
#dewasa
#21+
Tentang Mentari yang kehilangan sinarnya..
Tentang Cakrawala yang kehilangan senjanya..
Hidup sebagai anak satu-satunya dari seorang janda kembang, Mentari tumbuh menjadi seorang gadis remaja penuh gunjingan. Bagi Mentari, tak ada yang lebih bisa dia percaya selain biyungnya. Biarpun orang lain berkata apa, hanya ucapan biyung yang akan ia terima. Hingga suatu hari, takdir membawa Mentari kedalam kehidupan penuh nestapa..
Biyung mau menikah dengan Juragan Darma, seorang laki-laki kaya yang...
Tumpukan cucian yang sudah lebih dari seminggu, menumpuk di ember berwarna hitam di hadapan Lestari. Wanita itu hanya menatap tumpukan cucian dengan tatapan kosong, seperti sedang meratapi sebuah gunung kenestapaan yang siap melumatnya dalam. Butuh tekad yang kuat untuk sekedar membawa tumpukan baju itu ke sumur yang berada jauh di belakang rumah pelanggannya.
Demi Mentari. Batinnya.
Mentari adalah anak semata wayang Lestari, satu-satunya keluarga yang ia miliki setelah ia kehilangan ibunya beberapa tahun yang lalu. Suaminya? Jangan ditanya, laki-laki edan itu sudah minggat entah kemana. Dulu, Lestari sangat mencintai laki-laki itu sepenuh hati, tetapi setelah laki-laki itu pergi meninggalkannya perasaan itu berubah menjadi benci.
"Kok belum di cuci, Mbak?"
Suara Bu Endang –pelanggan Lestari- yang tiba-tiba muncul mengagetkan Lestari. Tangannya yang sebelumya berada di pinggang langsung ia turunkan sejajar dengan pahanya. Lestari merubah raut wajah yang sebelumnya suram menjadi wajah ramah yang dibuat-buat.
"Iya, Bu, ini baru mau mulai," jawabnya.
Lestari mengangkat satu tumpukan cucian di ember besar dan menjepitnya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya ia gunakan untuk membawa ember kecil wadah sabun cuci dan sikat. Dengan sangat bersusah payah Lestari berjalan, hingga beberapa kali embernya sempat terjatuh karena jalan yang ia lalui dari rumah bu Endang ke sumur cukup jauh dan terjal. Lima menit kemudian akhirnya Lestari berhasil mencapai sumur.
Walaupun terkenal sebagai janda kembang yang cantik rupawan, Lestari tak mau memanfaatkan kecantikannya untuk mendapatkan uang. Ia masih memiliki harga diri, terlebih dia memiliki seorang anak yang juga merupakan seorang perempuan. Ia ingin memberikan contoh yang baik kepada anaknya, bahwa walaupun mereka miskin tetapi mereka masih memiliki harga diri.
Entah kapan, yang terpenting adalah 'yakin'.
Dulu sewaktu muda, Lestari pernah bermimpi akan memiliki keluarga sempurna dan penuh kebahagiaan. Namun sayangnya, mimpinya hancur berantakan ketika keluarga suaminya mewajibkan anak pertama yang lahir dari rahim Lestari adalah seorang laki-laki, penerus keluarga.
Ketika lahir Mentari, ada rasa kecewa yang membuncah hingga ia berkali-kali menyalahkan dirinya sendiri. Tetapi setelah semuanya terlewati, Lestari merasa bahwa kehadiran Mentari adalah berkah dalam kehidupannya. Ia sangat menyayangi Mentari.
**
"Sembilan belas, dua puluh sen, pas!" Lestari sedang menghitung pendapatannya beberapa hari ini, kemudian memasukkannya kedalam dompet kecil yang ia selipkan di bawah bantal tempat tidurnya.
Setelah menghabiskan hampir sepuluh jam waktunya di siang hari untuk mencuci, Lestari cukup berpuas dengan pendapatannya. Walaupun tentunya hal ini tidak sebanding dengan tangannya yang lecet-lecet karena terlalu banyak digunakan untuk bekerja. Keinginannya yaitu mengumpulkan uang untuk modal berjualan gorengan. Ia sudah sangat ingin pensiun dari profesinya saat ini sebagai buruh cuci, dan satu-satunya hal yang ia rasa mampu untuk dilakukan adalah berjualan gorengan keliling.
"Biyung, Biyung!"
Suara panggilan Mentari, ditambah suara berisik yang tiba-tiba muncul memaksa Lestari berdiri lalu berjalan ke arah depan rumah. Sore ini, Mentari pamit untuk les menjahit, tetapi baru saja pergi tiga puluh menit yang lalu anak itu sudah kembali pulang.
"Biyuuung!"
"Iyaa, Nduk, ada apa? Kok kaya ndak sabaran begitu."
"Mentari ndak mau les menjahit lagi!" Putrinya itu tiba-tiba muncul dari arah depan rumah sambil berlari memasuki pintu kamarnya yang mulai reyot.
"Kenapa?" tanya Lestari. Wanita itu menyusul Mentari masuk ke dalam kamar, ia mengikuti anaknya yang duduk di pinggiran dipan.
"Kenapa? Ngomong, toh. Biyung ndak tahu kalau kamu ndak ngomong."
"Mentari tadi ndak boleh belajar les menjahit di tempat Budhe Yati."
"Lha, kenapa? Wong kita bayar, kok, ndak boleh ikut?" tanya Lestari tidak terima.
"Katanya Mentari itu anak wanita simpanan, padahal bukan kan, Biyung? Memang Biyung ada hubungan apa sama Juragan Darma?" Pertanyaan Mentari membuat Lestari gelagapan, pasalnya pertanyaan yang diajukan itu terlalu tiba-tiba dan sulit untuk dijawabnya.
Kalau ditanya tentang hubungannya dengan Juragan Darma, Lestari akan tegas menjawab bahwa mereka tidak memiliki hubungan apa-apa. Tetapi Lestari tidak bisa menutupi bahwa ada ketertarikan dalam hatinya kepada sosok Juragan Darma yang bijaksana. Apalagi jika dilihat dari matanya, Lestari yakin Juragan Darma juga memiliki ketertarikan yang sama dengan dirinya.
"Biyung!" hardik Mentari.
Lestari kembali terkejut lalu menetralkan kembali raut wajahnya dengan cepat. "Hubungan apa, toh? Aneh-aneh saja manusia itu sukanya menggosip yang ndak jelas, sudah biarin aja. Besuk Biyung carikan tempat les menjahit yang lain."
"Iya, Mentari percaya sama Biyung."
Entah mengapa jawaban Mentari justru membuat Lestari menjadi takut. Ia takut jika suatu saat akan mengecewakan Mentari. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, sebagai wanita yang sudah lama menjanda, Lestari ingin sekali memiliki seorang laki-laki yang mampu bertanggung jawab atas dirinya dan Mentari.
Lestari lelah untuk berpura-pura menjadi kuat.
"Biyung!"
"Apalagi?"
"Biyung ndak pengen nikah lagi? Kalau dilihat dari wajahnya, Biyung Mentari ini sungguhlah masih cantik rupawan."
Lestari berdiri sambil berkacak pinggang. "Kamu itu mikirin apa, toh? Tugasmu itu banyak-banyak belajar, jangan jadi seperti Biyungmu ini, ngerti?"
"Mentari cuma nanya."
"Pertanyaanmu ndak penting!"
Tak ingin berdebat lagi, Lestari keluar dari kamar anaknya. Ia berjalan kearah dapur untuk memasak, lalu mengeluarkan kulit melinjo dari dalam besek yang tadi dibelinya di pasar, mengupasnya kemudian mencuci. Ia hendak mengolah kulit melinjo menjadi oseng-oseng pedas untuk disantapnya nanti malam bersama Mentari.
"Biyung!"
"Sudah toh, Tari, hidup itu bukan untuk berangan-angan!" sebal Lestari. Wanita yang sudah cukup berumur namun masih terlihat cantik itu melihat ke arah putrinya dengan malas. "Ndak akan kenyang!"
"Biyung kenapa? Wong Mentari cuma mau bilang, masaknya jangan pedes-pedes, biasanya Biyung kalau lagi marah masaknya suka kepedesan."
Lestari menghentikan pergerakan tangannya yang sedang mengupas bawang putih, kemudian justru melemparkan bawang putih yang ada di meja ke arah Mentari yang langsung memasukkan kepalanya lagi ke dalam kamar.
"Kamu itu bukannya bantuin Biyung di dapur, malah nyuruh-nyuruh!"
"Mentari lagi males bantu-bantu, Mentari lagi males ngapa-ngapain!" ucap Mentari. Beruntungnya suara Mentari terdengar samar dari dapur, jadi Lestari tidak terlalu ambil pusing dengan jawaban putri semata wayangnya ini.
"Bagaimana kamu mau dapat suami? Kalau masak saja ndak pecus."
Lestari mendengar bunyi kunci pintu terbuka, dan sedetik kemudian kepala Mentari kembali muncul dari dalam kamar. "Aku ndak mau nikah, aku maunya nemenin Biyung sampai Biyung tua," ucap Mentari lalu kembali lagi memasukkan kepalanya ke dalam kamar.
Ucapan Mentari mau tidak mau membuat hati Lestari terenyuh. Di saat dirinya mulai merasa menyerah dengan perjuangannya seorang diri, justru Mentari membuat semua perjuangannya selama ini terasa begitu berarti.
Apapun yang terjadi, Lestari hanya ingin bahagia bersama Mentari. Itu saja!
"Kamu sudah dewasa Mentari, sudah waktunya untuk menikah. Coba lihat teman-teman sebayamu sudah nggendong anak."
"Mentari ndak mau menikah Biyung, Mentari maunya hidup sama Biyung Lestari."
Lestari menggelengkan kepalanya, sedikit lucu mendengar jawaban dari anak semata wayangnya. Mentari belum menemukan cinta, itulah yang menyebabkan gadis itu belum berniat menikah. Coba kalau dia sudah menemukan tambatan hatinya, pasti Mentari akan pergi meninggalkannya.
Lalu bagaimana dengan kehidupan Lestari setelah Mentari menikah? Dia yakin bahwa Mentari semakin tumbuh menjadi dewasa, dan dirinya akan semakin tua.
Ah, sudahlah! Serahkan saja semuanya pada yang maha kuasa. Batin Lestari.
Lestari melanjutkan aktivitas memasaknya, dengan bersenandung riang menyanyikan lagu-lagu yang menciptakan suasana indah di dalam rumahnya. Walaupun mereka berdua hanya hidup di sebuah gubuk kecil dengan beberapa perabotan minimalis, namun Mentari danLestari tak pernah merasa kekurangan. Rasa ikhlas dan syukur yang besar membuatkehidupan mereka jauh dari kata mengeluh. Lama hidup sebagai seorang janda yangmembesarkan seorang anak perempuan sendirian, Lestari hidup menjadi seorang wanita penuh perjuangan. Dalam hidupnya Lestari berjanji, untuk tidak pernah menyerah dengan setiap masalah yang terjadi dalam kehidupannya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
