paham dengan itu, kecuali Nurlita Bramantya.

"Udaaah, sekali-kali lo butuh keluar dari dunia halu, Ndin. Biar nggak stupid stupid banget karena cinta."

Astagaaa, jika diizinkan, Andin dengan senang hati menjadi orang pertama yang menarik bibir Lita sampai jontor. Gadis itu cantik dan manis, berbanding terbalik dengan sikapnya yang seperti biawak.

"Lo nggak pernah jatuh cinta sih, jadi wajar kalau lo nggak paham sama apa yang gue rasain."

Akhirnya Andin masih meladeni sindiran Lita setelah cukup lama berdebat dengan dirinya sendiri.

"Gue pernah jatuh cinta, tapi gue nggak pernah jadi stupid masalah cinta. Hidup terlalu indah kalau lo ngelihatnya cuma ke satu arah doang."

"Lebih baik lo bantuin gue angkat tanaman ini deh, Taa, daripada buka talkshow dimana cuma gue yang jadi pendengarnya. Sumpah, lo nggak pantes sama sekali berperan jadi Mario Teguh."

"Suatu hari lo pasti berterima kasih sama gue," ucap Lita pasti.

"Yaa yaa ... gue berterima kasih dari sekarang kalau lo mau bantuin gue mindah tanaman ini."

Mereka berdua kembali disibukan dengan memindahkan beberapa tanaman, dan menata ulang taman. Tinggal satu-satunya, tinggal tanaman dengan pot yang terbesar.

"Kaya-nya berat deh." Lita kembali meletakan tanaman di tengah jalan saat merasa mengangkat pot ini di luar kemampuan fisiknya.

"Emang berat, kita butuh bantuan."

"Gue cari pertolongan dulu," putus Lita akhirnya.

"Gue tadi lihat Pak Slamet lagi di dapur, nggak tahu ngapain, coba cari dia di sana."

Gadis itu bergegas masuk ke dalam rumah sedangkan Andin menunggu di taman. Sore ini terlihat mendung, sebentar lagi Andin yakin hujan akan turun membasahi bumi. Hujan adalah waktunya bagi anak senja menemukan dirinya. Hujan itu syahdu, dan terlalu sulit untuk diabaikan.

"Mana yang mau dipindahin, Dek?"

Suara bariton mengejutkan Andin yang sedang mengamati langit. Matanya yang minus sempat ia paksa untuk memfokuskan objek yang sedang berdiri di hadapannya saat ini. Laki-laki yang selalu menjadi sumber imajinasinya kini berdiri di depan Andin dengan pakaian rumahan yang santai.

Andin sempat memperhatian penampilannya sendiri, tubuh bau keringat dengan rambut yang dikucir asal, kedua tangannya penuh dengan tanah bahkan kuku-kukunya yang biasanya terawat rapi kini berwarna kehitaman. Ah, sungguh sangat tidak elegan.

"Andin ... mana tanaman yang mau dipindahin?"

"Eh, maaf Mas. Ini tanamannya," tunjuk Andin ke arah tanaman yang ada di depannya.

Mungkin Lita tidak menemukan Pak Slamet di manapun hingga akhirnya berakhir dengan mengganggu Mas Aby di kamarnya.

Mas Aby meletakan kedua tangannya di sisi pot sebelum menatap Andin tanpa ekspresi.

"Apa, Mas?" tanya Andin ragu saat Aby tidak segera mengangkat pot seperti yang ia prediksi.

"Di sini Mas cuma bantuin."

"Terus?"

"Ya Andin bantuin angkat-nya dong."

"Oh, gitu."

Andin membantu mengangkat pot dari sisi sebelahnya. Pot ini memang berat, bahkan dengan bantuan Aby pun Andin kesulitan memindahnya.

"Selesai."

"Makasih, Mas."

Ada keringat tipis yang muncul di dahi Aby, membuat Andin membayangkan seandainya dia diperbolehkan mengelap keringat itu, pasti akan menjadi scene romantis seperti di film-film korea.

"Lebih baik segera masuk ke dalam rumah, sebentar lagi hujan."

"I-iya, Mas," jawab Andin gugup.

Ia mengamati tubuh Aby yang berjalan memunggunginya. Membayangkan andai saja tubuh itu miliknya, pasti akan terasa nyaman jika Andin menggenggam tangan besar itu sambil berjalan bersisihan.

"Eh, Mas Aby!"

Sebentar lagi Aby ke Semarang, bukankah seharusnya Andin menciptakan moment sebanyak-banyaknya agar laki-laki itu selalu ingat dengan perasaan cinta yang Andin miliki untuknya?

"Apa?"

"Sebelum ke Semarang, Mas Aby mau nggak nemenin Andin pergi? Makan, mungkin, atau ..."

Senyum meremehkan kembali tersungging, kali ini dengan sirat mata menunjukan hal yang sama.

"Aku nggak bisa, Ndin. Mas lagi sibuk."

"Tapi Mas Aby makan kan?"

"Ya iya."

"Nah, cuma tempatnya aja yang beda. Biasanya makan di rumah atau di kampus, ini makan di tempat makan sama Andin."

"Dek ..."

"Bisa kan, Mas?"

Laki-laki itu mengatupkan bibirnya, sempat menarik nafas sebelum akhirnya kembali bersuara.

"Mas nggak bisa, kamu minta ditemani Lita saja atau temanmu yang lain," jawab laki-laki itu lalu melanjutkan langkahnya masuk ke dalam rumah.

Andin kembali ditolak, tetapi dia tidak menyerah. Waktunya hanya tinggal beberapa minggu, jika Aby sudah ke Semarang artinya harapannya semakin tipis, setipis selaput dara yang mudah robek.

Di Semarang laki-laki itu akan selalu bersama Pramesti, dan setelah laki-laki itu kembali ke Jakarta tentu Andin sudah tidak tinggal di rumah ini karena tahun ini dia sudah mengambil tugas akhir.

"Mas!"

"Apa lagi, Ndiin?" tanya Aby malas.

"Sekali saja, Mas."

Kaki Andin refleks bergerak mundur saat Aby mendekat. Tubuhnya bahkan sempat terbentur pot di belakangnya.

"Ndin, jangan buang waktumu untuk mencoba mencari perhatianku. Maaf, tapi sampai kapanpun, Mas tidak akan pernah tertarik dengan Andin."

Kok sakit ya?

"Jujur saja, Mas terganggu dengan sikap Andin. Mas hanya menganggap Andin seperti adik, tidak lebih."

Oke fiks, memang sakit!

***

"Ini apa?"

"Nasi kuning buatan emak gue."

Pramono membenahi kacamatanya sebelum mendudukan tubuhnya di samping Andin. Mereka hanya berdua karena Lita belajar di fakultas berbeda, sedangkan Andin dan Pram kuliah di jurusan yang sama.

"Cuma satu?"

"Punya Lita udah gue anter tadi."

"Ooh, thank's."

"Buruan dimakan sebelum dosen masuk kelas."

"Yeee."

Ibu Pram adalah seorang penjual nasi kuning di pagi hari. Karena berteman baik, Andin dan Lita sering mendapatkan sarapan gratis jika tidak sempat mendapatkan sarapan di rumah. Nasi kuning buatan Ibu Pram juara dari rasa maupun tekstur. Sambalnya gurih dan pedas bercampur manis, berkolaborasi sempurna di lidah penikmatnya.

"Kerupuknya mana, Pram?"

Andin memukul pelan bahu Pramono ketika laki-laki itu tak menjawab pertanyaannya. Kedua telinga Pramono sedang menggunakan headset. Pasti laki-laki itu sedang mendengarkan kursus bahasa inggris online yang mulai ia tekuni beberapa bulan terakhir ini. Katanya, Pramono sedang menyiapkan diri untuk pendaftaran beasiswa Post Graduate Overseas yang sudah ia idam-idamkan sejak SMA.

"Apa?!"

"Kerupuk," ucap Andin dengan tangan kanan menengadah ke arah Pramono.

"Udah diembat teman lo semua."

"Dih, nggak nyisain buat gue?"

"Yaaa itu si Lita diambil semua."

"Tega kalian."

Meskipun sempat mengomel, Andin tetap melanjutkan menyuapkan nasi ke mulutnya. Pram meletakan satu botol air mineral di dekat Andin lalu memilih kembali fokus dengan kursus yang sedang ia dengarkan.

"Nanti pulangnya anterin gue ke toko buku, mau nggak, Pram?" tanya Andin setelah selesai makan dan Pramono sudah selesai dengan kursusnya.

"Toko buku mana?"

"Biasa, yang di Salemba."

"Yooo, gue free nanti setelah jam dua belas. Gue masuk shift jam dua siang tapi."

Selain kuliah, Pram juga bekerja freelance di cafe coffe dekat rumahnya. Dia melakukan itu demi mencukupi kebutuhan sehari-harinya sebagai mahasiswa. Sebagai anak laki-laki, dia mau membantu ibunya yang hanya seorang diri. Pramono masih punya satu adik yang masih berstatus pelajar SMA, bukan hanya dia yang membutuhkan biaya untuk menuntut ilmu.

"Iye, cuma sebentar kok. Nanti gue pulangnya ojek online aja."

"Heemm."

Beruntungnya Andin mempunyai sahabat seperti Pramono dan Lita. Dia tidak akan sekuat sekarang berdiri di sini jika tanpa mereka berdua.

BAB 5 - Sakit Sendiri.

Tepat pukul tiga sore, Andin sudah berada di dapur. Dia berniat membantu Bik Inah yang sedang masak besar, terlihat dari beberapa bahan makanan yang berserakan di lantai dapur.

"Mau ada tamu agung, Bik?" tanya Andin. Gadis itu mengintip ke dalam isi tas kresek berlabel supermarket terkenal di Indonesia. Ada daging ayam, daging sapi dan beberapa sayur-sayuran yang cukup menyita perhatiannya.

"Iya mau ada tamu kata Ibu."

"Oh, makan malam di sini?"

"Sepertinya iya, Non."

Andin cukup tahu diri, jika ada tamu Pak Artawan atau Tante Zeti dia lebih memilih menghabiskan waktu di dapur untuk bantu-bantu Bik Inah lalu makan malam setelah semuanya selesai makan.

"Andin bantuin apa nih?"

"Kupas bawang merah sama bawang putih aja, Non."

"Siap, Komandan!"

Setiap sore jika tidak kuliah atau sedang mengerjakan tugas, Andin selalu menyempatkan diri membantu Bik Inah. Selain karena ibunya yang selalu mengingatkan, Andin pun terbiasa membantu ibunya masak saat di rumahnya sendiri. Kata Ibu, wanita itu harus bisa masak untuk melayani suami. Didikan itu yang tertanam di otaknya sejak kecil.

"Siapa tamu-nya, Bik?" tanya Andin sambil mengupas bawang putih.

"Siapa ya? Bibik mah juga nggak tahu, Non."

"Kaya-nya penting ya? Banyak banget masaknya."

"Sepertinya iya, orang Ibu sendiri tadi yang belanja."

"Serius?"

"Beneran, Non."

Tante Zeti adalah tipikal ibu-ibu sosialita, setiap hari kegiatannya arisan atau pergi berbelanja bersama teman-temannya. Jarang sekali Tante Zeti mengurus dapur, terlebih sampai belanja sendiri di supermarket. Andin menyimpulkan tamu malam ini cukup spesial bagi keluarga Bramantya.

"Tapi emang Tante Zeti tahu jenis sayur sama bumbu dapur, Bik? Kok bisa belanja sendiri."

Bik Inah hanya menjawab dengan kedikan bahu karena setelahnya sosok yang menjadi perbincangan keduanya masuk ke dapur.

"Aman kan Bik belanjaannya?" Tante Zeti baru saja selesai mandi, terlihat dari handuk yang membelit rambutnya.

"Aman sih, Nyaah. Belum dicek semuanya, tapi sepertinya lengkap."

"Nanti kalau ada yang kurang beli aja di warung deket rumah, Bik. Ini tadi saya cuma nanya ke mbak-mbak supermarket hasil dari searching resep di internet."

"Ooh gitu, nggih, Nyah."

"Sebelum jam tujuh sudah siap ya, Bik," pintanya. "Bisa kan?"

"Siap, Nyah."

"Oke," ucap Tante Zeti sambil menunjukan jari jempolnya ke arah Bik Inah.

Wanita itu berlalu pergi dan kedua penghuni dapur melanjutkan aktivitasnya masing-masing. Seperti yang diarahkan Tante Zeti, masakan sudah siap sebelum jam tujuh malam. Andin membantu Bik Inah menyajikan makanan di meja makan dan beberapa camilan di ruang tengah.

"Lo nggak mandi, Ndin?" Lita menarik tubuh Andin dari ruang makan ke belakang rumah.

"Kenapa harus?"

Lita terkejut, memutar-mutar tubuh Andin sambil meneliti sesuatu. "Lo bawa handphone nggak?"

"Enggak."

Tangan Lita berkacak pinggang dengan wajah malas. Andin yang berdiri di sampingnya sama sekali tidak tahu di mana letak kesalahannya.

"Kenapa?"

"Tamu malam ini keluarga Pramesti."

"What?!"

"Orangtua Prames yang di Semarang lagi di Jakarta nengokin anaknya, dan mereka mau bertamu ke sini untuk mengingat masa-masa di mana dulu mereka bertetangga."

"..."

"Gue udah kirim pesan buat ngasih tahu lo dari tadi sore."

Andin mendudukan tubuhnya di lantai, membayangkan bagaimana hatinya saat bertemu dengan gadis pujaan Aby. Siapkah dia? Mampukah Andin biasa saja?

"Hape gue di kamar, dari tadi gue bantu Bik Inah masak di dapur."

"Lo sih, hape itu kan alat komunikasi, Ndin. Bukan cuma barang persegi yang lo pakai untuk cari berita artis korea doang."

"Kaya-nya gue nanti di kamar aja deh, Ta." Andin mengabaikan celotehan absurd sahabatnya. Mencoba mencari dukungan dari Lita untuk mengiyakan idenya melarikan diri.

"Ngapain? Lo harus tunjukin kalau lo ituβ€”."

"Gue nggak bisa."

"Kenapa nggak bisa? Jangan cemen lo, Ndin. Ngomong cinta aja berani masa ada lawan aja melempem."

Masalahnya ini bukan tentang lawan yang sepadan. Secara tingkat, tentu Andin berdiri jauh dibawah Pramesti. Dan Andin, tidak siap dengan pertemuan ini. Andin takut patah hati bahkan saat belum memiliki.

"Gue belum siap."

"Siap jatuh cinta, lo harus siap patah hati."

"Ndin, Tante cari malah ngumpet di belakang sama Lita." Andin berdiri saat Tante Zeti muncul lalu mendekat. Gadis itu menyembunyikan kekacauan di wajahnya secepat mungkin lalu menunjukan raut wajah seperti biasa.

"Mandi terus nanti keluar ya, ketemu sama teman Tante."

Bibir Andin terbuka lalu kembali menutup saat merasa tidak enak hati menolak permintaan Tante Zeti.

"Lita cepet keluar, Om Randu sama Tante Zaskia udah mau sampai."

Anggukan Lita menunjukan persetujuan.

"Lo pasti bisa, Ndin," ucapnya menyemangati Andin sambil berlalu menyusul mamanya. Gadis itu menghilang di balik tembok pembatas ruang tengah dan taman.

Sebelum benar-benar melangkah, Andin menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Dia perlu cadangan pasokan oksigen yang banyak jika sewaktu-waktu tercekat saat bertemu dengan wanita pujaan hati Abyasa.

Tidak membutuhkan waktu lama untuk Andin bersiap, dia memang tidak pernah menghabiskan banyak waktu di kamar mandi seperti wanita pada umumnya. Celana bahan berwarna hitam dengan kemeja denim melengkapi penampilan Andin yang biasa. Rambut sebahunya ia biarkan tergerai dengan jepit rambut bermotif pig berwarna pink.

"Gue pasti bisa," gumamnya dalam hati.

Suara riuh terdengar jelas di ruang tengah, dengan didominasi suara Tante Zeti dan suara perempuan yang tak Andin kenali. Saat menapakan kakinya di ruangan ini, Andin menemukan keakraban yang kental. Semua orang bercengkerama, saling bercerita masa lalu yang tidak ada Andin di dalamnya.

"Eh ini ada Andin. Kenalin Jenk, ini anak sahabatku di Jogja," ucap Tante Zeti memperkenalkan. Gerak tangannya meminta Andin untuk duduk di sampingnya.

Andin menurut, duduk di samping Tante Zeti seperti yang diinstruksikan. Rasa asing menyapa, saat Andin merasa dirinya bukan siapa-siapa.

"Kok bisa punya sahabat di Jogja?"

"Kan aku dulu kuliah di Jogja, Jenk."

"Waah, kalau ke pulang ke Jogja mampir ke rumah Tante di Semarang, kan lewat ya."

Wajah Tante Zeti menunjukan antusiasme dalam obrolan yang tercipta bersama wanita berhijab di hadapannya. Wanita yang bisa Andin kenali sebagai ibu Pramesti. Ibunya saja cantik, tentu tidak kalah dengan anak gadisnya yang saat ini sedang duduk sopan di samping Abyasa.

Kedua perempuan itu mulai berbincang yang tak Andin pahami. Karena fokus gadis itu kini ke arah Abyasa yang sedang mengamati kedua ibu-ibu itu dengan sesekali mengukir senyum. Di sampingnya duduk seorang gadis dengan tahi lalat di pipi. Gadis berambut panjang yang terlihat anggun dengan pakaian panjangnya. Beberapa kali Andin menemukan Aby mencuri pandang ke arah Prames, tatapan mata itu tentu jauh berbeda dari yang biasanya laki-laki itu tunjukan.

"Saya ke dapur dulu, Tan."

"Hey, di sini aja temani Tante. Aku kenalin ya, Ndin. Ini Tante Zaskia dan Om Randu, sama anaknya Pramesti, mereka dulu tinggal pas di rumah sebelah."

Andin mengangguk sopan sebagai tanda perkenalan. Dan saat matanya bertemu dengan manik hitam milik Abyasa, hatinya kembali tercubit kecil. Seperti seharusnya, Abyasa tidak menunjukan ekspresi apapun. Laki-laki itu kembali fokus menatap gadis yang sedang duduk di sampingnya.

"Prames, kamu pasti suka sama Andin, anaknya baik. Sering main juga sama Lita, pasti kalian bertiga bisa berteman baik."

Tante Zeti masih bersemangat memperkenalkan Andin, padahal gadis itu sama sekali tidak berminat dengan perkenalan ini.

"Hai, Ndin. Aku Prames, temen Lita juga waktu kecil, sesekali kita keluar bareng pasti seru."

"Baik, Mba. Senang berkenalan dengan Mbak Prames."

Manik mata Abysa menunjukan rasa saat gadis cantik itu berucap, rasa yang begitu besar yang tak biasa. Lalu Andin merasa kerdil dengan perasaannya sendiri.

"Tan, Andin kebelakang dulu saja," pamitnya. "Sebentar," tambah Andin saat Tante Zeti menunjukan penolakan.

Langkahnya membawa Andin di taman belakang, taman yang menjadi saksi bagaimana seorang Andin yang biasa berani mengucapkan kata cinta untuk hati Abyasa yang sudah bertahta.

Benar kata Lita, Andin memang stupid.

BAB 6 - Rasa Sendiri.

Pertama kali Andin bertemu Abyasa tepat di hari pertama ia tinggal di rumah Bramantya. Pertemuan pertamanya dengan Aby terkesan biasa, dia menganggap Aby hanya sebagai tuan rumah yang harus ia hormati, anak dari Tante Zeti yang sudah baik mengizinkannya tinggal di rumah ini.

Keduanya bersapa, dan ya tidak ada apa-apa yang terjadi setelahnya, seperti seharusnya.

Namun, takdir seringnya berjalan tanpa rencana. Andin yang sebelumnya bersikap biasa, mulai menyimpan rasa karena terbiasa.

Terbiasa bertemu muka, terbiasa bertegur sapa, terbiasa makan bersama, hingga terbiasa mengamati dalam diam. Sampai detik dimana Andin menerima perasaannya, menerima bahwa dia telah jatuh cinta kepada pria dewasa bernama Abyasa Bramantya. Sosok yang jarang sekali berinteraksi dengannya, sosok yang sama sekali tidak ada di dalam rencana masa depannya selama ini.

Satu bulan berlalu sejak pengakuan cinta Andin, tidak ada yang berubah. Semuanya tetap berjalan seharusnya.

Hari ini, adalah hari terakhir Abyasa di rumah ini sebelum terbang ke Semarang dini hari untuk mengejar mimpi.

Andin tak berharap perasaannya berbalas. Hanya saja, mencintai Abyasa sudah menjadi kebiasaan. Bukankah, hal tersulit adalah menghentikan sebuah kebiasaan? Mencintai Abyasa adalah kebiasaan, mengamati Abyasa diam-diam adalah kebiasaan, dan menganggu Abyasa pun sudah menjadi kebiasaannya beberapa hari belakangan.

"Mas Aby sibuk?"

Sekali lagi, taman belakang rumah keluarga Bramantya kembali menjadi tempat pertemuan keduanya. Bedanya, ada rintik hujan yang terdengar ramai mengiringi suasana dingin malam ini.

"Nggak. Gimana, Ndin?"

Andin mendudukan tubuhnya di kursi berseberangan dengan Aby, meskipun laki-laki itu tidak mempersilahkan. Ia menatap Aby dengan kedua tangannya yang saling bertaut cemas. Dinginnya malam saat hujan deras, semakin menambah kecanggungan yang sudah ada sejak Andin berniat menemui Abyasa sore tadi.

"Ada yang ingin Andin sampaikan."

Andin mengeratkan jaketnya saat dingin semakin menyiksa. Dingin karena malam dan hujan, dan dingin karena sikap Abyasa.

"Mas."

Panggilan Andin menarik perhatian Aby yang sedang mengamati hujan. Dan akhirnya, setelah sekian lama memupuk keberanian, Andin kembali bersitatap dengan si pemilik mata hitam.

"Mas Aby, ngerokok?"

Gadis itu menyesali pertanyaannya yang terlalu ikut campur dengan kehidupan Abyasa. Bukankah selama ini Aby selalu menegaskan batasan untuk mereka berdua? Hanya saja, Andin khawatir.

Seorang dokter muda yang tahu efek buruk rokok, tetap menyesapnya. Mungkinkah laki-laki itu sedang memiliki banyak masalah?

"Hem, sesekali," jawabnya malas.

Laki-laki itu kembali menyesap rokoknya lalu mengepulkan asapnya ke atas. Arah mata laki-laki itu mengikuti asap yang mengepul, lalu kembali menyesap rokok saat asap itu sudah menghilang.

"Bukannya Mas Aby tahu rokok itu berbahaya?"

Laki-laki itu membiarkan kalimat Andin tak berbalas. Terlalu malas menjawab pertanyaan Andin yang ingin tahu dan sok dekat. Malam ini ia ingin sendiri, menikmati rasanya seorang diri. Tapi lagi-lagi, Andin menganggunya.

"Besok pesawat jam berapa, Mas?" tanya Andin sekali lagi, mengabaikan pertanyaan sebelumnya yang tidak dijawab.

"Lima pagi."

"Oh, kenapa belum tidur?"

"Sebentar lagi, mungkin lebih cepat jika kamu masih di sini."

Desiran menyakitkan kembali muncul di hati Andin. Dia buru-buru mengambil barang yang sebelumnya ia letakan di lantai, lalu meletakan benda itu di meja. Walaupun ditolak, Andin berharap Abyasa mengingat tentang dirinya meskipun hanya sekilas.

"Andin mau memberi ini ke Mas Aby."

Suara barang bergeser menarik perhatian Aby ke arah meja. Ia melihat benda itu lalu menatap Andin penuh tanda tanya.

"Ini jam tangan," jelas Andin, padahal di kotak itu tertulis nama merk jam tangan yang cukup terkenal.

"Aku tahu, tapi untuk apa? Aku nggak sedang berulang tahun."

"Memang harus memberi kado hanya saat ulang tahun?"

Aby kembali mengabaikan pertanyaan Andin, seharusnya Andin paham pertanyaannya itu hanya sebagai penolakan halus untuk pemberiannya. Aby tidak ingin ada sesuatu yang tertinggal dari Andin, karena gadis itu bukanlah siapa-siapa baginya. Tetapi seperti tak kenal lelah, Andin selalu berusaha mendekatinya.

"Semoga Mas Aby mau menerima pemberian Andin, jam tangan itu penting untuk membuat kita lebih tepat waktu, untukβ€”."

"Oke, aku terima," jawabnya cepat mengambil jam tangan di meja dan menunjukan ke arah Andin. Dia tidak ingin berlama-lama dalam situasi ini.

"Te-terima kasih."

"Masih ada yang ingin disampaikan?"

Andin menggeleng.

"Ya sudah, Mas masuk dulu ke kamar, besok harus berangkat pagi-pagi."

"Ya, Mas."

Mata Andin mengamati kepergian Aby. Ada begitu banyak hal yang ingin ia sampaikan, seperti : hati-hati di jalan, sukses studynya, sehat selalu Mas Aby dan berbagai macam doa yang ingin ia sampaikan langsung kepada orangnya.

Tetapi semuanya itu masih tersimpan rapi di benaknya, karena Abyasa tak berniat berlama-lama dengan Andin di taman belakang rumah.

***

Keesokan harinya, Andin sudah tak menemukan keberadaan Aby saat sarapan. Hanya ada Pak Artawan, Tante Zeti dan Lita.

Meskipun belum tentu dibalas, Andin tetap mengirimkan pesan ke Abyasa : hati-hati di jalan dan semoga selamat sampai tujuan. Pesan itu sudah bercentang biru. Setidaknya Andin bisa bernafas lega, laki-laki di kota Semarang itu sudah sampai tujuan dengan selamat.

"Pagi, Andin. Kok belum siap-siap, Dek?" sapa Tante Zeti.

"Andin kuliah siang, Tan."

"Oh, Lita berangkat sendiri dong."

"Sudah biasa," Lita menyahut, sambil memasukan roti bakar ke dalam mulutnya.

Andin duduk di samping Lita lalu mengambil roti bakar untuk dirinya sendiri.

"Ndin, nanti kalau nggak sibuk Tante minta tolong beres-beres kamar Mas Aby ya, ambil sprei-nya taruh di mesin cuci biar di cuci Bik Inah. Kamar itu kan pasti nggak dipakai selama Mas Aby di Semarang, jadi kalau ada baju atau celana menggantung juga di taruh di mesin cuci."

"Iya, Tan."

"Tante buru-buru pergi soalnya mau arisan. Terima kasih ya, Andiiin."

Setelah sarapan, Andin mengerjakan permintaan Tante Zeti. Jadwal kuliahnya masih sekitar enam jam lagi, Andin memiliki banyak waktu untuk membersihkan kamar Abyasa.

Saat pertama kali membuka pintu, aroma wangi Abyasa masih membekas di kamarnya. Parfum yang Andin kenali karena berada disekitar Abyasa. Misalnya saat sarapan dan makan malam. Yaa hanya itu, karena memang moment kebersamaan keduanya terbanyak ada di meja makan.

Tangan Andin membuka gorden kamar, sinar matahari masuk menghangatkan. Setelah hujan deras semalaman, pagi ini matahari tak pelit membagi sinarnya.

Kamar tidur Aby tidak terlalu luas, dengan ranjang bernuansa abu di dekat jendela. Ada beberapa baju yang tergeletak asal, mungkin karena laki-laki itu terburu-buru ke bandara.

Andin melakukan sebatas yang perlu ia lakukan di ruangan ini, karena bagaimanapun kamar ini adalah privasi pemiliknya. Ia mengambil sprei dan beberapa pakaian kotor di gantungan baju, lalu setelahnya Andin membersihkan sekedarnya. Menyapu ruangan yang tidak terlalu luas tak membuatnya lelah, Andin menggapai ujung-ujung ruangan yang tak terjamah hingga bawah ranjang. Dan ...

Srett...

Andin menemukan kotak jam tangan pemberiannya di bawah ranjang.

BAB 7 - Satu tahun.

Truk pembawa barang berhenti di depan rumah kos berlantai tiga. Rumah dengan lantai bermotif kayu dan pintu-pintu berjejer rapi. Ada lima pintu disetiap lantai, dengan masing-masing dua kursi kayu di teras.

Akhirnya, batin Andin bahagia.

Setelah cukup lama merayu kedua orangtuanya untuk diperbolehkan tinggal sendiri, dipercobaan kesekian kali, Andin berhasil. Mengambil gelar profesi cukup menyita waktu dan tenaga, dengan jarak yang jauh dari rumah tentu bukan hal yang mudah.

Hari ini dia berhasil pindah dari rumah keluarga Bramantya dengan beralasan lebih dekat dari kampus. Sebenarnya, bukan rumah Bramantya yang tak cukup nyaman. Hanya saja, Andin lebih nyaman tinggal di tempatnya sendiri. Dia punya kamar sendiri, punya kamar mandi sendiri dan waktu untuk dirinya sendiri.

Dua hari yang lalu Andin wisuda dan sudah mendapatkan gelar sarjana di akhir namanya. Hari ini, ibu dan bapak memutuskan mencari kos untuk Andin tinggal selama menyelesaikan profesi-nya di Jakarta.

"Jaga diri kalau tinggal sendiri." Bapak duduk di karpet dekat kasur, dengan Andin yang menidurkan kepalanya di pangkuan ibu. "Tinggal sendiri itu tidak mudah, pulang sepi, berangkat sepi, tidak seperti di rumah yang ramai."

"Nggih, Pak."

"Kalau pulang malem hati-hati, apapun aktivitasnya harus ngabarin orang rumah sedang apa dan di mana, sudah sampai di kos apa belum."

"Nggih."

Mereka bertiga duduk di karpet yang baru ia beli sore tadi. Lumayan, untuk mengisi kamar kos-nya yang tidak terlalu luas. Kamar ini berukuran empat kali lima meter dengan kamar mandi dalam yang kecil. Seperti tempatnya yang sempit, kamar Andin pun tidak terlalu banyak isinya. Hanya ranjang berukuran single, karpet, dispenser dengan magic com dan televisi empat belas inch. Semua barang ini baru saja Andin beli diantar kedua orangtuanya siang tadi.

"Ibu sudah buatkan kering tempe dan sambal kentang, cukup untuk makan beberapa hari. Tinggal nanti Andin belanja sarden, telor dan makanan lainnya yang mudah dimasak." Ibu Andin selalu memikirkan masalah dapur, padahal Andin merasa sudah cukup mahir di bidang itu. Kos Andin menyediakan satu dapur di setiap lantai yang bisa digunakan bersama.

Kedua mata Andin terpejam saat merasakan belaian lembut di kepalanya. Setelah hampir empat tahun Andin pindah ke Jakarta, Andin cukup dibilang jarang pulang ke Jogja. Selain karena berhemat, tentu juga karena pendeknya jadwal liburan.

"Kalau sudah tinggal sendiri harus pinter-pinter mengatur uang dan waktu. Jangan boros."

"Nggih, Bu."

Sebagai anak ketiga dari lima bersaudara, dengan empat perempuan dan satu laki-laki, Andin terdidik menjadi anak penurut. Dia punya dua kakak perempuan yang sudah berkeluarga, dua adik laki-laki dan perempuan yang masih sekolah menengah pertama dan menengah atas.

Lulus SMA, ibu dan bapak pernah meminta Andin untuk langsung mencari pekerjaan. Tetapi Andin bersikeukeuh untuk tetap melanjutkan studinya. Andin bersyukur, dia mendapatkan beasiswa meskipun tidak full funded tetapi cukup mempengaruhi bapak dan ibuk untuk merestui kepergiannya ke Jakarta.

"Buuk," panggil Andin.

"Heem."

"Dulu, Ibu dan Tante Zeti sedekat apa?" Pertanyaan ini sebenarnya sudah ada di benak Andin cukup lama, tetapi malam ini baru gadis itu utarakan ke ibunya langsung.

"Tidak terlalu dekat, tapi yaa kita teman."

"Tante Zeti bilang Ibu sahabatnya."

"Tidak ada yang tidak berteman sama Zeti, dia dulu gadis yang mudah bergaul dan punya banyak teman."

Penjelasan Ibu cukup memuaskan rasa ingin tahu Andin. Terlihat dari cara Tante Zeti berinteraksi dengan banyak orang yang mudah akrab, menurun langsung ke Lita yang memiliki peringai yang sama. Berbeda dengan Aby yang lebih banyak diam, Aby lebih banyak menuruni sifat Pak Artawan yang irit berbicara.

"Tante Zeti baik."

"Ibu tahu, makanya Ibu ridho menitipkan kamu ke beliau."

Suasana kembali hening, hanya ada suara televisi yang sedang menampilkan berita kasus pembunuhan cukup menyita perhatian kedua orangtuanya. Situasi ini dimanfaatkan Andin bermain dengan ponselnya. Dia sempat mengunggah potret wisudanya beberapa jam yang lalu dan berharap mendapatkan ucapan selamat dari teman-temannya.

Mata Andin sempat memicing tajam, gadis itu membenahi letak kacamatanya saat membaca deretan pesan masuk. Ada lima notifikasi pesan masuk : dari temannya di Jogja, kakaknya, Lita, Pramono dan ... Mas Aby. Andin mendudukan tubuhnya kasar, sempat membuat ibu terkejut dan memukul ringan paha Andin. Pukulan itu tidak sakit dan sama sekali tidak mempengaruhi Andin. Karena fokus gadis itu sedang ke arah layar ponsel di tangannya.

Mas Aby :
Selamat untuk kelulusannya, semoga ilmunya bermanfaat.

Dari puluhan pesan yang tidak berbalas sebelumnya, Andin ternganga membaca baitan aksara yang begitu indah dibaca. Setelah kepergian Abyasa ke Semarang, setelah ia menemukan kotak jam tangannya di bawah ranjang, setelah ia merasakan perasaan ngilu asing di hatinya, setelah semua itu terjadi Andin tetap mencintai Abyasa Bramantya. Mencintai Abyasa sudah menjadi kebiasaan Andin yang tak bisa dihilangkan begitu saja. Andin tetap rajin mengirimkan pesan, membalas story, meskipun jarang sekali mendapat balasan.

"Kenapa to, Mbak? Kok koyo lihat hantu?" Ibu Andin kembali menepuk ringan paha Andin meminta perhatian.

"Nggak apa-apa, Bu. Ini cuma lagi baca pesan."

"Dari siapa?"

"Teman," jawab Andin singkat.

Ia mengetik layar untuk membalas pesan Abyasa, sedikit lebih lama karena sempat dihapus lalu mengetik lagi, hapus lagi dan akhirnya balasan itu terkirim cukup panjang.

Me :
Terima kasih, Mas Aby.
Aamiin.
Semoga Mas Aby juga lancar studynya.
Hari ini, Andin pindah dari rumah karena sudah dapat kos yang dekat kampus selama profesi.

Aby tidak bertanya, mungkin tidak ingin tahu juga dengan kehidupan Andin saat ini. Entahlah, Andin hanya ingin berkabar. Dia ingin memberitahu Abyasa bahwa dia sudah tidak tinggal di rumah yang sama dengannya.

Mas Aby :
Oh ya? Harus ekstra hati-hati kalau tinggal sendiri.

Senyum tak terbendung muncul di wajah oval gadis berkacamata ini. Mata yang awalnya mengantuk kini terbuka lebar bak genderang siap bergadang. Pesan dari Aby tentu tidak semudah itu dianggap biasa oleh seorang Andin. Mungkin gadis itu nantinya kesulitan tidur hingga pagi menjelang.

Me :
Terima kasih sudah diingatkan, Mas.

Pesan itu sudah terkirim dan sudah bercentang biru. Namun semangat di hati Andin masih berkobar ketika pesan yang biasanya tak berbalas kini cukup cepat kembali terjawab. Andin memanfaatkan situasi ini untuk menambah deretan pesan dari nomor ponsel Abyasa.

Me :
Mas Aby lagi apa?

Kirimnya lagi.

Andin mengusap gusar wajahnya menunggu balasan Aby. Cukup lama centang pesan itu tak kunjung berubah warna. Andin bahkan sudah kembali menidurkan kepalanya di pangkuan ibu saat balasan Aby tak kunjung datang. Andin membiarkan ponselnya terletak di karpet dalam posisi standby display, dia mengawasi pesan itu berharap segera berubah.

Mas Aby mengetik.

Andin kembali membawa ponselnya di depan mata. Menunggu dengan debar tak menentu di hatinya.

Beep.

Mas Aby :
Mas lagi sama Prames, lagi makan malam.

Nyeri di hatinya yang sudah lama menghilang kembali menyapa. Sesak yang muncul tak lagi terjeda. Cukup lama Andin menetralkan perasaannya, lalu memutuskan untuk tetap membalas pesan Aby meskipun menyakitkan.

Me :
Oh, selamat makan malam Mas Aby. Salam buat Mbak Prames, ya. Setelah makan jangan lupa berdoa 🀭 hati-hati pulangnya.

Emot lucu yang dikirimkan Andin berbanding terbalik dengan senyum miris yang ia tutupi dalam hati. Sudah sekian lama, dan Andin belum merasa ingin menyerah dengan perasaannya.

BAB 8 - Dua tahun.


Pram :
Gue telepon lagi nanti. Sorry, udah malem disini.

Me :
Oke.

Satu pesan dari Pram memulai pagi hari Andin. Laki-laki itu mendapatkan mimpinya, melanjutkan post graduate di Melbourne, tepatnya di Monash University. Dia mengambil Master of Pharmaceutical Science. Pramono mendapatkan beasiswa setelah rentetan penolakan yang tidak pernah membuatnya menyerah.

Meskipun mereka berdua tinggal di benua berbeda, Pramono tetap rajin memberi kabar.

Hari ini, hari Minggu. Andin lebih banyak berada di kamar kosnya. Rencana yang sudah ia susun pun terlampau sempurna : masak, nonton dan menyelesaikan cucian yang tak seberapa. Tinggal sendiri sebagai wanita dewasa cukup membuat Andin bahagia. Dia bebas menentukan apa yang akan ia lakukan dan apa yang ia inginkan.

Namun, satu pesan yang baru saja ia terima merusak semua rencananya yang sudah tersusun rapi.

Tante Zeti :
Mas Aby lagi pulang ke Jakarta, nanti kita makan malam bareng di rumah ya. Tante kangen sama Andin.

Cukup lama Andin membiarkan pesan itu tanpa balasan, bingung akan menjawab bagaimana permintaan Tante Zeti. Di sisi lain Andin sangat ingin berada di tempat itu, melepas rindu meskipun hanya dengan melihat sosoknya yang sehat dan baik-baik saja. Tetapi di sisi lain, Andin mulai khawatir. Semakin dewasa, Andin semakin menyadari bahwa perasaannya untuk Abyasa bisa menjadi bumerang untuk dirinya sendiri.

Me :
Ya, Tan. Andin usahakan.

Gadis itu menepati janjinya, mengusahakan datang ke kediaman Bramantya untuk ikut memeriahkan kepulangan anak pertamanya setelah sekian lama. Andin bahkan menyiapkan puding buah mangga buatannya sendiri, Andin ingat dulu Aby sangat suka puding mangga buatan Bik Inah.

Malam ini Andin mengenakan celana slim fit hitam dengan kemeja putih yang dipadukan sweater hangat. Andin memoleskan make up tipis di wajah, dia cukup puas dengan hasilnya. Berkat teman satu kos-nya yang bernama Pita, Andin kini cukup piawai mempercantik diri seperti teman sebayanya.

Rambutnya yang ikal dibagian bawah ia biarkan tergerai sepanjang bahu. Sedikit berbeda dari Andin remaja, wanita itu memutuskan memberi warna coklat hazel dirambutnya.

"Assalamualaikum," salam Andin saat memasuki rumah.

Rumah keluarga Bramantya masih sama, dengan karpet dan sofa yang tidak berubah posisi dari terakhir kali Andin meninggalkan rumah ini. Dingin, suasana yang pertama kali Andin rasakan saat kaki telanjangnya menapak di lantai, lalu ia mengganti sepatunya dengan sandal rumah yang sudah disediakan.

"Taaan," panggilnya lagi.

Tak mendengar jawaban, Andin memberanikan diri masuk ke rumah menuju ruang tengah.

"Eh itu Andiin," teriak Tante Zeti senang. Wanita cantik itu memeluk Andin setelah sebelumnya saling mencium pipi. "Tante kangen banget, kamu nggak pernah mampir ke rumah setelah tinggal di kos sendiri."

Tangan Tante Zeti menarik Andin untuk masuk ke dalam lingkaran sofa yang hanya ada Tante Zeti, Pak Artawan dan laki-laki yang sedang memunggunginya. Tante Zeti mendudukan Andin di samping Abyasa, sedangkan Tante Zeti dan Pak Artawan duduk di seberang mereka berdua.

Degup jantung Andin meletup tak karuan, duduk berdekatan setelah sekian purnama tak pernah bertemu sapa. Wangi parfum masih sama, dengan tubuh yang semakin terlihat dewasa. Andin belum berani menatap sang pujaan sebelum suara Aby menginterupsi kecanggungannya.

"Sehat, Dek?" tanya Aby menyapa.

Saat manik matanya bertemu si pemilik mata hitam, Andin kembali tersesat. Setelah sebelumnya dia merasa siap untuk bersikap biasa saja, namun nyatanya ia tetap gagal. Gagal untuk tidak terkesima, gagal untuk tidak menunjukan binar cinta yang sebisa mungkin selalu ia tekan.

Abyasa terlihat ... lebih dewasa dari terakhir pertemuan keduanya. Garis wajah tegas dengan alis tebal dan rambut tipis di sekitar dagu. Wajah itu masih sama, hanya ada kantong mata yang sedikit menghitam di bagian bawah mata Abyasa. Program pendidikan yang sedang ia jalani tentu tidaklah mudah. Tapi Andin yakin, Abyasa-nya terlahir hebat.

"Deek," panggilnya lagi saat Andin tak kunjung menjawab.

"I-iya, Mas. Alhamdulillah sehat, Mas Aby bagaimana kabarnya?"

"Alhamdulillah sehat dan pusing juga, hehe." Tawa ringan diakhir kalimat Abyasa semakin menarik Andin dari poros dunianya. "Andin juga sedang profesi kan?"

"Iya, Mas. Alhamdulillah sudah hampir selesai."

"Yaa, harus tetap semangat."

Saat senyum Abyasa kembali tercipta, Andin melakukan hal yang sama.

"Andin bawakan puding mangga ... buat Tante." Andin menyodorkan tempat makan berwarna merah muda ke tengah meja.

"Waah, buatan sendiri ini, Ndin?"

"Iyaa, Tan."

Tante Zeti membawa kotak makan ke dapur, memberikan ke Bik Inah untuk dihidangkan saat makan malam nanti.

"Pudingnya cuma buat Mama, Dek?" tanya Aby menggoda.

"Mmm."

"Aku juga suka lho."

"Buat semuanya, Mas. Buat Mas Aby juga."

"Oke, nanti aku pasti makan pudingnya."

Setelahnya hanya ada obrolan yang tercipta dari Pak Artawan dan Abyasa. Sesekali Andin dan Tante Zeti menimpali obrolan yang sedikit kaku dari anak dan ayah di hadapannya.

"Lita kemana, Tan?"

"Anak itu, sibuk banget sekarang, Ndin. Lagi ngambil profesi, banyak menghabiskan waktunya di rumah sakit," jelas Tante Zeti. "Sama kaya Mas Aby dulu."

"Yaah, pantesan dari tadi sore Andin whatsapp belum dibalas." Andin mengambil ponselnya untuk memastikan pesan yang ia kirim ke Lita sore tadi, sama seperti sebelumnya, pesan itu belum mendapat balasan.

"Hai, Ndin."

Suara lembut yang tiba-tiba muncul dari tangga lantai dua membekukan tubuh Andin. Sosok cantik yang semakin cantik berdiri dengan rambut basahnya. Andin tak menjawab sapaan Pramesti, otaknya sedang disibukan mencari dirinya sendiri yang sempat menghilang melihat Pramesti di rumah Bramantya.

"Lama banget nggak ketemu." Pramesti ikut berjalan mendekat lalu memberikan pelukan hangat untuk Andin.

"I-iya, Mbak."

Prames duduk di space yang tersisa diantara Andin dan Aby. Merasa tahu diri, Andin memilih berdiri dan berpindah ke sofa di seberang yang terdekat dengan Tante Zeti.

"Mbak Prames gimana kabarnya?" tanya Andin setelah cukup mampu menguasai diri. Senyum yang tulus ia suguhkan untuk menyempurnakan kesakitannya.

"Baik, Alhamdulillah."

"Mbak Prames tambah cantik," pujinya jujur. Dia butuh mengucapkan itu untuk menunjukan bahwa adalah sewajarnya Abyasa jatuh hati kepada wanita secantik Pramesti.

"Kamu juga tambah cantik sekarang, ya kan Mas?" tanya Pramesti meminta pertimbangan Abyasa.

"Heem, Andin tambah cantik sekarang, sudah bisa pakai make up," puji Aby dengan menatap ke arah Andin sekilas lalu tatapannya kembali ke arah wanita yang sedang duduk nyaman di sampingnya.

Tatapan mata itu tidak berubah sedikitpun dari terakhir kali pertemuan mereka.

Kedekatan keduanya, cukup menunjukan hubungan diantara Abyasa dan Pramesti. Aby duduk dengan lengan yang ia letakan di punggung sofa dan tubuh Pramesti mendapatkan pelukan ringan laki-laki itu.

"Terima kasih."

Rasa ngilu yang Andin rasakan sempat terusir saat kedatangan Tante Zeti ke ruang tengah dan menginformasikan kalau makan malam sudah siap. Lalu rasa itu kembali muncul saat Abyasa dan Pramesti mendahuluinya dengan saling berpegangan tangan.

"Bik Inah masak apa?" Andin menyapa Bik Inah, meletakan tangannya di punggung wanita paruh baya yang selalu setia melayani keluarga Bramantya itu.

"Banyak, Non. Ada rawon, ada ayam ada semuanya pokoknya."

"Mmmm, pasti enak. Suatu saat Andin pengen diajarin masak rawon."

"Dulu diajarin ogah-ogahan, sekarang sudah nggak tinggal di rumah gimana belajarnya?"

"Kapan-kapan Andin maen kesini lagi."

"Bik Inah tunggu."

Meja makan sudah penuh dengan makanan. Beberapa terlihat menggugah selera. Manik mata Andin fokus ke arah puding mangganya yang sudah teriris satu porsi. Lalu ia tak bisa menutupi kebahagiaannya saat orang yang pertama kali merasakan puding buatannya adalah Abyasa.

"Ndin, besok kalau sudah lulus apotekernya, kerja di rumah sakit Om saja ya. Daripada susah-susah nyari kerja, mending handle bagian farmasi di sana." Pak Artawan adalah tipe laki-laki to the point, jarang mengobrol banyak. Hanya mengucapkan kata yang memang ingin ia sampaikan.

"Mmm, yaa, in shaa Allah, Om."

"Gajinya juga sudah bagus kok di sana, dan punya sendiri, jadi merasa memiliki ya, Ndin."

Entahlah, Andin masih belum memutuskan rencana apa yang akan ia ambil setelah lulus profesi. Terbersit keinginan untuk kembali ke Jogja, tetapi ada banyak alasan yang memaksanya untuk tetap tinggal di Jakarta.

"Pramesti, bagaimana? Setelah lulus spesialisnya sama Mas Aby, jadi pindah ke Jakarta lagi kan?"

Oke baiklah, mungkin Andin harus benar-benar memikirkan keputusannya untuk tetap tinggal di Jakarta.

BAB 9 - My Cup of tea.

Counter farmasi rawat jalan Rumah Sakit Khusus Mata dokter Artawan sore ini lebih ramai dari biasanya. Beberapa tindakan one day surgery banyak dilakukan, menyebabkan pasien menumpuk di shift sore. Beruntungnya, jumlah pasien yang semakin banyak sudah diprediksi Kak Ajeng, Kepala Instalasi (KaIn) farmasi. Dia menambah petugas yang jaga di shift hari ini.

Satu box berisi dua macam jenis obat Andin letakan di counter, lalu ia memanggil nama pasien yang tetulis di label obat.

"Atas nama Pak Budi Raharja."

"Saya, Mbak."

"Untuk keselamatan pasien, sebelumnya bisa disebutkan nama dan tanggal lahirnya, Pak?."

"Budi Raharja, 22 Juli 1962."

"Sudah sesuai ya, Pak. Ini Pak Budi mendapatkan dua macam jenis obat, yang berwarna kuning antibiotik diminum tiga kali sehari setelah makan. Yang ini pereda nyeri, diminum kalau sedang nyeri saja."

"Baik, Mbak."

"Yang antibiotik harus diminum sampai habis selama lima hari ya, Pak. Walaupun sudah sembuh tetap harus dihabiskan."

"Siap."

"Ada yang ingin ditanyakan? Atau ada yang kurang jelas?"

"Sudah cukup, Mbak. Terima kasih."

"Terima kasih kembali, semoga lekas sembuh Pak Budi," ucap Andin ramah.

Rumah sakit khusus mata dokter Artawan mengutamakan pelayanan yang paripurna. Semua karyawannya dituntut untuk memberikan pelayanan yang baik untuk semua pasien. Andin yang menjadi salah satu dari ratusan karyawan yang mencari rezeki di tempat ini pun wajib melakukan hal yang sama.

Satu pasien selesai, Andin mengambil resep selanjutnya lalu menyiapkan obat berdasarkan tulisan tangan yang banyak orang mengatakan tak bisa dibaca.

Dengan penuh kehati-hatian, Andin mengambil obat yang berada di ujung depan loker obat, dan memastikan nama yang tertulis di labelnya sudah sesuai.

"Tinggal berapa pasien, Mbak?" tanya Andin kepada Mbak Tari. Salah satu senior apoteker yang bertugas di shift sama sore ini.

"Masih lumayan, kenapa gue ngerasa pasiennya nggak berkurang-kurang, ya Ndin?"

"Bentar lagi, Mbak. Semangat." Andin memberikan kepalan tangan ke arah Mbak Tari. Sebagai petugas yang sedang bekerja bersama, mereka harus saling memberikan semangat.

Satu jam kemudian, tumpukan resep pasien mulai berkurang. Andin dan Mbak Tari sebagai apoteker bergantian mendapatkan istirahat.

"Ndin, lo makan dulu gih, gue masih kenyang."

"Serius, Mbak?"

"Iyee, nanti setelah lo gantian gue yang makan."

"Siap, Mbak."

Andin berjalan ke ruang kecil khusus karyawan di dalam gudang farmasi. Dia mendudukan tubuhnya di kursi dan membuka bekal yang sudah ia siapkan sebelum berangkat bekerja. Nasi, oseng tempe kulit melinjo dan perkedel kentang.

Inilah kehidupan yang ia jalani setelah lulus profesi. Keinginannya untuk kembali ke Jogja terhambat demi kedua adiknya. Sebagai kakak yang mendapatkan gelar sarjana pertama kali, Andin diberi tanggung jawab untuk memastikan kedua adiknya mendapatkan pendidikan yang sama. Saat mencari pekerjaan, pertimbangan pertamanya adalah gaji. Dan gaji tertinggi yang bisa ia dapatkan dengan gelar fresh graduate-nya adalah di Jakarta dan di rumah sakit milik keluarga Bramantya.

Andin sadar, semakin beranjak dewasa, kita hidup bukan hanya untuk memikirkan diri sendiri. Keputusan inilah yang Andin ambil, menjadi karyawan rumah sakit mata dokter Artawan, di ruang tiga kali tiga meter, sedang memakan bekalnya, menunggu gaji-nya yang rutin ia dapatkan setiap tanggal dua puluh lima di akhir bulan.

Seperti budak coorporate pada umumnya, Andin menghabiskan makan malam sambil membuka sosial media yang sedang menyuguhkan berita artis naik daun. Cukup lama Andin bermain dengan aplikasi itu, hingga manik matanya berhenti di sebuah potret yang sialnya masuk di beranda.

Abyasa Bramantya : My cup of tea

 

Senyum tersungging di wajah oval milik Andin, berbanding terbalik dengan hatinya yang tercubit ngilu. Gadis itu bahkan sempat menghentikan suapannya dan mengamati potret itu cukup lama.

Cantik, pujinya dalam hati.

Sudah bertahun-tahun Andin mencoba memupus harap, nyatanya rasa ngilu tetap terasa di hati saat melihat laki-laki yang ia cintai terlihat begitu memuja wanita lain.

Iri? Mungkin iya.
Stupid? Masih saja.

Andin memilih menutup aplikasi itu dan membalas pesan Pramono yang sempat ia abaikan karena pasien sedang banyak-banyaknya.

Pramono :
Tiga bulan lagi gue pulang, jemput gue ya?

Me :
Nggak usah manja deh, Pram!

Tetap ada saja yang harus ia syukuri di dunia ini. Seperti : pekerjaan yang lancar dan sahabat yang selalu ada. Meskipun sahabat yang akhir-akhir ini sudah jarang bersapa tiba-tiba duduk di kursi depan kos-nya dalam kondisi kacau.

"Gue nginep sini boleh nggak, Ndin?" Lita berdiri saat melihat kedatangan Andin. Wanita itu sama sekali tidak terlihat baik-baik saja. Mata sembab karena tangis, baju kusut bahkan Lita yang biasanya wangi dan rapi kini menjelma menjadi sosok gadis berantakan.

"Udah minta izin sama Tante Zeti?"

Lita menggeleng, ia ikut masuk ke kamar Andin dan langsung menidurkan tubuh lemahnya di kasur setelah pintu terbuka.

"Tante nggak nyariin?"

"Gue mau tidur dulu ya, Ndin. Besok gue cerita." Setelahnya, Lita benar-benar menepati ucapannya, meninggalkan Andin yang kebingungan seorang diri.

Apa yang harus ia lakukan? Mengatakan keberadaan Lita pada Tante Zeti yang mungkin saja sedang khawatir, atau diam sampai wanita itu mengatakan masalahnya esok hari. Lama Andin membiarkan kamarnya hening tanpa suara.

Mas Aby memanggil.

Cukup lama Andin menatap horor ke arah layar ponselnya yang tiba-tiba menampilkan panggilan Aby. Hingga dering kelima baru Andin menggeser icon berwarna hijau.

"Halo, Mas."

"Dek, Lita hubungi kamu nggak?"

Andin melihat sekilas ke arah Lita yang sudah tertidur pulas, terdengar dari suara nafasnya yang teratur, lalu Andin memutuskan menjawab panggilan telepon Aby di luar kamar.

"Dek."

"Lita ada di kos Andin, Mas."

"Oh, syukurlah. Satu rumah sibuk nyariin, ponselnya nggak aktif. Anak itu! Dia cerita apa aja ke kamu, Dek?"

"Lita belum cerita apa-apa ke Andin."

"Yaa sudah, besok dengerin aja kalau dia cerita, kalau ada apa-apa malam ini jangan sungkan buat telepon Mas ya."

"Iya, Mas."

Hanya sebatas itu, dan Andin kembali dikejutkan saat dia masuk ke dalam kamar, Lita sudah duduk di kasur tipisnya menatapnya horor.

"Siapa yang telepon?" selidik Lita langsung.

"..."

"Mama?"

"Bukan."

"Siapa?"

"Mas Aby."

"Ck, kenapa sampai dia ikut campur?"

Andin tidak tahu kemana arah cerita Lita. Wanita itu hanya mendudukan tubuhnya di depan sahabatnya. Dia ingin menunjukan keberadaannya, hanya itu saja.

"Lo udah makan?" Dibanding menuntut mendengar cerita, Andin lebih memilih memastikan sahabatnya baik-baik saja.

Lita menggeleng lemah.

"Lo butuh makan," ujarnya sambil berjalan keluar kamar. "Gue bikinin mie rebus telor dulu."

Satu mangkok mie rebus dan air putih diletakan di meja. Tanpa penolakan, Lita menyuap mie ke dalam mulutnya.

"Pelan, masih panas."

"Gue lapherr, Ndiiin."

"Gue yakin lo punya duit kalau cuma sekedar buat beli makan. Kalau lo sampe nggak makan itu artinya lo sendiri yang bego."

Tidak ada jawaban karena Lita sudah disibukan dengan mie Andin yang menggugah selera.

"Setelah makan, lo mandi, baru setelahnya istirahat. Jangan tidur di kasur kalau lo bau dan pakai pakaian kotor."

"Cerewet!"

"Yaa itu aturan kalau mau tidur sini."

"Ck, rese."

"Udah, habisin, mandi dan tidur."

"Lo nggak mau dengerin cerita gue, Ndin?"

"Besok gimana? Gue capek sama hidup gue sendiri, Taa."

Lita menarik nafas dalam sebelum kembali menanggapi kalimat Andin untuk membenarkan.

"Iyaa, hidup dewasa memang melelahkan banget ya, Ndin."

"Iya," jawab Andin lirih.

BAB 10 - Out of the blue.

"Ngapain Mas Aby ke sini?!"

"Jangan melarikan diri dari masalah, Dek."

"Lita hanya ingin melangkah sesuai keinginan Lita, sesuai kemampuan Lita."

"Tapi nggak gini juga caranya dong, Ta."

"Mas Aby nggak usah sok-sok ngasih saran Lita! Kalau Mas Aby sendiri juga nggak bisa nolak semua keinginan Papa."

"..."

"Mas Aby cuma bisa nurut. Papa minta A, Mas Aby nurut, Papa minta B, Mas Aby selalu siap. Seperti ajudan dan jenderal, bukan seperti seorang ayah dan anak." Lita berdiri berkacak pinggang di depan pintu kamar kos Andin.

Malam ini, Aby memutuskan untuk menjemput adik satu-satunya yang sedang mengibarkan bendera perang dengan kedua orangtuanya. Sejak kecil, memang Lita terlihat tumbuh menjadi anak pemberani, tak kenal takut dan memiliki sifat yang keras seperti Pak Artawan.

"Berhenti kuliah di tengah jalan bukan solusi," ucap Aby tegas. "Kalaupun kamu nggak suka, seharusnya dari awal menolak keinginan Papa menjadi dokter."

"Lita pernah menolak, tapi Mas Aby dulu juga yang bilang agar Lita mencoba dulu. Dan sekarang, Lita sudah mencoba dan Lita nggak sanggup! Lita tidak seperti Mas Aby yang berotak encer, Lita nggak kuat Mas!"

Usapan gusar di wajah Aby menunjukan betapa peliknya masalah yang ia hadapi malam ini. Tujuannya kesini adalah ingin berbicara baik-baik dengan adik perempuannya, bukan saling bertukar argumen yang memuakkan. Aby tidak suka, menyelesaikan masalah dengan situasi yang panas seperti sekarang.

"Lebih baik Mas Aby pulang, bilang sama Papa kalau Lita menyerah."

Suara pintu kamar ditutup keras memaksa Andin memejamkan matanya kuat-kuat. Dia sebagai pendengar di dalam kamar mulai memahami duduk perkara, meskipun sahabatnya belum sedikit pun menjelaskan masalahnya. Andin hanya berharap, semoga teman kos di sampingnya tidak terganggu dengan pertengkaran kedua kakak beradik dan Andin sebagai fasilitatornya.

"Gue keluar dulu, Taa."

"Sana lo, usir abang gue. Jengah gue lihatnya."

Manusia yang sedang dalam balutan emosi cenderung seperti Lita. Marah, kasar dan nantinya dia akan menyesali setiap kalimatnya.

Andin menemukan Aby yang duduk di kursi depan kamar kosnya, dengan jari jemari menekan pangkal hidungnya kuat-kuat. Kemeja yang ia kenakan terlihat kusut, rambut yang biasanya tersisir rapi kini berantakan. Tetapi entah kenapa, Andin justru semakin terpikat dengan pesonanya.

Bodoh memang!

Sebenarnya masalah ini bukan kali pertama Andin terlibat, keluarga Bramantya cukup banyak memiliki masalah yang berporos kepada Pak Artawan yang memiliki watak  keras. Dan sebagai orang yang pernah tinggal di rumah itu, Andin boleh dikatakan sebagai seorang pengamat yang kadang bisa menjadi penengah jika permasalahan melibatkan Lita.

"Lita jangan dipaksa, Mas," ucap Andin. Dia mendudukan tubuhnya di pagar tembok depan kamar, tepat di depan Abyasa. "Dia butuh waktu."

"Mau sampai kapan, Dek? Dia sudah telat lho lulus profesinya."

"Profesi Lita akan semakin terbengkalai kalau orang terdekatnya tidak memahaminya, Mas."

Meskipun tidak menerima kalimat Andin, Aby tidak membantah.

"Lita cuma capek. Andin yakin, dia tidak mungkin mengabaikan masa depannya."

"..."

"Beberapa bulan terakhir Lita jarang banget balas pesan Andin, diajak main pun susah."

"Dia sudah cukup dewasa untuk tidak gegabah, waktunya sudah bukan untuk main, Ndin." Aby berucap, dengan memutar kedua bola matanya menunjukan penolakan. Untuk kali ini, dia menginterupsi pemikiran Andin yang tidak sejalan dengan dirinya.

"Semua manusia butuh main. Bukan hanya terfokus dengan study ataupun pekerjaan yang melelahkan."

"..."

"Tidak semua orang seperti Mas Aby dan Pak Artawan. Manusia memiliki kapasitas masing-masing. Dan hal-hal yang dipaksakan itu tidak akan pernah berakhir dengan baik."

Helaan nafas kasar kembali terdengar, Aby mendesah pelan lalu meletakan kepalanya di sandaran kursi kayu yang sama sekali tidak terlihat nyaman. Matanya terpejam, dengan tubuh yang coba ia telentangkan. Kursi ini tentu sama sekali tidak sebanding dengan tubuh Aby yang besar.

"Mas Aby sudah makan?"

"Belum."

Andin adalah tipikal manusia yang menyelesaikan masalah dengan makan. Bagi Andin, orang yang kepalaran tidak mungkin bisa menyelesaikan masalahnya dengan baik.

"Mau mie rebus telor?"

Aby tidak menjawab, matanya tetap terpejam, tetapi Andin menyimpulkan laki-laki itu mengiyakan penawarannya. Andin masuk ke dalam kamar untuk mengambil mie dan telor, dia sempat menawarkan kepada Lita yang tidur tengkurap di kasur, tapi Lita menolak beralasan kenyang.

Tak membutuhkan waktu yang lama untuk menyiapkan mie telor rebus dan segelas teh hangat. Andin membubuhkan irisan cabe yang tak terlalu banyak sebagai pelengkap. Saat melangkah kakinya ke kamar, hujan turun dengan deras dan dingin mulai menyapa. Sepertinya, malam ini umat manusia Jakarta bisa tidur nyenyak di ranjangnya masing-masing.

"Makan dulu, Mas. Andin kasih irisan cabe seperti biasa."

Mata Aby terbuka lebar saat mencium aroma mie rebus yang menggugah selera, ditambah hujan dan malam. Perpaduan yang sempurna ditengah lapar yang melanda.

"Teh-nya panas, Dek?"

Andin menggeleng. "Andin udah kasih air biasa biar nggak terlalu panas."

Seperti kesukaan Mas Aby biasanya.

Satu suapan yang langsung menggoda lidah Aby memakan lebih. Hening diantara keduanya karena Aby fokus dengan mie-nya dan Andin fokus dengan Aby-nya. Kali ini Andin mendudukan tubuhnya di kursi bersebarangan dengan Aby. Mereka berdua terpisah meja dengan mie rebus dan teh hangat di atasnya.

Meskipun cinta Andin tak berbalas, wanita itu cukup lega melihat Aby yang baik-baik saja, terlihat sehat dan bahagia. Sekarang ini, masalahnya hanya ada di Andin. Hanya dirinya sendiri yang bisa menghapus nama Aby di hatinya, berharap bisa menggeser dengan nama seseorang yang memang kelak menjadi takdirnya.

"Enak," puji Aby.

"Karena lapar," jawab Andin dengan tersenyum ramah.

Ditengah acara makan, Lita keluar kamar. Masih hening, Lita masuk ke dapur lalu beberapa menit kemudian wanita itu mendekat membawa semangkuk mie rebus dan air putih.

Andin mengartikan sikap Lita sebagai pembuka untuk menciptakan pembicaraan dengan kakaknya. Dan sebagai orang di luar keluarga, Andin memilih menyingkir.

"Gue mau ngomong tapi harus ditemani Andin," ucap Lita sambil mendudukan tubuhnya di kursi yang sebelumnya Andin duduki.

Manik mata Andin melihat ke arah Aby, saat laki-laki itu menganggukan kepalanya, Andin duduk di pagar tembok depan Aby. Tak ada yang menginterupsi saat Lita makan, sedangkan Aby sudah lebih dahulu menghabiskan mie-nya. Andin sendiri, seperti biasa, dia hanya sebagai penengah di tempat ini.

"Sudah makannya?" tanya Aby ke arah Lita yang baru saja menyeruput kuah langsung dari mangkok.

"Sudah."

"Kita bicara, jangan pakai emosi. Dan kalau ngomong sama orang yang lebih tua jangan pakai lo gue, ngerti Dek?"

"Ngerti."

"Mas Aby pengen Lita pulang dan ngomong baik-baik sama Papa."

"Lita nggak akan pulang kalau Papa masih memaksa Lita untuk lanjut menyelesaikan profesi."

"Tinggal sedikit lagi lho, Dek. Masa mau nyerah?"

"Lita nggak suka jadi dokter, Lita takut sama orang sakit. Lita takut lihat darah, ngerti nggak sih, Mas? Apa keluarga Lita nggak ada yang bisa ngertiin Lita sama sekali?!" Mata Lita mencari Andin meminta pertolongan, memohon permahaman.

"Jangan seperti anak kecil yang mau-nya dingertiin, Dek. Sekali-kali kamu juga harus ngertiin orang lain."

"Tahu nggak sih, Mas? Kalau lulus sarjana kedokteran itu sudah sangat melelahkan untuk Lita. Mas Aby dan Papa nggak pernah ngerti sulitnya jadi Lita."

"Susah ya memang ngomong sama kamu. Please, grow up, Taa."

"Maksud Mas Aby apa?! Lita nggak mau jadi kaya Mas Aby, Litaβ€”."

"Nggak semua orang yang lulus profesi dokter akan berakhir di rumah sakit dengan pasien, Taa." Andin memutuskan untuk ikut campur, sebelum jawaban Aby bisa menarik Lita yang sudah mulai terbuka.

Kalimat Andin menarik perhatian keduanya, Lita dengan tatapan penuh tanda tanya dan Aby yang melihat tanpa ekspresi.

"Kalau lo nggak suka pelayanan, lo bisa ngambil pascasarjana magister rumah sakit dan pegang managerial. Atau kalau lo nggak mau kuliah lagi, lo bisa kerja di asuransi atau apapun itu yang tidak berhubungan dengan pasien. Even lo nggak kerja, lo masih bisa memanfaatkan ilmu yang lo punya buat keluarga, buat anak lo nantinya."

"Tapi gue capek, Ndin."

"Capek itu istirahat, Taa. Bukan menyerah."

"..."

"Seandainya gue boleh milih, gue mau kerja di Jogja, dekat dengan keluarga. Tapi sayangnya, kehidupan terkadang tidak memberikan pilihan, Taa."

"..."

"Satu-satunya yang lo bisa lakuin ya .. cuma jalani dan berharap bisa menyelesaikan fase hidup ini dengan baik."

BAB 11 - Undangan makan malam.

Tubuh Andin masih duduk bersandar di kursi ruang khusus petugas farmasi. Dia baru saja menyelesaikan makan siang di shift pagi-nya yang hampir berakhir. Kotak makan sudah tertutup rapi, dan Andin sedang tersenyum-senyum sendiri sambil melihat layar ponselnya.

Ini adalah kali kelima, Andin membaca pesan Abyasa yang laki-laki itu kirim semalam. Setelah berhasil membawa pulang Lita, dan mendamaikan keluarga Bramantya. Andin mendapat sebuah pesan manis yang mendebarkan hati.

Mas Aby :
Terima kasih, Dek.
Sudah bantu ngomong dan ngasih pengertian ke Lita.

Me :
Terima kasih kembali, Mas.
Andin senang sudah membantu.

Andin menyudahi pesan singkatnya dengan Abyasa. Mencoba menguatkan hati untuk belajar mengeluarkan nama itu dari otaknya. Jika Aby dan Pramesti sudah berada di dalam sebuah ikatan, akan terasa salah jika Andin menunjukan perasaannya. Andin cukup tahu diri dengan posisinya.

Mas Aby :
Belum tidur, Dek?

Dan hanya dengan satu pesan singkat itu, semua pertahanan diri yang sudah Andin susun sedemikian tinggi hancur berantakan. Selama lebih dari lima tahun Andin mengenal Abyasa, baru kali ini laki-laki itu menanyakan hal yang bersifat personal. Bolehkah Andin bahagia?

Me :
Baru mau tidur, Mas.
Mas Aby belum tidur?

Andin mengingat dengan jelas, saat jari jemarinya bergetar karena grogi membalas pesan Abyasa. Suara degup jantungnya seakan meloncat dari tempatnya. Demi Tuhan, hanya dengan sebatas pesan singkat kenapa bisa berefek begitu hebat?

Mas Aby :
Baru sampai rumah, mau mandi terus tidur.

Andin bingung, haruskah ia membalas pesan Aby dengan ucapan selamat tidur? Atau dia boleh menimpali pesan Aby dengan pertanyaan selanjutnya agar percakapan keduanya lebih panjang?

Me :
Selamat tidur, Mas Aby.
Jangan lupa berdoa πŸ€—

Pesan itu yang ia kirim, dan setelahnya Andin tidak mendapat balasan lagi. Meskipun hanya sebait singkat, Andin tetap bahagia. Bahkan ia merasa langkahnya ringan saat berangkat bekerja esok tadi. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya, beberapa temannya yang menyadari kebahagiaan Andin tak henti menggoda.

"Habis jadian, Ndin? Happy banget raut wajah lo."

"Ciee, Andin sudah punya pacar, nggak jomblo lagi."

Tak mengiyakan pun tak menolak, Andin hanya membalas semua guyonan dari teman-temannya dengan senyum lebar yang memiliki banyak makna.

"Katanya, anak dokter Artawan sudah mau masuk ke rumah sakit, menggantikan Pak Dir."

"Yang ganteng itu? Siapa namanya?"

"Dokter Aby."

"Waah, mayaan lah. Setidaknya kalau ada rapat pelayanan medis mata kita nggak burem-burem amat kalau yang dilihat ganteng."

"Iyaa, bosen gue lihat yang tua-tua terus."

Gosip kedatangan Abyasa ke rumah sakit sudah sering terdengar di telinga Andin, dan semakin santer saat Lita mengkonfirmasi berita ini. Dari Lita Andin mendengar, Aby sempat menolak kembali ke Jakarta dan berniat tinggal di Semarang. Tidak perlu bertanya, Andin sudah tahu apa alasannya. Namun secara mengejutkan, dua hari yang lalu Lita menginformasikan ke Andin kalau Pak Artawan bisa memaksa Aby untuk kembali ke Jakarta dan mengelola rumah sakit.

Antara senang dan juga sedih. Jauh di dalam lubuk hatinya, Andin lebih suka ada jarak diantara keduanya. Karena bagaimanapun, Andin sadar, cinta Aby tidak akan pernah berlabuh untuknya. Bekerja di tempat yang sama dengan Abyasa tentu bukan suatu hal yang mudah, karena Andin tahu, dia-lah yang akan kalah dalam cerita ini.

Mas Aby :
Pulang jam berapa, Dek?

Andin berulang kali membaca pesan itu, bahkan sempat mendiamkannya terlalu lama. Terbersit pikiran Abyasa mengirimkan pesan ke nomor yang salah. Lalu pesan masuk selanjutnya menjawab semua pertanyaan di otak Andin.

Mas Aby :
Mama minta aku jemput kamu. Mau diajakin makan malam di luar sebagai ucapan terima kasih.

Me :
Andin naik ojek online saja, Mas. Jauh kalau Mas Aby harus jemput Andin.

Dirinya sendiri sadar, semua itu hanyalah sebuah alasan untuk menghindar, sebelum logika-nya kembali kalah karena cinta. Secepat Andin membalas, secepat itu pula balasan pesan masuk dari Abyasa.

Mas Aby :
Mas sudah di rumah sakit.
Sebentar lagi shiftmu selesai, kan?

Me :
Andin mau mandi dulu di kos, Mas.

Mas Aby :
Nanti Mas antar ke kos, Mas tunggu Andin bersiap.
 

Tidak ada jalan keluar untuk menolak. Melarikan diri pun sepertinya bukan pilihan yang bijak. Andin tetap melangkahkan kakinya ke arah mobil yang sudah ia kenali dari jarak jauh. Berbagai doa ia ucapkan dalam hati mengiringi setiap langkahnya mendekat ke arah mobil.

Saat masuk ke dalam, aroma parfum Abyasa menyapa indera penciumannya. Wangi. Khas seorang Aby. Laki-laki itu terlihat sibuk dengan ponselnya dan mengabaikan Andin yang masuk ke dalam mobil.

"Nunggu lama, Mas?"

Aby tetap fokus dengan ponselnya, membalas pesan dengan senyum tipis yang tak pernah lepas dari wajah tampannya.

"Mas."

"Hem, ya?" tanya Aby tanpa melihat ke arah Andin. Selang beberapa detik, Aby meletakan ponsel di sisi mobil sebelah kanan lalu menautkan perhatiannya ke sisi sebelahnya. "Apa, Dek?"

"Tidak jadi."

"Sorry, tadi Mas lagi balas pesan dari teman."

Seandainya ada cinta, tentu kalimat Aby akan terdengar manis. Seperti seorang laki-laki yang tidak ingin wanita-nya cemburu. Tapi sayang, Andin bukan wanita Aby dan begitupun sebaliknya.

Andin menjawab dengan senyuman, tak berniat kembali menginterupsi Aby yang sudah mulai menjalankan mobil. Dirinya sudah disibukan dengan usahanya menetralkan degup jantungnya sendiri. Duduk berdua di dalam mobil yang sama, sempat menjadi keinginan besar Andin, dulu. Tetapi ketika berada di posisi sekarang, kenapa justru menyakitkan?

"Sudah makan?" tanya Aby memecah sepi.

"Sudah, Mas."

"Pakai apa?"

Andin menatap Aby, menyangsikan pertanyaan tiba-tiba dari Aby yang mengejutkan.

"Kenapa?" Abyasa mengerutkan kedua alisnya, mencuri tatap ke Andin penuh tanda tanya sambil tetap fokus dengan kemudi. "Kenapa kok lihatnya begitu?"

"Nggak apa-apa."

"Aku aneh kah, Dek?" tanya Aby mencari tahu. Matanya menelisik ke arah dirinya sendiri, bahkan laki-laki itu sempat melihat pantulan dirinya sendiri melalui kaca mobil.

"Mas Aby nggak aneh, tetap seperti biasa," jawab Andin.

"Kok kamu ngelihatnya begitu banget?"

"Karena Mas Aby jarang nanya pertanyaan seperti itu ke Andin."

"Pertanyaan seperti apa?"

"Yaa seperti itu."

"Seperti ituu?"

Jika tidak salah menebak, Abyasa bertanya dengan nada menggoda. Dan semua yang Aby tunjukan saat ini membuat Andin kebingungan seorang diri. Bagaimana dia harus merespon? Apa yang harus ia katakan? Dan semua pertanyaan di otaknya hanya berakhir dengan Andin yang mengalihkan perhatiannya ke arah luar jendela mobil.

Wanita dewasa berumur dua puluh lima tahunan itu tidak memiliki pengalaman sama sekali berhadapan dengan lelaki di luar hubungan pertemanan. Cinta pertamanya adalah Abyasa Bramantya, yang sialnya sampai detik ini nama itu masih bertahta di hatinya.

"Kos Andin kanan jalan, Mas."

"Aku baru semalam ke kos ini, tidak mungkin lupa."

"..."

"Tapi ... terima kasih sudah diingatkan."

Mobil berhenti tepat di depan kamar kos Andin yang langsung mengarah ke parkiran.

"Mas Aby mau nunggu di mobil?"

"Aku tunggu di mobil saja."

"Yaa, Andin masuk dulu."

Langkah Andin pelan, lalu semakin melangkah cepat ketika mendengar bunyi pintu mobil di belakangnya terbuka.

"Dek ..."

Tangan besar Abyasa menyentuh pundak Andin, mengalirkan desiran asing yang membuat nafasnya tercekat. Aby memutar tubuh Andin hingga kembali bersitatap dengan si pemilik manik mata hitam. Keterkejutan tercetak jelas di wajah Andin yang kaku. Wanita itu menatap Abyasa dengan wajah penuh waspada.

"Aku boleh numpang ke kamar mandi?"

Sumpah demi Thanos yang terkutuk dengan segala kejahatannya. Andin takut berada di situasi seperti ini!

BAB 12 - Ada hantu?

"Taa, lo kapan terakhir chat sama Pram?"

"Lama."

"Kapan?"

"Gue udah jarang kontak-an sama dia, sejak dia keluar negri paling cuma beberapa kali doang." Lita tidur telentang dengan kedua tangan menutupi matanya yang terpejam. "Kenapa? Kangen lo sama si Pram?"

"Ck, enggak," jawab Andin malas. "Tadi pagi gue kirim pesan, nanya resep opor ayam yang dulu pernah dia bawain buat kita sarapan, tapi sampai sekarang belum ada balasan."

"Sibuk kali dia, Ndin."

"Emang kalau kuliah di luar negri sesibuk itu, ya?"

"Sibuk maen, sibuk punya teman baru. Paling dia juga udah lupa sama kita."

"Gitu, kah?"

"Tau dah!"

Malam ini, Andin dipaksa tidur di rumah keluarga Bramantya, di kamar Lita. Setelah makan malam yang hangat di tengah keluarga, Lita memaksanya untuk menghabiskan malam bersama. Wanita itu beralasan butuh teman dan sialnya, Lita tahu jadwal kerja Andin besok adalah shift siang. Andin sudah sempat menolak, tapi akhirnya ia tetap berada di kamar Lita malam ini, tidur di ranjang yang sama dengan pakaian tidur bergambar doraemon milik wanita di sampingnya.

"Minggu kemarin dia kirim pesan, katanya tiga bulan lagi minta jemput. Sepertinya si Pram sudah mau selesai studynya." Andin tidak berniat menyudahi percakapan malam ini.

"Taa," panggilnya lagi.

"Ck, Ndin ngantuk gue," kesal Lita sambil memutar tubuh membelakangi Andin.

Satu bantal terlempar tepat mengenai tubuh Lita. Andin memutar matanya malas, bukankah wanita itu yang tadinya memaksa Andin untuk tidur di rumah ini? Tapi justru wanita itu tak berniat berbicara banyak, meninggalkan Andin yang sialnya matanya begitu susah untuk dipejamkan. Hari ini terlalu banyak hal mengejutkan yang terjadi di dalam hidupnya.

Sudah dua jam berlalu, tapi mata Andin tak kunjung merasakan kantuk, sedangkan Lita yang berada di sampingnya sudah berada di alam berbeda. Jam menunjukan pukul setengah dua belas malam. Andin memutuskan untuk melangkahkan kakinya ke dapur. Dia membutuhkan susu hangat yang bisa membuatnya kenyang. Entah hanya karena sugesti semata, atau karena benar-benar berefek, setelah minum susu biasanya Andin lebih mudah memulai tidurnya.

Rumah lantai satu keluarga Bramantya sepi, beberapa lampu sudah dimatikan dengan pencahayaan remang-remang yang memaksa mata Andin bekerja lebih keras.

"Heem."

Langkah Andin sempat terhenti, mendengar suara tak asing dari taman belakang. Dapur rumah keluarga Bramantya diakses melalui ruang tengah yang bersisihan langsung dengan taman belakang rumah.

"Kita tidak sedang dalam sebuah hubungan yang mewajibkanku mengatakan apa yang akan kulakukan dan dengan siapa."

Kalimat panjang terdengar dari suara yang Andin kenali, kembali menghentikan langkahnya yang hendak berniat pergi. Andin berdiri, mematung di balik pintu kaca besar yang setengah tertutup. Seharusnya, Andin tidak boleh mendengar perbincangan orang lain tanpa sepengetahuan si empu-nya. Seharusnya, Andin tetap berjalan sesuai tujuan sebelumnya. Tetapi wanita itu kini justru terpaku ingin mendengar lebih.

"Aku hanya melakukan sesuai keinginanmu ... kamu yang membuat batasaan di dalam hubungan ini ... bukankah ini yang kamu inginkan?"

Abyasa sedang berbincang melalui panggilan telepon, membelakangi tubuh Andin di belakangnya.

"Maaf."

"..."

"Ya sudah, Mas mau tidur dulu, sudah malam. Assalamualaikum."

Sialnya, Andin terlambat bereaksi. Ketika berniat pergi, si sumber suara justru sudah menemukan keberadaannya. Manik mata hitam itu menaut tegas, dengan garis rahang keras dan bibir mengatup rapat.

Jalan satu-satunya yang bisa Andin lakukan adalah melarikan diri. Berjalan ke arah dapur seperti tujuan sebelumnya. Andin mengambil gelas, menuangkan susu bubuk saat tiba-tiba Aby berdiri di sampingnya melakukan hal yang sama. Selain karena kedekatan, pun juga Andin merasa seperti pencuri yang ketangkap basah. Takut dan tidak nyaman dengan jarak yang terkikis diantara keduanya.

Orang yang pertama kali sampai di dapur adalah Andin, tetapi orang yang pertama kali menyelesaikan tujuannya datang ke tempat ini adalah Abyasa. Satu kali tenggak, Aby sudah menghabiskan susu-nya. Berbeda dengan Andin yang hanya berdiri kaku.

"Menguping pembicaraan orang lain itu tidak baik," ucap Aby sebelum melangkah pergi.

"Andin tidak menguping."

"Hanya sengaja bersembunyi di balik pintu untuk mendengar pembicaraan yang bukan hak-nya."

"Andin tidakβ€”, Andin minta maaf." Akan terasa percuma bagi Andin untuk membela diri. Andin memang salah, seharusnya dia tidak boleh mendengar pembicaraan yang memang bersifat rahasia.

"Jadi, kamu mengakui kalau sengaja menguping pembicaraanku?"

"Andin tidak menguping, Andin hanyaβ€”, aaa."

Andin terpekik, terkejut saat tiba-tiba Aby mendekatkan tubuh ke arahnya cepat. Kedua tangannya ia letakan di depan kepala sebagai perlindungan, sedangkan matanya terpejam dengan gestur tubuh menghindar.

Hening.

Saat pelan-pelan Andin membuka matanya, dia menemukan Aby yang menatapnya geli, tersenyum lebar dengan wajah iseng mengesalkan.

Laki-laki itu lalu membawa tangan Andin kembali di kedua sisi tubuhnya.

"Setelah minum susu langsung kembali ke kamar dan tidur. Jangan tidur malam-malam, itu tidak baik." Aby mengucap kalimat panjang dan mengakhiri dengan memberikan sapuan lembut di kepala Andin.

Deg ... deg ... deg.
Suara detak jantung Andin bertalu-talu.

Sepeninggalan Aby, Andin mencari tumpuan ketika tulang-tulangnya tak lagi mampu menopang berat tubuhnya. Beberapa kali Andin berusaha menghela nafasnya yang tidak beraturan.

"Gue baru aja kena serangan jantung kali ya?" tanya Andin lebih kepada dirinya sendiri, sambil memegangi dadanya yang masih berdetak hebat.

Andin bergegas kembali ke kamar Lita, sedikit berlari ketika ia merasa jaraknya lebih jauh dari biasanya. Bahkan tangga ke lantai dua tingginya seakan melebihi bangunan Burj Khalifa. Andin tahu dia berlebihan, tapi benar, itulah yang dia rasakan.

Brugh.

"Aww." Sial tak bisa dihindar, penyebab utamanya berlarian kini kembali menjadi penyebab tubuh Andin jatuh ke lantai yang dingin.

"Maaf, Dek." Laki-laki itu baru saja keluar dari kamar mandi lantai dua. Gelapnya ruangan ditambah kacaunya perasaan, menjadi alasan sempurna tubrukan dua tubuh manusia itu terjadi.

"Hati-hati. Kenapa lari? Ada hantu?"

Abyasa ingin membantu Andin berdiri tapi Andin menolak. Hal yang menimbulkan tanda tanya besar di wajah Abyasa.

"Nggak mau dibantu?"

"Andin bisa sendiri." Meskipun dengan meringis sakit, Andin tetap berusaha berdiri sendiri.

"Rumah gelap, kenapa lari?"

"..."

"Ada hantu?"

"Tidak ada."

"Lalu? Kenapa harus lari-lari?"

"Ada hal yang menakutkan melebihi hantu," jawab Andin.

"Apa itu?" Kedua alis Aby mengerut menunjukan laki-laki itu benar-benar ingin tahu jawaban Andin.

"Mas-Aby!"

"Hah?!" Aby bingung, lalu setelahnya senyumnya lebar.

Mengabaikan ekspresi Aby, Andin bergegas pergi meninggalkan Abyasa dan masuk ke kamar Lita. Ia menidurkan tubuhnya di ranjang, menempelkan tubuhnya ke tubuh Lita mencari perlindungan.

"Awas ih."

Andin tetap bergeming.

"Kenapa lo? Habis lihat hantu?"

"Iya."

"Dih." Lita mendorong tubuh Andin, tapi tubuh itu tak bergeser sedikitpun. "Jangan bikin gue takut di rumah gue sendiri, Ndin."

"Ck, sama. Gue sekarang juga takut tinggal di rumah lo." Andin menutupi tubuh dan wajahnya dengan selimut. Matanya berlarian, mengingat kejadian aneh yang terjadi malam ini.

Yaa aneh, Abyasa sangat aneh.

BAB 13 - Percobaan.

Jari jemari Andin mengetuk lantai, duduk bersila dengan Pita yang berdiri di belakangnya. Saat hari libur tiba, mereka berdua sering menghabiskan waktu bersama. Sekedar bercerita, atau melakukan treatment individu yang irit biaya. Seperti sekarang, Andin sedang mendapatkan pelayanan hair mask gratis dari salah satu teman terbaiknya. Duduk di lantai dengan standing mirror yang memantulkan bayangan keduanya.

"Masih lama, ya? Gila, leher gue udah tegang banget, Pit," gerutu Andin. Tangannya memijit pelan lehernya yang terasa kaku.

"Sebentar lagi."

"Dari tadi lo bilang sebentar sebentar terus." Andin sudah tak lagi mampu bertahan lama. Berada di posisi yang sama selama bermenit-menit.

"Salahkan rambut lo yang tebal dan panjang." Kalimat itu meninggi di bagian akhir, menunjukan kalau wanita itu pun juga sedang merasakan hal yang sama. "Sabar!"

Andin menutup bibirnya rapat, sebelum Pita kembali mengoceh kesal yang nantinya bisa berdampak pada hasil akhir pekerjaannya.

"Pit," panggilnya kemudian.

"Heem."

"Menurut lo, kalau ada cowok yang sebelumnya cuek tiba-tiba cukup rajin kirim pesan, artinya apa?" Lama terdiam, otak Andin kembali teringat pertanyaan besar yang beberapa hari ini sering berseliweran di kepalanya. Aby yang tiba-tiba berubah. Tidak terlalu signfikan, hanya saja, ada perubahan yang kentara.

"Mau ngutang kali."

Emang gitu?

"Masa iya?" tanya Andin ragu.

"Bisa jadi. Atau dia suka sama lo?" Pita baru saja menyelesaikan tugasnya lalu menutup rambut Andin dengan handuk yang sudah direndam dengan air hangat terlebih dahulu.

"Nggak mungkin, dia nggak mungkin suka sama gue."

"Ya udah, berarti ada maksud terselubung. Mungkin mau ngutang juga bisa jadi."

Tebakan Pita tentu tak masuk di akal Andin. Secara materi, Abyasa berada jauh di atasnya. "Coba cari alasan selain ngutang, Pit."

"Mmm ..." Bola mata Pita bergerak ke arah kiri, wanita itu berfikir keras mencoba mencari sekian kemungkinan dari pertanyaan Andin. "Sorry, gue nggak nemu jawaban."

Satu nafas kasar terlepas, Andin membebankan tubuhnya ke dinding sambil menunggu masker rambutnya meresap. "Ck, wajah lo udah kaya mikir beban negara juga, nggak nemu jawaban."

Pita cengingiran. "Emang siapa yang tiba-tiba berubah?" tanya Pita.

"Mas Aby."

"What the hell! Serius?" Suara Pita melengking tinggi, matanya melebar, berdiri dengan tatapan tak percaya.

Andin mengangguk mengiyakan. "Makanya aneh, kan?"

Sebagai teman se-kos yang sering berinteraksi, Pita cukup banyak tahu tentang kisah cinta sendiri Andin yang bertepuk sebelah tangan. "Dia mulai jatuh cinta sama lo mungkin, Ndin."

"Nggak mungkin!" jawab Andin tegas. Dari sekian alasan yang terbersit di otaknya, semuanya bertumpu pada Aby yang menginginkan sesuatu dari Andin. Bukan cinta, tetapi entah apa. "Apa dia ngerasa bersalah karena dulu sering nolak gue, ya?"

"Who knows, cuma dia dan Tuhan yang tahu."

Andin kembali membuka ponselnya saat Pita disibukan mencuci tempat masker yang baru saja mereka gunakan. Sekali lagi, Andin membaca bait pesan yang dikirimkan Abyasa untuk dirinya. Pesan-pesan yang terlalu tidak masuk akal dikirimkan oleh seorang Abyasa untuk Andin. Seperti : sudah sampai rumah? Sudah makan? Dan beberapa pertanyaan yang membuat Andin takut. Perlukah, Andin menyiapkan benteng berlapis emas untuk pertahanan dirinya?

Malam ini, Andin kembali menemukan sosok itu, orang yang menjadi pengacau di dalam otaknya. Andin baru saja membeli makan malam, saat matanya menemukan laki-laki itu berdiri dengan pakaian casual. Aby menyenderkan tubuh bagian bawah-nya di kap mobil yang terparkir di depan kamar kos Andin.

Saat manik mata hitam itu bertemu dengan matanya, hati Andin kembali bergetar tak karuan. Sekuat apapun ia memasang benteng pertahanan, hanya dengan senyuman manis dari Abyasa mampu menghancurkannya tak bersisa.

"Kemarin Mas lihat warung nasi goreng kambing di dekat kos, ramai, pasti enak," ucap Aby. "Jadi pengen nyoba, Andin mau temani makan?"

Saat jarak semakin terkikis, Andin merasakan nafasnya tercekat. Matanya berkedip-kedip dengan sendirinya, respon tubuh yang tidak berada di dalam kendali Andin.

"Andin baru saja beli pecel lele," ucapnya setelah mampu menguasai diri. Ia menaikan tangan kanannya, menunjukan keresek hitam dengan aroma khas sambal bawang mentah kesukaannya.

"Pecel lele-mu bisa menunggu besok pagi," rayu Aby. "Malam ini, temani Mas makan nasi goreng kambing ya?"

Setelah berbagai macam asumsi di kepala Andin tentang perubahan Aby. Malam ini, ia kembali dikejutkan dengan ajakan Aby yang tiba-tiba. Mereka pernah berada di situasi seperti ini, duduk di meja yang sama untuk makan malam, tetapi bedanya ada Lita, Tante Zeti dan Pak Artawan di meja yang sama.

"Suka nasi goreng kambing?" Aby duduk di samping Andin, sempat menggeser kursi-nya sendiri untuk lebih mendekat dengan wanita itu.

"Mau."

"Suka?"

"Tidak terlalu, tapi kalau disuruh makan ya mau." Andin berusaha bersikap seolah biasa saja, padahal kakinya dari tadi tak bisa diam. Beberapa kali Andin mengeratkan jaketnya, ketika dingin dan grogi bercampur menjadi satu.

"Oh, berarti tidak semua makanan yang kita makan itu yang kita suka ya?"

"Heemm," jawab Andin mengiyakan. "Bisa jadi yang kita makan hanya karena memang itu ada-nya."

Satu bungkus rokok yang diletakan di meja menarik perhatian Andin. Dia mengawasi Aby yang sedang menyulut rokoknya lalu menyesap dan meniupkan asap ke sisi kosong di sebelahnya.

"Mas Aby ngerokok?"

"Hem, jarang-jarang. Kenapa? Tidak suka?" tanyanya. Aby membawa tangannya yang terselip rokok berlawanan dengan posisi Andin agar tidak mengganggu.

"Bukan, hanya aneh. Mas Aby kan dokter, seharusnya lebih tahu berbagai macam efek buruk rokok untuk kesehatan."

Aby tetap menyesap, melakukan berulang-ulang tanpa beban. Laki-laki itu menikmati, saat rasa manis menyapu lidahnya, dengan asap putih pekat yang melewati hidung dan mulutnya.

"Dokter juga manusia," jawab Aby.

"Mas Aby lagi ada masalah?" tanya Andin semakin ingin tahu. Selama mengenal Abyasa, hanya dua kali Andin mendapati Aby merokok. Saat di taman belakang rumah sebelum ke Semarang, dan malam ini.

Aby tidak menjawab, laki-laki itu meneruskan kegiatannya tanpa sedikitpun terinterupsi pertanyaan Andin.

"Mbak Prames apa kabar?" Permasalahan Aby tidak akan jauh-jauh dari wanita itu, pikir Andin.

Jeda dibiarkan Aby hening tanpa suara. Laki-laki itu seperti sedang menyimpan semua jawaban di dalam otaknya. Aby menyentuh ujung rokok di dalam asbak yang disediakan, menyentil untuk membuang abu rokok yang sudah cukup panjang.

"Prames baik, tadi baru saja kirim pesan," jawab Aby singkat.

"Oh, Alhamdulillah. Mbak Prames masih di Semarang?" Tepat saat kalimat itu selesai diucapkan, dua piring nasi goreng kambing pesanan mereka datang. Nasi goreng kambing dengan irisan cabe dan telor mata sapi di atasnya terlihat menggugah selera.

"Makanan datang." Tangan Aby menggeser satu piring mendekat ke arah Andin dan piring satunya ke arahnya. "Makan dulu, ya? Mas laper."

"Andin juga," jawab Andin sambil menunjukan senyuman lebar.

Mereka berdua makan dalam diam, sambil sesekali bercerita tentang pekerjaan masing-masing yang melelahkan.

"Bagaimana rasanya bekerja jadi Direktur Pelayanan Medis?" tanya Andin. Sudah dua minggu Aby bekerja di rumah sakit yang sama. Meskipun tidak pernah bertemu, tetapi Andin sudah mendengar kabar itu.

"Memusingkan, banyak banget kendala pelayanan yang bikin kepala cenat cenut."

"Tapi seneng kan, Mas?" Andin menyelesaikan makannya terlebih dahulu. Satu porsi nasi gorengnya habis tak bersisa. Entah karena lapar atau memang karena nasi goreng-nya yang enak. Benar kata Aby, warung nasi goreng kambing ini ramai karena memang rasanya juara.

"Tidak semua yang dikerjakan itu disukai, terkadang dijalani karena memang hanya kewajiban."

Tak cukup banyak obrolan keduanya, karena Andin dan Aby memang tidak terlalu dekat sebelumnya. Bahkan ada waktu di mana keduanya sempat kehilangan topik pembicaraan dan berakhir hanya dengan saling mendiamkan.

"Sudah sampai." Mobil berhenti tepat di depan kamar kos Andin.

"Terima kasih untuk traktirannya."

"Hem, lain kali temani Mas makan lagi, ya?"

Kalimat ajakan ini pernah menjadi kalimat yang paling Andin tunggu. Tetapi selama lebih dari lima tahun mencintai seorang diri, Andin tak pernah mendapatkannya, bahkan ia justru sering mendapatkan penolakan. Dan saat kalimat itu terucap melalui bibir Aby sendiri, Andin justru meragu, terlalu sulit baginya untuk percaya.

"Kenapa?" tanya Aby.

"Mas Aby menakutkan."

Sekali lagi, senyum manis Aby berikan. "Mas bukan hantu."

"Andin masih ingat, Mas Aby pernah mengatakan terganggu dengan perasaan Andin. Lalu ... kenapa sekarang tiba-tiba berubah?" Pertanyaan ini adalah salah satu dari sekian pertanyaan yang menumpuk di otaknya.

"..."

"Andin belajar, untuk tidak lagi memiliki rasa. Tetapi jika sekarang Mas Aby bersikap sedemikian manis, apa lagi yang harus Andin lakukan?"

"Ndin ..."

"Apa yang Mas Aby inginkan dari Andin?" tanya Andin tepat sasaran.

Ada gurat kefrustasian yang tak bisa Aby tutupi. Laki-laki itu mengalihkan perhatiannya dari Andin yang sedang menatapnya tajam.

"Mas..."

"Kamu yakin mau membahas itu sedini ini?"

"Maksud Mas Aby?" tanya Andin menuntut.

Desah kasar kembali terlepas dari wajah dengan gurat wajah lelah di hadapannya. Aby kembali memalingkan wajahnya ke arah luar, mencoba mengurai sedikit demi sedikit permasalahan di otaknya. "Aku hanya ingin mencoba, Ndin."

Aby sedang mencoba? Entah hal apa yang sedang Aby lakukan percobaan. Yang jelas, objek percobaannya saat ini adalah Andin.

"Mas mencoba untuk melihat tidak hanya ke satu arah yang sama," jelasnya lagi. Kali ini, manik hitam itu menaut ke arah Andin. Mereka berdua membisu dalam waktu yang cukup lama, saling melihat tanpa kata.

"Kalau Mas Aby ingin mencoba, lalu gagal, terus bagaimana?"

BAB 14 - Abyasa Bramantya.

Suara mesin coffe maker mendominasi ruangan kantor, pagi menyapa dengan setumpuk pekerjaan yang memaksa mata untuk tetap terbuka. Satu cangkir kopi hitam dengan asap panas terlihat menggugah selera. Rasa pahit, asam dan sedikit manis menciptakan kolaborasi rasa yang pas untuk memulai hari yang berat.

Aby meletakan cangkir itu di meja lalu mendudukan tubuhnya di kursi ruangannya. Dia baru saja menyelesaikan operasi berat di jam tujuh pagi. Selain menjabat sebagai direktur pelayanan medis, Aby juga tetap memberikan pelayanan sebagai dokter anestesi untuk beberapa tindakan operasi. Lelah? Tentu. Dia menghabiskan hampir seluruh waktunya sebagai dokter di rumah sakit ini.

Aby memejamkan mata dengan jari jemari yang memijit pangkal hidungnya pelan. Semalam dia tidak mendapatkan tidurnya dengan baik, beberapa kali sempat terbangun di malam hari dan berakhir dengan Aby yang gagal kembali memulai tidurnya.

"Kalau Mas Aby ingin mencoba, lalu gagal, terus bagaimana?"

Pertanyaan itu memenuhi otaknya, bahkan hingga detik ini pun masih terngiang jelas. Setelah semalam dia kembali mencoba mencari pelarian dari perasaannya yang kacau, pertanyaan Andin justru membuatnya semakin berantakan. Benar kata Andin, jika Aby gagal lalu bagaimana? Itu sama saja dia sudah mengorbankan perasaan Andin demi keegoisannya semata.

Beep

Satu pesan mengalihkan perhatiannya, Aby mengambil ponsel yang ia letakan di meja dan menemukan nama Pramesti di layar ponselnya.

Prames :
Jangan mengabaikanku, Mas. Aku kangen sama Mas Aby.

Sudah hampir satu bulan, Aby jarang membalas pesan Pramesti. Lebih tepatnya, menghindar. Setelah kesekian kali Aby mengungkapkan perasaannya, menunjukan keseriusannya. Lagi-lagi ia dihadapkan dengan ikatan tanpa kejelasan.

Sekali lagi, ia mengabaikan pesan Pramesti dan memilih menyeruput kopinya sebelum dingin. Seperti rasa, kehangatan akan berubah dingin jika dibiarkan terlalu lama. Lantas, seperti itukah yang terjadi dengan perasaannya saat ini?

Flashback

"Aku ingin meminangmu dan membawamu ke Jakarta. Hanya kamu wanita yang ingin kujadikan masa depanku. Aku ingin kamu menjadi istri dan ibu dari anak-anakku." Kalimat Aby sangat jelas, tanpa ragu, dengan manik mata mengikat lawan bicaranya.

Malam ini, ia memutuskan kembali mengutarakan keinginannya. Setelah rentetan paksaan papanya agar ia segera kembali ke Jakarta membuatnya bimbang. Sebenarnya, Aby masih ingin berada di sini, karena tujuannya berada di Semarang belum juga ia dapatkan. Tetapi menolak keinginan papanya pun juga tidak mudah. Dia dilahirkan menjadi anak laki-laki dokter Artawan, dengan tanggung jawab besar di pundaknya sebagai penerus.

"Sudah lima belas tahun, aku yakin kedekatan kita selama ini lebih dari sekedar cukup untuk membuat kita saling mengenal baik."

Pramesti belum mengeluarkan satu patah kata pun. Ia mengunci bibirnya, memberikan waktu sepenuhnya untuk Abyasa.

"Aku mencintaimu, Pramesti. Aku yakin, kamu menyadari perasaanku untukmu. Kamu mau nikah sama aku?"

Wajah itu masih dengan raut yang sama, seperti sudah bisa menebak semua kalimat Abyasa yang disampaikan malam ini. Pramesti duduk mendekat, mengikis jarak. Ia menggenggam tangan Abyasa lembut. "Prames belum bisa, Mas," jawabnya pelan.

Mendengar kalimat itu lagi, Aby memejamkan matanya lelah. Ia kembali gagal.

"Aku masih bingung dengan perasaanku sendiri. Apa ini cinta? Atau hanya karena nyaman ketika bersama."

Apakah itu artinya Pramesti tidak memiliki perasaan yang sama?

"Mas Aby ... sudah seperti seorang kakak untuk Pramesti."

Lama keduanya menjeda, menikmati rasa, mencoba memberi ruang untuk saling memahami perasaan masing-masing. Saat helaan nafas kasar terdengar dari bibir Aby, Pramesti sadar laki-laki itu kembali kecewa.

Aby mengalihkan perhatiannya, menatap kosong ke arah lantai rumah Pramesti yang bercorak kayu. Lampu ruang tengah terlihat redup, dan Aby bersyukur dengan hal itu. Wajahnya yang kacau sedikit tertutupi dengan minimnya pencahayaan.

"Mass," panggil Pramesti lirih. Kedua tangannya bertaut cemas, takut dengan respon Aby untuk penolakan kesekian kalinya dari-nya. "Beri Pramesti waktu."

"Sampai kapan?" Aby beranjak berdiri tanpa melihat ke arah Pramesti yang ikut mensejajarkan tubuhnya. Ia merasakan sedikit tarikan di tangannya, menahan langkahnya pergi.

"Mas Aby membuatku takut," ucap Pramesti tak menjawab pertanyaan Aby. Ia sendiri pun tak tahu jawabannya. Semua terasa membingungkan.

Senyum hambar Aby tunjukan. Mungkin benar yang Lita ucapkan, seseorang tidak akan memahami pentingnya keberadaanmu jika belum merasakan kehilangan. "Ini sudah malam, sebaiknya kamu segera tidur." Aby membalas genggaman tangan Pramesti, lalu melepaskan tautan itu pelan,

"Apa aku mengecewakan Mas Aby?" tanya Pramesti.

Aby kembali menjeda, cukup lama. "Iya."

"Maaf."

"It's oke, disaat kita mencintai orang lain, bukan berarti kita mewajibkan orang itu untuk merasakan hal yang sama," ucapnya putus asa. Aby menguatkan hatinya, menatap mata Pramesti. Dia mengamati wajah cantik itu, wajah yang selalu menghiasi mimpinya selama lebih dari lima belas tahun lamanya. Perlukah ia pergi dari kehidupan wanita ini? Agar Aby tahu, seberapa pentingnya dia untuk Pramesti.

"Mas pulang dulu, Assalamualaikum."

Aby meninggalan Pramesti, tanpa berniat menunggu wanita itu menjawab salamnya. Memasuki mobilnya, hal pertama yang ia lakukan adalah mencari nama di kontaknya lalu menghubungi nomor itu.

"Pa, Aby pulang ke Jakarta besok pagi." Tanpa menunggu salam Pak Artawan, Aby segera menginformasikan keinginannya sebelum kembali berubah. Mulai detik ini, Aby akan mencoba menjauh dari kehidupan Pramesti.

Flashback End.

Lalu, apa itu mudah?

Tentu saja jawabannya tidak. Aby merindukan Pramesti, sangat.

"Aku bisa gila," desisnya pelan. Aby berdiri, berniat menyibukan dirinya dengan pekerjaan untuk melupakan permasalahan di otaknya. Laki-laki berumur dua puluh delapan tahun itu merasa konyol dengan dirinya sendiri. Umurnya sudah tak lagi muda, tetapi tak kunjung mampu menyelesaikan masalah asmara.

Pagi ini dia berniat menemui papanya untuk membahas masalah temuan kejadian infeksi pasca operasi salah satu pasien post operasi. Laki-laki itu melepaskan sneli-nya, berjalan melewati lorong lantai khusus ruang kerja direksi di lantai empat.

Malang tak dapat dicegah, cukup lama merenungi rumitnya hubungannya dengan Pramesti. Saat ini, dia kembali dihadapkan dengan satu sumber masalah yang cukup menyita perhatiannya.

Wanita itu terlihat kerepotan, membawa satu kardus barang di depan tubuhnya. Sesekali ia mendengus sebal, sambil tetap melangkah ke depan. Aby menemukan keterkejutan, bahkan dia sempat melihat Andin yang berniat melarikan diri saat kedua mata mereka bertemu tatap. Melihat tingkah itu, tak bisa menghentikan kedua ujung bibirnya bergerak naik.

Aby berjalan mendekat mengikis jarak, sedangkan Andin berdiri kaku dengan kedua bola mata yang menatapnya awas.

"Mau dibawa kemana barangnya?" tanya Aby.

"Gudang farmasi, ada di lantai empat," jawab Andin. Wanita itu mengenakan seragamnya, kemeja berwarna hijau muda dengan rok di bawah lutut berwarna hitam. Rambutnya di cepol rapi dengan beberapa anakan rambut yang keluar dari tempatnya terlihat mengganggu. Andin belum memulai pekerjaannya pagi ini, dia belum sempat merapikan penampilannya.

"Aku bantu." Aby memposisikan tangannya hendak membantu, tetapi Andin menolak.

Wanita itu sedikit memundurkan tubuhnya, melihat Aby seperti sebuah ancaman. Dan entah kenapa, Aby tidak suka dengan respon Andin itu.

"Ada Mbak Tari di gudang, lagi nunggu Andin. Nggak enak kalau tiba-tiba barangnya dibawakan dokter Aby," jelas Andin panjang.

"Oke, ya sudah." Aby kembali mendekat dan Andin semakin memundurkan tubuhnya. Andin berusaha mempertahankan jarak diantara keduanya, dan Aby yang akan memastikan jarak itu semakin tipis.

"Mas eh dok." Andin tidak nyaman dengan kedekatan yang mungkin saja bisa dilihat karyawan lain.

Rambut Andin kembali menutupi matanya, dan Abyasa merasa risih melihat pemandangan itu. Tangan Aby mengambil rambut Andin, lalu membantu menjepit helaian rambut itu kebelakang agar tidak mengganggu lagi.

"Hati-hati bawa barangnya. Setelah itu jangan lupa sarapan, yang banyak, soalnya Mas nggak suka wanita kurus."

Eh?

BAB 15 - Si pencuri perhatian.

Sore hari-nya, Aby kembali menemukan wanita itu di rumahnya. Bersama Lita sedang membuat rujak pedas di teras samping rumah yang menghadap langsung ke arah taman. Mangga di taman memang sedang mengkal, cocok untuk rujak pedas dengan timun dan bengkoang.

"Cabe-nya kurang, Taa."

"Dih, udah! Mencret ntar, gue nggak kuat pedas, Ndin."

"Satu lagi, ya?"

"Awas ya tangan lo! Gue bilang udah, lo tahu kan dua hari lagi gue mau UKom? Jangan hancurkan perjuangan gue sama masalah perut."

Helaan nafas terdengar jelas dari bibir Andin. "Iyaaa deh." Andin mengalah.

Aby sebagai pendengar, tidak berniat menginterupsi karena dia tidak suka keduanya : buah dan sambal. Untuk saat ini, dia hanya suka mengamati, sosok yang sedikit demi sedikit mulai mencuri perhatiannya. Aby hanya berdiri, sambil menyenderkan sebagian tubuhnya ke pintu. Berbeda dengan Andin dulu yang bersembunyi di balik pintu, Aby lebih seperti penguping yang menunjukan diri.

"Coba dulu sambalnya, kurang manis nggak?" Andin mendekatkan cobek ke arah Lita yang sedang mengupas mangga.

"Udaah, pas. Ambil minum dulu gih," perintah Lita karena wanita itu masih disibukan dengan mengiris timun.

"Oke, gue ambil minum dulu." Andin memutar tubuhnya dan menemukan Abyasa yang berdiri di sana dengan senyuman memikat. Laki-laki itu baru pulang kerja, dengan kemeja lengan panjang yang digulung hingga ke siku. Meskipun terlihat lelah, tapi Abyasa tetap tampan mempesona.

Pintu kaca ruang tengah ada tiga bagian, dua tertutup dalam posisi terkunci dari dalam, sedangkan bagian lainnya dipenuhi tubuh Aby yang besar. Andin berdiri di depan Aby, berharap laki-laki itu menyadari keberadaannya yang menghalangi jalan.

Aby mengedikan dagu, bertanya dengan isyarat, apa yang harus ia lakukan? Andin menjawab dengan cara yang sama, tangannya bergerak mengusir Aby untuk lebih memundurkan tubuhnya ke belakang. Tapi sayang, Aby tidak melakukan apa yang Andin minta. Laki-laki itu hanya mengenyampingkan badan, menyisakan setengah jalan untuk Andin lewat.

Hanya ini yang bisa ia berikan.

"Ndiiiin, minum wooy! Jangan lama-lama, buah-nya udah mau kelar ngupasnya." Teriakan Lita menggema, tidak memberikan pilihan kepada Andin selain tetap berjalan masuk ke dalam rumah.

Menguatkan hati, Andin melewati bagian kosong di depan Aby. Tubuh mereka sempat saling bersentuhan β€”sedikit, tetapi efeknya terlalu hebat untuk keduanya. Andin menahan nafasnya sejenak, detik di mana tubuhnya bersentuhan dengan tubuh Abyasa yang wangi. Setelah berhasil melalui ujian terberat, Andin berlari kecil ke arah dapur untuk menghindari bersitatap dengan si manik mata hitam.

"Kenapa lari?"

Sialnya, laki-laki itu justru mengikutinya ke dapur. Suara bariton-nya renyah, berdiri elegan dengan kedua tangan bersila di dada. "Apa ada hantu lagi di rumah ini?" tanya Aby menggoda.

Andin mengabaikan pertanyaan Aby, mencoba bersikap biasa meskipun detak jantung-nya bertalu-talu tak menentu. Bahkan ia menemukan tangannya yang bergetar saat menuangkan air minum ke dalam botol, dan berharap respon tubuhnya ini tidak mendapat perhatian dari laki-laki di sampingnya.

"Mau buru-buru ambil minum, Mas," jawabnya tanpa melihat ke sumber suara. Setelah siap, dia menunjukan kedua tangan yang sedang menggenggam botol berisi air minum dan gelas. "Kalau lama, Lita pasti ngomel."

"Ooh," jawab Aby singkat.

Sikap Aby yang manis justru membuat hati Andin gamang. Dia takut dirinya melemah, lalu kembali menaruh harap yang dia tahu bagaimana akan berakhir.

Sekali lagi, Aby berdiri menghalangi langkahnya. Berdiri di depan tubuh Andin yang kaku. Tidak ada yang mereka lakukan, hanya saling menatap menunjukan perlawanan, menunjukan siapa yang bertahan paling lama untuk tidak terkesima.

"Andin mau ke ruang tengah, Mas Aby tolong menyingkir." Andin mengusir Aby, sesuatu yang dianggap-nya sebuah kesalahan karena setelahnya, Aby menunjukan wajah tidak terima.

Satu kalimat yang Andin ucapkan, satu langkah Aby maju ke depan.

"Mas ..." Satu langkah lagi Aby ciptakan semakin mengikis jarak keduanya. Nafas Andin selang seling tak berirama, saat melihat sosok yang ia kagumi berada di dalam jarak dekat jangkauannya. "Lebih baβ€”." Kalimat Andin tertahan, saat Aby kembali bergerak maju sedangkan keduanya sudah berada dalam jarak yang cukup dekat. Bahkan posisi Andin kini sudah terpojok, tubuh bagian belakangnya menempel sempurna di ujung meja pantry.

"Semakin kamu menolak, aku akan semakin mendekat." Aby mengambil gelas dan botol air minum di tangan Andin, meletakan di pantry belakang lalu meletakan kedua tangannya di sisi masing-masing tubuh Andin.

"Mas ..."

"Kita bisa mencoba," ucap Abyasa. Manik mata-nya menunjukan keseriusan. Dia memang benar-benar ingin mencoba melepaskan perasaannya. Mencoba melihat tidak hanya ke arah yang sama. Dia sudah lelah mencintai seorang diri, dan berharap Andin belum merasakan hal yang sama untuk dirinya.

"Kalau gagal, lalu apa?" tanya Andin mengulangi pertanyaannya semalam. Nafas-nya kembali tercekat saat wajah Abyasa kini tepat berada di depan mata. Mereka tidak pernah berada di posisi sedekat ini, saling melihat. Andin menemukan mata Abyasa yang bergerak-gerak memindai wajahnya, tindakan yang sangat mudah membuat tubuh Andin meremang.

"Kita coba lagi," jawab Aby.

Andin bisa merasakan sapuan lembut nafas Aby di wajahnya. Aroma mint dari permen karet yang sering Aby gunakan untuk menghilangkan aroma rokok di mulutnya.

"Mas Aby β€”cinta sama Mbak Prames."

"Yes, benar. Tapi kamu menarikku semakin dalam." Aby jujur, keberadaan Andin memang sudah mulai mencuri perhatiannya. Wanita itu yang dulu-nya menyebalkan, kini justru mengganggu kewarasannya dengan cara yang manis. Wajah Aby semakin mendekat, detik itu juga Andin memalingkan wajahnya ke arah lain. Andin bisa merasakan bibir tebal Abyasa yang kini tepat berada di telinganya. "Kalau ini satu-satunya kesempatan untuk kita mencoba bersama, apa yang kamu pilih?" bisik Abyasa.

"Mas ..." Tangan Andin menahan tubuh Aby yang semakin mendekat. Kedekatan yang bisa melemahkan logika Andin dengan mudah. Meskipun berulang kali mencoba menolak, tapi jelas perasaan Andin seluruhnya masih milik laki-laki ini. Dan dalam posisi seperti ini, tentu tidak mudah bagi Andin berfikir jernih.

"Mas, ini di rumah," ucapnya sekali lagi. Mengulang-ngulang kalimat karena hanya itu yang ada di dalam otaknya. Andin takut, jika sewaktu-waktu Lita menyusulnya ke dapur, atau Tante Zeti yang tiba-tiba datang.

"Jawab aku," tuntut Aby masih berbisik. "Atau kedekatan ini akan semakin lama."

"Apa harus sekarang?"

"Dan kenapa harus nanti?"

"Mas ... nggak sekarang," tolak Andin sekali lagi. Ia kembali mendorong tubuh Aby menjauh tapi Aby tetap bergeming. "Mas, ini di rumah. Andin mohon jangan seperti ini."

"Kamu yang kurang ajar, Ndin. Menjadi pencuri kecil yang tidak bertanggung jawab."

"Pencuri?" Andin mengerutkan kedua alis, otak-nya yang berkapasitas kecil sedang dalam kondisi lemah tak mampu berfikir keras.

"Heem, si pencuri perhatian."

Andin yakin, Abyasa menemukan wajahnya yang memerah bak kepiting rebus. Bahkan Andin saja merasakan pipi-nya yang panas setelah mendengar kalimat Aby yang lugas.

Oh Tuhan, Andin harus bagaimana?

"Yaa," jawab Aby tiba-tiba.

"Yaa, apa-nya?" tanya Andin bingung. Apa karena otak-nya yang sedang tidak bisa digunakan sebagaimana mestinya, atau memang pertanyaan Aby yang sulit dicerna? Yang jelas, Andin kebingungan seorang diri.

"Untuk pertanyaan yang pernah kamu tanyakan."

"Pertanyaan apa?"

Aby tersenyum tipis, sambil melepaskan kedua tangannya dari meja pantry. "Pertanyaan di taman belakang, apa aku mau jadi pacarmu?"

Hah? Sebentar-sebentar, apa ini maksudnya saudaraaa???!

"I said, Yes, Ndin."

BAB 16 - Pacaran?

Lalu apa? Mereka pacaran? Tidak semudah itu Esmeralda.

Andin dan Aby masih saling mendiamkan, duduk di mobil yang terparkir di depan kamar kos Andin. Laki-laki itu tadi memaksa mengantarnya pulang, tanpa sepengetahuan Lita tentunya, karena Andin belum siap dengan semua logika wanita itu yang selalu memaksa Andin menjauhi Abyasa.

"Bagaimana?" tanya Aby memecah sepi. Laki-laki itu masih mengunci Andin di mobil, meskipun mereka berdua sudah tiba di tujuan. Setelah drama kedekatan di dapur dan berakhir dengan Andin yang kembali melarikan diri, akhirnya Aby bisa memaksa wanita itu masuk ke dalam mobilnya.

Rencananya, Andin pulang ke kos diantar sopir karena paksaan Tante Zeti, tetapi ia justru berakhir di mobil Abyasa malam ini. Kedua anak dan ibu itu memiliki kebiasaan yang sama : suka memaksa.

"Bagaimana apa-nya?" Andin pura-pura tak paham, meskipun ia yakin Aby tidak sebodoh itu untuk ditipu.

"Jawabanku yang tadi," jawab Aby sekenanya. Dia tak berniat mundur, keinginannya hanya satu, mencoba melangkah maju. "Kamu pernah menawarkan hubungan ini, Ndin. Dan aku menyambut."

Hening kembali mendominasi, dengan suara bising mesin mobil yang tetap menyala. Andin lebih senang mereka turun lalu membicarakan hal ini di depan kamar kos, tidak di mobil yang sempit dan intens karena hanya berisi mereka berdua.

"Tapi itu dulu, Mas," kilahnya.

Kedua alis Abyasa mengerut tajam. "Lalu apa bedanya dengan sekarang?" tanyanya menuntut. "Apa perasaanmu sudah berubah?"

"Mas Aby mencintai Mbak Prames." Andin memilih tidak menjawab pertanyaan Aby. Menegaskan fakta yang seharusnya menjadi dasar keduanya untuk tidak bertindak gegabah. Bagi Andin, Abyasa hanya sedang merasa lelah mencintai seorang diri. Berbeda dengan dirinya yang tak kenal menyerah. Dia masih mencintai Aby, tetapi tidak untuk memiliki saat jelas-jelas perasaan laki-laki itu bukan miliknya.

Jari Aby mengetuk pelan di kemudi, dengan wajah berfikir keras. "Ya benar, aku masih mencintai Pramesti. Tapi apa bedanya dengan posisi kita dulu? Saat kamu memintaku menjadi ... pacar?" Aby sempat menjeda, sedikit geli mengatakan kata 'pacar' di usianya yang sudah menginjak hampir kepala tiga. Mungkin akan lebih mudah diucapkan jika dulu Andin memintanya menjadi kekasih, bukan pacar.

"Saat itu jelas aku masih mencintai Pramesti, berharap besar dengan wanita itu dan kamu? Masih tetap ingin ... jadi pacarku," tambah Aby panjang, lalu kembali tercekat dengan kata 'pacar' yang menggelikan.

Andin masih tetap menyimpan suara, bermain dengan berbagai macam kemungkinan di otaknya. Dulu, dia sebatas ingin mengungkapkan rasa, tak berniat benar-benar ingin menjadikan Abyasa kekasihnya. Karena Andin tahu, Aby mencintai wanita lain. Dia hanya ingin Aby tahu dengan perasaannya, sadar akan keberadaannya. Tapi saat laki-laki itu menyerah dengan cintanya, bagaimana Andin harus bersikap?

"Sekarang semuanya sudah berubah, Ndin. Aku ingin belajar mencintai diriku sendiri, dengan mencintai orang yang mencintaiku." Kalimat yang rumit, dan Aby sendiri cukup terkejut dia bisa mengucapkan kalimat panjang itu tanpa cela.

"Andin bingung." Dari sekian banyak jawaban yang bermunculan, hanya satu kalimat itu yang keluar dari bibirnya. "Dulu, Andin hanya ingin mengungkapkan perasaan, tak benar-benar ingin memiliki."

"Ooo, apakah aku bisa menyimpulkan bahwa pernyataan cintamu dulu hanyalah omong kosong?"

"Bu-bukan begitu maksud Andin."  Dia menolak pemikiran Abyasa atas perasaannya, tidak ingin laki-laki itu menyimpulkan sebuah kesimpulan yang salah.

"Dan ... jelaskan." Aby memelankan suaranya ketika salah seorang teman kos Andin berjalan memasuki parkiran. Perhatian keduanya terinterupsi, memberikan waktu masing-masing untuk saling berfikir.

Aby kembali mengarahkan manik matanya ke arah Andin saat suasana kembali sepi. "Kamu masih cinta sama Mas?"

Mata Andin memejam kuat sebelum akhirnya mengangguk lemah mengakui perasaannya. Percuma juga bohong, karena rasa Andin sebegitu mudah-nya ditebak.

"Beri kesempatan untuk kita," putus Aby sepihak. "Kita mulai dengan sebuah kencan, bagaimana?"

Andin masih menunduk, tak berani bersitatap dengan Abyasa. Menjadi kekasih seorang dokter Abyasa Bramantya tidak pernah sekalipun ada di bayangan masa depannya. Andin sadar diri di mana tempatnya.

"Ndin, tempat mana yang kamu ingin datangi untuk kencan pertama kita?" Suara bariton itu semakin menuntut ketika melihat Andin yang tak kunjung sekata. "Ndin, lihat aku," titahnya.

Andin mengikuti kemauan Aby. Pupil bola matanya membesar saat menemukan objek yang selalu mampu membuatnya terkagum.

"Mau kemana?" tanya Aby sekali lagi. "Makan malam, nonton konser atau ...?"

"Kebun binatang."

"Oh yaβ€”, apa?!" tanya Aby terkejut, laki-laki itu membelalakkan kedua mata-nya. "Kebun binatang?" Aby mengulangi jawaban Andin, memastikan pendengarannya tak salah. Kebun binatang? Tempat yang tidak akan pernah menjadi pilihannya saat membawa seorang wanita dewasa berkencan.

Andin mengangguk pasti. "Iya."

"Kamu serius?"

"Sangat." Andin membuka ponsel lalu menunjukan potret gajah ke arah Abyasa. "Selama di Jakarta aku belum pernah ke kebun binatang, dan hal yang paling Andin inginkan adalah naik gajah."

What the fuck! Selamat datang di kekacauan yang kamu ciptakan sendiri, Abyasa!

***

"Astaghfirullah! Apa'an sih lo, Ndin! Bikin kaget orang, untung gue nggak punya sakit jantung!" Pita yang sedang berada di dalam kamarnya terkejut mendapati Andin yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar. "Lihat hantu lo?" tanya Pita.

Kenapa semuanya selalu bertanya tentang hantu saat Andin baru saja bertemu dengan Abyasa?

Andin menelungkupkan tubuhnya ke kasur. "Lebih parah dari hantu," jawab Andin menatap kosong ke arah tembok di sebelahnya.

Jawaban Andin menarik perhatian Pita dari laptop. "Iblis? Lord Voldemort?" tanyanya ingin tahu. Pita sedang berada di kamar kos-nya, sudah meminta izin menggunakan laptop Andin untuk mengerjakan laporan bulanan. "Apa? Kepo gue."

"Gue harus gimana, Pit?" Andin mendekatkan tubuhnya ke arah Pita. Mencari tangan sahabatnya untuk digenggam kuat. "Gue harus gimanaaa?!"

Pita menemukan garis kekhawatiran di wajah Andin. "Yaa apa sih? Pelan pelan, lo ngomong. Jelasin dulu ke gue." Dia menarik tubuh Andin untuk duduk saling berhadapan.

"Mas Aby bilang mau jadi pacar gue."

Wajah Pita yang sebelumnya antusias berubah malas. "Tai lo," desahnya lemah. "Kalau ngehalu jangan tinggi-tinggi, jatuh, sakit lo."

"Gue nggak bohong, gue nggak ngehalu."

Kedua bola mata Pita memutar malas, memilih kembali menghadapi laporan deadline yang harus segera ia selesaikan malam ini.

"Minggu ini dia mau nemenin gue ke kebun binatang," jelas Andin lagi. Dia ingin menunjukan keseriusannya pada Pita. Andin mengambil ponselnya lalu menunjukan ke arah Pita tiket online yang baru saja Aby kirimkan.

Mas Aby :
Mas sudah booking tiketnya, hari Minggu jam tujuh pagi Mas jemput di kos Andin.
 

Pita membaca dengan seksama, bait-bait singkat yang maknanya rumit untuk dicerna. "Dia serius mau bawa lo ke kebun binatang?"

Andin mengangguk lemah. "Dia nanya mau kencan kemana, gue jawab kebun binatang." Andin mengambil nafas-nya dalam sebelum kembali bersuara. "Lo tahu kan? Gue pengen banget ke sana sama pacar tapi belum kesampaian. Pertama karena nggak ada uang dan waktu, kedua karena gue nggak punya pacar."

"Ndin ... lo serius mau nyoba sama dia?"

Kedikan di bahu Andin terlihat pasrah. "Gue bingung, Pit. Kalau Mas Aby ternyata cuma mau dekat sama gue biar Pramesti mencarinya, gimana?"

"Ndin, gue inget lo pernah bilang kalau lo cuma mau Aby tahu sama perasaan lo, kan?"

"Iya."

"Mungkin ini waktu buat menunjukan perasaan lo itu ke dia."

"Kalau gue patah hati gimana?"

"Udaah ih, ya dirasain aja. Toh, semua manusia di dunia ini pasti pernah merasakan sakit hati. Setidaknya, lo memiliki kesempatan buat nunjukin rasa sayang lo ke dia," jelas Pita panjang lebar. "As you wish."

BAB 17 - Kencan Pertama.

Apa yang harus ia lakukan? Pertanyaan pertama yang muncul di otak Andin saat hari kencan tiba. Semalaman Andin tidak bisa memejamkan mata, menanti esok hari janji temu yang sudah disepakati bersama. Debaran cemas di dada tak bisa ia sembunyikan, beberapa kali ia merasa perutnya mulas, dan berakhir dengan dia yang rajin ke kamar mandi.

Jam delapan pagi, Andin berdiri di depan standing mirror kamarnya. Menatap kosong ke arah dirinya sendiri yang sudah bersiap. Andin mengenakan celana jeans skinny dan kaos denim berwarna putih bermotif bunga matahari. Hand bag hitam tanpa merk ia gunakan sebagai pelengkap penampilannya. Rambutnya yang panjang ia kucir kuda dengan poni yang dibiarkan tergerai hampir menutupi mata.

Satu pesan Andin terima dari Abyasa, menginformasikan bahwa laki-laki itu sudah berada di depan kamar-nya.

"Semangat!" ucap Andin memberi semangat untuk dirinya sendiri.

Dia berjalan keluar kamar, dan matanya langsung menemukan mobil hitam milik Aby yang terparkir di depan. Jarak kamar ke mobil itu tidak terlalu jauh, tetapi Andin merasa langkahnya memanjang. Perjalanan yang seharusnya singkat terasa lambat, karena disertai berbagai macam kemungkinan yang terjadi di depan.

Jangan bertindak bodoh, Ndin! Jangan melakukan kesalahan! Jangan konyol! ucap Andin berkali-kali dalam hati.

Andin seakan mendengar suara degup jantungnya sendiri, saat tubuhnya sudah berdiri di samping pintu mobil Abyasa. Tak pernah merasa siap, Andin akhirnya tetap memilih masuk ke dalam mobil. "Pagi, Mas," sapanya.

"Pagi, Andin." Aby tersenyum manis. Laki-laki itu ... as ussual, selalu tampan dengan kaos lengan panjang berwarna putih yang ia lipat sampai ke siku. Satu jam tangan model sport bertengger manis di tangan kirinya, menambah kesan manly. "Kita benar-benar sudah seperti couple goal, ya Dek?" tanya Aby sesaat setelah Andin duduk di kursi penumpang.

Wanita itu mengerutkan alisnya, meminta Aby menjelaskan lebih. Mereka baru saja duduk berdekatan, tetapi Aby sudah mulai memaksanya berfikir keras.

"Tanpa direncana, kita sama-sama pakai baju warna putih."

Baik Andin dan Aby sama-sama mengulas senyum, terlebih untuk Andin, efeknya luar biasa hebat. Andin merasakan pipinya yang panas dan wajahnya yang tersipu malu mendengar kalimat itu. Ah, inikah indahnya cinta? Sampai banyak manusia yang berjuang mengejarnya.

"Sudah siap?" tanya Aby.

Tidak akan pernah ada kata siap. "Siap!" Jawaban yang keluar dari mulut Andin.

Mobil Aby berjalan membelah jalanan kota Jakarta yang ramai, sama seperti hati Andin yang riuh. Berbagai macam rasa di hati Andin tak bisa ditepis, ia bahagia, hanya dengan duduk berdua di dalam mobil yang sama.

"Kita sarapan dulu?" tawar Aby yang langsung mendapatkan anggukan Andin di detik pertama. "Soto?" tawarnya lagi.

Andin bukan tipe pemilih makanan, pun juga sedang tidak ingin makan sesuatu yang khusus. Hatinya sedang disibukan dengan rasa asing, tak sanggup berfikir tentang hal lainnya.

"Mas pernah makan soto buatanmu, waktu kamu masih tinggal di rumah." Aby bercerita, tentang saat dimana dia pertama kali merasakan soto buatan Andin. "Bik Inah yang cerita bangga, kalau soto yang dia sajikan buatan Andin."

Tidak ada yang bisa menggambarkan kebahagiaan Andin saat ini. Mendengarkan Abyasa bercerita banyak tentang hal-hal yang tidak penting. Ingatan Andin ditarik ke masa saat diajari masak soto kuah kuning oleh chef keluarga Bramantya, β€”Bik Inah. Kala itu, rasa soto buatannya tak terlalu buruk, bahkan jika boleh menilai sendiri rasanya lumayan enak.

"Masih suka masak kalau di kos?" tanya Aby. Laki-laki yang lebih banyak diam itu tiba-tiba berubah menjadi banyak bertanya.

"Masih," jawab Andin singkat. "Waktu itu, Andin pengen bisa masak soto kuah kuning soalnya Mas Aby paling suka makan makanan yang berkuah, termasuk soto."

Mata Aby menunjukan keterkejutan, pupil matanya melebar. "Oh ya?" Fakta yang tak ia ketahui sebelumnya. "Jadi? Semua usahamu itu demi aku?"

Andin tersenyum tipis, mengangguk pelan sebelum akhirnya memutus tautan matanya dengan Abyasa. Andin takut semakin tersesat di manik mata hitam itu.

"Terima kasih," ucap Abyasa tulus.

Tiga puluh menit kemudian mereka sudah sampai di warung soto pinggir jalan. Kata Aby, warung soto ini adalah warung soto favoritnya sejak kuliah. Dulu, setiap pagi jika tak sarapan di rumah, Aby pasti makan soto di sini sebelum memulai aktivitas kampus.

Saat kuah kuning menyapa lidah, Andin menarik kesimpulan. "Enak," pujinya. "Apa Andin boleh minta resep soto ke penjualnya ya, Mas?"

"Mmmm, kemungkinan besar nggak akan dikasih." Aby menuangkan sedikit sambal di sotonya lalu mengambil tempe goreng yang tersaji di meja. Soto dan gorengan itu pasangan sempurna, tak terpisahkan. "Mas pastikan, rasa soto buatanmu nggak kalah sama di sini, Ndin," puji Aby.

Sekali lagi Andin tersenyum malu. Kemungkinan besar, besok Andin harus cek gula darah di tempat kerjanya, karena hari ini dia terlalu banyak menerima kata-kata manis dari Abyasa. "Tapi kalau Andin bisa membuat soto seenak warung ini, pasti Mas Aby seneng tiap pagi dimasakin soto."

"Maksudmu? Setiap pagi kamu mau masakin Mas soto, begitu?" Senyum Aby penuh makna. "Yang suka memasak di pagi hari itu biasanya disebut istri."

Ya Tuhan, Andin tidak bisa lagi membayangkan bagaimana rupa wajahnya saat ini. Bagaimana bisa laki-laki pendiam yang dulu menganggapnya seperti hama kini dengan mudah mengeluarkan kalimat menggoda?

Ingatkan Andin besok cek gula darah ya?

Sarapan pagi ini penuh dengan ribuan rasa yang datang silih berganti. Andin sering kehilangan suara, lebih banyak menyimpan diam sambil sesekali menimpali perbincangan yang diciptakan Abyasa.

Setelah sarapan, mereka memutuskan untuk langsung ke kebun binatang. Menukar tiket lalu ikut memperpanjang antrian pintu masuk. Karena datang di hari Minggu, suasana kebun binatang siang ini cukup ramai. Banyaknya pengunjung membuat beberapa kali Andin dan Aby terpisah jarak.

Andin mengerutkan kedua alisnya saat melihat tangan Aby menengadah ke arahnya.

"Biar nggak jauh-jauhan," jelas Abyasa tapi tak kunjung membuat Andin paham.

Laki-laki itu mengambil tangan Andin lalu menggenggamnya erat. "Begini lebih baik," ucap Aby sambil menunjukan genggaman tangan keduanya di depan dada.

Desiran tak karuan tercipta, Andin membeku, merasakan rasa asing di tangannya saat kulit Abyasa yang dingin menyentuh kulitnya. Tangan Aby yang besar melingkupi tangannya yang kecil, menggenggamnya erat tak ingin terlepas. Mereka berdua berjalan bersisihan, dengan sesekali Aby berjalan di depan saat melewati pengunjung yang ramai.

Laki-laki itu membaca peta yang ada di tangan kirinya, memikirkan arah yang tepat menuju tujuan. "Gajah lewat kanan," tunjuknya ke arah yang dimaksud. Andin hanya menurut, mengikuti kemana pun Aby membawanya berjalan.

Hari ini, banyak yang mereka lakukan bersama : Andin naik gajah sedangkan Aby menolak terlibat, berfoto dengan phose lucu hingga beli cilok di pinggir jalan. Sore menjelang mereka pulang dan berakhir hanya dengan duduk di dalam mobil seperti semalam.

"Terima kasih, Mas. Andin senang," ucap Andin jujur.

"Heem, Mas juga seneng." Aby membalas singkat. Laki-laki itu terlihat tak nyaman, sesekali ia melihat ke arah ponsel, seakan sedang menunggu benda pipih itu berbunyi.

Sesaat sebelum kembali pulang, Pramesti menghubunginya, meminta sebuah panggilan video yang tidak bisa Aby turuti. Wanita itu kembali mengirimkan pesan, sebuah permohonan untuk dimengerti. Sesuatu yang sejak dulu selalu diberikan Aby untuk Pramesti : pengertian.

"Ya sudah, Andin masuk dulu ya, Mas," pamit Andin. Dia beranjak keluar mobil sebelum tiba-tiba Aby menahan lengannya. "Kenapa Mas?"

Laki-laki itu menatap Andin tajam, dan kira-kira apa yang akan terjadi selanjutnya?

BAB 18 - Tentang Rasa.

Apa yang harus ia lakukan? Pertanyaan pertama yang muncul di otak Andin saat hari kencan tiba. Semalaman Andin tidak bisa memejamkan mata, menanti esok hari janji temu yang sudah disepakati bersama. Debaran cemas di dada tak bisa ia sembunyikan, beberapa kali ia merasa perutnya mulas, dan berakhir dengan dia yang rajin ke kamar mandi.

Jam delapan pagi, Andin berdiri di depan standing mirror kamarnya. Menatap kosong ke arah dirinya sendiri yang sudah bersiap. Andin mengenakan celana jeans skinny dan kaos denim berwarna putih bermotif bunga matahari. Hand bag hitam tanpa merk ia gunakan sebagai pelengkap penampilannya. Rambutnya yang panjang ia kucir kuda dengan poni yang dibiarkan tergerai hampir menutupi mata.

Satu pesan Andin terima dari Abyasa, menginformasikan bahwa laki-laki itu sudah berada di depan kamar-nya.

"Semangat!" ucap Andin memberi semangat untuk dirinya sendiri.

Dia berjalan keluar kamar, dan matanya langsung menemukan mobil hitam milik Aby yang terparkir di depan. Jarak kamar ke mobil itu tidak terlalu jauh, tetapi Andin merasa langkahnya memanjang. Perjalanan yang seharusnya singkat terasa lambat, karena disertai berbagai macam kemungkinan yang terjadi di depan.

Jangan bertindak bodoh, Ndin! Jangan melakukan kesalahan! Jangan konyol! ucap Andin berkali-kali dalam hati.

Andin seakan mendengar suara degup jantungnya sendiri, saat tubuhnya sudah berdiri di samping pintu mobil Abyasa. Tak pernah merasa siap, Andin akhirnya tetap memilih masuk ke dalam mobil. "Pagi, Mas," sapanya.

"Pagi, Andin." Aby tersenyum manis. Laki-laki itu ... as ussual, selalu tampan dengan kaos lengan panjang berwarna putih yang ia lipat sampai ke siku. Satu jam tangan model sport bertengger manis di tangan kirinya, menambah kesan manly. "Kita benar-benar sudah seperti couple goal, ya Dek?" tanya Aby sesaat setelah Andin duduk di kursi penumpang.

Wanita itu mengerutkan alisnya, meminta Aby menjelaskan lebih. Mereka baru saja duduk berdekatan, tetapi Aby sudah mulai memaksanya berfikir keras.

"Tanpa direncana, kita sama-sama pakai baju warna putih."

Baik Andin dan Aby sama-sama mengulas senyum, terlebih untuk Andin, efeknya luar biasa hebat. Andin merasakan pipinya yang panas dan wajahnya yang tersipu malu mendengar kalimat itu. Ah, inikah indahnya cinta? Sampai banyak manusia yang berjuang mengejarnya.

"Sudah siap?" tanya Aby.

Tidak akan pernah ada kata siap. "Siap!" Jawaban yang keluar dari mulut Andin.

Mobil Aby berjalan membelah jalanan kota Jakarta yang ramai, sama seperti hati Andin yang riuh. Berbagai macam rasa di hati Andin tak bisa ditepis, ia bahagia, hanya dengan duduk berdua di dalam mobil yang sama.

"Kita sarapan dulu?" tawar Aby yang langsung mendapatkan anggukan Andin di detik pertama. "Soto?" tawarnya lagi.

Andin bukan tipe pemilih makanan, pun juga sedang tidak ingin makan sesuatu yang khusus. Hatinya sedang disibukan dengan rasa asing, tak sanggup berfikir tentang hal lainnya.

"Mas pernah makan soto buatanmu, waktu kamu masih tinggal di rumah." Aby bercerita, tentang saat dimana dia pertama kali merasakan soto buatan Andin. "Bik Inah yang cerita bangga, kalau soto yang dia sajikan buatan Andin."

Tidak ada yang bisa menggambarkan kebahagiaan Andin saat ini. Mendengarkan Abyasa bercerita banyak tentang hal-hal yang tidak penting. Ingatan Andin ditarik ke masa saat diajari masak soto kuah kuning oleh chef keluarga Bramantya, β€”Bik Inah. Kala itu, rasa soto buatannya tak terlalu buruk, bahkan jika boleh menilai sendiri rasanya lumayan enak.

"Masih suka masak kalau di kos?" tanya Aby. Laki-laki yang lebih banyak diam itu tiba-tiba berubah menjadi banyak bertanya.

"Masih," jawab Andin singkat. "Waktu itu, Andin pengen bisa masak soto kuah kuning soalnya Mas Aby paling suka makan makanan yang berkuah, termasuk soto."

Mata Aby menunjukan keterkejutan, pupil matanya melebar. "Oh ya?" Fakta yang tak ia ketahui sebelumnya. "Jadi? Semua usahamu itu demi aku?"

Andin tersenyum tipis, mengangguk pelan sebelum akhirnya memutus tautan matanya dengan Abyasa. Andin takut semakin tersesat di manik mata hitam itu.

"Terima kasih," ucap Abyasa tulus.

Tiga puluh menit kemudian mereka sudah sampai di warung soto pinggir jalan. Kata Aby, warung soto ini adalah warung soto favoritnya sejak kuliah. Dulu, setiap pagi jika tak sarapan di rumah, Aby pasti makan soto di sini sebelum memulai aktivitas kampus.

Saat kuah kuning menyapa lidah, Andin menarik kesimpulan. "Enak," pujinya. "Apa Andin boleh minta resep soto ke penjualnya ya, Mas?"

"Mmmm, kemungkinan besar nggak akan dikasih." Aby menuangkan sedikit sambal di sotonya lalu mengambil tempe goreng yang tersaji di meja. Soto dan gorengan itu pasangan sempurna, tak terpisahkan. "Mas pastikan, rasa soto buatanmu nggak kalah sama di sini, Ndin," puji Aby.

Sekali lagi Andin tersenyum malu. Kemungkinan besar, besok Andin harus cek gula darah di tempat kerjanya, karena hari ini dia terlalu banyak menerima kata-kata manis dari Abyasa. "Tapi kalau Andin bisa membuat soto seenak warung ini, pasti Mas Aby seneng tiap pagi dimasakin soto."

"Maksudmu? Setiap pagi kamu mau masakin Mas soto, begitu?" Senyum Aby penuh makna. "Yang suka memasak di pagi hari itu biasanya disebut istri."

Ya Tuhan, Andin tidak bisa lagi membayangkan bagaimana rupa wajahnya saat ini. Bagaimana bisa laki-laki pendiam yang dulu menganggapnya seperti hama kini dengan mudah mengeluarkan kalimat menggoda?

Ingatkan Andin besok cek gula darah ya?

Sarapan pagi ini penuh dengan ribuan rasa yang datang silih berganti. Andin sering kehilangan suara, lebih banyak menyimpan diam sambil sesekali menimpali perbincangan yang diciptakan Abyasa.

Setelah sarapan, mereka memutuskan untuk langsung ke kebun binatang. Menukar tiket lalu ikut memperpanjang antrian pintu masuk. Karena datang di hari Minggu, suasana kebun binatang siang ini cukup ramai. Banyaknya pengunjung membuat beberapa kali Andin dan Aby terpisah jarak.

Andin mengerutkan kedua alisnya saat melihat tangan Aby menengadah ke arahnya.

"Biar nggak jauh-jauhan," jelas Abyasa tapi tak kunjung membuat Andin paham.

Laki-laki itu mengambil tangan Andin lalu menggenggamnya erat. "Begini lebih baik," ucap Aby sambil menunjukan genggaman tangan keduanya di depan dada.

Desiran tak karuan tercipta, Andin membeku, merasakan rasa asing di tangannya saat kulit Abyasa yang dingin menyentuh kulitnya. Tangan Aby yang besar melingkupi tangannya yang kecil, menggenggamnya erat tak ingin terlepas. Mereka berdua berjalan bersisihan, dengan sesekali Aby berjalan di depan saat melewati pengunjung yang ramai.

Laki-laki itu membaca peta yang ada di tangan kirinya, memikirkan arah yang tepat menuju tujuan. "Gajah lewat kanan," tunjuknya ke arah yang dimaksud. Andin hanya menurut, mengikuti kemana pun Aby membawanya berjalan.

Hari ini, banyak yang mereka lakukan bersama : Andin naik gajah sedangkan Aby menolak terlibat, berfoto dengan phose lucu hingga beli cilok di pinggir jalan. Sore menjelang mereka pulang dan berakhir hanya dengan duduk di dalam mobil seperti semalam.

"Terima kasih, Mas. Andin senang," ucap Andin jujur.

"Heem, Mas juga seneng." Aby membalas singkat. Laki-laki itu terlihat tak nyaman, sesekali ia melihat ke arah ponsel, seakan sedang menunggu benda pipih itu berbunyi.

Sesaat sebelum kembali pulang, Pramesti menghubunginya, meminta sebuah panggilan video yang tidak bisa Aby turuti. Wanita itu kembali mengirimkan pesan, sebuah permohonan untuk dimengerti. Sesuatu yang sejak dulu selalu diberikan Aby untuk Pramesti : pengertian.

"Ya sudah, Andin masuk dulu ya, Mas," pamit Andin. Dia beranjak keluar mobil sebelum tiba-tiba Aby menahan lengannya. "Kenapa Mas?"

Laki-laki itu menatap Andin tajam, dan kira-kira apa yang akan terjadi selanjutnya?

BAB 19 - First Kiss.

Satu pesan Aby terima menarik kedua ujung bibirnya ke atas. Tak menunggu waktu lama, Aby langsung membalas pesan itu.

Andin :

Andin masuk siang, tadi pagi sempat masak. Andin bawakan makan siang untuk Mas Aby.

***

Aby mengetik pesan, menunjukan ketertarikan baik pada makanannya dan si pengirim pesan.

Me :
Nanti antar ke ruangan Mas, kita makan bersama. Mas masih ada meeting. ❀️

Tak lupa, Aby menyertakan emoticon hati di akhir pesannya. Ia meletakan ponselnya di meja lalu kembali memusatkan perhatiannya ke arah depan. Hari ini terasa berat, Aby harus mengikuti rentetan meeting dan berbagai macam persiapan yang harus ia susun untuk Akreditasi rumah sakit. Tugas ini, menjadi tanggung jawabnya sebagai ketua tim akreditasi RS.

Beep.

Aby kembali merasakan getaran ponselnya, tetapi memilih mengabaikan karena ia harus fokus dengan materi yang sedang disampaikan assesor di depan.

Pukul setengah satu siang, meeting akhirnya selesai. Kantor menyediakan makan siang untuk peserta rapat, tetapi Aby memilih kembali ke ruangan beralasan sudah membawa bekal. Ya, memang, dia sudah dibawakan bekal makan siang lebih tepatnya. Setelah mendudukan tubuhnya di kursi ruangannya sendiri, Aby mengirim pesan untuk Andin.

Me :
Mas sudah di ruangan.

Menunggu lima belas menit terasa lama, bahkan Aby sudah hampir terlelap karena lelah. Siang hari, jam makan siang, waktu yang menurutnya paling melelahkan ketika di hari kerja. Dan cobaan itu semakin terasa berat sesaat setelah makan. Geezzz, kantuk luar biasa menggelayuti. Biasanya dia membutuhkan es kopi dingin untuk membuat matanya tetap terbuka.

Suara bunyi pintu dibuka kasar mengalihkan perhatian Aby dari ponselnya. Dia menatap bingung ke arah wanita yang ia tunggu.

"Kenapa?" tanyanya.

Andin mengusap-usap dada, sambil menatap awas ke arah pintu ruangan Abyasa. "Tadi sepertinya Andin lihat Mbak Tari baru keluar dari gudang farmasi. Nggak tahu deh sempat lihat Andin apa enggak." Andin mendudukan tubuhnya di sofa khusus tamu yang ada di tengah ruangan, depan meja Aby. Ia meletakan kotak makan di meja.

"Tahu juga nggak apa-apa, kan?" sindir Aby, sedikit tidak suka Andin menutupi hubungan mereka. Lalu setelahnya ia merasa konyol, bukankah memang tidak ada hubungan apa-apa diantara keduanya?

"Ck, takut ada gosip yang enggak-enggak, Mas." Tangan Andin dengan cekatan membuka satu persatu bekal yang ia bawa.

"Lah, dikira ada yang enggak-enggak juga nggak apa-apa." Langkah kaki Abyasa mendekat, ikut mendudukan tubuhnya di samping Andin. Hatinya menghangat, melihat satu cup es cappucino latte di meja. "Kopi itu buat aku?"

"Heem, Mas mau makan sekarang?" tanya Andin memastikan.

"Mas udah nunggu dari lima belas menit yang lalu, udah pengen makan masakanmu." Aby mengambil ponselnya yang kembali berbunyi ketika Andin mempersiapkan makan siangnya. Disibukan dengan beberapa pekerjaan yang sudah menanti sementara Andin menyiapkan makan siangnya.

Hanya dengan hal sepele seperti ini, Andin merasa bahagia. Dia sudah seperti seorang istri yang sedang menyiapkan makan siang untuk suaminya. Menyadari kedekatan ini, entah kenapa pipinya memerah.

Ada dua kotak tempat makan tersaji, berisi nasi bumbu, dan satu kotak lainnya berisi sayur dan daging. Dari aroma-nya, sudah membuat Aby tertarik untuk mencicipi.

Dengan berani, Andin mengambil ponsel yang ada di genggaman tangan Abyasa. Mengabaikan raut wajah tak suka dari laki-laki itu, Andin membawa ponsel Aby lalu meletakannya di meja yang terletak di ujung ruangan. "Kalau mau makan, ponselnya di taruh dulu," ucap Andin setelah ia kembali duduk di sofa. "Nanti makanannya nggak jadi daging."

Aby mengangguk setuju, dia juga memang sudah sangat lapar. Aby mengambil sendok dan garpu yang sudah Andin siapkan, lalu memulai makan siangnya dalam diam.

"Enak banget," pujinya. Dia menunjukan jari jempolnya ke arah Andin yang sedari tadi mengamati Aby makan. "Kamu pinter masak ya, Dek."

"Bisaa aja, masih belajar." Rasa bahagia membuncah hebat, saat Andin menemukan Abyasa yang lahap menghabiskan makanannya. Ada sisi primitif Andin yang berbangga diri, mampu memasak makanan kesukaan Aby dengan cukup sempurna.

"Mas hari Senin ke Bandung, ikut workshop akreditasi sampai jumat. Sabtu pagi sudah di rumah," ucap Aby di sela-sela menghabiskan makan siang.

Kalimat Aby mungkin hanya sebatas deretan kata, tapi bagi Andin terdengar luar biasa. Aby sudah mulai membuka diri, mengatakan apa rencana dan aktivitasnya. Mereka sudah selayaknya pasangan kekasih yang saling menyampaikan kegiatan masing-masing.

"Hari Selasa minggu depannya lagi Andin ambil cuti, sampai Jumat." Wanita itu mengimbangi Aby yang sudah mulai terbuka. Dia pun mengatakan rencananya minggu depan yang sudah ia atur sejak dua bulan yang lalu. "Andin mau pulang ke Jogja, kangen sama Bapak Ibuk."

"Jogja?" tanya Aby dengan satu alis meninggi, seperti sedang menimbang sesuatu yang tak Andin pahami.

Wanita itu hanya mengangguk singkat sebagai jawaban pertanyaan Aby.

"Berangkat naik apa? Jam berapa?"

Dada Andin membusung senang, dengan senyum yang tak lepas dari wajahnya. Wanita itu memperbaiki letak kacamatanya mengurangi gugup. "Kereta, Mas. Berangkat jam delapan malam."

"Oh, oke. Mas antar ke stasiunnya." Kalimat itu bukan seperti tawaran, melainkan sebuah keharusan.

Oke, bolehkah Andin berharap dengan kedekatan ini?

Setelahnya, Abyasa memilih fokus dengan makan siangnya. Jam satu dia harus kembali mengikuti rapat dewan direksi. Waktu yang cukup singkat untuk makan siang.

"Kenyaaang." Aby menyenderkan tubuhnya ke sofa, sambil memegangi perutnya yang penuh. "Masakanmu enak, besok Mas mau dimasakin lagi ya, boleh?"

"Oke," jawab Andin sambil menyatukan jari jempol dan telunjuknya tanda setuju. Ia membereskan tempat makan yang sudah kosong, lalu merapikannya ke dalam pouch.

"Nanti pulang jaga siang Mas jemput, ya? Mas masih pengen ketemu sama Andin."

Anggukan Andin menunjukan kesediaan, berusaha terlihat biasa saja meskipun di dalam hatinya meledak bahagia. Setelah semuanya selesai, Andin permisi kembali ke ruangannya untuk bekerja. Hari ini dia masuk shift siang, berbeda dengan Aby yang sudah bekerja dari pagi.

Menuruni tangga dari lantai empat agar mengulur waktu, karena jam shift-nya yang masih lama dimulai. Andin merasakan langkah kakinya ringan, lalu berjalan menuju counter farmasi dengan senyum menawan.

"Dih, jaga siang jam segini udah sampai aja lo," sindir salah satu teman kerjanya.

"Heem, gue mau menunjukan loyalitas gue yang paripurna buat perusahaan ini."

"Ck, gue malah aneh ngelihat lo yang kaya gini. Biasanya tim haram pulang telat tiba-tiba merasa punya loyalitas paripurna."

Andin mengabaikan kalimat temannya, memilih memulai pekerjaannya yang terasa menyenangkan. Seumur hidupnya bekerja, baru kali ini Andin merasa pekerjaannya begitu mudah dan menyenangkan. Bahkan ketika menangani pasien komplain pun tak cukup mampu membuat harinya suram.

Dan si sumber kebahagiaannya kini sedang menunggunya, di dalam kereta kencana seperti pangeran. Malam harinya, Aby menepati janji, menjemput Andin sepulang kerja. Lima menit yang lalu Aby mengirimkan pesan bahwa ia sudah di basement rumah sakit.

Helaan nafas terdengar kasar, ketika Andin memasuki kursi penumpang di samping Aby. Laki-laki itu memejamkan mata sambil menengadahkan kepalanya ke atas, mengusir penat. Meskipun sudah malam, Aby masih mengenakan kemeja yang ia pakai siang tadi.

"Kenapa, Mas? Capek?" Ada rasa tak nyaman melihat Aby yang lelah tetapi tetap harus menjemputnya. Padahal seharusnya, Andin bisa pulang menggunakan ojek online seperti biasa. "Andin bisa pulang naik ojek kalau Mas Aby capek, nggak perlu diantar."

Aby menegakan tubuhnya, menatap Andin tajam. "Nggak apa-apa, Mas memang mau jemput Andin."

"Tapi ... Andin bisa pulang sendiri kalau Mas Aby capek."

"Mas memang ingin jemput Andin," geram Aby.

"Andin bisβ€”, eh." Wanita itu membulatkan mata, ketika secara tiba-tiba Aby mendekat ... menyatukan kedua bibir mereka tanpa aba-aba. Lalu dia harus bagaimana?
 

BAB 20 - Kebersamaan.

Rentetan meeting akhirnya berakhir, Aby mengeram pelan sambil mendudukan tubuhnya di ujung ranjang. Hampir dua belas jam Abyasa bekerja, terpaksa lembur untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan sebelum ke Bandung. Ia melepaskan sepatunya asal, lalu memindahkan posisinya semakin ke tengah untuk lebih menyamankan istirahatnya.  Sekarang jam setengah delapan malam, artinya masih tersisa sekitar satu jam lagi sebelum ia menjemput Andin.

Mengingat wanita itu, Aby kembali merasa penat. Entahlah, dia sendiri tidak tahu jenis rasa yang ada di dalam hatinya. Tetapi yang jelas, Andin mulai mengambil porsi di sana.

Beep.

Dan satu masalah yang lain kembali datang. Masalah yang sebenarnya sudah terlalu lama bersemayam di dalam hidupnya. Masalah yang selalu mudah membuatnya kacau.

Pramesti :
Prames jadi ambil kesempatan magang di Singapura.

Pesan itu terbaca, memaksa Aby melebarkan kedua pupil mata. Pesan singkat yang kembali mampu menghancurkan semua pertahanan dirinya. Pramesti ke Singapura, sesuatu yang sudah sempat menjadi bahan pertengkaran keduanya karena Aby tidak setuju. Dan sekali lagi, wanita itu mengungkitnya. Hal yang dipahami Abyasa sebagai bentuk perlawanan wanita itu atas sikap Aby yang sering mengabaikannya.

Jari Aby menekan tombol di ujung kanan layar, lalu panggilannya langsung terjawab di dering pertama.

"Mas nggak suka," ucapnya pertama kali.

"Kenapa?"

"Kamu tahu semua alasanku, Pramesti. Aku tidak perlu mengulanginya lagi." Ketika Abyasa memanggil wanita itu dengan nama, artinya dia sedang marah. Tidak ada nada lembut yang semakin menegaskan perasaannya.

"Anggap saja Prames lupa, Mas Aby boleh mengulanginya lagi."

Aby memejamkan matanya kuat, menghentakan tangannya ke arah ranjang. "Karena Singapura jauh, tidak ada saudara di sana, dan ..." Kalimat itu menggantung, tak kunjung dilanjutkan.

"Dan?"

"Aku tidak suka."

"Kalau Mas Aby mengabaikan Pramesti terus, kenapa harus aku nurut?"

Bahkan ketika Aby masih menunjukan cintanya, Pramesti tidak pernah mengikuti kemauan Aby, termasuk keseriusan. Aby berdiri, meletakan satu tangannya yang bebas di pinggang. Dia memutar otak, mencari berbacai macam alasan yang mampu membuat Pramesti tinggal. Dia tidak sanggup kehilangan Pramesti, tak mampu membayangkan hidupnya tanpa wanita itu.

"Pergilah ..."

Namun akhirnya, justru kata itu yang keluar dari bibirnya. Meskipun lirih, Abyasa yakin Pramesti mendengar jawaban itu dengan jelas. "Pergilah jika memang ingin, Mas tidak bisa menahanmu." Percuma berjuang untuk sesuatu yang tidak ingin diperjuangkan.

Beruntungnya tadi Aby memulai panggilan suara, bukan panggilan video yang mungkin bisa melemahkannya. Jeda itu terlalu lama, Aby sadar Pramesti merasakan keterkejutan yang sama di sana.

"Ma-maksud, Mas Aby?"

"Pergilah, jika itu memang yang kamu inginkan." Tanpa salam dan ucapan selamat tinggal, Aby memutus panggilan itu. Tak tanggung-tanggung, Aby memilih memblokir kontak Pramesti agar tidak kembali mengganggunya.

Aby melihat jam di tangannya menunjukan pukul delapan malam, seharusnya dia beristirahat lalu mandi dan menjemput Andin. Tetapi waktunya justru sudah dihabiskan untuk meladeni kelabilan Pramesti.

Aby bergegas mengambil kunci mobil dan keluar kamar. Dia ingin segera bertemu dengan Andin.

Seperti yang bisa diprediksi, Aby tiba di rumah sakit jam setengah sembilan. Sedikit lebih cepat dari rencana sebelumnya. Setelah mengirimkan pesan ke Andin mengatakan keberadaannya, Aby mengistirahatkan tubuhnya sejenak. Ia memundurkan kursi mobil, menurunkan sandaran kursi, lalu menatap gamang ke arah atap. Aby sedang mencoba mengurai satu persatu permasalahan di otaknya. Meskipun sebenarnya ia sadar, semua masalah Aby hanya berporos di satu nama yang sama, yaitu Pramesti.

Aby mengusap wajahnya kasar, memutar musik di mobil yang justru kembali membuatnya mendengus sebal. Sial memang, semua playlist di mobilnya hanya berisi lagu galau yang menggambarkan kondisinya saat ini. Sesuram itu kah kehidupannya?

Meskipun kesal, Aby tetap bersyukur karena musik itu cukup mampu menemaninya sambil menunggu jam Andin pulang. Basement malam ini sepi, mungkin karena jam akhir praktek dokter maksimal hanya di jam delapan malam. Aby cukup beruntung, dia bisa menggunakan waktunya untuk beristirahat.

Suara ketukan membangunkan Aby, dia membuka kunci mobil setelah menemukan wajah Andin di kaca pintu samping. Helaan nafas terdengar kentara, karena Aby baru saja memejamkan matanya sejenak.

"Kenapa, Mas? Capek?" Wanita itu terlihat tak nyaman, menatap Aby kasihan. "Andin bisa pulang naik ojek kalau Mas Aby capek, nggak perlu diantar." Andin, kenapa wanita itu selalu memikirkan orang lain?

Tentu saja, Aby tidak akan menyetujui pilihan wanita itu, dia sangat membutuhkan Andin saat ini. "Nggak apa-apa, Mas memang mau jemput Andin."

"Tapi ... Andin bisa pulang sendiri kalau Mas Aby capek."

Wanita itu membantahnya, kenapa semua orang malam ini sedang ingin menguji kesabaran Aby?

"Mas memang ingin jemput Andin," geram Aby sekali lagi.

"Andin bisβ€”, eh." Mendengar Andin kembali bersuara, kesabaran Abyasa menguap begitu saja. Ia mendekatkan tubuhnya, lalu menyatukan bibir keduanya.

Objek yang sempat menjadi bunga mimpinya kini terasa nyata. Aby merasakan tekstur kulit Andin yang kenyal di dalam indera pengecap-nya. Hangat dan manis. Aby semakin menekan, tak memberikan kesempatan untuk Andin berfikir jernih. Tangannya yang bebas menahan kepala Andin yang berniat menjauh, sedangkan tangan satunya ia gunakan untuk mengunci tubuh wanita itu pada tempatnya.

"Mas ... emh." Penolakan Andin membuka jalan masuk untuk semakin menjelajah. Aby bergerak semakin dalam, mencari kehangatan.

Pagutan itu tak terkendali, Aby memejamkan mata, menyesap berulang kali. Hingga waktu di mana sekelibat wajah Pramesti muncul, Aby melepaskan tautan bibir keduanya. Dia sadar, ini terlalu terburu-buru.

Mata Andin terpejam dengan bibir memerah yang basah.

"Buka matamu," titah Aby dengan suara berat.

Pelan-pelan, Andin membuka matanya. Wajahnya tersipu malu ketika menemukan Aby yang sedang mengamati wajahnya.

"Sampai merah gini ya," ucap Abyasa. Jari jempol Aby bergerak naik, mengusap bekasnya yang tertinggal di sana.

Gelak tawa terdengar, saat Andin tiba-tiba menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Wanita itu memalingkan wajahnya ke arah berlawanan dengan di mana Aby berada.

"Kenapa, heyy." Aby mencoba menarik tangan Andin, dia ingin melihat wajah Andin yang malu-malu. "Dek, bukaa, kenapa heum?"

"Andin malu, iiih, Mas Aby jauh-jauh." Andin melepaskan satu tangannya, memaksa tubuh Aby bergerak mundur. Tetapi kesempatan ini justru dimanfaatkan Abyasa untuk menahan tangan Andin di dadanya, lalu menariknya untuk mendekat.

Aby memeluk tubuh Andin meskipun wanita itu masih tetap menolak.

"Mas ih, jauh jauuuuh."

"Mas pengen peluk kamu kok nggak boleh, kenapa memangnya? Apa akan ada yang marah? Andin sudah punya pacar?"

Tubuh Andin kembali menjauh, sedangkan Aby justru semakin menguatkan pelukannya.

"Dek, Mas pengen lihat wajah Andin yang cantik dan malu-malu." Tawa Aby semakin keras terdengar, saat Andin menarik jaketnya menutupi kepala, sedangkan kedua tangannya ia letakan di masing-masing telinga.

"Mas Aby sekarang jalanin mobil ke kos Andin, cepetan udaaah. Cepeet!"

Baru kali ini ada wanita yang berani memerintahnya dengan nada tinggi, tetapi justru membuat Aby tertawa bahagia. "Yakin ini mau ke kos? Andin nggak mau ajakin Mas kemana gitu? Atau ... mau ngajakin pacaran, mungkin?" ucap Aby tak pernah merasa puas menggoda.

"Mas Aby jalanin mobil sekarang atau Andin turun naik ojek online saja!"

Ah wanita itu sudah berani mengancamnya sekarang.

"Oke oke, kita jalan tuan putri."

Sepanjang jalan, Andin masih menutupi kepalanya dengan jaket. Sesekali Aby melihat ke arah Andin yang tak mengubah posisinya sama sekali.

"Dek, kamu masih sadar kan?" tanyanya.

"Masih."

"Buka jaketnya doong, Mas nanti dikira nyulik orang lho."

"Nggak mau ih kenapa Mas Aby jadi cerewet sekarang."

"Ck, ketularan kamu mungkin."

Kalimat Aby tak berbalas. Andin masih diam, masih dalam posisi yang sama.

"Andin beneran nggak mau minta Mas jadi pacar lagi?"

BAB 21 - Berbeda.

"Katanya, Tuhan itu Maha membolak balikan hati manusia."

"Dibalik? Lo ngomong gampang banget kaya ngebalik tempe."

Andin memutar tubuhnya yang sedang terlentang di ranjang, menghadap Lita yang sedang disibukan dengan tugas akhir-nya. "Gue baca quotes gitu di instagram. Tapi ... kira-kira seberapa cepat hati manusia dibalik?"

"Kalau gue nyuruh lo cinta sama laki-laki lain selain Mas Aby, bisa nggak? Gampang nggak?"

Lidah Andin kelu, tentu saja tidak akan semudah itu. "Kalau takdir sudah menentukan jalannya, mungkin bisa aja gue cinta sama laki-laki lain."

Wajah Lita melengos sebal. "Kebanyakan baca quotes instagram lo, jadi otak lo cuma sebatas kotak itu doang."

Helaan nafas lancar terlepas. "Gue cuma nanya."

"Setiap kesini kenapa lo selalu bawa pertanyaan rumit, Ndin?" kesal Lita. "Hidup udah rumit tambah lo bikin rumit sama pertanyaan-pertanyaan lo yang absurd."

Malam ini Andin berada di rumah keluarga Bramantya. Tujuh hari setelah laki-laki itu berangkat ke Bandung untuk mengikuti workshop akreditasi. Dua hari lebih lama dari jadwal pulang yang sudah Aby katakan minggu lalu. Seharusnya hari Sabtu pagi, Aby sudah di rumah. Tapi bahkan sampai hari Minggu malam, laki-laki itu tak kunjung menampakan batang hidungnya. Pesan Andin satu hari yang lalu pun tak berbalas.

Andin merindu, meriang karena rindu.

"Kenapa tiba-tiba lo nanya gitu? Lagi deket sama cowok?" Lita memicingkan mata, menatap Andin intens. Lama bersahabat, Lita tahu, Andin paling tidak pintar berbohong. "Ngaku lo kalau masih anggap gue sahabat!" Terbukti, Andin bergerak gelisah.

"Gu-gue baru deket doang, belum pacaran." Mata Andin bergerak turun, melihat ke arah lain selain mata Nurlita. "Besok kalau udah jadian, pasti gue kasih tahu."

Andin sendiri bingung jenis hubungannya dengan Abyasa. Pacaran? Belum ... tapi, mereka sudah ciuman. Mengingat malam itu, membuat nafasnya kembang kempis.

"Gue ikut seneng kalau lo udah berhasil melepas cinta sepihak lo ke Mas Aby," ucap Lita kembali memusatkan perhatiannya ke arah laptop. Wanita itu sedang dikejar deadline laporan, sebelum mengakhiri internship-nya dua bulan lagi.

Saat nama itu kembali disebut, Andin mengingat tujuannya datang ke rumah ini. Ia membuka ponsel dan membaca pesan terakhir yang ia kirimkan kemarin untuk Abyasa.

Me :
Mas Aby pulang kapan?

Pesan itu sudah bercentang biru tetapi belum mendapatkan balasan. Seandainya Nurlita bukan wanita cerdas yang mudah sekali membaca pikiran, Andin pasti bertanya tentang kapan kepulangan Abyasa. Saat ini, yang bisa Andin lakukan hanyalah berada di rumah Bramantya, menunggu kedatangan laki-laki itu, sambil mendengar celotehan adiknya yang pedas. Lita dan Mas Aby sama, tidak suka cabai, tapi keduanya cukup mudah mengeluarkan kalimat pedas.

Hening kembali menjeda, hanya ada suara keyboard yang sedang digunakan sebagaimana fungsinya.

"Lo mau tidur sini, Ndin?" tanya Lita setelah mereka cukup lama saling mendiamkan.

"Enggak, gue bentar lagi pulang." Andin mengubah posisi, duduk membelakangi Lita, kembali melihat ke arah ponsel yang tidak kunjung menunjukan pesan masuk. "Lima belas menit lagi."

"Lo nunggu seseorang ya?" tanya Lita dengan manik mata menusuk. "Lo nunggu Mas Aby? Kangen?"

"Ck, nggak gitu." Satu pukulan ringan Lita dapatkan, lalu Andin memasukan beberapa barangnya ke dalam tas, bersiap pulang. "Gue kangen sama lo."

"Mas Aby lagi di Bandung, ikut workshop. Jadi, lo nggak usah nunggu dia di rumah. Udah fokus aja sama cowok yang lagi deket sama lo sekarang."

"Bukannya ... workshop-nya cuma sampai hari Jumat ya, Ta?" tanyanya ragu, berharap Lita tidak menyadari keingintahuannya. "Temen gue ada yang ikut juga soalnya," kilahnya.

"Mas Aby mau jalan-jalan dulu mungkin, tadi dia ngasih kabar di grup besok pagi baru sampai Jakarta."

Besok pagi? Jalan-jalan. Lalu kenapa pesannya tak berbalas?

Tingkat kesabaran Andin, jika itu berhubungan dengan cintanya untuk Abyasa memiliki stok berlapis ganda. Berbagai macam alasan positif ia rangkai di otaknya : mungkin Aby bertemu teman lama, mungkin Aby bertemu relasi banyak di sana. Toh, Andin masih memiliki kesempatan esok hari untuk menemui Abyasa.

Seperti yang ia informasikan sebelumnya ke Aby, tentang rencana kepulangannya ke Jogja Senin malam. Aby menawarkan diri untuk mengantar Andin ke stasiun. Dan Andin ingin menagih janji itu.

Esok hari selepas jaga pagi, Andin meyakinkan langkahnya. Berjalan mendekat ke arah ruangan berpintu kayu dengan nama terang dan gelar laki-laki yang mengisi hatinya. Setelah memastikan lingkungan aman dari karyawan-karyawan yang ia kenal, Andin mengetuk pintu pelan. Ketukan ketiga, baru ada jawaban dari dalam.

"Masuk."

Objek yang pertama kali ditangkap netra-nya adalah Abyasa yang sedang bersiap-siap pergi. Laki-laki itu mengenakan jaket dan membawa kunci mobil di tangan kanannya. Mereka sempat bertemu pandang, namun Aby dengan cepat mengalihkan perhatiannya ke arah ponsel.

"Mas Aby mau pulang?" tanyanya lirih, berjalan mendekat mengikis jarak. Melihat Abyasa baik-baik saja, Andin selalu merasa cukup. Pertanyaan yang sejak semalam menumpuk di otaknya ia biarkan berada di sana tanpa jawaban.

"Heem, gimana? Maaf, Mas sedang buru-buru," jawab Aby tanpa mengalihkan perhatiannya dari ponsel. Laki-laki itu berdiri dengan raut wajah cemas, beberapa kali mencoba menghubungi seseorang yang tak kunjung menjawab panggilannya.

"Andin ... nanti jadi pulang ke Jogja."

Manik mata Abyasa menatap ke arah Andin, dengan satu alisnya yang meninggi. "Terus?"

Detik itu juga Andin merasa penantiannya selama tiga hari terasa percuma. "Mas Aby ... kemarin menawarkan maβ€”."

"Sorry, aku nggak bisa, kamu bisa pakai taksi online atau apa, terserah."

Belum juga berjarak dekat, Aby sudah berniat meninggalkan Andin. Entah setan darimana yang merasuki pikirannya, Andin bergerak menahan tangan Aby yang sedang beranjak pergi.

Aby melihat ke arah tautan itu dengan tatapan tak suka. "Ndin ...," geramnya tertahan.

"Mas Aby mau kemana?" tanya Andin tanpa melepaskan cekalannya.

Abyasa tak menjawab, mengatupkan bibirnya erat.

"Mas Aby mau ke Semarang?" tebaknya. Pertanyaan yang sebenarnya tidak ingin ia ketahui jawabannya.

Tangan Aby bergerak melepaskan genggaman tangan Andin. Sedikit menyentak saat tautan itu tak kunjung terlepas.

"Mas Aby mau ke Semarang? Bertemu Mbak Pramesti?" tuntut Andin semakin ingin tahu. Mengabaikan dengusan kesal dari laki-laki yang tiga hari lalu mengambil ciuman pertamanya. Apa ciuman itu sama sekali tidak ada artinya?

"Ndin .... aku mohon, aku harus pergi." Kalimat itu terucap tegas, bersamaan dengan  satu tarikan kuat yang memaksa genggaman itu terlepas.

Andin kembali menahan lengan Abyasa, masih tidak rela laki-laki itu pergi meninggalkannya. "Jangan pergi, Mas," mohon Andin dengan bibir bergetar.

"Pramesti membutuhkanku."

"Andin juga butuh Mas Aby ... jangan pergi." Andin tak lagi bisa menutupi perasaannya, memohon Aby memahaminya.

Sekali lagi, Aby melepaskan genggaman tangan Andin di lengannya. "Maaf," ucap Abyasa, lalu tetap melangkah pergi meninggalkan Andin seorang diri.

Pintu ruangan ditutup keras. Andin berusaha mengembalikan dirinya sendiri sebelum ada yang memergokinya berada di tempat yang tidak seharusnya dirinya berada. Andin menekan dadanya pelan, melepaskan nafas panjang berkali-kali untuk menetralkan perasaan. Setidaknya ini adalah cara yang ia tahu, tetapi kenapa perasaannya tak kunjung membaik?

"Gue harus segera pergi." Yaa, jam delapan malam keretanya berangkat. Dia harus segera pulang ke kos lalu bersiap ke Jogja. Setidaknya, dia tidak harus berada di sini selama tiga hari. Dia berada di dekat keluarganya, di dekat orang-orang yang benar-benar menyayanginya.

Langkah yang dulunya terasa ringan dari lantai empat ke loker karyawan, kini terasa memanjang. Di setiap langkahnya, Andin disibukan dengan mengusir rasa sakit yang mendominasi seluruh ruang di sudut hatinya.

Nggak apa-apa, Mas Aby memang cinta sama Mbak Pramesti.

Nggak apa-apa, yang penting kamu sudah menunjukan perasaanmu.

Nggak apa-apa, semuanya akan kembali baik-baik saja.

Beruntungnya Andin tidak bertemu dengan teman kerjanya sampai di loker, setidaknya dia tidak perlu berpura-pura tersenyum lebar disaat tangisnya sekuat mungkin ia tahan.

Panasnya matahari dan ramainya jalan di depan rumah sakit cukup mampu mengurangi sesak. Mata Andin fokus mencari plat nomor ojek online yang sudah ia pesan untuk membawanya pulang.

"Mbak Andin?" Abang ojeng online berjaket hijau berhenti di depannya.

"Iya."

Abang ojek online menyerahkan satu helm berwarna yang sama dengan jaketnya. "Alamatnya sudah sesuai aplikasi ya?"

Andin mengangguk, sebelum naik ke jok motor Andin merasa perlu mengatakan sesuatu. "Pak, nanti kalau saya nangis di belakang abaikan saja ya? Nggak akan kenceng kok, kalau di lampu merah nanti saya tahan nangisnya. Boleh kan, Pak?"

BAB 22 - Jogja dan tamu istimewa.

Hamparan sawah terbentang sepanjang mata memandang. Burung berkicau di langit nan tinggi. Pohon kelapa menjulang kuat ke atas. Anak kecil berlarian menuju sekolah. Mata Andin tak pernah puas, menikmati suasana tanah kelahiran yang sudah lama ia tinggalkan. Duduk di teras depan rumah, dengan segelas teh hangat dan pisang goreng buatan ibunya.

Sekitar pukul empat pagi, Andin tiba di rumahnya. Melepas rindu dengan keluarga yang sudah lama tak bersua. Dia sudah sempat mendapatkan istirahatnya di kereta, memilih tetap membuka mata demi bisa menikmati waktu bersama keluarga.

Pagi ini, Bapak masih di sawah. Sebelum bekerja, biasanya Bapak meluangkan waktunya untuk mencari rumput terlebih dahulu. Sedangkan Ibu Andin, membuka warung di rumah menemani Andin sambil bercerita banyak hal. Meskipun mengenyam pendidikan kuliah, Ibu Andin terpaksa tidak bekerja karena sempat mengalami kecelakaan hebat yang memaksanya istirahat selama beberapa bulan. Hingga akhirnya, ia memutuskan resign lalu membuka warung kecil-kecilan untuk membantu suaminya yang bekerja di Kelurahan.

"Andiiin ini? Waaah Nduk, cah ayuuu. Kapan pulang dari Jakarta?" sapa Budhe Ratih, salah satu tetangga samping rumah Andin. Wanita paruh baya yang sedang membeli minyak goreng di warung ibunya.

"Baru tadi pagi, Budhe. Gimana kabarnya Budhe? Sehat?" jawab Andin ramah. Andin mendekat, lalu mencium punggung tangan Budhe Ratih sebagai tanda hormat.

"Alhamdulillah Budhe sehat. Andin sekarang tambah ayu yo, Bu? Bersih ... wes pinter dandan." Kalimat pujian dilayangkan untuk ibunya yang sedang menimbang minyak goreng. Di desa, masih ada beberapa warung yang menyediakan minyak goreng curah, termasuk desa di mana tempat keluarga Andin tinggal.

"Iyoo, Budhee. Pangestune, Budhe. Biar lancar kerjaannya."

"Iyaa iyaaa, sukses ya, Nduk." Setelah sempat berbasa-basi sebentar, Budhe Ratih pamit pulang.

"Warungnya mulai rame ya, Bu?" Andin mendekat, ikut membantu ibunya yang sedang menata tepung di etalasi. "Mulai pagi tadi Andin lihat sudah banyak yang beli."

"Iyo, Alhamdulillah ramai. Bisa buat tabungan dan tambahan uang kuliah. Berkat Andin." Tangan Ibu Andin menggenggam lembut jemari anaknya, merasa bangga memiliki seorang anak perempuan yang kuatnya melebihi baja. Andin tak pernah mengeluh, belajar dan bekerja untuk memperbaiki ekonomi keluarga. "Terima kasih ya, Nduk. Ibu dan Bapak sangat bangga sama Andin."

Andin tak mampu menjawab, hanya mengangguk ringan. Ia memeluk tubuh wanita berpostur kecil itu dari belakang, saat ibunya menata dagangan di etalase warung.

"Buuk ...," panggil Andin lirih.

"Heem."

Lama Andin membiarkan hening tanpa suara, menimbang kalimat yang akan ia lontarkan setelahnya. "Besok ... kalau tabungan Andin sudah cukup, kalau adek sudah lulus kuliah semua, Andin mau pulang ke Jogja dan kerja di sini aja ya?"

"Ibuk selalu setuju dengan semua rencanamu. Ibuk yakin, hidup di Jakarta tanpa sanak saudara itu juga tidak mudah," ucap Ibu Andin dengan bibir bergetar. "Seharusnya, kamu ndak perlu ke sana kalau Bapak dan Ibu bisa mencukupi kebutuhanmu dan adik-adikmu. Seharusnya, seusiamu itu kamu lagi seneng-senengnya dapat penghasilan sendiri, tapi kamu masih harus mikir keluargamu, masihβ€”."

"Buuuk." Andin memohon ibunya untuk tidak melanjutkan kalimatnya. Keduanya sama, menahan air mata yang menjadi bukti lembutnya perasaan seorang wanita. "Andin nggak apa-apa, Andin bahagia lihat adek kuliah, Andin bahagia lihat warung Ibu ramai."

"Sampai lupa sama dirimu sendiri."

"Andin nggak lupa sama diri sendiri, Andin pakai make up, perawatan wajah juga. Andin bahagia kok, Buu."

Tangan Ibu menghentikan aktivitasnya, bergerak memutar untuk bertemu pandang dengan anak perempuannya. "Kalau gitu Ibu mau nanya. Andin sudah punya pacar? Calon suami gitu?"

"Dih ..." Andin berniat menjauh, namun cekalan di tangannya cukup kuat memaksa ia untuk tetap pada tempatnya. "Bahagia itu tidak harus dengan pacar keleuuus, Buu."

"Lho, dulu seumur kamu Ibu itu sudah punya pacar. Tapi Ibu rasa, selama ini Andin tidak pernah sekalipun membahas tentang pacar."

Andin tak menjawab, memutar kedua bola mata menghindar. Pembahasan ini pernah disinggung oleh ibunya, tetapi karena mereka lebih banyak berbincang melalui telepon, Andin sangat mudah mengalihkan pembicaraan. Tetapi ketika mereka hanya sedang duduk berdua, berada di dalam jarak yang dekat, Andin tak bisa lagi menghindar.

"Umurmu sudah hampir dua puluh enam tahun lebih lho, Ndin. Sudah waktunya kamu memikirkan tentang pasangan, hubungan serius dan menikah."

Pemikiran itu sama sekali tidak pernah muncul di otak Andin. Tidak terbersit sedikit pun. Setiap hari ia habiskan waktunya hanya untuk bekerja dan mencintai seorang Abyasa. Konyol memang, bukankah seharusnya Andin mencoba membuka hatinya untuk orang lain? Karena Tuhan Maha membolak-balikan hati manusia, seperti quotes yang Andin temukan di instagram.

"Menikah tidak ada patokan usia, Bu," kilahnya.

"Iyaa, Ibu paham. Tapi ... semua manusia butuh pasangan, Nduk. Laki-laki dan perempuan ditakdirkan untuk saling mengisi. Andin sudah harus berfikir ke sana."

Andin menemukan kekhawatiran di mata ibunya. Wajar menurut Andin, kedua kakak perempuannya sudah menikah, dan dua adiknya yang masih kuliah sudah ada yang memiliki pacar. Sedangkan Andin tak pernah sekalipun mengenalkan laki-laki kepada kedua orangtuanya.

Suara motor bebek bapaknya menyelamatkan Andin dari topik pembicaraan rumit antara dia dan ibunya. Andin meminta izin kepada ibunya untuk menyapa Bapak.

"Udah pada sarapan?" tanya Bapak sambil meletakan seikat besar rumput kolonjono di halaman depan.

"Belum, nunggu Bapak toh."

"Yaa yaa. Bilang ke ibumu minta siapin sarapan sama teh hangat." Bapak berjalan masuk ke dalam rumah melalui pintu belakang.

Setelah Bapak mandi, semua anggota keluarga berkumpul di meja makan. Bapak, Ibu, Andin dan adiknya. Kedua kakaknya sudah ikut tinggal bersama suami yang tak jauh dari tempat keluarga Andin tinggal. Di meja makan sudah tersaji nasi hangat, sayur lodeh, tempe dan tahu goreng serta ikan nila yang didapat dari blumbang milik pribadi. (Blumbang : kolam ikan)

"Kuliah jam berada, Yub?" tanya Andin ke arah adik keempatnya yang duduk di samping Andin. Namanya Ayub.

"Jam sembilan, Mbak. Habis sarapan langsung berangkat kuliah."

"Kuliah yang bener," ucap Andin menggoda sambil menjewer telinganya pelan. "Jangan pacaran terus, awas lo ya kalau sampai kuliahnya molor. Mbak nggak mau bantu bayarin!"

Adik laki-lakinya ini yang sudah beberapa kali membawa pacar ke rumah, teman kuliah yang sudah cukup dekat dengan kedua orangtuanya. Alasan yang menjadi kekhwatiran ibunya jika tiba-tiba Ayub pengen dinikahkan sedangkan Andin masih belum menikah, yang membuat ibunya berkali-kali bertanya tentang pacar Andin.

Bapak dan Ibu tidak pernah mengatur kapan anaknya boleh menikah, jika merasa siap, pesta akan digelar. Termasuk, untuk Ayub.

"Iyaa, Mbak. Sejauh ini Ayub kuliah masih tepat waktu kok, bahkan kalau nuntut bisa ngejar selesai tiga setengah tahun."

"Bagoooss, Mbak bangga sama Ayub."

"Mbak nggak bangga sama Gendis?" Adik perempuan satu-satunya muncul dari balik pintu tengah. Murid yang berani-beraninya izin sekolah hanya karena kakaknya pulang dari Jakarta. Andin sempat terkejut dengan alasan itu, namun akhirnya ia tetap menerima alasan Gendis. Mungkin, semua keluarganya memang sangat merindukan Andin. Hehe.

Kehangatan ini yang tidak pernah Andin dapatkan di Jakarta. Dan orang-orang di sinilah yang selalu membuat semangatnya tetap membara.

Suara pintu diketuk dari luar menarik perhatian seluruh anggota keluarga. Ibu Andin menghentikan aktivitasnya yang sedang menyiapkan nasi untuk Bapak, lalu meminta Andin untuk menemui tamu yang datang. Siapapun itu, pasti bukan pembeli karena warung sengaja ditutup agar bisa menikmati waktu bersama keluarga.

"Yaa sebentaar," ucapnya sedikit berteriak.

Berlari kecil, Andin membuka pintu kayu di rumahnya. Ia sempat menyipitkan matanya yang sedang tidak memakai kacamata, lalu terbelalak lebar ketika objek itu semakin terpusat. Andin mematung dengan mulut terbuka.

"Hai, Ndin. Long time no see."

*
*
*

Hah? Siapakah dia gerangan?

BAB 23 - Tamu dari jauh.

"Hai, Ndin. Long time no see."

Laki-laki bersweater hangat berdiri di depan pintu rumah Andin. Ia tersenyum ramah, sambil membenahi kacamatanya yang sama sekali tidak terlihat berada di posisi yang salah.

"Ndin," ucapnya memanggil si wanita lagi. Dia melambaikan tangannya di depan wajah Andin mencari perhatian, karena wanita itu tak kunjung merespon keberadaannya. "Gueβ€”."

"Pramono?" tanya Andin ragu. Laki-laki di depannya memiliki raut wajah yang sama dengan sahabatnya, hanya saja aura-nya berbeda. Laki-laki itu ... terlihat lebih dewasa.

Senyum laki-laki itu mengembang, menampilkan sederet giginya yang rapi. "Gue masih belum ganti nama jadi Shahrukh Khan. Nama gue masih tetap sama, Pramono."

"Anj ... sialaan! Lo? ... beneran Pram? Pramono temen gue yang dulu dekil?" Andin tidak mengolok, hanya terkejut. Pramono yang dulu selalu memakai kemeja usang jarang diganti, kini berdiri menawan dengan tubuh yang lebih berisi.

Pramono pun sama sekali tidak terlihat tersinggung, justru senyumnya semakin lebar menertawakan tingkah Andin yang membelalakkan kedua matanya lebar. "Iyaa, Ndin. Ini gue, Pramono."

Jawaban Pram meyakinkan keraguan Andin, ia meloncat kegirangan bahkan sampai memeluk laki-laki itu tanpa ragu. Dia sangat merindukan laki-laki yang beberapa bulan ini menghilang dari kehidupannya. "Gue kira lo lupa sama gue, Praaam," celotehnya manja. "Lo nggak jawab pesan gue yang terakhir."

Pramono mengusap pelan tubuh bagian belakang Andin yang berada di dalam dekapannya. "Gue nggak lupa, gue cuma sedang mencari waktu yang tepat."

Andin mengurai pelukannya, masih menatap takjub ke arah sahabatnya. "Lo lagi ada acara di Jogja ya?" tanya Andin mencari tahu. Masih terkejut melihat keberadaan laki-laki itu di rumah ini.

"Enggak, tujuan gue di Jogja memang hanya di sini."

"Laah?" Alis Andin meninggi. "Lo bisa tunggu gue di Jakarta kalau mau ketemu gue mah. Gue cuma ambil cuti tiga hari kok di Jogja."

"Gue nggak cuma mau ketemu sama lo, Ndin," ucap Pramono mengubah mimik wajahnya menjadi serius. "Gue ke sini mau ketemu sama orangtua lo."

"Bapak sama Ibu ... gue?" tanya Andin sambil menunjuk ke arah dirinya sendiri. Anggukan Pramono membuktikan bahwa pendengarannya masih baik-baik saja.

"Bapak sama Ibu ada kan?"

"Ada sih ... tapi emang mau ngapain?" tanya Andin bingung.

"Nanti juga lo tahu."

Banyak pertanyaan di otak Andin, mengaitkan urusan sahabatnya itu dengan kedua orangtuanya. Selama bersahabat dengan Pramono, tidak sekalipun Andin mengenalkan laki-laki itu ke orangtuanya. Karena Bapak dan Ibu jarang ke Jakarta, dan juga tidak pernah sekalipun datang ke kampusnya. Kehidupan Andin dan Pramono tidak pernah keluar dari masalah kampus, toko buku dan sarapan. Lalu, kenapa tiba-tiba laki-laki itu kini duduk di sofa rumahnya dengan Bapak dan Ibu yang duduk di hadapannya?

Andin ingin tahu, tapi dia memberikan waktu sepenuhnya kepada Pramono untuk menyampaikan maksud tujuannya datang ke rumah ini. Andin duduk di samping Pramono, dengan Bapak dan Ibu yang duduk di sofa seberang mereka berdua.

"Maaf Bapak dan Ibu, saya yakin kedatangan saya di sini sangat mendadak dan banyak memunculkan pertanyaan," jelasnya sebagai pembuka setelah sempat bersapa salam di awal. "Saya Pramono, biasanya Andin memanggil saya dengan 'Pram'. Saya sahabat Andin waktu kuliah. Kami kuliah di fakultas yang sama, dan sama-sama pengejar beasiswa, jadi sering belajar bareng."

Bapak mendengar dengan seksama, sedangkan ibunya berkali-kali melirik ke arah Andin penuh tanda tanya. Bagaimana Andin harus menjawab? Sedangkan otaknya yang cerdas sama sekali tidak menemukan titik terang.

"Tujuan saya ke sini, yang pertama tentu saja ingin bersilaturahmi dengan Bapak dan Ibu," jelas Pram sekali lagi. "Yang kedua, tujuan saya ke sini untuk ... melamar Andin sebagai istri."

Respon kedua orang di sana sama, Andin dan ibunya terkejut tak percaya. Sedangkan Bapak Andin justru masih diam tak bereaksi, seakan sedang menunggu kalimat selanjutnya dari lawan bicaranya.

"Saya dan Andin sudah sama-sama dewasa. Untuk saya pribadi, saya sudah merasa mampu bertanggung jawab kepada anak Bapak sebagai kepala keluarga," tegasnya.

Andin mencubit pinggang Pramono, tidak suka jika orangtuanya dijadikan bahan godaan laki-laki itu untuk dirinya. "Pram, demi Tuhan ini nggak lucu sama sekali!" bisik Andin marah.

Jemari Pram menahan cubitan Andin, dan merubahnya menjadi genggaman. Pram meletakan tangan mereka yang saling menggenggam di pahanya. Sering duduk berdua dengan Pramono dulu, tetapi kenapa tiba-tiba hati Andin berdesir tak karuan mendapatkan genggaman hangat dari laki-laki itu?

"Percaya sama gue," jawab Pram dengan nada yang sama. "Gue serius, Andin."

Setelah menyampaikan maksud tujuannya datang ke rumah Andin, Pram tidak memaksa ada jawaban saat itu juga. Laki-laki itu hanya menyampaikan maksudnya lalu meminta kepada Andin untuk menemaninya ke stasiun.

Stasiun Tugu Jogjakarta siang ini menjadi saksi bisu dua manusia yang memiliki gelisah yang sama. Mereka duduk di kursi calon penumpang, menunggu jam keberangkatan kereta Pramono yang masih sekitar lima belas menit lagi.

"Gue masih bingung, Pram." Andin membuka percakapan, setelah sedari tadi hanya Pramono yang mendominasi. Laki-laki itu sama sekali tidak terlihat canggung, seakan sudah menyiapkan semuanya dengan sempurna. "Kenapa tiba-tiba?"

Tatapan Pramono yang lurus ke depan berganti arah, menautkan manik matanya ke arah wanita yang kini duduk di sampingnya. Mereka dipisahkan satu kursi kosong yang membatasi. Pramono sadar Andin sedang membutuhkan jarak untuk berfikir jernih. "Tidak ada yang tiba-tiba, Ndin. Lo-nya aja yang nggak ngeh sama perasaan gue."

"Hah?"

"Selama ini, gue selalu melihat ke arah lo, tapi yang lo lihat cuma abangnya Lita," jelas Pramono. Laki-laki itu mengikis jarak, mencoba meyakinkan. Ia duduk di kursi samping Andin untuk lebih leluasa berbincang. "Gue selalu menunjukan bahwa selama ini gue sayang, care sama lo, tapi gue yakin lo nggak pernah menyadari perasaan gue."

"Kenapa lo nggak bilang?" Satu pertanyaan yang ada Andin lontarkan. Masih ada banyak pertanyaan yang Andin simpan.

"Gue merasa belum siap. Siapalah gue dulu? Uang hanya untuk kuliah aja kadang gue masih minta orangtua, gimana gue mau meminta seorang perempuan buat hidup bareng sama gue?"

Hati Andin tersentuh, bukan karena perasaan laki-laki itu untuknya. Melainkan karena rasa tanggung jawab Pram sebagai lelaki. Siapapun kelak yang menjadi istrinya, wanita itu tentu sangat beruntung mendapatkan suami seperti Pramono. Tetapi, apakah wanita itu bisa jadi dirinya? Padahal tidak terbersit sedikitpun di dalam otak Andin, kalau jodohnya bisa jadi adalah sahabatnya sendiri.

"Gue bingung, Pram," ucapnya lirih, menatap gamang ke arah kursi kosong di depannya. "Ini terlalu mendadak buat gue."

"Gue paham, Andin. Perasaan gue saat ini, apa yang gue sampaikan ke orangtua lo hari ini, tidak serta merta harus dijawab sekarang juga."

Satu sentuhan ringan di tangannya yang bebas menarik perhatian Andin. Ia melihat ragu ke arah laki-laki yang kini sedang melakukan hal yang sama.

"Gue di sini cuma mau membuktikan kalau gue mau serius, Ndin. Gue mau, lo bisa jadi ibu dari anak-anak gue," jelas Pram meyakinkan. "Gue memang bukan orang kaya seperti abangnya Lita, yang tanpa perlu kerja uang tetap bisa mengalir ke rekeningnya. Tapi gue janji akan selalu bertanggung jawab, gaji gue cukup buat mencukupi kebutuhan lo, cukup untuk menyediakan rumah yang nyaman buat lo."

Genggaman di tangannya semakin menguat, kebimbangan semakin nyata terasa di hati Andin.

"Andin Astuti, gue cinta sama lo."

Setelah sekian purnama mata Andin hanya untuk melihat ke arah Abyasa seorang, apakah bisa jika dia harus mulai terbiasa melihat ke arah yang berbeda?

BAB 24 - Kabar mengejutkan.

"Hai, Ndin. Long time no see."

Laki-laki bersweater hangat berdiri di depan pintu rumah Andin. Ia tersenyum ramah, sambil membenahi kacamatanya yang sama sekali tidak terlihat berada di posisi yang salah.

"Ndin," ucapnya memanggil si wanita lagi. Dia melambaikan tangannya di depan wajah Andin mencari perhatian, karena wanita itu tak kunjung merespon keberadaannya. "Gueβ€”."

"Pramono?" tanya Andin ragu. Laki-laki di depannya memiliki raut wajah yang sama dengan sahabatnya, hanya saja aura-nya berbeda. Laki-laki itu ... terlihat lebih dewasa.

Senyum laki-laki itu mengembang, menampilkan sederet giginya yang rapi. "Gue masih belum ganti nama jadi Shahrukh Khan. Nama gue masih tetap sama, Pramono."

"Anj ... sialaan! Lo? ... beneran Pram? Pramono temen gue yang dulu dekil?" Andin tidak mengolok, hanya terkejut. Pramono yang dulu selalu memakai kemeja usang jarang diganti, kini berdiri menawan dengan tubuh yang lebih berisi.

Pramono pun sama sekali tidak terlihat tersinggung, justru senyumnya semakin lebar menertawakan tingkah Andin yang membelalakkan kedua matanya lebar. "Iyaa, Ndin. Ini gue, Pramono."

Jawaban Pram meyakinkan keraguan Andin, ia meloncat kegirangan bahkan sampai memeluk laki-laki itu tanpa ragu. Dia sangat merindukan laki-laki yang beberapa bulan ini menghilang dari kehidupannya. "Gue kira lo lupa sama gue, Praaam," celotehnya manja. "Lo nggak jawab pesan gue yang terakhir."

Pramono mengusap pelan tubuh bagian belakang Andin yang berada di dalam dekapannya. "Gue nggak lupa, gue cuma sedang mencari waktu yang tepat."

Andin mengurai pelukannya, masih menatap takjub ke arah sahabatnya. "Lo lagi ada acara di Jogja ya?" tanya Andin mencari tahu. Masih terkejut melihat keberadaan laki-laki itu di rumah ini.

"Enggak, tujuan gue di Jogja memang hanya di sini."

"Laah?" Alis Andin meninggi. "Lo bisa tunggu gue di Jakarta kalau mau ketemu gue mah. Gue cuma ambil cuti tiga hari kok di Jogja."

"Gue nggak cuma mau ketemu sama lo, Ndin," ucap Pramono mengubah mimik wajahnya menjadi serius. "Gue ke sini mau ketemu sama orangtua lo."

"Bapak sama Ibu ... gue?" tanya Andin sambil menunjuk ke arah dirinya sendiri. Anggukan Pramono membuktikan bahwa pendengarannya masih baik-baik saja.

"Bapak sama Ibu ada kan?"

"Ada sih ... tapi emang mau ngapain?" tanya Andin bingung.

"Nanti juga lo tahu."

Banyak pertanyaan di otak Andin, mengaitkan urusan sahabatnya itu dengan kedua orangtuanya. Selama bersahabat dengan Pramono, tidak sekalipun Andin mengenalkan laki-laki itu ke orangtuanya. Karena Bapak dan Ibu jarang ke Jakarta, dan juga tidak pernah sekalipun datang ke kampusnya. Kehidupan Andin dan Pramono tidak pernah keluar dari masalah kampus, toko buku dan sarapan. Lalu, kenapa tiba-tiba laki-laki itu kini duduk di sofa rumahnya dengan Bapak dan Ibu yang duduk di hadapannya?

Andin ingin tahu, tapi dia memberikan waktu sepenuhnya kepada Pramono untuk menyampaikan maksud tujuannya datang ke rumah ini. Andin duduk di samping Pramono, dengan Bapak dan Ibu yang duduk di sofa seberang mereka berdua.

"Maaf Bapak dan Ibu, saya yakin kedatangan saya di sini sangat mendadak dan banyak memunculkan pertanyaan," jelasnya sebagai pembuka setelah sempat bersapa salam di awal. "Saya Pramono, biasanya Andin memanggil saya dengan 'Pram'. Saya sahabat Andin waktu kuliah. Kami kuliah di fakultas yang sama, dan sama-sama pengejar beasiswa, jadi sering belajar bareng."

Bapak mendengar dengan seksama, sedangkan ibunya berkali-kali melirik ke arah Andin penuh tanda tanya. Bagaimana Andin harus menjawab? Sedangkan otaknya yang cerdas sama sekali tidak menemukan titik terang.

"Tujuan saya ke sini, yang pertama tentu saja ingin bersilaturahmi dengan Bapak dan Ibu," jelas Pram sekali lagi. "Yang kedua, tujuan saya ke sini untuk ... melamar Andin sebagai istri."

Respon kedua orang di sana sama, Andin dan ibunya terkejut tak percaya. Sedangkan Bapak Andin justru masih diam tak bereaksi, seakan sedang menunggu kalimat selanjutnya dari lawan bicaranya.

"Saya dan Andin sudah sama-sama dewasa. Untuk saya pribadi, saya sudah merasa mampu bertanggung jawab kepada anak Bapak sebagai kepala keluarga," tegasnya.

Andin mencubit pinggang Pramono, tidak suka jika orangtuanya dijadikan bahan godaan laki-laki itu untuk dirinya. "Pram, demi Tuhan ini nggak lucu sama sekali!" bisik Andin marah.

Jemari Pram menahan cubitan Andin, dan merubahnya menjadi genggaman. Pram meletakan tangan mereka yang saling menggenggam di pahanya. Sering duduk berdua dengan Pramono dulu, tetapi kenapa tiba-tiba hati Andin berdesir tak karuan mendapatkan genggaman hangat dari laki-laki itu?

"Percaya sama gue," jawab Pram dengan nada yang sama. "Gue serius, Andin."

Setelah menyampaikan maksud tujuannya datang ke rumah Andin, Pram tidak memaksa ada jawaban saat itu juga. Laki-laki itu hanya menyampaikan maksudnya lalu meminta kepada Andin untuk menemaninya ke stasiun.

Stasiun Tugu Jogjakarta siang ini menjadi saksi bisu dua manusia yang memiliki gelisah yang sama. Mereka duduk di kursi calon penumpang, menunggu jam keberangkatan kereta Pramono yang masih sekitar lima belas menit lagi.

"Gue masih bingung, Pram." Andin membuka percakapan, setelah sedari tadi hanya Pramono yang mendominasi. Laki-laki itu sama sekali tidak terlihat canggung, seakan sudah menyiapkan semuanya dengan sempurna. "Kenapa tiba-tiba?"

Tatapan Pramono yang lurus ke depan berganti arah, menautkan manik matanya ke arah wanita yang kini duduk di sampingnya. Mereka dipisahkan satu kursi kosong yang membatasi. Pramono sadar Andin sedang membutuhkan jarak untuk berfikir jernih. "Tidak ada yang tiba-tiba, Ndin. Lo-nya aja yang nggak ngeh sama perasaan gue."

"Hah?"

"Selama ini, gue selalu melihat ke arah lo, tapi yang lo lihat cuma abangnya Lita," jelas Pramono. Laki-laki itu mengikis jarak, mencoba meyakinkan. Ia duduk di kursi samping Andin untuk lebih leluasa berbincang. "Gue selalu menunjukan bahwa selama ini gue sayang, care sama lo, tapi gue yakin lo nggak pernah menyadari perasaan gue."

"Kenapa lo nggak bilang?" Satu pertanyaan yang ada Andin lontarkan. Masih ada banyak pertanyaan yang Andin simpan.

"Gue merasa belum siap. Siapalah gue dulu? Uang hanya untuk kuliah aja kadang gue masih minta orangtua, gimana gue mau meminta seorang perempuan buat hidup bareng sama gue?"

Hati Andin tersentuh, bukan karena perasaan laki-laki itu untuknya. Melainkan karena rasa tanggung jawab Pram sebagai lelaki. Siapapun kelak yang menjadi istrinya, wanita itu tentu sangat beruntung mendapatkan suami seperti Pramono. Tetapi, apakah wanita itu bisa jadi dirinya? Padahal tidak terbersit sedikitpun di dalam otak Andin, kalau jodohnya bisa jadi adalah sahabatnya sendiri.

"Gue bingung, Pram," ucapnya lirih, menatap gamang ke arah kursi kosong di depannya. "Ini terlalu mendadak buat gue."

"Gue paham, Andin. Perasaan gue saat ini, apa yang gue sampaikan ke orangtua lo hari ini, tidak serta merta harus dijawab sekarang juga."

Satu sentuhan ringan di tangannya yang bebas menarik perhatian Andin. Ia melihat ragu ke arah laki-laki yang kini sedang melakukan hal yang sama.

"Gue di sini cuma mau membuktikan kalau gue mau serius, Ndin. Gue mau, lo bisa jadi ibu dari anak-anak gue," jelas Pram meyakinkan. "Gue memang bukan orang kaya seperti abangnya Lita, yang tanpa perlu kerja uang tetap bisa mengalir ke rekeningnya. Tapi gue janji akan selalu bertanggung jawab, gaji gue cukup buat mencukupi kebutuhan lo, cukup untuk menyediakan rumah yang nyaman buat lo."

Genggaman di tangannya semakin menguat, kebimbangan semakin nyata terasa di hati Andin.

"Andin Astuti, gue cinta sama lo."

Setelah sekian purnama mata Andin hanya untuk melihat ke arah Abyasa seorang, apakah bisa jika dia harus mulai terbiasa melihat ke arah yang berbeda?

BAB 25 - Semua salah Andin.

Aby mengeram marah, menggenggam ponselnya kuat seakan ingin menghancurkannya dengan satu kali remasan. Sudah lebih dari dua belas jam ia mengirim pesan ke Andin, meminta bertemu untuk menjelaskan hal yang sebenarnya terjadi. Namun meskipun sudah bercentang biru, pesan itu tak berbalas. Bahkan puluhan pesan yang lain pun sengaja diabaikan.

"Dok, jam satu rapat lagi ya dengan PPI, setelahnya baru dengan bagian penunjang medis." Seketaris komite bernama Ayu, mengingatkan jadwal rapat yang sudah tersusun sedemikian rapi. Beberapa hari ia meninggalkan rumah sakit, pekerjaan Abyasa menggunung. Seandainya Andin membalas pesannya dan meluangkan sedikit waktu, Aby tidak akan seresah ini.

"Dok," panggil Ayu lagi.

"Heem." Aby hanya menjawab dengan geraman, tangannya mengibas memberikan instruksi wanita itu untuk pergi. Dia sedang tidak ingin diganggu, moodnya sedang tidak baik. Aby bahkan harus bersyukur tak melampiaskan kemarahannya ke orang lain.

Tangannya menekan tombol panggilan di nomor yang sama. Panggilan pertama ditolak, panggilan kedua dibiarkan tanpa jawaban, panggilan ketiga kembali ditolak dan lebih parah dari sebelumnya, Aby tak bisa lagi mengirim pesan ke nomor Andin. Wanita itu memblokir nomornya? Jelas di sini, keputusan Andin mengabaikan Abyasa adalah sebuah kesalahan besar.

Aby berdiri, berjalan ke luar ruangan setelah sebelumnya sempat mengirim pesan ke Ayu kalau dia akan sedikit datang terlambat saat rapat nanti. Aby berjalan menuju counter farmasi dengan raut wajah menyeramkan. Sapaan dari beberapa karyawan tak mendapatkan respon yang baik, ingatkan dia untuk meminta maaf nantinya. Tapi untuk saat ini, dia hanya ingin menegaskan satu hal ke seorang wanita yang berani memblokir nomornya.

"Mana Andin?" tanyanya langsung ke arah petugas farmasi yang sedang berjaga.

"Si-siang, dokter." Raut wajah tak paham menggelayuti, petugas itu melihat ke arah teman-temannya mencari bantuan.

Beruntungnya, counter farmasi siang ini tidak terlalu ramai. Aby tak perlu repot-repot menurunkan nada bicaranya.

Satu petugas wanita mendekat, ikut membantu temannya yang kesulitan. "Maaf, dok. Andin? Yang mana ya?" Petugas itu hanya ingin memastikan, merasa sangsi jika yang direkturnya maksud adalah Andin teman kerjanya.

"Memang ada berapa nama 'Andin' di rumah sakit ini? Khususnya di bagian farmasi?!" Aby mulai tak sabar. "Mana Andin?"

"Oh iya, maaf dok. Kak Andin ada di gudang farmasi dok."

"Oke."

Abyasa kembali ke lantai empat. Sepanjang jalan merangkai berbagai kalimat yang akan ia sampaikan ke Andin agar wanita itu tak mengabaikannya lagi. Kalau pun Andin berniat pergi, Aby akan menahan dan memaksa wanita itu untuk tetap tinggal. Apapun akan ia lakukan untuk membuat Andin tetap berada di sisinya. Demi Tuhan, dia sudah berumur hampir tiga puluh tahun dan kenapa masih digalaukan dengan urusan percintaan yang tak jelas seperti ini?!

Kartu akses ia tempelkan di pintu. Meskipun bukan salah satu petugas farmasi, sebagai direktur pelayanan medis Abyasa memiliki semua akses ke seluruh ruang di rumah sakit.

Suara kunci pintu terbuka, Aby masuk ke dalam dan matanya langsung mengikat ke arah wanita yang sedang duduk menggunakan bangku pendek di depan almari sambil menghitung jumlah stok obat. Mata Andin sempat terkesiap menemukan Aby di ruangan ini, lalu seakan memancing amarah Abyasa, Andin membuang mula lalu melanjutkan aktivitasnya tanpa terlihat terganggu. Wanita yang biasanya menatapnya dengn mata berbinar, kini membuang muka ke arah Abyasa.

"Maaf dok, ada yang bisa kami bantu?" Salah satu teman Andin mendekat.

Aby membawa tangannya ke depan, menunjukan ke wanita itu bahwa dia tidak bisa membantu apa-apa di dalam masalahnya saat ini. "Saya boleh minta tolong untuk meninggalkan kami berdua dulu?"

Wajah Tari sempat terkejut tak percaya, melihat ke arah Andin yang masih memunggunginya tak merespon. Merasa ada sesuatu yang memang bukan urusannya, Tari izin keluar untuk lanjut membantu di pelayanan.

"Ndin, aku bantu di bawah dulu ya?" pamitnya tapi Andin tak menjawab. "Saya turun dulu, dok."

"Hem."

Suara bunyi pintu tertutup, Aby dan Andin hanya berdua di dalam ruangan ini. Aby masih berdiri di dekat pintu, berjarak sekitar empat meter dari tempat Andin duduk. Laki-laki itu berdiri dengan raut wajah tak ramah, berkacak pinggang, sambil sesekali bedecak marah.

"Kamu blokir nomor Mas?" tanyanya mengawali perbincangan berat yang akan ia mulai.

Andin masih menyimpan suara, berpura-pura sibuk menghitung stok yang jika boleh Aby terka hanya dilakukan sebagai alasan untuk menghindarinya. "Ndin, Mas ngomong sama kamu."

"Andin sedang sibuk, dok."

Dok? Sejak kapan Andin memanggilnya dengan sebutan dokter ketika mereka hanya berdua. Satu nafas Abyasa tarik kuat-kuat, lalu ia keluarkan dengan perlahan. Dia sedang memupuk sabar yang sangat ia butuhkan saat ini. "Mas nggak suka," ucap Abyasa. "Buka blokirnya," titahnya lagi.

"Andin sedang sibuk bekerja, peraturan perusahaan mengharuskan karyawannya fokus dalam bekerja agar meminimalkan kesalahan dan demi keselamatan pasien. Kalau dokter Aby telepon-telepon terus di jam kerja, saya terganggu."

Baiklaah ... Andin sedang mengibarkan bendera perang. "Kalau kamu menjawab pesanku, aku tidak akan menghubungimu terus menerus." Tetapi tentu saja Aby tidak akan semudah itu untuk menyerah. "Buka blo-kir-nya," titah Aby penuh penekanan.

Andin menghentikan pekerjaannya, mengambil ponsel yang ada di kantong seragamnya. "Sudah," jawab Andin setelah membuka blokir, lalu menunjukan ponselnya ke arah Aby. Dia tidak ingin memperlama Aby ada di tempat ini jika hanya berhubungan dengan blokir memblokir nomor.

"Nanti pulang sama Mas. Aku tunggu sampai jam pulang kerjamu tiba."

Aby melihat pergerakan tangan Andin yang sempat berhenti, sebentar, lalu wanita itu kembali melanjutkan pekerjaannya. "Andin sudah ada yang mau jemput."

"Siapa?! Laki-laki yang melamarmu itu, hah?!" Kesabaran Abyasa semakin menipis, apalagi mendengar wanita itu yang akan dijemput laki-laki lain. "Aku tidak memperbolehkanmu pergi sama laki-laki lain. Kamu pulang sama aku!"

"Siapapun orangnya, laki-laki ataupun perempuan, bukan urusan dokter Aby."

"Ndin, aku tahu aku salah. Aku bisa menjelaskan semuanya ke kamu nanti. Nanti ... saat kita tidak di tempat kerja seperti sekarang," jelas Abyasa menuntut pengertian Andin. Namun sayangnya, wanita itu sama sekali tidak berniat menanggapi penjelasannya. Masih duduk di bangku sambil menghitung stok obat. "Pramesti menyusulku ke Bandung, aku tetap menolaknya, ia kecelakaan di Pemalang dan aku khawatir. Aku merasa bersalah!"

Nama Pramesti mampu mengubah posisi Andin. Wanita itu berdiri, mendekat ke arah Abyasa dengan raut wajah tegas. "Sampai kapan, Andin akan ada di balik bayang-bayang Mbak Pramesti?"

Mendengar pertanyaan Andin, Abyasa mengusap wajahnya gusar, mencoba mencari jawaban dari otak encer yang kali ini terasa membeku. Urusan cinta dan wanita, Aby memang tidak memiliki kemampuan yang mumpuni di bidang itu.

"Kamu tidak ada di balik bayang-bayang Pramesti."

Senyum meremehkan Andin tunjukan, seperti dulu saat Abyasa meremehkan cintanya yang tulus. "Andin akan selalu menjadi pilihan jika disandingkan dengan Mbak Pramesti."

"Kamu bukan pilihan, aku memilihmu, kemarin aku hanya sedang khawatir mendengar kabar Pramesti kecelakaan." Abyasa kembali menjelaskan, akan selalu memutar jawaban itu agar Andin paham posisinya. Mendengar orang lain kecelakaan karena dirinya, tentu tidak akan semudah itu Aby terlihat baik-baik saja, bukan?

Andin kembali duduk di tempatnya semula, melakukan hal yang sama dengan apa yang ia lakukan sebelumnya. "Lebih baik dokter Aby kembali ke ruangan, tidak enak jika ada yang melihat kita ada di ruangan yang sama dalam waktu yang cukup lama."

"Aku tidak peduli! Aku akan menunjukan ke semua orang kalau kamu adalah milikku, Ndin. Aku pastikan itu." Aby memutuskan keluar ruangan, membanting pintu cukup keras untuk menunjukan rasa tidak sukanya dengan sikap Andin siang ini.

Ia berjalan ke ruangannya sendiri yang berada di lantai yang sama.

"Brengsek! Sialan!" Aby mengeram marah, ingin meninju sesuatu untuk melepaskan amarahnya tapi tak kunjung menemukan objek yang pas untuk itu. Dan berakhir hanya dengan ia menendang tong sampah kecil, lalu ia kembali marah karena ruangannya menjadi berserakan dan kotor.

Ini salah Andin. Semuanya salah Andin!

BAB 26 - Paksaan Abyasa.

Nafas tertahan, terlepas sempurna dari bibir mungil yang sedang bergetar. Ia menekan dada, mencari sandaran saat tubuhnya tak lagi kuat menopang. Berusaha terlihat kuat ternyata tak semudah yang Andin pikirkan.

"Ndin, lo baik?" Mbak Tari datang, menatap Andin khawatir. "Lo buat salah apa sih?" tanyanya mencari tahu.

Untuk masalah pekerjaan, Andin tidak melakukan kesalahan. Kesalahan Andin hanya satu, dia mencintai Abyasa! Seorang lelaki yang tak pernah memiliki rasa untuknya.

"Perasaan lo kerja selama ini baik-baik aja. Heran gue sampai dokter Aby turun langsung," ucap Mbak Tari masih tidak menutupi keterkejutannya.

Andin adalah salah satu karyawan yang tertib, tidak neko-neko dan sangat berhati-hati dalam bekerja. Andin tidak pernah membuat kesalahan fatal. Kesalahan sesekali itu hal yang wajar, tapi tidak harus sampai direkturnya turun langsung. Semua permasalahan di instalasi farmasi masih bisa dihandle Mbak Tari selaku kepala instansi.

Pertanyaan Mbak Tari berakhir tanpa jawaban, karena Andin masih disibukan dengan menetralkan perasaannya sendiri. Rasanya masih sakit, ketika Abyasa mengabaikan permohonannya, ketika Abyasa meninggalkannya demi Pramesti. Dan semua itu tidak akan bisa Andin maafkan dengan mudah. Dia memang mencintai Abyasa saat laki-laki itu masih mencintai wanita lain, tetapi ketika Abyasa memberi harapan lalu berakhir dengan dia menghancurkan harapan itu, Andin menyerah.

"Ndin ..." Mbak Tari membantu Andin duduk, lalu ikut mendudukan tubuhnya di samping Andin. Dengan sabar, Mbak Tari mengusap punggung Andin, ketika wanita itu terlihat kacau dan menahan tangis yang ia tak tahu alasannya apa. "Kenapa? Ngomong sama gue, kalau lo nggak ngerasa salah nanti gue bantu ngomong ke atasan."

"Guβ€”e ... nggak hiks ... gue, nggak apa-apa hiks ... Mbak." Andin kesulitan berbicara, karena sesak yang ia rasa tertahan di dada.

"Gue sebagai atasan lo juga nggak terima kalau ada masalah pekerjaan langsung marah begini, seharusnya diomongin dulu kan?"

Andin tak lagi menjawab, fokus dengan menetralkan perasaannya sendiri. Setelah cukup lama menahan, akhirnya tangis Andin pun mereda. Dia memilih tidak menceritakan masalahnya ke Mbak Tari. Dia hanya berjanji, akan menjelaskan ke dokter Aby langsung, karena masalah ini hanya sebuah kesalahpahaman dan tidak terlalu berdampak di pelayanan.

"Lo serius mau balik kerja?"

"Nggak apa-apa, Mbak. Gue baik, shift sebentar lagi juga selesai kok." Andin melihat ke arah jam dinding yang menunjukan pukul dua siang, dia masih ada waktu setengah jam sampai shift pagi-nya berakhir.

Akhirnya shift panjang pun berakhir. Andin menunggu Pramono di pintu keluar lobby rumah sakit. Laki-laki itu berjanji menjemput Andin setelah pulang bekerja. Dia ingin membawa Andin ke sebuah tempat yang tak Pram jelaskan terlebih dahulu. Katanya, tempat tujuan mereka biar jadi kejutan.

Bunyi klakson mobil jazz sederhana menarik perhatian Andin. Di dalamnya terlihat Pramono yang sedang tersenyum lebar ke arahnya.

Satu hal yang patut disyukuri sore ini, Abyasa tak kembali merecoki kehidupannya.

"Selamat sore, Tuan Putri."

"Dih, najis!" jawab Andin.

"Udah lama nunggu?" Pramono bertanya, sambil membantu Andin yang terlihat kesulitan mengenakan seat belt. "Maklum mobil second, jadi agak susah. Tapi nggak ngutang kok, tidak akan memberatkan keluarga kalau nanti kita menikah."

"Terima kasih," ucap Andin mengabaikan rentetan kalimat panjang Pramono. Entahlah, Andin masih terlalu canggung dengan kedekatan mereka berdua. "Mau kemana?" tanya Andin untuk mengurai rasa canggung.

"Mmm ... nanti juga kamu tahu."

Kamu? Okee ... apakah panggilan keduanya mulai dirubah?

"Bagaimana kalau mulai sekarang kita panggil aku-kamu?" tawar Pramono yang merasakan kegelisahan Andin mendengar panggilannya. "Nggak maksa kok, nggakβ€”."

"Okee, aku mau. Aku berusaha."

Senyum kembali terbit di wajah laki-laki itu. Sore ini, Pramono berpakaian lebih santai dari sebelumnya. Hanya mengenakan kaos pendek berwarna hijau tua dipadukan dengan jeans panjang dan sepatu kets abu. Sepanjang jalan, mereka berbicara banyak. Tentang Pramono yang sangat merindukan Indonesia, termasuk wanita yang saat ini sedang duduk manis di sampingnya.

"Semalam Lita telepon aku, teriak histeris sampai sakit telingaku," ucap Pramono sambil terkekeh, kembali membayangkan saat Lita menghubunginya menuntut penjelasan.

"Nanya apa dia?"

"Nagih cerita, dari awal mulai jatuh cinta, sampai aku berani memutuskan melamarmu."

"Ooh, dia suka kepo emang." Nurlita, perlukah Andin bercerita tentang Abyasa?

Pramono membawa mobilnya ke arah kampus. Universitas yang sudah membawanya masuk ke dunia obat-obatan. Sore ini banyak lalu lalang mahasiswa, seperti biasa. Ada yang nongkrong atau sekedar hanya ingin berolahraga lari. Pramono menghentikan mobilnya di salah satu sisi jalan, lalu mengajak Andin keluar mobil.

"Aku pengen ke sini, mengulang masa-masa waktu kita kuliah dulu."

Andin hanya menanggapi dengan anggukan ringan, mengikuti langkah Pramono yang mendahuluinya. Dia pun merindukan tempat ini, mengingatkan masa remaja, saat masalah utama yang ia hadapi hanya sebatas ujian semester dan laporan. Pramono mengajaknya duduk di satu bangku yang kosong, sedikit basah selepas hujan, Pramono mengelap bangku itu untuk Andin.

"Sebenarnya tadi aku mau ngajakin kamu ke ibuku, tapi aku pikir-pikir lagi, terlalu cepat sepertinya. Kamu masih belum memberiku jawaban, terlalu bertindak berani kalau membawamu ke rumah."

Sekali lagi, Andin hanya mengangguk untuk menanggapi.

"Kamu ... masih suka sama abangnya Lita?" tanya Pramono setelah mereka berdua saling mendiamkan cukup lama. Laki-laki itu sempat menghindari kontak mata Andin, berpura-pura memperbaiki letak kacamatanya. Sering bersama Pramono, Andin dapat mengenali saat di mana laki-laki itu sedang cemas ataupun khawatir.

Andin memberikan waktu otaknya berfikir, mencari jawaban yang sebenarnya dia sudah ketahui kemana porosnya. "Masih," jawabnya kemudian. Dia tidak ingin berbohong, karena itu artinya dia mungkin saja menyakiti Pramono nantinya. "Gimana?"

Anggukan ringan Pramono berikan sebagai jawaban pertanyaan Andin. "Nggak apa-apa. Aku sabar jika kamu memang masih membutuhkan waktu."

Baik Pramono dan Andin sama-sama kembali menyimpan suara. Mereka mengalihkan perhatian ke arah beberapa pengunjung yang datang, dan penjual jajanan ringan yang rapi di parkiran. Dulu, mereka berdua sering nongkrong di pinggir trotar. Jajan cimol ataupun sekedar melepas penat. Kalau Lita sedang off, biasanya Lita ikut bergabung dengan Andin dan Pramono.

"Kalau suatu saat ... aku tidak bisa merubah perasaanku, lalu bagaimana?" tanya Andin tiba-tiba.

Kali ini Andin memberikan waktu sepenuhnya untuk Pramono. Laki-laki itu terlihat berfikir keras, matanya memicing tajam ke arah depan. "Mmm ... nggak apa-apa. Apapun jawabanmu, yang penting kamu bahagia, Ndin."

Setelah mengajaknya makan malam, Pram mengantar Andin pulang ke kos-nya. Makan malam kali ini cukup mengurai kecanggungan yang terasa, mereka berbicara banyak hal, terutama tentang masa-masa kuliah mereka dulu yang sering bersama.

"Terima kasih untuk hari ini," ucap Andin tulus. "Aku senang, bisa menutup hariku yang kacau siang tadi dengan indah."

"Heem, sama-sama. Nanti malam aku whatsapp lagi ya."

"Oke," jawab Andin sambil menunjukan jempol tangan dan deretan giginya yang rapi.

Andin menunggu mobil yang ditumpangi laki-laki itu menghilang. Dengan senyum dan langkah ringan ia masuk ke dalam kamarnya. Andin berencana mandi, maskeran wajah lalu nonton film korea yang sudah menjadi to do listnya sejak dua minggu yang lalu. Besok Andin libur, dia memiliki kesempatan bangun siang setelah menonton film korea maraton malam ini.

Namun, bunyi pintu kamar Andin diketuk menahan keinginan Andin untuk beranjak ke kamar mandi. Hanya mengenakan celana kolor dan kaos pendek, serta handuk yang menggantung di pundaknya, Andin membuka pintu kamarnya.

Abaikan tentang keinginan Andin nonton film korea maraton, dan kalimat sebelumnya yang mengatakan Pramono menutup hari ini dengan indah. Karena sumber kekacauannya kini berdiri di depan pintu kamar kos Andin, masih memakai pakaian yang sama dengan saat terakhir mereka bertemu.

"Mas Aby ngapain ke sini?"

"Mau ngomong."

"Kenapa harus malam-malam?"

"Mas sudah menawarkan untuk pulang bareng tadi sore ... tapi, kamu nolak." Ada jeda di tengah kalimat Abyasa, dia sempat memejamkan matanya sebelum melanjutkan kalimatnya. "Kita ngomong di luar. Makan, atau mau ke mana?"

"Andin nggak bisa."

"Di mobil saja kalau gitu."

"Andin nggak mau."

Helaan nafas terdengar kasar, cukup menciutkan nyali Andin untuk kembali melawan.

Dada Abyasa membusung, laki-laki itu sedang berusaha memasukan banyak oksigen ke sana. Matanya menatap Andin tajam dengan rahang yang mengatup keras. Andin sadar, dia sudah membuat Abyasa kembali marah. Tapi, bukankah seharusnya di sini, Andinlah yang berhak marah? Aby sudah menciumnya, memberi harapan, lalu mengabaikannya begitu saja.

"Mas butuh ngomong sama Andin. Tapi tidak di luar kos seperti ini, Mas butuh tempat yang lebih ... privat." Abyasa menjelaskan panjang.

"Andin nggak bisa, ini sudah malam danβ€”."

"Oke, kita ngomong di dalam saja," putus Abyasa.

Eh?

Tanpa permisi, Abyasa melepas kaos kaki dan sepatunya lalu masuk ke dalam kamar kos Andin.

"Mas, nggak bisa begini. Ini kamar perempuan danβ€”."

"Kita ngomong, sekarang dan di sini!" tegas Abyasa penuh penekanan. Laki-laki itu mendudukan tubuhnya di karpet, karena memang tidak ada kursi di kamar Andin. Di ruangan ini semuanya serba lesehan, tidur pun tak pakai ranjang.

"Ndin, duduk," titah Abyasa tegas.

"Nggak mau."

"Duduk, atau Mas bisa membuatmu duduk dengan paksaan," ancam Abyasa dengan wajah menjanjikan hal yang sama.

Lalu, Andin harus bagaimana?

"Duduk dan tutup pintunya."

BAB 27 - Menahan Ego.

Nafas tertahan, terlepas sempurna dari bibir mungil yang sedang bergetar. Ia menekan dada, mencari sandaran saat tubuhnya tak lagi kuat menopang. Berusaha terlihat kuat ternyata tak semudah yang Andin pikirkan.

"Ndin, lo baik?" Mbak Tari datang, menatap Andin khawatir. "Lo buat salah apa sih?" tanyanya mencari tahu.

Untuk masalah pekerjaan, Andin tidak melakukan kesalahan. Kesalahan Andin hanya satu, dia mencintai Abyasa! Seorang lelaki yang tak pernah memiliki rasa untuknya.

"Perasaan lo kerja selama ini baik-baik aja. Heran gue sampai dokter Aby turun langsung," ucap Mbak Tari masih tidak menutupi keterkejutannya.

Andin adalah salah satu karyawan yang tertib, tidak neko-neko dan sangat berhati-hati dalam bekerja. Andin tidak pernah membuat kesalahan fatal. Kesalahan sesekali itu hal yang wajar, tapi tidak harus sampai direkturnya turun langsung. Semua permasalahan di instalasi farmasi masih bisa dihandle Mbak Tari selaku kepala instansi.

Pertanyaan Mbak Tari berakhir tanpa jawaban, karena Andin masih disibukan dengan menetralkan perasaannya sendiri. Rasanya masih sakit, ketika Abyasa mengabaikan permohonannya, ketika Abyasa meninggalkannya demi Pramesti. Dan semua itu tidak akan bisa Andin maafkan dengan mudah. Dia memang mencintai Abyasa saat laki-laki itu masih mencintai wanita lain, tetapi ketika Abyasa memberi harapan lalu berakhir dengan dia menghancurkan harapan itu, Andin menyerah.

"Ndin ..." Mbak Tari membantu Andin duduk, lalu ikut mendudukan tubuhnya di samping Andin. Dengan sabar, Mbak Tari mengusap punggung Andin, ketika wanita itu terlihat kacau dan menahan tangis yang ia tak tahu alasannya apa. "Kenapa? Ngomong sama gue, kalau lo nggak ngerasa salah nanti gue bantu ngomong ke atasan."

"Guβ€”e ... nggak hiks ... gue, nggak apa-apa hiks ... Mbak." Andin kesulitan berbicara, karena sesak yang ia rasa tertahan di dada.

"Gue sebagai atasan lo juga nggak terima kalau ada masalah pekerjaan langsung marah begini, seharusnya diomongin dulu kan?"

Andin tak lagi menjawab, fokus dengan menetralkan perasaannya sendiri. Setelah cukup lama menahan, akhirnya tangis Andin pun mereda. Dia memilih tidak menceritakan masalahnya ke Mbak Tari. Dia hanya berjanji, akan menjelaskan ke dokter Aby langsung, karena masalah ini hanya sebuah kesalahpahaman dan tidak terlalu berdampak di pelayanan.

"Lo serius mau balik kerja?"

"Nggak apa-apa, Mbak. Gue baik, shift sebentar lagi juga selesai kok." Andin melihat ke arah jam dinding yang menunjukan pukul dua siang, dia masih ada waktu setengah jam sampai shift pagi-nya berakhir.

Akhirnya shift panjang pun berakhir. Andin menunggu Pramono di pintu keluar lobby rumah sakit. Laki-laki itu berjanji menjemput Andin setelah pulang bekerja. Dia ingin membawa Andin ke sebuah tempat yang tak Pram jelaskan terlebih dahulu. Katanya, tempat tujuan mereka biar jadi kejutan.

Bunyi klakson mobil jazz sederhana menarik perhatian Andin. Di dalamnya terlihat Pramono yang sedang tersenyum lebar ke arahnya.

Satu hal yang patut disyukuri sore ini, Abyasa tak kembali merecoki kehidupannya.

"Selamat sore, Tuan Putri."

"Dih, najis!" jawab Andin.

"Udah lama nunggu?" Pramono bertanya, sambil membantu Andin yang terlihat kesulitan mengenakan seat belt. "Maklum mobil second, jadi agak susah. Tapi nggak ngutang kok, tidak akan memberatkan keluarga kalau nanti kita menikah."

"Terima kasih," ucap Andin mengabaikan rentetan kalimat panjang Pramono. Entahlah, Andin masih terlalu canggung dengan kedekatan mereka berdua. "Mau kemana?" tanya Andin untuk mengurai rasa canggung.

"Mmm ... nanti juga kamu tahu."

Kamu? Okee ... apakah panggilan keduanya mulai dirubah?

"Bagaimana kalau mulai sekarang kita panggil aku-kamu?" tawar Pramono yang merasakan kegelisahan Andin mendengar panggilannya. "Nggak maksa kok, nggakβ€”."

"Okee, aku mau. Aku berusaha."

Senyum kembali terbit di wajah laki-laki itu. Sore ini, Pramono berpakaian lebih santai dari sebelumnya. Hanya mengenakan kaos pendek berwarna hijau tua dipadukan dengan jeans panjang dan sepatu kets abu. Sepanjang jalan, mereka berbicara banyak. Tentang Pramono yang sangat merindukan Indonesia, termasuk wanita yang saat ini sedang duduk manis di sampingnya.

"Semalam Lita telepon aku, teriak histeris sampai sakit telingaku," ucap Pramono sambil terkekeh, kembali membayangkan saat Lita menghubunginya menuntut penjelasan.

"Nanya apa dia?"

"Nagih cerita, dari awal mulai jatuh cinta, sampai aku berani memutuskan melamarmu."

"Ooh, dia suka kepo emang." Nurlita, perlukah Andin bercerita tentang Abyasa?

Pramono membawa mobilnya ke arah kampus. Universitas yang sudah membawanya masuk ke dunia obat-obatan. Sore ini banyak lalu lalang mahasiswa, seperti biasa. Ada yang nongkrong atau sekedar hanya ingin berolahraga lari. Pramono menghentikan mobilnya di salah satu sisi jalan, lalu mengajak Andin keluar mobil.

"Aku pengen ke sini, mengulang masa-masa waktu kita kuliah dulu."

Andin hanya menanggapi dengan anggukan ringan, mengikuti langkah Pramono yang mendahuluinya. Dia pun merindukan tempat ini, mengingatkan masa remaja, saat masalah utama yang ia hadapi hanya sebatas ujian semester dan laporan. Pramono mengajaknya duduk di satu bangku yang kosong, sedikit basah selepas hujan, Pramono mengelap bangku itu untuk Andin.

"Sebenarnya tadi aku mau ngajakin kamu ke ibuku, tapi aku pikir-pikir lagi, terlalu cepat sepertinya. Kamu masih belum memberiku jawaban, terlalu bertindak berani kalau membawamu ke rumah."

Sekali lagi, Andin hanya mengangguk untuk menanggapi.

"Kamu ... masih suka sama abangnya Lita?" tanya Pramono setelah mereka berdua saling mendiamkan cukup lama. Laki-laki itu sempat menghindari kontak mata Andin, berpura-pura memperbaiki letak kacamatanya. Sering bersama Pramono, Andin dapat mengenali saat di mana laki-laki itu sedang cemas ataupun khawatir.

Andin memberikan waktu otaknya berfikir, mencari jawaban yang sebenarnya dia sudah ketahui kemana porosnya. "Masih," jawabnya kemudian. Dia tidak ingin berbohong, karena itu artinya dia mungkin saja menyakiti Pramono nantinya. "Gimana?"

Anggukan ringan Pramono berikan sebagai jawaban pertanyaan Andin. "Nggak apa-apa. Aku sabar jika kamu memang masih membutuhkan waktu."

Baik Pramono dan Andin sama-sama kembali menyimpan suara. Mereka mengalihkan perhatian ke arah beberapa pengunjung yang datang, dan penjual jajanan ringan yang rapi di parkiran. Dulu, mereka berdua sering nongkrong di pinggir trotar. Jajan cimol ataupun sekedar melepas penat. Kalau Lita sedang off, biasanya Lita ikut bergabung dengan Andin dan Pramono.

"Kalau suatu saat ... aku tidak bisa merubah perasaanku, lalu bagaimana?" tanya Andin tiba-tiba.

Kali ini Andin memberikan waktu sepenuhnya untuk Pramono. Laki-laki itu terlihat berfikir keras, matanya memicing tajam ke arah depan. "Mmm ... nggak apa-apa. Apapun jawabanmu, yang penting kamu bahagia, Ndin."

Setelah mengajaknya makan malam, Pram mengantar Andin pulang ke kos-nya. Makan malam kali ini cukup mengurai kecanggungan yang terasa, mereka berbicara banyak hal, terutama tentang masa-masa kuliah mereka dulu yang sering bersama.

"Terima kasih untuk hari ini," ucap Andin tulus. "Aku senang, bisa menutup hariku yang kacau siang tadi dengan indah."

"Heem, sama-sama. Nanti malam aku whatsapp lagi ya."

"Oke," jawab Andin sambil menunjukan jempol tangan dan deretan giginya yang rapi.

Andin menunggu mobil yang ditumpangi laki-laki itu menghilang. Dengan senyum dan langkah ringan ia masuk ke dalam kamarnya. Andin berencana mandi, maskeran wajah lalu nonton film korea yang sudah menjadi to do listnya sejak dua minggu yang lalu. Besok Andin libur, dia memiliki kesempatan bangun siang setelah menonton film korea maraton malam ini.

Namun, bunyi pintu kamar Andin diketuk menahan keinginan Andin untuk beranjak ke kamar mandi. Hanya mengenakan celana kolor dan kaos pendek, serta handuk yang menggantung di pundaknya, Andin membuka pintu kamarnya.

Abaikan tentang keinginan Andin nonton film korea maraton, dan kalimat sebelumnya yang mengatakan Pramono menutup hari ini dengan indah. Karena sumber kekacauannya kini berdiri di depan pintu kamar kos Andin, masih memakai pakaian yang sama dengan saat terakhir mereka bertemu.

"Mas Aby ngapain ke sini?"

"Mau ngomong."

"Kenapa harus malam-malam?"

"Mas sudah menawarkan untuk pulang bareng tadi sore ... tapi, kamu nolak." Ada jeda di tengah kalimat Abyasa, dia sempat memejamkan matanya sebelum melanjutkan kalimatnya. "Kita ngomong di luar. Makan, atau mau ke mana?"

"Andin nggak bisa."

"Di mobil saja kalau gitu."

"Andin nggak mau."

Helaan nafas terdengar kasar, cukup menciutkan nyali Andin untuk kembali melawan.

Dada Abyasa membusung, laki-laki itu sedang berusaha memasukan banyak oksigen ke sana. Matanya menatap Andin tajam dengan rahang yang mengatup keras. Andin sadar, dia sudah membuat Abyasa kembali marah. Tapi, bukankah seharusnya di sini, Andinlah yang berhak marah? Aby sudah menciumnya, memberi harapan, lalu mengabaikannya begitu saja.

"Mas butuh ngomong sama Andin. Tapi tidak di luar kos seperti ini, Mas butuh tempat yang lebih ... privat." Abyasa menjelaskan panjang.

"Andin nggak bisa, ini sudah malam danβ€”."

"Oke, kita ngomong di dalam saja," putus Abyasa.

Eh?

Tanpa permisi, Abyasa melepas kaos kaki dan sepatunya lalu masuk ke dalam kamar kos Andin.

"Mas, nggak bisa begini. Ini kamar perempuan danβ€”."

"Kita ngomong, sekarang dan di sini!" tegas Abyasa penuh penekanan. Laki-laki itu mendudukan tubuhnya di karpet, karena memang tidak ada kursi di kamar Andin. Di ruangan ini semuanya serba lesehan, tidur pun tak pakai ranjang.

"Ndin, duduk," titah Abyasa tegas.

"Nggak mau."

"Duduk, atau Mas bisa membuatmu duduk dengan paksaan," ancam Abyasa dengan wajah menjanjikan hal yang sama.

Lalu, Andin harus bagaimana?

"Duduk dan tutup pintunya."

BAB 28 - Keposesifan Abyasa.

Siang hari di sebuah warung sate pinggir jalan. Andin dan Pramono sedang menikmati sate kambing kesukaan mereka berdua. Dulu, saat Pramono baru saja mendapatkan gaji dari kerja Freelance-nya, ia sering mentraktir Andin dan Lita makan di tempat ini. Harganya pas dan rasanya tak kalah dengan restaurant berbintang lima. Jaraknya yang dekat dan searah dengan jalan pulang ke rumah Lita menjadi salah satu point utama tempat ini menjadi pilihan ketiganya. Seandainya ada Lita, pasti sore ini akan terasa lebih seru.

"Aku suka bingung, bagaimana bisa manusia betah jualan sampai bertahun-tahun, melakukan hal yang sama terus menerus," tanya Andin penasaran, sambil memasukan satu daging sate ke mulutnya. "Dan anehnya, rasanya nggak pernah berubah sama sekali."

"Karena sudah kewajiban dan menjadi kebiasaan. Mungkin orang lain bertanya, bagaimana bisa kita setiap hari kerjaannya menghitung resep obat yang rumit, dan beresiko besar."

"Gitu ya?" Andin celingukan, lalu Pram mendekatkan kecap yang dihadiahi Andin senyum yang lebar. "Terima kasih, perhatian banget syiih kamu Praamono," ucap Andin dilebih-lebihkan. Ia menuangkan kecap di satenya lalu kembali memamah biak eh maksudnya mengunyah makanannya.

Mereka kembali meneruskan makan hingga tak bersisa. Kata Ibu, kalau makan jangan bersisa, karena itu salah satu wujud syukur kepada Tuhan.

"Duh gerah banget kalau habis makan ya?" ucap Andin sambil mengibaskan tangan.

"Mau langsung pulang?" tawar Pramono. Dia melihat suasana siang ini yang memang sedang panas-panasnya. "Kalau panas seperti ini biasanya sebentar lagi hujan."

Andin mengangguk mengiyakan. "Bentar lagi deh, biar turun nasinya."

Obrolan mereka berdua diinterupsi suara ponsel Andin yang berdering. Ada nama Lita di sana, dan ia beruntung karena wanita itu hanya melakukan panggilan suara.

"Aku terima telepon Lita dulu ya?" Andin meminta izin, dan Pramono mempersilahkan. "Hallooo, Taa."

"Ndiiin, lo sumpah kaya orang penting dicariin susah bangeeet."

"Apa'an sih?"

"Gue telepon dari tadi pagi nggak nyambung-nyambung! Kesel guee." Desahan nafas kesal terdengar, wanita itu memang suka sekali melebih-lebihkan perasaan. "Gue mau ngomong."

"Silaaahkan, Ndoro."

"Sabtu malam ada undangan makan malam acara ulang tahun Mama, lo katanya dikirim pesan nggak dibales. Macam artis aja kao sibuknya."

Andin memang sengaja mengabaikan undangan Tante Zeti, bingung mau menjawab apa. Ulang tahun Tante Zeti diadakan di sebuah hotel berbintang lima, dengan semua tamu undangan kebanyakan adalah relasi Pak Artawan dan teman-teman Tante Zeti, tak menutupi kemungkinan termasuk Tante Zaskia β€”Mama Pramesti. Andin belum merasa mampu berada di ruangan yang ada mereka di dalamnya. Bagaimana kalau Abyasa memilih kembali mengabaikannya? Dan berakhir dengan Andin yang kesakitan seorang diri.

"Ndin, woooyyy!" teriak Lita menarik lamunan Andin. "Lo dengerin gue nggak sih?"

"Denger, dengeer. Iyaa, gue usahain dateng." Sebenarnya dia bisa saja beralasan masuk jaga shift, tapi sialnya wanita itu terlalu cerdas untuk dibohongi.

"Oke, tengkyu. Gue laporan nanti sama Mama. Lo lagiβ€”."

Panggilan itu terputus. Andin memperlihatkan kondisi ponselnya yang mati ke arah Pramono. "Bateraiku habis."

Pramono bisa menemukan wajah yang tidak baik-baik saja sesaat setelah Andin menerima panggilan Lita. "Kenapa lagi?" tanya laki-laki itu. Mereka masih duduk di warung sate, sengaja memberi jeda kerja lambung sebelum kembali pulang.

"Mama Lita ulang tahun, gue diundang." Wajah Andin terlihat terpaksa, menatap jauh ke arah jalan.

"Yaa nggak apa-apa, kan? Kamu pernah tinggal di rumahnya, kamu sudah menjadi bagian keluarga Bramantya. Wajar Ndin, kalau diundang."

Jawaban Pramono tak sedikitpun memberikan ketenangan, karena yang Andin takutkan bukanlah undangannya, melainkan siapa saja yang nantinya akan ia temui di saat pesta.

"Bukannya malah seneng ya? Kamu bisa ketemu sama abangnya Lita," goda Pramono sarkas. Ia mengatakan kalimat itu dengan tersenyum jenaka, sedangkan hatinya berdesir ngilu tak karuan.

"Sebenarnya ... ada yang mau aku sampaikan ke kamu, Pram," ucap Andin lirih. Ia mendekatkan es teh-nya yang masih tersisa, lalu menyeruput sedikit untuk membasahi tenggorokannya yang kering. "Ada yang belum aku ceritakan ke kamu, ke Lita juga."

Warung sate ramai dengan pengunjung, namun kalimat Andin mampu memusatkan pendengaran Pramono hanya untuk mendengar kalimat Andin. Laki-laki itu memperbaiki letak kacamatanya, menatap Andin menunggu kalimat selanjutnya dari wanita itu.

"Selama ini ... aku sempat dekat sama Mas Aby. Yaa ... kita dekat, tapi ada masalah dan ... jujur saja, aku sedang tidak memiliki hubungan yang baik sama laki-laki itu."

Pramono mendengar dengan seksama, sesekali menelan ludahnya kesulitan. Kabar ini cukup mengejutkan, setelah lebih dari lima tahun wanita itu menunggu, perasaan Andin kemungkinan besar sudah terbalas. Berbeda dengan dirinya yang sedang berdiri diujung tanduk. Dia yang nantinya mungkin akan terjatuh seorang diri.

"Pacaran?" tanya Pramono memastikan. Kedekatan itu memiliki banyak makna, bisa saja ada ikatan atau tidak sama sekali. Pramono berharap, Andin dan laki-laki itu ada di option kedua.

Gelengan Andin memberikan udara segar di sekitar Pramono. Hatinya masih bisa diselamatkan. Namun, kalimat Andin selanjutnya membuyarkan semua angan untuk memiliki wanita itu.

"Tapi ... dia kembali menawarkan sebuah hubungan."

Apakah dia harus belajar mengikhlaskan perasaannya? "Lalu?"

"Sorry, Pram. Aku nggak bermaksud nyakitin kamu. Tapi ... aku bahkan masih bingung sama perasaanku sendiri," jelas Andin ragu-ragu. Ia ingin melindungi Pramono dari rasa sakit yang sama. Harapan yang ada, suatu saat bisa merampas rasa bahagia yang sempat tercipta. Andin menyayangi Pramono, tak ingin laki-laki itu tersakiti, terlebih jika dia yang menjadi alasannya.

"Lo mau nerima abang Lita?" tanya Pramono setelah jeda yang cukup lama.

Andin mengatupkan bibirnya rapat, sambil mengedikan kedua bahunya.

"Did he hurt you?" tanya Pramono lagi.

Bibir Andin bergetar, menahan sesak yang tiba-tiba datang mengingat pengabaian Abyasa kepadanya. "Sangat," jawabnya lirih.

Tarikan tangan Pramono tanpa penolakan, mendekatkan tubuh Andin yang sedang menahan rasa seorang diri. "Semuanya akan baik-baik saja, Ndin. Suatu saat kamu pasti mendapatkan kebahagiaanmu," bisik Pramono menenangkan.

***

Mobil Pramono mengantarkan Andin tepat di jam sembilan malam. Setelah sempat meluapkan rasa yang biasanya ia simpan sendiri, Andin merasa lebih lega. Pramono dan Lita adalah dua sahabatnya berbagi. Jika Andin belum bisa berbagi masalahnya dengan Lita, dia masih memiliki Pramono yang selalu siap mendengar keluh kesahnya. Meskipun mungkin saja hal ini menyakiti Pramono, tetapi setidaknya Andin mencoba jujur dengan perasaannya sendiri.

Hal pertama yang Andin lakukan saat menginjakan kakinya di kamar adalah mengisi daya ponselnya. Pagi tadi, kos-nya mati lampu, dan berakhir dengan ponselnya yang mati dua jam kemudian. Setelahnya, ia membersihkan tubuhnya dan bersiap tidur.

Bunyi notifikasi pesan masuk menarik perhatian Andin dari bantalnya yang empuk. Ia memposisikan tubuhnya setengah duduk, lalu mulai membaca lima belas pesan masuk yang sepuluh diantaranya dari nomor Abyasa.

Mas Aby ;
Pukul 14.00
Sudah makan?

Pukul 15.00
Ping!
Ping!
Ping!

Pukul 18.35
Kamu lagi di mana?

Pukul 19.17
Ndin???? Kemana kamu?

Pukul 20.21
Ini sudah terlalu malam dan nomormu tidak aktif terlalu lama!

Pukul 20.39
Ping!!
Ping!!

Pukul 20.54
Kalau sudah sampai kos langsung telepon aku!

 

Baru saja Andin hendak membalas, panggilan video masuk dari nomor yang sama tertera di layar. Andin berniat mencari kapas untuk menutupi kedua telinganya, tapi urung karena laki-laki itu pasti sadar dengan apa yang ia lakukan. Mengucapkan beberapa kalimat menenangkan, akhirnya Andin memutuskan untuk tetap menggeser icon warna hijau dan menerima panggilan itu.

"Dari mana saja?!"

Kalimat pembuka yang sudah terdengar menyebalkan. Laki-laki itu duduk di meja dengan laptop yang terlihat di sebagian layar.

"Mas menghubungi kamu sudah lebih dari tujuh jam, dan kamu masih belum ada kabar? Kemana?"  tanyanya sekali lagi tanpa mengalihkan perhatiannya dari laptop.

"Ponsel Andin mati." Hanya tiga kata, namun Abyasa menjawab berkali lipat.

Abyasa menutup laptopnya dan mengalihkan perhatiannya ke arah Andin. "Ponsel kok sampai mati? Kalau kamu nggak aktifin ponselmu, kalau ada apa-apa di jalan bagaimana? Orang kalau mau pergi ya disiapin ponselnya. Mas khawatir! Lagipula kamu itu pergi kemana? Kamu belum jawab pertanyaan Mas lho, Ndin." Ada nada jengkel yang coba laki-laki itu tekan, hingga bernafas kasar berulang kali. "Kemana?" tanyanya sekali lagi ketika Andin tak kunjung menjawab pertanyaanmu.

"Pergi ke toko buku, ngemall, makan, terus pulang."

"Sama siapa?"

Oke, seharusnya Andin tak mengurungkan niatnya menyumpal telinga dengan kapas. Karena setelah ini, Andin yakin Abyasa akan semakin berbicara panjang lebar.

"Sama ... Pramono." Andin tak pandai berbohong, dan dia menyesali ketidakpandaiannya kali ini saat melihat wajah Abyasa yang mengatup keras.

Mari ucapkan selamat tinggal untuk tidunya yang nyenyak malam ini, karena kemungkinan besar Abyasa akan mengoceh lebih lama.

BAB 29 - Ulang tahun Tante Zeti.

Mas Aby :
Nanti malam datang ke acara ulang tahun Mama?

Pesan Abyasa yang sudah beberapa jam lalu Andin abaikan. Dia masih bingung, mencoba merangkai alasan yang cukup mumpuni dijadikan sebagai penolakan undangan. Misalnya : diare, sakit perut, atau mungkin flu? Tapi sayangnya, Andin tipikal manusia yang tak pandai berbohong. Kecemasannya begitu mudah ditebak, dan berakhir dengan dia yang pasti akan mendapatkan hujatan dari teman-temannya.

Mas Aby :
Ndin.

Baiklah, Andin berfikir akan menjadi bumerang ketika dia memilih mengabaikan pesan Abyasa. Andin meletakan sendok makannya, lalu membalas singkat pesan laki-laki itu.

Me :
Belum tahu.

Mas Aby :
Mau dijemput?

Tentu saja itu bukan pilihan yang bijak, di sana ada Tante Zeti, Pak Artawan dan Lita. Andin belum siap jika hubungannya dengan Abyasa yang masih abu-abu diketahui orang terdekat.

Me :
Nggak usah.

Pesan Andin tak berbalas, ia melihat jam pukul satu siang, Andin berfikir pasti Abyasa sudah kembali disibukan dengan pekerjaannya. Ia lalu melanjutkan makan siangnya yang sudah setengah jalan, dan kembali menjadi budak corporate yang sudah menjadi takdirnya.

Pukul tiga sore, shift pagi-nya selesai. Andin sudah mengganti seragamnya dengan celana jeans dan kaos oblong. Ia sedang memesan ojek online untuk pulang, sebelum suara Lita yang cempreng mengusik pendengarannya.

"Andiiiiin, gue jempuuuut." Suara itu tinggi dan ... sama sekali tidak nyaman didengar. Lita datang tergopoh, berlarian mendekat ke arah Andin hingga beberapa orang sempat melihat ke arahnya. Andin hanya mengulas senyum singkat untuk beberapa karyawan yang mengenalnya. Lita sendiri tidak terlalu dikenal di rumah sakit ini sebagai anak dokter Artawan, karena Nurlita jarang menyambangi perusahaan penyumbang uang terbesar di kantongnya.

"Kita ke salon," paksanya. Satu tangannya menarik tangan Andin untuk berjalan mengikutinya.

"Taa, tunggu deh. Gue lagi sakit perut, nggak bisa dateng nanti." Satu alasan yang ia jadikan pilihan setelah sebelumnya hanya berseliweran di otak. Bahkan demi meyakinkan rasa sakitnya, Andin memegangi perutnya yang normal-normal saja.

Nurlita mengatupkan bibirnya, lalu tersenyum miring tanpa beban. "Serius, lo nggak akan pernah bisa bohong sama gue."

Akhirnya, Andin hanya menurut ketika tangannya kembali ditarik Nurlita Bramantya. Entah dia yang penurut, atau keluarga Bramantya yang memang memiliki tipikal manusia pemaksa.

Andin tetap berakhir di salon, dengan gaun off shoulder berwarna peach yang dipilihkan wanita itu. Rambut Andin yang biasa tergerai, kali ini disanggul rapi. Ada hiasan bunga cantik yang melingkar disanggulnya melengkapi penampilannya malam ini.

"Ndin, lo beneran cantik," puji Nurlita. Biasa tampil dengan make up minimalis, saat penampilannya dipegang tangan dingin, Andin terlihat berbeda. "Sumpah, gue pangling sama lo."

Andin sudah pernah bilang kan? Kalau Lita adalah sosok yang lebay. Dan malam ini, wanita itu kembali menegaskannya.

"Gue biasa aja, make up nggak akan serta merta merubah gue jadi Song Hye-kyo," jawab Andin sambil memutar bola matanya malas.

Ia menatap pantulan dirinya sendiri di cermin. Meskipun menolak pujian Lita, tapi Andin mengakui, salon pilihan Lita malam ini benar-benar merubah penampilannya.

"Dih, gue jujur. Lo cantik, gue yakin kalau semua cowok pasti melirik ke arah lo," ucap Lita meyakinkan. "Tapi inget, jangan melihat ke arah Mas Aby karena sudah ada Pramesti di sana."

Mendengar nama itu kembali disebut, Andin memejamkan matanya mengusir lelah. Hatinya yang lelah, bukan fisiknya. Andin sudah menduga, wanita itu akan ada di sana. Itulah sebabnya Aby bertanya tentang kedatangannya di pesta Tante Zeti.

"Ndin, udah siap?"

Tidak akan pernah ada kata siap untuk malam ini.

Andin tak memberikan jawaban, dan seperti biasa Lita selalu menyimpulkan jawabannya sendiri. Tangannya menggandeng tangan Andin untuk keluar salon, lalu berjalan masuk ke mobil yang sudah menjemput mereka berdua.

"Udah pada di hotel, Pak?" tanya Lita ke Pak Tejo β€”sopir yang sekaligus merangkap sebagai satpam keluarga Bramantya.

"Sudah, Non. Sudah di hotel semua."

"Oke, kita langsung ke sana aja."

"Siap, Tuan Puteri."

Sepanjang jalan, Andin melafalkan berbagai macam doa. Berharap dia tidak melakukan hal konyol yang berakhir dengan dia yang mempermalukan dirinya sendiri.

"Kenapa sih, diam bae? Sariawan?"

"Lagi puasa ngomong, siapa tahu ntar gue di sana mau nyumbang lagu kandas," jawab Andin asal. Ia mengambil ponsel dan memilih bermain dengan sosial medianya, mencoba mengalihkan rasa takut yang semakin dekat semakin terasa hebat. Lima belas menit perjalanan mereka sampai di hotel yang dituju. Hotel berbintang lima yang rooftopnya disewa selama semalam oleh keluarga Bramantya.

Hal yang pertama kali Andin simpulkan saat menginjakan kaki di tempat ini adalah, mewah dan ... privat. Tidak banyak tamu undangan yang hadir, tak sebanding dengan banyaknya makanan yang tersaji. Andin menemukan beberapa orang direksi dan keluarganya yang cukup Andin kenal, lalu matanya menemukan sosok yang menjadi alasan utamanya ingin menghindar. Abyasa Bramantya, berdiri dengan tampan dan menawan dalam balutan jas mewah yang menegaskan kedudukannya. Laki-laki itu sedang berbincang dengan para dewan direksi rumah sakit, didampingi Pramesti yang berdiri di sampingnya.

Sungguh pasangan sempurna.

"Ndin, itu Mama." Tarikan tangan Nurlita membawanya mendekat ke arah Tante Zeti.

Andin sempat kehilangan fokus sebelum suara Tante Zeti menariknya kembali ke dunia nyata. "Andiiin ... akhirnya dateng juga. Andin, di-whatsapp nggak dibales ya?"

"Maaf, Tan. Andin kemarin sedang kerja, sampai kos lupa balesnya."

"Nggak apa-apa, yang penting sekarang Andin bisa dateng. Makan yang banyak ya, Sayang."

"Oh ya, Tan. Selamat ulang tahun, semoga panjang umur, bahagia, sehat selalu." Andin menyodorkan satu kantong kertas berwarna orange berlabel cukup ternama. Dia harus merogoh sakunya sedikit lebih dalam untuk membelikan Tante Zeti hadiah. Tidak mungkin kan? Andin membelikan barang murahan. Tapi Andin ikhlas, karena dia pun sangat menyayangi Tante Zeti. Yang jelas, ingatkan Andin untuk tidak boros tiga bulan ke depan.

"Mmmm, terima kasih, Sayaang." Tante Zeti mencium pipi Andin setelah menerima kado dari wanita itu. "Eh, Lita. Ketemu sama Prof. Kamto dulu, yuk. Beliau orang terpandang di lembaga penelitian, siapa tahu kamu mau masuk jadi dokter peneliti."

"Tapi Andin ..."

"Bentaran doang, kok. Nggak apa-apa kan, Ndin? Sebentaaaar aja."

"Nggak apa-apa, Tan," jawab Andin mempersilahkan. "Lo pergi dulu, gue makan," tambahnya agar Lita tak merasa bersalah.

Mungkin karena seperti sudah bermagnet, Andin kembali menatap ke arah Abyasa yang masih di posisi yang sama. Bedanya, kali ini mata Pramesti bertemu dengannya. Wanita itu tak memberikan senyum seperti yang biasanya ia tunjukan, dan dengan beraninya, tangan Pramesti melingkar di tangan Abyasa tanpa penolakan.

Seandainya bisa, Andin akan mendekat ke arah mereka berdua dan melepaskan tangan Pramesti dari laki-lakinya. Dia akan menarik Abyasa dan mengklaim bahwa laki-laki itu adalah miliknya! Tapi semua itu hanya ada di dalam otak Andin yang amatir. Pada akhirnya, wanita itu memilih pergi menghindar. Berjalan ke arah balkon yang sepi. Setidaknya dia bisa menyendiri di tempat ini, karena di tengah acara pun tak ada yang ia kenal.

Andin berdiri di balkon rooftop yang menampilkan pemandangan pusat kota Jakarta dari lantai sepuluh. Memperhatikan lampu kelap-kelip yang ramai. Lama ia menyendiri di sana, menunggu Lita mencarinya baru ia akan kembali ke acara. Hingga detik di mana Andin merasakan keberadaannya tak hanya sendiri di tempat ini. Seseorang dengan aroma parfum woody yang lembut kini berdiri di balik tubuhnya.

Tangan itu dengan berani melingkari tubuh Andin seakan miliknya, mengikis jarak dengan semakin menempelkan tubuhnya dari arah belakang.

"Mas takut kamu kedinginan." Suara bariton itu menyapa indera pendengaran Andin yang primitif. Suara yang sangat ia rindukan kini berada begitu dekat di belakang telinganya. Abyasa meletakan dagunya di bahu Andin yang telanjang, menyapa bulu-bulu halus-nya di sana.

"Mas, ih ... awas! Nggak usah peluk-peluk!"

Semakin Andin menolak, Abyasa semakin mengeratkan pelukannya. Ia bahkan berani memberikan kecupan-kecupan ringan di bahu Andin yang terbuka.

Abyasa kembali mengusap lembut bibirnya di tempat yang sama. "Mas nggak suka ini."

"Kalau nggak suka ya nggak usah cium-cium, munduran ih!"

"Nggak suka kalau diperlihatkan, Mas mau ini hanya untuk aku." Suaranya serak, meremangkan tubuh Andin yang sensitif dengan setiap sentuhan Abyasa.

Wanita itu bergerak gelisah saat Aby tak kunjung memudarkan pelukannya. "Mas awas, kalau Lita nyusul ke sini nanti tahu."

"Nggak apa-apa, kan? Sekalian nanti dinikahkan." Jawaban Abyasa yang begitu mudah keluar dari bibirnya yang dulu sering mengucapkan kalimat pedas.

"Nggak mau, nanti Mbak Pramesti nyari-nyari, peluk-peluk. Nggak! Nggak akan ada istri yang mau suaminya dipeluk-peluk wanita lain tapi diem aja!" Andin mengoceh banyak, seakan meluapkan isi hatinya tanpa kontrol.

"Ooh, jadi ... ada yang cemburu?" tanya Abyasa menggoda. Ia menjauhkan kepalanya untuk menelisik ke wajah wanita itu. Suasana yang remang -remang menyulitkan Abyasa menebak raut wajah Andin saat ini.

"Dih, ogaaah! Kalau memang mau sama Mbak Pramesti ya silahkan. Andin nggak akan nahan Mas Aby. Monggo ... silahkan ... with a pleasure."

Abyasa justru tertawa mendengar omelan Andin yang absurd, dan semakin menguatkan pelukannya di tubuh wanita itu. "Katakan kamu merindukanku, Ndin," bisik Abyasa tepat di telinga Andin.

"Nggak!"

"Kamu masih marah?"

"Nggak!" jawab Andin cepat. "Sana ih, ditunggu Mbak Pramesti lho." Tangan Andin yang mungil mencoba mengurai pelukan Abyasa, tapi sulit. Laki-laki itu saling menautkan kedua tangannya.

"Mas rindu sama Andin."

Senyum Abyasa semakin lebar, saat mendapati wanitanya yang melotot sempurna tak terima! Ah, inikah yang dinamakan cinta?

"Eh, by the way, Mas mau ngasih lihat kamu sesuatu." Aby mengurai pelukannya, melepaskan satu tangan dan menunjukan ke arah Andin.

Benda yang bisa Andin kenali adalah pemberiannya, melingkar di tangan kiri Aby. Jam tangan yang dulu sempat ia temukan di bawah ranjang, kini digunakan sebagai mana fungsinya.

"Jelek," ucap Andin saat merasakan ngilu di hatinya mengingat pengabaian Abyasa dulu. "Nggak bagus, murah juga harganya." Benda itu dibeli saat Andin masih mahasiswa, dia harus menabung lama untuk membelikan sebuah barang yang harganya tak lebih mahal dari celana dalam laki-laki itu.

"Bagus ya, bahkan ada namaku di baliknya," jawab Abyasa tak mau kalah. "Terima kasih ya, Sayang." Abyasa kembali mendaratkan ciuman singkat di pipi Andin. "Tapi seharusnya namanya dulu dibuat nama Andin, biar Mas selalu bisa inget Andin kalau pas pakai jam tangan ini."

"Oh, jadi ingetnya cuma pas pakai jam tangan doang?"

Salah lagi. Batin Abyasa.

Dia sudah merangkai kalimat ini untuk menarik hati Andin kembali, tetapi karena minimnya pengalaman, atau karena memang sifat wanita yang memang seperti ini?

"Inget terus, tapi kalau pakai jam tangan kan jadi keinget-inget terus." Sudahlaaah, Abyasa tak paham bagaimana cara ngeles, jawabannya pun terdengar sangat tidak bermutu.

Satu pesan dari Lita membantu Abyasa keluar dari situasi mencengkam. Wanita itu menanyakan Andin ada di mana, karena acara makan malam akan segera dimulai.

"Kita masuk bersama," putus Abyasa. Menarik tangan Andin untuk membawanya ke tengah acara. Namun, tarikan tangan itu tertahan. Andin menolak, membuat satu alis Aby terangkat menuntut penjelasan.

"Mas masuk aja dulu. Nanti Andin nyusul."

"Ndin ... Mas mau menunjukan hubungan kita ke keluarga. Ada Pramesti juga di sana, biar semuanya jelas." Abyasa jujur, dia tidak suka memperlama ketidakjelasan hubungannya dengan Andin.

"Andin belum siap."

"Mau nunggu apa?"

"Nggak tahu, pokoknya Andin belum siap."

Helaan nafas kembali terdengar pasrah. Abyasa berfikir, apa mungkin ia yang terlalu terburu-buru? "Baiklah, Mas masuk dulu," putusnya kemudian, tak ingin terlalu memaksa Andin. Ia mencuri ciuman singkat di bibir Andin, tersenyum lega saat tidak mendapatkan penolakan wanita itu lagi.

"Akhirnya ... Mas kangen banget sama ini." Jempol tangan Aby mengusap bibir Andin pelan. "Nanti lanjut lagi ya?"

"Ck ... masuk sana." Andin mendorong tubuh Abyasa untuk masuk terlebih dahulu. Laki-laki itu sempat berhenti dibalik dinding pemisah ruangan dan rooftop. Mata itu mengerling menggoda, membuat Andin tersipu malu karena tingkah Abyasa.

Seperti inikah indahnya cintaaa! ❀️

BAB 30 - Layaknya sepasang kekasih.

Lima menit kemudian, Andin ikut masuk ke ruang acara. Makan malam kali ini diadakan di atap hotel tertinggi gedung. Ada dua bagian ruangan, satu ruangan tertutup dan satu rooftop terbuka. Saat Andin mendekat, semua orang sudah duduk di kursi dengan meja yang memanjang, termasuk laki-laki yang beberapa menit lalu bersamanya, dan Pramesti yang duduk di sampingnya.

"Ndin, duduk di sini," panggil Lita. Wanita itu menyediakan satu kursi di sampingnya yang berhadapan langsung dengan Abyasa dan Pramesti. Sial memang! Rasanya Andin ingin menghilang dari ruangan ini saja.

Seenak apapun makan malam kali ini terasa hambar, karena ada Pramesti di hadapannya yang selalu mencoba menarik perhatian Abyasa dengan cara yang memuakkan menurut Andin.

"Mas, Prames mau buah leci-nya dong. Prames ambil yaa."

"Mas, Prames minta tolong, ini alot dagingnya."

Dan berbagai macam kalimat yang terdengar menyebalkan. Abyasa hanya sesekali menjawab atau mempersilahkan, tanpa memberikan timbal balik yang sama. Andin tak pintar membohongi perasaan, tanpa sadar ia menautkan matanya tajam ke arah Abyasa, seakan ingin menguliti laki-laki itu dengan tatapannya. Sedangkan laki-laki itu hanya terlihat pasrah menerima takdirnya.

Getaran di ponsel menarik perhatian Andin, ia menemukan nama pengirim pesan adalah orang yang sama dengan laki-laki yang sedang berada di kawasan radarnya.

Mas Aby :
Nanti pulang Mas anter, ya? Bilang sama Lita pulang naik taksi, tunggu Mas di lobby.

Andin :
Oke.

Mas Aby :
😘

Andin pun ingin segera mengambil miliknya dari tangan Pramesti. Setelah makan malam selesai, Andin pamit pulang. Seperti skenario yang dibuat, Andin izin untuk pulang terlebih dahulu naik taksi. Abyasa pun mengatakan hal serupa, izin pulang terlebih dahulu beralasan ada operasi cito di rumah sakit.

"Mas Aby nanti dulu pulangnya, bisa?" tanya Pak Artawan. Pertanyaan itu mampu menghentikan pergerakan Andin dan Aby secara bersamaan. "Ada yang ingin Papa sampaikan, mumpung di sini ada keluarga Pramesti juga."

Mata Aby bingung, mencoba mencari-cari pembahasan apa yang nantinya ingin disampaikan papanya. "Pa, Aby harus pulang sekarang."

"Sebentar dulu, Mas. Sepuluh menit, ya?"

Andin tetap melanjutkan keinginannya pulang. Ia menemui Tante Zeti untuk berpamitan, lalu berjalan keluar ruangan meninggalkan keluarga Bramantya. Jika laki-laki itu tak bisa keluar, Andin memutuskan untuk tetap pulang naik taksi sesuai rencana, daripada menunggu sesuatu yang tak jelas seperti Abyasa.

Satu pesan Andin terima, dari Abyasa yang meminta Andin menunggu sepuluh menit lagi karena laki-laki itu tetap ingin mengantarnya pulang. Tapi hingga dua puluh menit ke depan, Andin masih menunggu dan Abyasa tak kunjung turun.

Me :
Andin pulang naik taksi aja, Mas. Nggak enak dilihatin karyawan hotel dari tadi.

Lima menit pesan itu tak berbalas, Andin memutuskan mencari taksi. Biasanya banyak taksi yang menunggu penumpang di depan hotel. Andin mengeram kesal, berjalan di pinggir trotoar dengan high heels sepuluh centi ternyata menyakitkan. Beberapa kali heelsnya salah tumpuan menyebabkan wanita itu hampir terjatuh.

Suara bunyi klakson mobil menghentikan langkahnya. Ia melihat ke arah sumber suara, sebuah mobil hitam yang sudah Andin kenali siapa pemiliknya. Mobil itu berhenti di pinggir trotoar, lalu laki-laki dengan raut wajah marah keluar dari dalamnya.

"Mas sudah bilang untuk nunggu," geram Abyasa sambil menarik tangan Andin masuk ke dalam. "Nggak bisa, ya? Dengerin kataku ... sekali saja."

"Sepuluh menit jadi dua puluh menit, tambah lima menit. Nunggu yang nggak pasti itu melelahkan," jawan Andin tak mau disalahkan.

Abyasa membukakan pintu untuk Andin, sedikit menarik tubuh wanita itu untuk segera masuk ke dalam. "Capek kan jalan kaki?" tanya Abyasa sesaat setelah masuk ke dalam mobil, dan menemukan Andin yang sedang memijit kakinya sendiri. "Mau dibantu mijitin?"

Dasar laki-laki! Andin menolak. "Bukan muhrim!" jawabnya ketus. Meskipun hatinya sudah setengah luluh, tapi Andin tidak akan semudah itu berubah menjadi jinak atau Aby akan kembali seenaknya sendiri.

"Yaa situ sendiri kan yang dihalalin nggak mau?"

"Mas Aby kelamaan jadi BOTULA sih."

"Apa itu?" tanya Abyasa dengan raut wajah serius. Dia sama sekali tidak pernah mendengar kata itu selama tinggal di Indonesia, di umur hampir tiga puluh tahun.

"Bocah Tua Labil."

Laki-laki itu tertawa lebar, yang sialnya justru semakin membuatnya tambah menawan. Abyasa membawa mobilnya berjalan, membelah jalanan kota Jakarta yang semakin malam semakain ramai. Satu tangan laki-laki itu ada di kemudi, sedangkan satu tangan lainnya merambat menggenggam tangan Andin, lalu membawanya ke pangkuannya. "Mas nggak labil, cuma butuh waktu aja untuk menyadari rasa cinta."

Aelaaah, bujaaang!! Andin merasakan nafasnya yang kempas-kempis hanya dengan mendengar kalimat receh dari seorang laki-laki yang dulunya lebih banyak diam. Suara detak jantungnya bertalu-talu, terdengar jelas di dada. Tak kuat menahan senyum, Andin memilih mengalihkan perhatiannya ke arah jendela luar. Dia tidak mau terlihat gampangan hanya dengan rayuan.

"Kita nggak usah langsung pulang ya, Ndin?" Itu bukan sebuah tawaran, karena Abyasa langsung mengubah arah tujuan mobilnya.

Kekhawatiran muncul, Andin belum siap jika Aby membawanya ke tempat yang tidak seharusnya mereka datangi. "Eh, eh, Mas. Mau kemana? Kos Andin kan belok kanan."

"Kita mampir ke mana gitu ... sebentaaar aja."

"Ih, nggak mau, apa'an sih, Mas! Mentang-mentang Andin mau dicium bibir bukan berarti Andin mempersilahkan hal lainnya lhooo," rengek Andin tidak terima. Bahkan ia membawa kedua tangannya menutupi dada menegaskan penolakan.

Satu alis Abyasa ditarik ke atas, matanya menunjukan raut wajah bingung melihat tingkah wanitanya. "Memangnya kita mau ngapain?"

"Yaa nggak tahu, itu Mas Aby yang minta mampir-mampir sebentar." Aby yang punya niat kenapa Andin yang diminta berfikir? "Pokoknya Andin nggak mau ya kalauβ€”."

Satu tepokan ringan di jidat Andin membuatnya mengaduh. Wanita itu kembali berniat melayangkan protes sebelum kalimat Abyasa menginterupsinya.

"Mas cuma mau bawa Andin ke taman, kita ngobrol sebentar di sana karena Mas masih kangen. Sudah?" jelas Abyasa bernada jengkel. "Otaknya itu yaa, disapu biar nggak kotor."

Merasa malu karena sudah terlalu berfikir berlebihan, Andin hanya cengengesan. "Oooh," jawabnya malu-malu. "Kirain, hehe."

Mobil Abyasa berhenti di pinggir jalan, di taman dekat kos Andin. Banyak anak muda yang datang dari berbagai penjuru kota Jakarta. Ada yang sekedar duduk dan makan jajanan ringan, bermain skateboard, atau hanya sekedar bercanda gurau.

"Mas mau beli jajan nggak?" tanya Andin sambil mengedarkan pandangan ke sekitar taman. Matanya menatap awas ke setiap gerobak ataupun sepeda yang sedang dikerumuni manusia, mencoba mempertimbangkan abang-abang mana yang ingin ia sambangi. "Andin pengen ... gorengan aja deh, Mas."

"Ndin ..." panggil Abyasa dengan geraman.

"Apa?"

"Mas ke sini cuma mau duduk di dalam mobil sambil ngobrol. Bukan buat jajan," jelas Abyasa singkat, padat dan tidak bertele-tele. Dia menolak keinginan Andin.

"Tapi Andin pengeeen." Wajah permohonan wanita itu mulai menjadi kelemahannya. Abyasa akhirnya mengangguk menyetujui, bahkan ia menyerahkan dompetnya ketika Andin memintanya.

Lima belas menit waktu yang seharusnya mereka gunakan untuk quality time berdua seperti pasangan pada umumnya, terenggut hanya karena jajan yang Andin inginkan memiliki antrian cukup panjang.

"Terima kasih Mas Aby untuk traktirannya." Andin masuk membawa dua keresek dan satu air mineral botol tanpa rasa bersalah.

Beruntungnya Abyasa sudah mulai menyadari perasaannya. Dia tak marah, yang dia lakukan justru mengambil tissue untuk Andin dan membantunya membuka jajan.

"Tadi bahas apa pas aku udah turun dari hotel?" Pertanyaan Andin mengejutkan. Wanita itu sedang duduk menikmati jagung rebus sambil mengeluarkan pertanyaan yang sulit untuk Abyasa.

Abaikan gorengan yang tadi Andin sampaikan, karena ada sekitar tiga jenis makanan ringan yang wanita itu akhirnya beli.

"Bukan sesuatu yang harus kamu ikut pusingkan." Laki-laki itu menjawab, tangannya tetap melanjutkan aktivitas membuka botol air mineral untuk Andin.

"Oh, aku nggak boleh tahu?"

"Bukan begitu ... Mas cuma nggak mau kamu memusingkan masalah yang Mas merasa mampu untuk menghandlenya."

Lagu The scientist dari coldplay menemani malam mereka berdua. Musiknya yang mengalun indah dengan suara dan suasana yang melengkapi keromantisan.

Andin menarik kakinya ke kursi, meletakkan jajanannya di pangkuan. "Sepertinya Mbak Pramesti nggak suka sama aku ya, Mas?"

"Terus?"

"Iyaa kan ya, Mas?" Andin masih mencari tahu, menelisik ke wajah Abyasa yang terlihat lelah.

"Mas nggak peduli, jika ada orang lain yang tidak suka sama kita, selagi kita tidak merugikan mereka, itu artinya masalah ada di dirinya, bukan kita."

Andin tak kuasa menahan senyum, mendengar jawaban laki-laki yang kini sedang menatapnya bingung.

"Kenapa?" tanyanya.

"Kalau Mbak Pramesti marah sama aku, siapa yang Mas belain?"

Aby memberikan waktu untuk otaknya berfikir, waspada jika kalimat yang dilontarkan Andin hanya sebuah pertanyaan jebakan yang bisa memberikan alasan wanita itu untuk kembali menyalahkannya.

"Tentu saja ... aku membela kamu lah," jawabnya setelah berfikir cukup lama.

"Cieee ... kita sudah seperti layaknya sepasang kekasih ya, Mas?"

"Laah, bukannya memang kita kekasih?"

"Eh, gitu ya?"

BAB 31 - Another chaos.

"Taa, bagusan warna ini deh buat kulit lo."

"Kalau sama yang ini bagusan mana, Ndin?"

"Eh itu sepertinya lebih kalem."

Mereka berdua sedang berada di sebuah butik kawasan Jakarta Selatan. Nurlita meminta Andin menemaninya berbelanja kain untuk persiapan sumpah profesi. Setelah sempat mundur beberapa tahun, akhirnya Nurlita berhasil menyelesaikan studi kedokterannya.

Sebentar lagi dia resmi menjadi seorang general practitioner (dokter umum), dan menjadi pengangguran sama seperti dirinya dulu. Bedanya, Lita hanya akan menjadi pengangguran dalam waktu yang singkat, karena dia akan kembali mengambil gelar pascasarjana bidang penelitian di Jerman.

"Oke deh, Ndin. Gue ambil yang ini aja," jawab Lita mengambil kain berwarna coklat muda di tangan Andin. Setelah mengukur dan mendesain kebaya sesuai keinginannya, mereka berdua pulang dijemput Pramono yang sudah menunggu sejak sepuluh menit yang lalu.

"Nunggu lama lo, Pram? Maap yee," ujar Nurlita cengengesan. "Eh, Nyonya Pram duduk di depan aja dong. Masa gue yang di depan?"

"Nggak usah lebay deh lo, Taa. Duduk tinggal duduk aja." Bukan Andin, tapi Pramono yang menjawab ocehan Nurlita. Laki-laki itu mengambil beberapa barang bawaan kedua wanita rempong yang sudah lama menjadi sahabatnya, lalu meletakannya di belakang mobil.

Andin ikut menjulurkan lidahnya ke arah Lita lalu memilih duduk di kursi belakang.

"Mau langsung pulang ini?" tanya Pramono. "Atau mau makan dulu?"

"Makan dulu boleh deh, Pram. Laper guee," jawab Lita. Ini sudah hampir jam dua siang, dan terakhir kali ia memasukan makanan ke mulutnya adalah saat sarapan. Persiapan profesi dan studi memang cukup menyita perhatiannya. Dia terpaksa lembur, bahkan beberapa kali sempat lupa makan.

"Kalau nggak sempet makan itu sempet-sempetin ngemil."

Pramono jika sudah mulai mode bawelnya, terdengar menjengkelkan. Andin dan Lita adalah korban keposesifan Pramono sebagai sahabat. "Yaa belum beli cemilan, Pram. Nggak ada stok di rumah."

"Belum beli karena malas, kan? Kalau cuma masalah duit gue rasa nggak mungkin lo kekurangan."

Lita melihat ke arah Andin yang duduk di belakang meminta bantuan, tapi Andin hanya menjawab dengan anggukan, menyarankan Lita untuk mengiyakan saja semua omelan Pramono.

"Ooh, yaa iyaa deh, ntar beli jajan ya, Ndin. Biskuit, roti-roti gitu." Lita kembali memutar tubuhnya ke arah Andin.

"Okee siap, laksanakan! Andin siap diajak jajan."

Mereka bertiga berhenti di sebuah warung bakso dekat kampus, memilih menikmati bakso dan mie ayam sambil sesekali bercerita banyak hal. Setelah makan, Pramono memutuskan untuk langsung mengantar Andin dan Lita ke rumah keluarga Bramantya. Dia ada jam ngajar di sore hari.

"Makaasih, Praam," ucap Lita dan Andin bersamaan.

"Yoi, sama-sama."

Pramono pamit pulang setelah mengantar kedua tuan puterinya.

"Lo pulang maleman aja gimana, Ndin? Gue cuma sendiri di rumah," pinta Lita. Mereka berdua sudah ada di kamar Lita. Andin memilih menidurkan tubuhnya yang lelah di sofa. "Mandi gih, pakai baju rumahan gue."

"Heem," jawab Andin sambil memejamkan mata.

Rumah memang sepi. Jam menunjukan pukul tiga sore, Abyasa tentu masih belum pulang bekerja. "Tante sama Om kemana, Taa?"

"Ada acara kondangan di Bandung. Pulang nanti malam katanya, mau mampir ke mana gitu gue lupa," jawab Lita sambil memilah baju. Dia meletakan satu stel celana dan kaos doraemon di ranjang untuk Andin. "Gue mandi duluan, ya? Gerah."

Setelah wanita itu menghilang di balik pintu kamar mandi, Andin mengambil ponselnya. Ia ingin mengabari pacarnya (cie elah) bahwa dia sedang ada di rumahnya, tapi urung. Akan lebih menyenangkan kalau keberadaannya di rumah ini menjadi kejutan.

Setelah Lita mandi, Andin juga memutuskan mandi. Mereka lalu tertidur karena lelah. Cukup lama, keduanya terbangun saat senja menjelang.

"Cuma beli kain aja ternyata capek ya, Ndin." Lita bangun terlebih dahulu.

"Heeem, besok kalau kita nikah kaya-nya lebih capek yaa."

"Iyaa, gue nggak tahu deh besok nikahan Mas Aby gue ikut ribet apa nggak. Ogah, pokoknya kalau gue disuruh ikutan ribet." Lita mengucek mata, mengambil air mineral yang tadi mereka bawa saat jalan-jalan.

"Ya lo pasti ikut ribet kalau Mas Aby nikah, Taa." Karena Mas Aby nikahnya sama gue, dan lo sebagai sahabat pasti harus bantuin gue.

"Ogah, toh mereka pasti nikahnya di Semarang. Kalau pun ribet pasti ya di Semarang," ujar Nurlita.

Eh, eh, maksudnya apa?

"Ma-maksud lo apa, Taa?" tanya Andin ragu-ragu. Wanita itu menegakan tubuhnya, merasa awas dengan kalimat sahabatnya. Menikah? Dan Semarang? Dua kata yang menakutkan.

"Yaa, kan Pramesti rumahnya Semarang, Ndin," ucap Lita kesal karena Andin tak kunjung memahami kalimatnya. "Eh, lo belom tahu kan ya? Kemarin pas acara ulang tahun Mama, mereka bahas pernikahan Mas Aby dan Pramesti. Lo turun sih."

Satu hantaman kuat memukul telak di hati Andin. Otaknya beku, poros hidupnya seakan berhenti. Jadi, selama ini Abyasa sudah membicarakan pernikahan dengan Pramesti?

"Akhirnya setelah bertahun-tahun nunggu, Pramesti menerima cinta-nya Mas Aby. Gilaak memang abang gue kalau berjuang nggak tanggung-tanggung." Nurlita menyunggingkan senyum. "Kemarin dia diem bae sih, nggak tahu tuh kaya nggak antusias gitu. Tapi yaa, nggak mungkin kan seorang Mas Aby nolak permintaan Papa? Seumur hidupnya, Mas Aby selalu nurut sama Papa."

Air mata Andin tak lagi bisa dicegah, menetes begitu saja karena sesak yang berkumpul di dada. Dia memilih memasukan barang-barangnya ke dalam tas dan berniat pulang. Dia tidak bisa ada di rumah ini, ini bukanlah tempatnya.

"Ndin, mau ke mana? Lho ... kok lo nangis sih? Ndin gue salah apa?" Lita menatap wajah Andin khawatir, sambil memikirkan letak kesalahan di kalimatnya sebelumnya. Dia memohon wanita itu untuk tidak pergi dalam keadaan kacau, tapi Andin menolak. "Ndin, please ih lo ngomong ke guee, apa salah gue?"

Andin tak menjawab pertanyaan sahabatnya, tetap berjalan ke luar rumah dengan Lita yang menyusul di belakangnya. Tapi sial justru masih bersemayam di hidupnya, laki-laki yang menjadi sumber kekacauannya kini ada di depan mata. Laki-laki itu terlihat lelah, masih dengan kemeja kerjanya. Abyasa berdiri di sekat pemisah antara ruang tamu dan ruang tengah. Laki-laki itu menatap Andin awas, lalu berpindah ke wanita yang berada di belakang tubuh kekasihnya.

"Ada apa?" tanya Abyasa tajam ke arah Andin dan wanita di belakangnya.

Baik Andin dan Lita tak ada yang menjawab. Andin memilih memutar tubuhnya keluar melalui pintu ruang tengah. Meskipun lelah, otak cerdas Aby masih bisa digunakan sebagai mana fungsinya. Dia sadar, sesuatu yang luar biasa terjadi, sesuatu yang selama ini ia sembunyikan dari kekasihnya.

Aby kembali keluar rumah, melihat Andin yang sudah berjalan terlebih dahulu mendekati pintu gerbang.

"Pak Tejoo, kunci gerbangnya! Tidak ada yang boleh keluar dari rumah ini tanpa persetujuan saya!" teriak Abyasa menggema. Meskipun terkejut, laki-laki tua itu tetap mengikuti perintah majikannya.

Andin memohon agar Pak Tejo membuka pintu gerbang, sambil melihat Abyasa yang berjalan dengan langkah lebar ke arahnya. "Pak tolong, Pak. Buka gerbangnya, Andin mau pulang. Please, please." Andin semakin memaksa Pak Tejo setelah melihat jarak Abyasa semakin dekat. "Paaak ..."

"Maaf, Non. Itu den Aby sepertinya marah. Bapak nggak berani melawan."

"Pak, tapiβ€”."

Tarikan tangan Abyasa memutar tubuh Andin menghadap ke arah laki-laki itu. Abyasa sudah berdiri dengan tatapan marah yang menakutkan semua lawan bicara. "Kalau ada masalah itu dibahas bersama, tidak dengan melarikan diri." Suara Aby tegas, dengan manik mata menusuk. "Masuk ke rumah."

"Nggak!" Andin memberanikan diri, meskipun gestur tubuhnya menunjukan hal yang berlawanan. "Andin nggak mau masuk! Andin mau pulang!"

"Ma-suk, Andin."

"Andin nggak mau!"

"Masuk ... atau Mas paksa kamu masuk dengan cara Mas sendiri," ancam Abyasa.

Andin tetap bergeming, menunjukan perlawanan. Pak Tejo dan Lita berada di sana menyaksikan pertengkaran yang tak mereka pahami.

Abyasa kembali menarik tangan Andin, sedangkan wanita itu kembali menunjukan perlawanan hingga terjadi tarik menarik diantara keduanya. "Oke, Mas anggap kamu melawan." Abyasa mendekat dan mengangkat tubuh Andin dengan mudah ke pundaknya seperti karung beras.

"Mas Aby! Turunin Andin, Andin mau pulang."

"Litaaa, tolong gue. Gue mau pulang!"

"Pak Tejooo."

Semua manusia di sana tak ada yang berani menolongnya, memilih tidak ikut campur saat melihat Abyasa yang berwajah murka. Laki-laki itu jarang marah, tetapi kalau sudah marah, semua orang di rumah ini tak ada yang berani menginterupsi.

BAB 32 - Sebuah keputusan.

Suara bunyi pintu terkunci semakin memaksa otak Andin bekerja berlebihan. Dia menatap horor ke arah pintu kamar Abyasa yang sudah sepenuhnya tertutup.

"Aww .." Andin merasakan pusing di kepalanya, setelah Abyasa melemparkan tubuhnya dengan mudah ke ranjang. Dia sibuk menetralkan pusing, hingga tak melihat Abyasa yang kini sudah berada di atas tubuhnya, membatasi pergerakan.

Kedua tangan laki-laki itu ia mengunci kedua tangan Andin di kedua sisi tubuh, menatap tajam ke arah wanita yang kini berada di bawahnya pasrah. "Bisa nggak? Nanya dulu, dengerin penjelasan dulu? Tidak harus langsung pergi menghindari masalah?" geram Abyasa ditengah nafasnya yang tersengal.

"Kalau memang niat menjelaskan nggak perlu ada yang ditutup-tutupi!" jawab Andin tak mau kalah. Dia tidak suka selalu berada di posisi yang tertindas. "Lepasin tangan Andin."

"Tidak ada yang menutup-nutupi."

"Mas nggak jujur sama Andin. Lebih baik Andin nikah sama laki-laki yang benar-benar mengharβ€” emmh." Abyasa menutup bibir Andin dengan tangan, merasa kesal mendengar kalimat Andin yang menyakiti hati.

"Mas ikat bener kamu di ranjang, Ndin," ancamnya marah.

Andin memberontak, mencoba melepaskan tangan Abyasa dari bibirnya. "Nggak mau! Andin mau pulang!"

"Kita ngomong pelan-pelan dulu. Mas jelaskan." Sekuat tenaga Abyasa berusaha menurunkan nada bicara. Menjadi laki-laki sabar seperti yang biasa laki-laki itu tunjukan.

"Andin nggak mau mendengar penjelasan dari laki-laki yang memang tidak berniat menjelaskan. Mas Aby pikir Andin bodoh?"

Astagaaa, dari mana Andin mendapatkan kesimpulan seperti itu? "Ndin," panggil Abyasa masih dengan nada yang sama. "Mas hanya nggak mau melibatkan kamu di dalam masalah ini, karena Mas merasa mampu mengatasi masalah ini sendiri."

"Tapi kalau nggak bisa teratasi bagaimana? Kalau Mas Aby tetap ..." Suara Andin tercekat, tangisnya kembali berdesakan ingin dikeluarkan membayangkan ia kembali ditinggalkan. "Bagaimana ... kalau Mas Aby tetap akan berakhir meninggalkan Andin?"

"Itu tidak akan pernah terjadi," desis Aby tepat di depan wajah Andin. Laki-laki itu menegakan tubuh, berdiri berkacak pinggang sambil menarik ujung rambutnya frustasi. "Kamu percaya sama aku?" tanyanya tajam, dengan tangan menunjuk ke arah dada. "Kamu nggak pernah percaya aku!" putus Abyasa sepihak.

Andin mendudukan tubuhnya, semakin ke ujung ranjang menghindari Abyasa. "Mas pernah nyakitin Andin! Mas pernah mengabaikan Andin."

"Bukankah aku sudah minta maaf? Apa lagi yang harus aku lakukan untuk membuatmu percaya?"

"Beri tahu semua tentang Mas Aby ke Andin! Jangan bohong lagi."

"Astagaa ... berapa kali Mas harus bilang ke kamu, Ndin? Mas nggak berniat bohong, Mas hanya merasa mampu mengatasi masalah ini sendiri. Mas nggak mau isi kepalamu itu kembali membuat asumsi sendiri yang tidak sepenuhnya benar." Nafas Abyasa tersengal hebat, menahan letupan amarah yang berusaha ia tekan demi hubungannya dengan Andin.

"Apa susahnya jujur kalau Mas Aby memang ingin menjalani hubungan sama Andin?"

"Apa susahnya menunjukan kedekatan kita di hadapan semua orang?" Abyasa mengembalikan pertanyaan Andin dengan pertanyaan lainnya. "Bahkan kamu tidak pernah mau menunjukan hubungan kita ke orang terdekat? Alasan apa yang bisa aku berikan ke Papa untuk menolak pernikahan dengan Pramesti?"

Andin terbungkam dengan deretan kalimat Abyasa yang lugas. Wanita itu tak lagi menjawab, hanya menunduk takut melihat kemarahan Abyasa yang sebelumnya tak pernah laki-laki itu tunjukan.

Abyasa mengambil ponsel dan meletakan di telinga. Dari gestur tubuh, Andin menebak laki-laki itu sedang menghubungi seseorang.

"Halo, Ma. Sudah sampai mana? ... heem ... ada yang ingin Mas sampaikan ... nanti saja kalau sudah sampai rumah ... ya, Ma. Hati-hati di jalan."

"Mas telepon siapa?"

"Mama. Kita akan memberitahukan hubungan kita malam ini juga. Mas akan menjelaskan semuanya di depan Mama dan Papa, di depan Lita. Baru setelahnya Mas ketemu sama Bapak dan Ibumu."

"Tapiβ€”."

"Tidak ada tapi-tapi, Mas sudah lelah sama hubungan yang nggak jelas seperti ini. Kamu mau serius sama aku?" tanya Abyasa menantang.

Andin mengangguk meskipun ragu. "Andin ... ikut saja sama keputusan Mas Aby." Ada ketakutan yang kentara, entah karena kemarahan Abyasa, atau karena keputusan Abyasa yang ingin menunjukan hubungan mereka berdua.

Bagaimana jika Tante Zeti dan Om Artawan tidak setuju? Bagaimana kalau mereka tetap ingin Abyasa menikah dengan Pramesti?

Abyasa menangkap kekhawatiran di mata Andin. "Mas sudah pernah bilang, jangan terlalu banyak memikirkan kerumitan yang hanya ada di dalam otak saja, Ndin. Kita hadapi bersama, oke?"

"I-iya, Mas."

Mendengar persetujuan Andin, Abyasa mendudukan tubuhnya di sofa. Ia menekuk kepala sambil memijit dahinya pelan. Rasanya pusing, dia sedang banyak pekerjaan, dituntut untuk segera menyelesaikan masalah pribadinya agar tak berlarut-larut. Dan sekarang dihadapkan dengan wanita yang ingin ia lindungi perasaannya justru tahu dengan cara yang salah.

Abyasa masih mengingat jelas, kalimat papanya yang mengejutkan pendengaran malam itu.

"Kalian sudah dekat dalam waktu yang lama, Om yakin Pramesti pun sudah benar-benar bisa menilai seberapa seriusnya perasaan Mas Aby untuk Pramesti. Mungkin di sini, Om ingin mewakili Mas Aby, melamar Pramesti sebagai istri Mas Aby, di depan kedua orangtua Pramesti."

Mata Abyasa terbelalak lebar, berniat menginterupsi sebelum tiba-tiba suara Pramesti memaksanya menelan kembali kalimatnya yang sudah di ujung lidah.

"Pramesti mau jadi istri Mas Aby."

Sontak semua tamu di sana bersorak riuh, ada Papa dan Mama Pramesti, keluarga terdekat Bramantya hingga jajaran direksi sebagai tamu ikut senang mendengar jawaban Pramesti. Apa yang akan Abyasa lakukan? Menolak keinginan papanya? Tidak membenarkan perasaannya di hadapan semua orang? Atau tidak menerima Pramesti sebagai istrinya di hadapan banyak orang? Semua itu tidak mungkin Abyasa lakukan. Dan yang terjadi selanjutnya, dia hanya diam hingga diperbolehkan keluar.

Sepulang mengantar Andin, Aby berusaha menghubungi Pramesti melalui telepon untuk menjelaskan semuanya.

"Mas nggak bisa, Dek," ucapnya melalui panggilan suara. Wanita itu sudah ada di kamar hotel, menginap semalam di Jakarta sebelum esok kembali ke Semarang bersama kedua orangtuanya.

"Kenapa Mas Aby tidak mencoba? Pramesti nggak mau kehilangan Mas Aby."

"Mas sudah menginginkan wanita lain untuk Mas jadikan istri, dan bukan kamu."

Abyasa membiarkan wanita itu menetralkan perasaan, memberi waktu. Dia tidak ingin kembali lagi menyakiti hati Andin, karena itu sama saja membuatnya kacau.

"Mas jahat."

Lebih baik Abyasa jujur, bukan? "Yes, i'am. Tiga hari lagi Mas ke Semarang untuk menjelaskan langsung ke Om dan Tante. Maafkan aku. Memang seperti itu yang Mas rasakan saat ini."

Semua rencananya berantakan, ia melupakan seorang wanita yang memiliki hubungan dekat dengan wanitanya, yang beresiko besar memberitahu hal yang terjadi dari sudut pandangnya. Abyasa sudah waspada dengan keberadaan adiknya di sekitar Andin, tapi dia tidak mungkin serta merta menjelaskan masalahnya kepada Lita sedangkan Andin tak menginginkan hubungan ini diketahui orang terdekat.

Abyasa mengeluarkan rokok dari laci kamar, kembali mendudukan tubuhnya di sofa. Dia membutuhkan nikotin untuk merangsang
produksi dopamin di otaknya. Aby membutuhkan ketenangan. Kepalanya pusing memikirkan masalah. Sekali lagi, ia memijit pangkal hidung dan sudut mata bagian dalamnya karena penat.

"Mas mau rokok?" tanya Andin tiba-tiba.

"Heem."

"Mas..." Andin sudah berdiri di hadapan Aby, dengan berani mengambil rokok yang terselip diantara bibirnya. Andin duduk bersimpuh dengan kedua tangan yang ia letakan di paha Aby. "Jangan merokok," ucapnya lagi. "Andin minta maaf."

Kenapa wanita itu tiba-tiba meminta maaf?

"Mas sakit?"

Andin mengkhawatirkannya? Atau lebih baik ia berpura-pura sakit terus saja biar wanita itu tak kembali melawan?

"Boleh Mas jelaskan apa yang sebenarnya terjadi?" Pertanyaan Aby lebih seperti sebuah permohonan.

Anggukan Andin menghangatkan kembali perasaannya. Laki-laki itu menggenggam tangan Andin lalu mengecupnya sekilas. "Kemarin Papa melamarkan Pramesti untuk Mas Aby di hadapan semua orang. Tidak ada yang salah dari inisiatif Papa, karena selama ini memang Mas dekatnya dengan Pramesti, dan Andin tidak pernah mau Mas kenalkan sebagai kekasih."

Andin mendengar, dan Aby cukup lega dengan hal itu. "Mas nggak mungkin menolak, atau mengatakan tidak menginginkan Pramesti di depan semua orang. Mas jaga perasaan Pramesti dan keluarganya. Apa Andin paham alasan keputusan yang Mas ambil?"

Sekali lagi Andin mengangguk setuju. "Tapi ... bukankah lebih baik Mas Aby jujur ke Andin?"

Abyasa menarik tubuh Andin semakin dekat, mendudukan tubuh wanita itu di pangkuannya. "Mungkin seharusnya begitu. Tapi Mas mohon pengertiannya, kita sama-sama amatir di dalam sebuah hubungan. Mas bingung, Mas terbiasa menyelesaikan semua masalah sendirian." Tangan Aby bertengger manis di pinggang Andin, kembali menarik tubuh wanita itu untuk semakin mendekat ke tubuhnya. "Tapi, Mas janji akan belajar untuk lebih terbuka, dan Mas minta Andin untuk belajar tidak terlalu banyak menduga hal yang belum jelas kebenarannya. Bisa?"

Anggukan Andin melepaskan senyuman di bibir Abyasa yang sejak tadi mengatup cemas. "Kita sama-sama belajar, bukankah seperti itu sebuah hubungan bekerja, Ndin?"

"Iyaa."

Abyasa tak bisa menahan keinginannya, naluri laki-lakinya terpancing melihat bibir Andin yang manis berada di dekatnya. Seperti candu, Abyasa ketagihan. Tangan Abyasa menarik wajah Andin mendekat, menyatukan bibir keduanya tanpa penolakan. Abyasa memagut, melepas dahaga setelah masalah besar yang mereka hadapi. Bibir itu semakin menekan, saat merasakan balasan ragu dari kekasihnya. Lenguhan ringan Andin membuat Abyasa gila. Tangannya semakin berani masuk ke dalam kemeja yang Andin kenakan, merasakan kehangatan kulit punggung wanitanya.

"Mass ..." Andin menahan kedua tangannya di dada Aby saat merasakan gerakan laki-laki itu yang semakin tak terkendali. "Cukup."

Abyasa mendesah pelan, menidurkan tubuhnya di punggung sofa dengan tatapan nanar ke atas. Rasa yang bergejolak terlalu sulit untuk diredam. Dia ingin segera memiliki Andin di dalam sebuah ikatan yang sakral.

"Kenapa? Sakit?" tanya Andin saat melihat wajah Abyasa muram.

Gelengan Abyasa semakin membuat Andin bingung. Wanita itu membawa wajah kekasihnya untuk menatap matanya. "Kenapa?"

"Lebih baik Mas mandi air dingin dulu sebelum bertemu Papa dan Mama. Kamu tidak tahu, seberapa ingin Mas menarik dan menidurkanmu di ranjang."

Andin mendengus sebal. "Dasar gadun!"

BAB 33 - Fix All.

Di ruang tengah keluarga Bramantya, Andin duduk dengan Abyasa yang berada di sampingnya. Lita ada di seberang Andin sambil memeluk bantalan kursi. Andin yakin, ada begitu banyak pertanyaan di otak Lita, tapi Abyasa memintanya untuk tidak mengatakan apa-apa, karena dia yang akan menjelaskan semuanya nantinya.

Tante Zeti dan Pak Artawan sudah sampai di rumah, meminta waktu sepuluh menit untuk membersihkan diri sebelum menemui kedua anaknya.

"Mama sama Papa lama banget sih, Mas?" tanya Lita memecah sepi. Sedangkan kakaknya hanya menjawab dengan kedikan bahu.

Lima belas menit setelahnya, kedua orangtua itu turun. Tante Zeti sudah memakai daster rumahan, sedangkan Pak Artawan memakai setelan celana panjang dan kaos.

"Ada apa toh, kok sepertinya penting?" tanya Pak Artawan sambil mendudukan tubuhnya di sofa. Laki-laki itu duduk di sebelah Abyasa, dengan Tante Zeti yang menyusul di sampingnya.

Pak Artawan melihat ke arah Lita, anak gadisnya itu hanya menjawab dengan dagu yang diarahkan ke kakaknya.

"Ada yang mau Mas sampaikan, Pa," jawab Abyasa. Laki-laki itu mencari tangan Andin, sedikit memaksa ketika wanita itu menolak. Tapi seperti yang sudah Abyasa janjikan, dia ingin menegaskan semuanya, ia menggenggam erat tangan Andin dan meletakkan di pangkuan.

Andin hanya menunduk takut, tak berani mencari tahu respon ketiga manusia di ruangan ini. Sedangkan Pak Artawan mengangguk mempersilahkan.

"Selama ini, Mas Aby punya hubungan dengan Andin. Belum terlalu lama, tapi ... hubungan kami sudah serius."

"Hah?!" Lita yang pertama kali merespon, membuka mulutnya lebar menatap ke arah Andin dan Aby bergantian. Tante Zeti pun sama terkejutnya, di ruangan ini, hanya Pak Artawan yang tidak merubah mimik wajahnya.

"Kenapa nggak bilang dari kemarin, Mas?" Tante Zeti mengungkapkan isi kepala. Kabar yang ia terima malam ini terlalu aneh dan tak masuk di akal. Selama ini, yang ia tahu, Abyasa mencintai Pramesti. Bahkan sempat laki-laki itu tak mau pulang ke Jakarta sebelum berhasil mendapatkan wanita itu. "Setahu Mama, Mas Aby ... mengejar cinta Pramesti."

Itu memang benar, tapi dulu. Karena sekarang, perasaannya sudah berubah. "Benar, Ma. Tapi itu dulu. Sekarang ... yang Mas inginkan untuk dijadikan istri hanyalah Andin. Bukan yang lain."

"Tapi kan ... Paah." Tante Zeti melihat ke arah suaminya yang sedari tadi hanya diam. Mencoba mencari jalan keluar. "Nanti Zaskia ... gimana dong, Pa?"

"Biar dia menyampaikan apa yang ingin ia sampaikan dulu, Ma."

Kalimat Pak Artawan bernada datar. Andin yang mendengar sempat meragu dengan keputusannya berada di tempat ini, namun genggaman tangan Abyasa yang semakin kuat membuatnya kembali yakin.

"Tentang Pramesti, kita tidak pernah berada di dalam sebuah hubungan. Pramesti menolak hubungan yang Mas tawarkan, dan ... kembali memintanya setelah Mas dekat dengan Andin." Abyasa menyelesaikan kalimatnya tanpa ragu. "Hanya itu yang ingin aku sampaikan, Pa, Ma. Apapun tanggapan Papa dan Mama, Aby menghormati, tapi ... tidak akan merubah keputusan Aby untuk tetap memilih Andin."

Aby memberikan waktu sepenuhnya untuk orangtuanya memberi tanggapan. Namun, setelah cukup lama diam, semua orang di ruangan ini tak kunjung membuka suara. Hening yang semakin membuat suasana semakin terasa mencekam.

"Kenapa nggak ngomong malam itu?" tanya Pak Artawan lagi.

Abyasa menelan ludahnya kesulitan. Selama hidupnya, baru kali ini ia merasakan sebuah perbincangan keluarga yang layaknya sidang terbuka. "Tidak mungkin Mas menolak Pramesti di hadapan semua orang. Mas Aby jaga perasaan Pramesti dan kedua orangtuanya."

"Lalu, apa yang akan Mas Aby lakukan? Seperti yang kita tahu, kecuali Andin karena kemarin dia sudah pulang. Papa sudah melamar Pramesti untuk Mas Aby. Lalu, bagaimana?" Pak Artawan menatap Abyasa tajam, dengan wajah kaku seperti saat menghadapi beberapa anak buahnya yang sedang melakukan kesalahan.

"Mas akan menemui Pramesti dan kedua orangtuanya di Semarang, menjelaskan tentang apa yang terjadi sebenarnya," jawabnya pasti.

Andin masih menunduk dengan tangan besar Abyasa yang menggenggamnya. Matanya terpejam, keringat dingin mulai bermunculan meskipun malam sedang dingin-dinginnya. Pak Artawan tak kunjung kembali mengeluarkan suara, sedangkan Tante Zeti dan Lita masih sama, menunggu keputusan dari Sang pemegang tahta.

"Kalau Papa sih terserah Mas Aby."

Sontak Andin mengangkat wajahnya, menatap ke arah Pak Artawan yang masih menunjukan wajah tanpa ekspresi. Lita dan Tante Zeti melakukan hal yang sama, tak percaya dengan jawaban yang keluar dari bibir laki-laki yang terbiasa memaksa.

"Mas Aby sudah dewasa, sudah bisa mengambil keputusan sendiri. Apapun pilihan Mas, Papa setuju. Yang terpenting, Mas Aby harus bisa bertanggung jawab dengan setiap keputusan yang diambil," tambah Pak Artawan semakin menegaskan posisinya. "Ini tentang perasaan dan tentang masa depan, yang nantinya kalian sendiri yang menjalani. Papa tidak akan ikut campur."

Apa itu artinya? Hubungan ini mendapatkan persetujuan?

***

"Pramono udah tahu?" tanya Lita ketika mereka berdua sudah berada di dalam kamar.

Anggukan Andin menjadi jawaban, wanita itu masih mengunci bibirnya takut. Andin takut Lita marah karena selama ini menyembunyikan hubungannya dengan Abyasa.

"Gue shock, Ndin. Gila lo selama ini menutupi hubungan lo sama abang gue." Lita tak terima, sahabat yang paling dekat dengannya justru tidak terbuka.

"Gue bingung, Taa. Gue selalu ngerasa nggak yakin sama perasaan gue ke Mas Aby kalau di sekitar lo." Andin duduk di ujung ranjang Lita, terpaksa menginap malam ini di rumah keluarga Bramantya karena hari sudah larut.

"Sorry, Ndin. Selama ini gue mengkerdilkan perasaan lo. Gue cuma takut kehilangan sahabat kalau lo deket sama abang gue," ujar wanita itu merasa bersalah. Selama ini, Lita sama sekali tidak bermaksud menyalahkan perasaan Andin. "Gue takut, kalau kalian marahan atau pisah, hubungan kita pasti renggang. Dan gue nggak mau."

Lita ikut mendudukan tubuhnya di samping Andin, saling menggenggam tangan. "Tapi kalau Mas Aby serius sama lo, gue sih nggak apa-apa. Gue justru bersyukur banget kalau abang gue dapat wanita yang benar-benar sayang dan cinta tulus sama dia, daripada mengejar yang tak pasti seperti Pramesti."

Senyum Andin terbit di wajah manisnya. "Jadi, lo nggak marah kan sama gue?" tanyanya dengan wajah berbinar. Saat Lita mengangguk pasti, keduanya berpelukan girang. "Gue seneng bangeeet, Taaa."

"Gue jugaaa seneng, Ndiiiin. Ya Tuhan nggak nyangka lo akan jadi saudara ipar gueee."

"Doain yaa, Taa. Doain lancar."

"Iyaa-lah, pasti. Ntar gue anterin nyari kebaya." Tawa keduanya menyusul.

Satu pesan di ponsel Andin mengendurkan pelukan keduanya. Ada nama Aby di layar. Wanita itu meminta pertimbangan ke Lita, dan mendapatkan anggukan sabagai jawaban.

Mas Aby :
Mas tunggu di taman belakang rumah.

Sempat menimbang, tapi pada akhirnya langkah Andin tetap berjalan ke taman belakang rumah. Abyasa duduk di kursi yang sama, saat Andin mengungkapkan perasaannya dulu. Pandangan laki-laki itu pun tak berubah, ketika Andin pertama kali menemukannya, Abyasa sedang menatap jauh ke arah langit.

"Mas," panggil Andin menginterupsi lamunan Abyasa. "Nunggu lama?"

"Nggak kok, Mas dari tadi ada di sini," jawab laki-laki bermanik hitam itu. "Duduk, Ndin." Abyasa mempersilahkan Andin duduk di kursi sebelahnya.

Jika mengingat malam di mana Andin menyatakan cinta, sama persis dengan malam ini. Keduanya duduk bersisihan, saling mendiamkan dalam waktu yang cukup lama. Bedanya, dulu Andin cinta sendiri, tetapi sekarang cintanya sudah terbalas.

"Ada yang mau Mas sampaikan." Abyasa berucap tegas tanpa keraguan, memutar tubuhnya menghadap ke arah Andin yang berada di hadapannya.

"Siβ€”silahkan," jawab Andin ragu.

Abyasa memberikan jeda, hening tanpa suara. Hanya ada suara gemericik air kolam ikan milik Pak Artawan yang mendominasi.

"Mas cinta sama Andin, Andin mau jadi istri Mas?"

Pertanyaan itu sama persis dengan pertanyaan yang pernah Andin lontarkan untuk Abyasa, dulu. Hatinya berdesir hebat, terlalu takjub dengan takdir Tuhan yang dituliskan untuknya. Benar quote yang sering Andin temukan di media sosialnya, Tuhan memang Maha membolak-balikan hati manusia. Termasuk, laki-laki yang kini sedang duduk menatapnya penuh harap.

Abyasa mendekatkan kotak beludru berwarna merah, lalu membukanya. Cincin berlian berlapis permata Aby tujukan ke Andin. "Jadilah istriku, ibu dari anak-anakku."

Satu tetes air mata jatuh tanpa permisi. Andin menghapusnya, meskipun matanya tetap terus menerus mengeluarkan air mata yang sama. Satu senyumnya terlepas, namun kalimatnya tercekat. Andin tak kuasa menjawab pertanyaan Abyasa.

"Anβ€”Andin, huft." Andin hanya tersenyum menyerah, dadanya sesak karena bahagia. Dia menggeleng pasrah, menunjukan ke Abyasa kalau apa yang diterimanya malam ini terlalu banyak.

"Say yes, Ndin," mohon Abyasa.

Andin mengipas matanya, berusaha memberi oksigen yang sebenarnya memiliki stok melimpah di sekitarnya. Setelah cukup lama menetralkan perasaannya, Andin kembali manutkan matanya ke arah Abyasa yang masih menunggu jawaban.

"Yes," jawabnya singkat.

Laki-laki itu bergerak cepat, berdiri dari tempat duduknya, lalu memeluk Andin dan membawanya berdiri bersama. Ciuman singkat Abyasa menunjukan berjuta rasa bahagia. Laki-laki itu merangkum wajah wanitanya, dengan mata yang menunjukan binar bahagia. "Terima kasih, karena masih bertahan mencintaiku sampai sejauh ini."

BAB 34 - END

Sore hari pasca hujan deras mengguyur kota Semarang. Abyasa berdiri tegap di depan pintu rumah bercat putih yang dulu sempat menjadi tempat persinggahannya. Tangannya mengetuk pintu, di ketukan ketiga dia mendapat jawaban salam. Pintu terbuka dari dalam, seorang wanita muncul dengan senyuman manis yang sempat ada, namun menghilang ketika matanya menangkap sosok Abyasa.

"Selamat pagi, Pramesti," sapa Abyasa.

"Seniat itu kah Mas Aby melepaskan Pramesti? Sampai tak bisa menunggu tiga hari seperti yang Mas Aby janjikan." Wanita berambut panjang itu menyedekapkan kedua tangannya di dada, kembali mengatupkan bibirnya. "Pramesti belum bilang ke Mama sama Papa."

"Nggak apa-apa, Mas yang akan menjelaskan sendiri ke Tante Zaskia dan Om Randu."

"Masβ€”."

"Aku akan menikah, sesegera mungkin itu terjadi. Aku tidak ingin ... ada kerikil kecil yang akan mengganggu perjalanan rumah tanggaku bersama Andin nantinya." Abyasa menemukan kesedihan di mata wanita yang dulu pernah menjadi prioritasnya. Wanita yang selalu ingin ia temukan senyumnya. Namun, takdir serta merta merubah jalan cerita hidupnya. "Boleh Mas Aby masuk ke dalam rumah?"

Tanpa mempersilahkan, Pramesti membukakan pintu selebar-lebarnya untuk Abyasa. Wanita itu masuk ke bagian lebih dalam rumahnya, meninggalkan Abyasa yang memilih mendudukan tubuhnya di sofa.

Rumah ini, pernah menjadi rumah yang paling ia inginkan untuk ditinggali. Rumah ini, pernah menjadi rumah keduanya ketika dia belajar di Semarang. Rumah ini, memiliki berjuta kenangannya bersama Pramesti.

Dan di rumah ini lah, semuanya hanya akan tetap menjadi kenangan, karena Abyasa sudah memutuskan untuk berjalan maju meninggalkan masa lalu.

"Eh, Mas Aby, kok sudah sampai di sini? Kangen sama Pramesti?" goda Mama Pramesti. Tante Zaskia muncul dari balik sekat pembatas ruang tengah dan ruang tamu, disusul selanjutnya Om Randu dan Pramesti di belakangnya. "Anak muda begitu ya, Paah," candanya lagi sambil menatap mata suaminya.

Abyasa berdiri, menanggapi dengan senyuman singkat, lalu menyalami sopan kedua orangtua itu seperti biasa. Berbasa-basi sebentar sambil tersenyum ramah, ia menanyakan kabar meskipun mereka baru saja bertemu dua hari yang lalu.

"Ada yang ingin Aby sampaikan," ucapnya memulai tujuannya datang ke rumah ini.

"Yaa tentu saja, silahkan. Persiapan pernikahan memang harus dibicarakan sejelas-jelasnya," jawab Om Randu dengan tawa renyah setelahnya.

"Maaf, Om dan Tante. Tidak akan ada pernikahan antara saya dan Pramesti."

Tidak perlu diprediksi, kedua wajah laki-laki dan wanita paruh baya itu menunjukan sebuah pertanyaan besar. Selama ini, bukankah hal yang paling Abyasa inginkan adalah anak perempuannya? Om Randu mengalihkan perhatiannya ke arah Pramesti, berharap mendapatkan jawaban tapi nihil. Pramesti mengunci mulut rapat.

"Saya sudah menyampaikan hal ini ke Pramesti, malam itu juga." Kedua tangan Abyasa bertaut pasti, duduk tegap dan kembali meneruskan kalimatnya. "Saya dan Pramesti, tidak pernah berada di dalam sebuah hubungan."

"Tapi ... bukannya kemarin malam itu ... gimana ya, Mas. Omβ€”."

"Lamaran malam itu hanyalah inisiatif Papa, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya, Om. Selama ini, setahu Papa, Aby dan Pramesti dekat. Tetapi yang sebenarnya terjadi, saya sudah menjalin hubungan dengan wanita lain tanpa sepengetahuan keluarga sejak kembali ke Jakarta."

"Bukannya Mas Aby dulu menginginkan Pramesti jadi istri?" tanya Tante Zaskia menuntut.

Abyasa mengangguk. "Iya, tapi dulu. Dan Pramesti sudah menolak pinangan saya untuk yang kesekian kalinya."

Raut sedih kentara di wajah wanita itu, Tante Zaskia memeluk Pramesti yang hanya menunduk sedari tadi. "Mas Aby, Tante berharap semua ini hanyalah kesalahpahaman saja."

"Tidak ada kesalahpahaman, Tante. Saya dan Pramesti memiliki hubungan baik, sebagai teman. Tidak lebih."

"Tapi kemarin Pak Artawan melamar Pramesti untuk Mas Aby lho, di depan semua orang," ucap Tante Zaskia tak terima anaknya dipermainkan.

"Inisiatif yang Papa lakukan kemarin adalah salah, dan Abyasa yang hanya justru mendiamkan tanpa jawaban demi menjaga Pramesti dan Om Tante, itu pun salah. Apapun alasannya, kejadian malam kemarin adalah sebuah kesalahan. Saya mewakili keluarga Bramantya memohon maaf yang sebesar-besarnya."

Mendengar tak ada lagi jawaban dari kedua orangtua Pramesti, Abyasa yakin maksud kedatangannya ke rumah ini sudah tersampaikan dengan baik. "Hanya itu yang ingin saya sampaikan, Om, Tante. Setelah ini, Aby langsung pamit pulang."

Setelah penyelesaian itu, Abyasa tak pernah lagi mendapatkan pesan dari Pramesti, tak juga bertemu dengan wanita itu. Beberapa bulan pun terlewati tanpa halangan. Hingga akhirnya, hari pernikahan Andin dan Abyasa pun tiba. Setelah satu bulan persiapan, Andin dan Aby sah menjadi sepasang suami istri.

Seperti yang Aby inginkan, pernikahan akan terjadi dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Aby tak ingin menunda, tak ingin lagi ada drama. Setelah menemui orangtua Pramesti, Aby langsung menemui keluarga Andin di Jogja. Anggap saja, Abyasa bergerak cepat. Dia tak ingin kembali disalip orang lain yang bisa datang tiba-tiba.

Satu bulan kemudian, pernikahan diadakan dengan tema garden party dan adat jawa. Andin mengenakan kebaya putih anggun dan Aby memakai jas dengan warna senada.

"Saaah!"

Suara menggema, semua tamu undangan mendoakan kedua mempelai dengan berbagai doa penuh kebaikan.

"Gue cintaa sama Andin Astuti." Abyasa mendeklarasikan cintanya di hadapan semua tamu undangan, setelah satu ciuman dalam yang ia berikan untuk Andin. Dada Andin kembang kempis tak karuan. Ia memukul pundak Aby yang menggodanya, sedangkan suaminya (ciee elaah) justru tertawa bahagia.

"Andiiiin, selamaaat, lo cantik banget siih." Lita memberikan pelukan terbaiknya, disusul Pramono di belakang tubuh wanita itu.

"Selamat ya, Ndin," ucap Pramono. Laki-laki itu mengenakan tuxedo hitam dengan dasi kupu-kupu yang manis. Tak lupa ia memberikan ucapan yang sama untuk Abyasa meskipun laki-laki itu tak menunjukan raut wajah ramah. "Selamat ya, Mas."

"Heem, thank's."

"Gue makan dulu, yeee." Lita dan Pramono pamit undur diri, saat melihat tamu undangan yang mengekor di belakangnya. "Gue hadiahin lingerie seksi, pakai nanti malem, Ndin," bisik Lita di telinga Andin.

Malam pertama? Andin bergidik ngeri dengan malam itu nantinya. Membayangkan tubuh Abyasa yang besar dan ... ah, lihat saja nanti.

"Ya Allaaah, cinderella gueeee." Pita memeluk Andin, matanya tak bisa berbohong menatap kagum ke arah Abyasa yang gagah dengan beskap, berdiri di samping sahabatnya. "Gile yaa, Ndin. Mas Aby cakep banget sumpaah," bisik Pita. "Lo beneran jadi Cinderella in real life tahu nggak."

"Awas lo yee, jangan lirik-lirik suami gue!" ancam Andin dengan wajah sangar.

"Doa lo apa sih? Biar dapat suami kaya Mas Aby. Pengen juga gue."

"Bismika Allahumma Ahya Wa Bismika Amut," jawabnya asal.

"Setan lo, itu doa mau tidur."

"Hahaha."

"Dah lah ya, gue pamit dulu. Bahagia kalian sampai kakek nenek."

Andin mengurai pelukan keduanya. "Aamiin. Thank's, Pit." Wanita itu menghilang, disusul tamu-tamu lainnya.

"Jangan capek-capek, Yaang," bisik Abyasa saat tamu undangan sudah mulai berkurang. Laki-laki itu meminta Andin duduk di pelaminan, memijit tangan wanita yang sudah resmi menjadi istri halalnya. "Mana yang capek?" tanyanya.

"Kaki, Mas. Kan banyak berdiri, semuanya deh."

"Tenang, nanti malam Mas pijitin semuanya," janjinya pasti. Andin memicingkan mata menemukan maksud lain di jawaban suaminya, sedangkan laki-laki itu justru tertawa lebar.

Seperti yang Abyasa janjikan, ia memijit semua tubuh Andin tak luput satu bagian tubuh pun. Abyasa menjamah, berbagi kepuasan bersama.

"Mas, besok kalau punya anak manggilnya mau apa?" Mereka berdua sudah berada di kamar pengantin, di atas ranjang tanpa busana, dengan Andin yang memeluk tubuh suaminya. Abyasa memejamkan mata, setelah aktifitas melelahkan yang baru saja mereka lakukan dua kali berturut-turut. Sebenarnya, Abyasa masih ingin, tapi Andin menolak beralasan capek. Namun kini wanita itu justru tak kunjung berhenti berbicara, bertanya hal absurd yang mulai Abyasa jadikan kebiasaan. "Aku pengennya Abi sama Umi," ucap Andin lagi.

"Jangan panggil nama bapaknya dong, Yaang."

"Kan abi itu ayah."

"Yaa nama ayahnya kan Abi, panggil yang lain aja dong," jawab Aby tidak terima. "Panggil papa mama saja seperti biasa."

"Tapi sepertinya bagus kalau panggilannya abi dan umi deh, Mas."

Abyasa memutar tubuhnya, berganti memeluk Andin dan menciumi leher istrinya yang mulai menjadi candu. "Katanya capek, Ndin," ucapnya seduktif, dengan bibir yang membelai ringan tengkuk Andin yang terbuka.

"Mas, iiih."

"Daripada mengeluarkan tenaga hanya untuk memikirkan panggilan, lebih baik kita melakukan sesuatu yang lebih ... menantang." Kerlingan menggoda menjadi ancaman. Abyasa dengan cepat memindah tubuhnya berada di atas istrinya. "Mas sudah on fire lagi nih."

***

Andin pernah merasa menjadi wanita beruntung, bertemu dengan keluarga Bramantya yang mau menampungnya di rumahnya. Andin juga merasa beruntung, ketika selalu dikelilingi orang-orang yang menyayanginya. Namun ketika dia menemukan Abyasa, Andin merasa hidupnya lengkap. Dan pernikahannya dengan Abyasa semakin melengkapi kebahagiaan keduanya.

Dari Aby, Andin belajar untuk saling percaya dan kesabaran. Dari sebuah pernikahan, Andin belajar tentang komitmen.

Terima kasih, sudah mengikuti alur cerita kami berdua ❀️❀️ Ambil yang baik-baik, buang yang buruk.

Me Before You - Cerita After Marriage Andin dan Aby.

Tersedia SERI di Karyakarsa ya, bisa dbaca paket seharga Rp 30.000
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi πŸ₯°

Selanjutnya Me After you 5
28
2
Memaksa masuk
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan